Wednesday, December 28, 2016

makalah qodho' puasa

Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas bagaimana cara mengkodho puasa menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185.


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa adalah rukun islam yang ke empat. Karena puasa itu rukun islam, jadi semua umat islam wajib melaksanakannya. Namun tidak semua umat islam tidak menjalankannya lantaran tertimpa udzur syar’i. misalnya sakit, musafir, haid, nifas, merasa berat mengerjakannya, wanita hamil dan menyusui maka mereka harus mengkodho dan mengetahui bagaimana ketentuan mengkodho puasa menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185. Dan mengetahui bagaimana pula mengkodho puasa menurut empat imam madzhab.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas bagaimana cara mengkodho puasa menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185.

B.       Rumusan Masalah
1.      Surat Al-Baqarah ayat 184-185 dan terjemahan?
2.      Bagaimana penjelasan surat Al-Baqarah ayat 184-185?
3.      Bagaimana ketentuan mengqodho puasa?
4.      Mengqodho puasa menurut empat imam madzhab?










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Surat Al-Baqarah 184-185 dan Terjemahan
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)
184. (yaitu) beberapa hari tertentu maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak puasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu member makan seorang miskin. Tapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
185. bulan ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qu’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang bathil, karena itu barang siapa diantara kamu ada dibulan itu , maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa) maka wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.[1]



B.     Penjelasan Surat Al-Baqarah
Allah menjelaskan alasan seseorang untuk tidak berpuasa, bila karena dua alasan tersebut seseorang tidak berpuasa maka hendaknya ia mengganti puasa pada bulan lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Berkenaan dengan alasan sakit, kebanyakan para imam menyaratkan sakit yang berat yang menyulitkan baginya untuk berpuasa. Dalam tafsir Al-Maraghity, disebut bahwa Ibn Sirin, Atha, dan Bukhori bahwa semua sakit menjadi rukhsah untuk berbuka, karena banyak penyakit yang tidak menyulitkan untuk berpuasa tetapi membahayakan baginya dan menyebabkan penyakit itu bertambah parah dan panjangnya masa penyembuhan. Bahaya (dharar) itu lebih menyulitkan daripada berat (masyaqqah). Sementara Allah menghendaki kemudahan bukan kesulitan dari hamba-hambanya.
Syarat perjalanan yang diperbolehkan untuk berbuka adalah perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqoshor sholat. Sedangkan pendapat dari jarak perjalanan yang membolehkan seseorang untuk berbuka itu berbeda-beda. Menurut Malik adalah perjalanan sehari semalam (87 mil).
Para umat sepakat bahwa para musafir dibulan ramadhan tidak boleh berniat untuk berbuka, karena seseorang dianggap sebagai musafir bukan sekedar dengan niat saja tapi dengan amal dan persiapan.
Bagi yang berbuka dengan dua alasan itu maka ia wajib mengqodonya.
Orang-orang yang tidak mampu dalam ayat ini adalah orang tua yang lemah dan orang yang sakit yang sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya, ibu mengandung dan menyusui bila khawatir akan keselamatan anaknya dibolehkan tidak berpuasa dengan membayar fidyah (memberi makan seorang miskin) dengan makanan yang biasa diberikan dengan keluarganya dan ukuran sekali makan yang mengenyangkan sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.
Dan berpuasa bagi tiga golongan tersebut itu lebih baik daripada fidyah karena puasa merupakan latihan fisik dan jiwa, membentuk ketaqwaan dan mendekatkan diri kepada Allah.[2]

C.     Ketentuan Mengkodho Puasa
Barang siapa punya hutang puasa ramadhan lantaran tertimpa udzur syar’i, misalnya sakit, musafir, haid, nifas, merasa berat mengerjakannya, wanita yang hamil dan menyusui, maka menurut ulama yang memandang mereka harus mengkodho setelah udhurnya berakhir agar cepat terbebas dari tanggung jawab dan untuk berpacu dalam menunaikan kewajiban serta kebajikan.
Adapun ketentuan bagi orang sakit dan musafir (harus) mengkodho berdasarkan ayat Al-Qur’an.
“Maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Qur’an: 185)
Sedang ketentuan kodho bagi wanita yang sedang haid dan nifas didasarkan pada sunnah yang diriwayatkan dari aisyah ra, yaitu ia berkata :[3]
كُنَّا نَحِيْضُ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةَ
“Kami kaum wanita biasa haid dizaman Nabi saw, maka kami diperintahkan mengkhodo puasa, tetapi tidak diperintahkan mengkodho shalat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Menurut pendapat yang kuat, tidak dianggap dosa orang yang mengakhirkan pelaksanaan kodho, karena pada prinsipnya kewajiban mengqada adalah tarakhi (diselangi perbuatan lain), maka boleh saja sebelum mengqdho puasa mengerjakan puasa tathawwu’.
Kesimpulan diatas didukung oleh riwayat Aisyah ra. Yang berkata,
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصِّيَامُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا اَسْتَطِيْعُ اَنْ اَقْضِيَ اِلاَّ فِى شَعْبَا نَ
“Saya pernah berhutang sebagian puasa ramadhan kemudian saya tidak bisa mengqodho(nya) melainkan pada bulan sya’ban”.
Sedangkan mereka yang berbuka dengan sengaja tanpa udzur syar’I, misalnya mereka yang merusak puasanya dengan sengaja lantaran mengejakan sesuatu yang mewajibkan membayar kafarah, seperti jima’ atau lantaran sesuatu yang tidak diwajibkan membayar kafarah, seperti makan dan minum. Maka menurut mayoritas fuqoha’, disamping bayar fidyah, harus mengqodho sebagaimana yang akan kami bahas nanti.
Sehubungan dengan qodho puasa lebih afdhal mengqodho secara tatabu’ (berturut-turut) agar selekas mungkin terbebas dari kewajiban dan demi menghindari khilaf. Bahkan sebagian fuqoha’ mewajibkan berturut-turut, karena qodho sama dengan ada’, sedangkan ada’ adalah tatabu’ (berturut-turut).[4]
Menurut jumhur ulama’ salaf dan khalaf, berdasarkan beberapa dalil, tidak harus tatabu’. Allah berfirman,
“Maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)
Adapun orang yang mengqodho puasanya kemudian membatalkan puasanya dengan sengaja, misalnya dengan jima’, maka ia tidak wajib membayar kafarah. Yang demikian itu karena ada’ adalah mengejakan sesuatu tepat pada yang ditentukan semula. Berbeda dengan qadha, bagi qadha semua hari adalah sama.
Oleh karena itu barang siapa belum sempat mengqadha puasa Ramadha hingga dating bulan Ramadhan berikutnya lantaran ada udzur syar’I maka menurut ijma’ ulama’ adalah tidak mengapa.
Tapi bila ditunda pelaksanaan qadha puasa itu tanpa udzur syar’i maka ada riwayat dari sejumlah sahabat yang mengatakan:
1.    Dipuasakan oleh walinya sebagaimana yang diterangkan olehhadist marfu’ dari Aisyah yang berbunyi:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barang siapa meninggal dunia sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya wajib berpuasa untuknya.”
Imam Al-Bazzar meriwayatkan juga dengan tambahan: insyaa-a (jika ia mau).
Jadi wali yang berpuasa untuk si mayit sebagai kebaikan baginya, bukan kewajiban atas diri si wali tersebut. Ini diperkuat oleh riwayat imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya:[5]
رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَارَسُولَ الله اِنَّ اُمَّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ اَمَا اَقْضِيْهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : فَدَيْنُ الله اَحَقُّ اَنْ يَقْضِيَ.
“datang seorang sahabat menemui Nabi saw. Lalu bertanya ‘wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dalam keadaan menanggung (kewajiban) puasa sebulan, apakah saya boleh puasa untuknya?’ jawab Nabi saw: ‘ya, (itu) hutang kepada Allah yang lebih berhak ia bayar.’” (HR. Bukhori-Muslim)
Dan sudah maklum bahwa manusia tidak dituntut membayar hutang orang lain, melainkan karena sebagai bukti kasih saying dan kesinambungan silaturrahim. Sebab Al-As bara’atudz dzimmah (pada prinsipnya seorang bebas dari tanggung jawab). Mukalaaf tidak diwajibkan mengerjakan kewajiban yang harus diemban orang lain.
Yang benar boleh memuasakan mayit, bukan wajib. Sehingga dengan demikian si mayit bebas dari tanggung jawab.
2.    Bisa juga dengan cara memberi makan seorang miskin tiap hari yang diniatkan sebagai ganti kewajiban yang pernah ditinggalkan oleh simayit. Sebab itu adalah hutang kepada Allah yang lebih berhak untuk dilunasi. Sebagian mempersyaratkan adanya wasiat dari si mayit. Jika tidak, maka tidak boleh. Sebab itu adalah ahli waris.
Yang benar menurut kami, itu menjadi hak ahli waris sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sudah dibayar hutangnya. Sedang puasa yang belum dikerjakan itu adalah hutang dan member makan orang miskin adalah hak yang diberikan kepada orang miskin.

D.    Mengqodho Puasa Menurut Empat Imam Madzhab
Empat imam madzhab sepakat bahwa puasa ramadhan adala fardu atas segenap kaum Muslim. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dilasnakan oleh setiap Muslim yang telah baig, berakal seahat, suci(tidak sedang haid atau nifas), bermukim ( tidak dalam perjalanan), dan sanggup mengerjakannya.
Perempuan yang sedang haid dan nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap mengerjakannya, maka puasanya tidak sah dan tetap berkewajiban mengqadhanya. 
Perempuan yang sedang hamil dan perempuan yang sedang menyusui anaknya boleh tidak beruasa jika mereka khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya.Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasaya sah. Adapun jika mereka tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya maka ia wajib mengqadhanya serta membayar kafarah, yaitu untuk setiap harinya satu  mud. Demikian menurut pendapat Syafi’iyang paling kuat dan Hambali. Hanafiberpendapat : Tidak ada kafarah atas keduanya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, wajib kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya,tidak bagi yang sedang hamil. Kedua, tidak ada kafarah atas keduanya.
Ibn ‘Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, “ Wajib kafarah, tetapi tidak wajib mengqadha”.
Puasa bagi Musafir
Empat imam mazhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa. Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah. Sementara itu jika mereka berpuasa, padahal puasa itu membahayakan diri mereka, maka hukumnya adalah makruh.
Sebagian ulama ahli zahir mengatakan : tidak sah puasa dalam safar.
Al- Awza’i berpendapat:  Tidak berpuasa bagi orang yang bepergian adalah lebih utama secara mutlak.
Menurut tiga imam mazhab: barang siapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasa nya.Hambali: Ia membatalkan puasanya. Inilah pendapat al-Muzni.
Apabila musafir yang tidak berpuasa telah sampai di tempat tujuannya, orang sakit sudah sembuh, anak-anak sudah balig, orang kafir masuk Islam, atau perempuan haid telah suci pada pertengahan siang, mereka wajib  imsak, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. Demikian menurut  Hanafi  dan  Hambali. Maliki  berpendapat: Disukai  imsak. Ini juga pendapat paling saih dari  Syafi’i.
 Apabila orang murtad kembali masuk Islam maka ia wajib mengsadha puasa yang ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut  tiga imam mazhab. Hanafi  berpendapat: Tidak wajib mengqadhanya.
Puasa Anak kecil, Orang Gila, Orang Sakit
Empat Imam Mazhab sepakat bahwa anak kecil yang belum mampu berpuasa dan orang gila yang terus-menerus tidak dikenai kewajiban puasa. Tetapi, anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur tujuh tahun dan dipukul jika (tidak berpuasa) pada umur sepuluh tahun.
Hanafi berpendapat: tidak sah puasa anak kecil. Jika orang gila sembuh dari gilanya maka ia tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Maliki  berpendapat: Wajib qadha. Hambali memiliki dua riwayat.
Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah. Demikian pendapat Hanafi. Seperti itu juga pendapat aling sahih dari Safi’i.
Hanafi :  Fidyah terseut adalah setengah  sha’  gandum setiap hari.Sedangkan menurut Syafi’i:  Satu  mud .
Maliki: Tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.Demikian juga salah satu pendapat Syafi’i.
Hambali: Ia harus memberi makan 1 sha’ kurma atau 1 mud gandum.[6]
























BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Allah menjelaskan alasan seseorang untuk berpuasa bila karena dua alasan tersebut seseorang tidak berpuasa maka hendaknya ia mengganti (mengqodho’ puasa) pada bulan yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Adapun ketentuan bagi orang yang sakit dan musafir harus mengqodho sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain sedang ketentuan qadha bagi wanita yang sedang haid dan nifas maka kami diperintahkan mengqadha puasa tetapi tidak diperintahkan mengqadha shalat.
Puasa bagi musafir menurut empat imam madzhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa maka puasanya sah.

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, Era Intermedia, Surakarta, 1998

QS. Al-Baqarah ayat 184-185

Syaikh al-“allamah muhammad, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi.Jl.Bojong koncor 44. Bandung, 2001.
Www.Almuhajirin.Ac.Id/2014/07 Tafsir.Qs –Al-Baqarah-Ayat-184-185.Html








[1]QS. Al-Baqarah ayat 184-185
[2]Www.Almuhajirin.Ac.Id/2014/07 Tafsir.Qs –Al-Baqarah-Ayat-184-185.Html
[3] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, Era Intermedia, Surakarta, 1998, Hlm. 99
[4]Ibid, hal 100-101
[5]Ibid, hal. 102
[6] Syaikh al-“allamah muhammad, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi.Jl.Bojong koncor 44. Bandung, 2001. Hlm. 154-99

No comments:

Post a Comment