Oleh
karena itu dalam makalah ini kami akan membahas bagaimana cara mengkodho puasa
menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya
ialah puasa, yang mana puasa adalah rukun islam yang ke empat. Karena puasa itu
rukun islam, jadi semua umat islam wajib melaksanakannya. Namun tidak semua
umat islam tidak menjalankannya lantaran tertimpa udzur syar’i. misalnya sakit,
musafir, haid, nifas, merasa berat mengerjakannya, wanita hamil dan menyusui
maka mereka harus mengkodho dan mengetahui bagaimana ketentuan mengkodho puasa
menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185. Dan mengetahui bagaimana pula mengkodho
puasa menurut empat imam madzhab.
Oleh
karena itu dalam makalah ini kami akan membahas bagaimana cara mengkodho puasa
menurut surat Al-Baqarah ayat 184-185.
B.
Rumusan Masalah
1.
Surat Al-Baqarah ayat 184-185 dan
terjemahan?
2.
Bagaimana penjelasan surat Al-Baqarah
ayat 184-185?
3.
Bagaimana ketentuan mengqodho puasa?
4.
Mengqodho puasa menurut empat imam
madzhab?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat Al-Baqarah 184-185 dan Terjemahan
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥)
184.
(yaitu) beberapa hari tertentu maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia
tidak puasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu member makan seorang miskin. Tapi
barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik
baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
185.
bulan ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qu’an, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda antara yang benar dan yang bathil, karena itu barang siapa diantara
kamu ada dibulan itu , maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (dia tidak berpuasa) maka wajib menggantinya sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan Allah atas petunjuknya yang diberikan
kepadamu, agar kamu bersyukur.[1]
B.
Penjelasan Surat Al-Baqarah
Allah
menjelaskan alasan seseorang untuk tidak berpuasa, bila karena dua alasan
tersebut seseorang tidak berpuasa maka hendaknya ia mengganti puasa pada bulan
lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Berkenaan
dengan alasan sakit, kebanyakan para imam menyaratkan sakit yang berat yang
menyulitkan baginya untuk berpuasa. Dalam tafsir Al-Maraghity, disebut bahwa
Ibn Sirin, Atha, dan Bukhori bahwa semua sakit menjadi rukhsah untuk berbuka,
karena banyak penyakit yang tidak menyulitkan untuk berpuasa tetapi
membahayakan baginya dan menyebabkan penyakit itu bertambah parah dan
panjangnya masa penyembuhan. Bahaya (dharar) itu lebih menyulitkan daripada
berat (masyaqqah). Sementara Allah menghendaki kemudahan bukan kesulitan dari
hamba-hambanya.
Syarat
perjalanan yang diperbolehkan untuk berbuka adalah perjalanan yang
diperbolehkan untuk mengqoshor sholat. Sedangkan pendapat dari jarak perjalanan
yang membolehkan seseorang untuk berbuka itu berbeda-beda. Menurut Malik adalah
perjalanan sehari semalam (87 mil).
Para
umat sepakat bahwa para musafir dibulan ramadhan tidak boleh berniat untuk
berbuka, karena seseorang dianggap sebagai musafir bukan sekedar dengan niat
saja tapi dengan amal dan persiapan.
Bagi
yang berbuka dengan dua alasan itu maka ia wajib mengqodonya.
Orang-orang
yang tidak mampu dalam ayat ini adalah orang tua yang lemah dan orang yang
sakit yang sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya, ibu mengandung dan
menyusui bila khawatir akan keselamatan anaknya dibolehkan tidak berpuasa
dengan membayar fidyah (memberi makan seorang miskin) dengan makanan yang biasa
diberikan dengan keluarganya dan ukuran sekali makan yang mengenyangkan
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.
Dan
berpuasa bagi tiga golongan tersebut itu lebih baik daripada fidyah karena
puasa merupakan latihan fisik dan jiwa, membentuk ketaqwaan dan mendekatkan
diri kepada Allah.[2]
C.
Ketentuan Mengkodho Puasa
Barang
siapa punya hutang puasa ramadhan lantaran tertimpa udzur syar’i, misalnya
sakit, musafir, haid, nifas, merasa berat mengerjakannya, wanita yang hamil dan
menyusui, maka menurut ulama yang memandang mereka harus mengkodho setelah
udhurnya berakhir agar cepat terbebas dari tanggung jawab dan untuk berpacu
dalam menunaikan kewajiban serta kebajikan.
Adapun
ketentuan bagi orang sakit dan musafir (harus) mengkodho berdasarkan ayat
Al-Qur’an.
“Maka
(wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain.” (Al-Qur’an: 185)
Sedang
ketentuan kodho bagi wanita yang sedang haid dan nifas didasarkan pada sunnah
yang diriwayatkan dari aisyah ra, yaitu ia berkata :[3]
كُنَّا
نَحِيْضُ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةَ
“Kami kaum wanita
biasa haid dizaman Nabi saw, maka kami diperintahkan mengkhodo puasa, tetapi
tidak diperintahkan mengkodho shalat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Menurut
pendapat yang kuat, tidak dianggap dosa orang yang mengakhirkan pelaksanaan
kodho, karena pada prinsipnya kewajiban mengqada adalah tarakhi (diselangi
perbuatan lain), maka boleh saja sebelum mengqdho puasa mengerjakan puasa
tathawwu’.
Kesimpulan
diatas didukung oleh riwayat Aisyah ra. Yang berkata,
كَانَ
يَكُوْنُ عَلَيَّ الصِّيَامُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا اَسْتَطِيْعُ اَنْ اَقْضِيَ
اِلاَّ فِى شَعْبَا نَ
“Saya pernah
berhutang sebagian puasa ramadhan kemudian saya tidak bisa mengqodho(nya)
melainkan pada bulan sya’ban”.
Sedangkan
mereka yang berbuka dengan sengaja tanpa udzur syar’I, misalnya mereka yang
merusak puasanya dengan sengaja lantaran mengejakan sesuatu yang mewajibkan
membayar kafarah, seperti jima’ atau lantaran sesuatu yang tidak diwajibkan
membayar kafarah, seperti makan dan minum. Maka menurut mayoritas fuqoha’,
disamping bayar fidyah, harus mengqodho sebagaimana yang akan kami bahas nanti.
Sehubungan
dengan qodho puasa lebih afdhal mengqodho secara tatabu’ (berturut-turut) agar
selekas mungkin terbebas dari kewajiban dan demi menghindari khilaf. Bahkan
sebagian fuqoha’ mewajibkan berturut-turut, karena qodho sama dengan ada’,
sedangkan ada’ adalah tatabu’ (berturut-turut).[4]
Menurut
jumhur ulama’ salaf dan khalaf, berdasarkan beberapa dalil, tidak harus
tatabu’. Allah berfirman,
“Maka
wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain.” (Al-Baqarah: 185)
Adapun
orang yang mengqodho puasanya kemudian membatalkan puasanya dengan sengaja,
misalnya dengan jima’, maka ia tidak wajib membayar kafarah. Yang demikian itu
karena ada’ adalah mengejakan sesuatu tepat pada yang ditentukan semula.
Berbeda dengan qadha, bagi qadha semua hari adalah sama.
Oleh
karena itu barang siapa belum sempat mengqadha puasa Ramadha hingga dating
bulan Ramadhan berikutnya lantaran ada udzur syar’I maka menurut ijma’ ulama’
adalah tidak mengapa.
Tapi
bila ditunda pelaksanaan qadha puasa itu tanpa udzur syar’i maka ada riwayat
dari sejumlah sahabat yang mengatakan:
1. Dipuasakan
oleh walinya sebagaimana yang diterangkan olehhadist marfu’ dari Aisyah yang
berbunyi:
مَنْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barang siapa meninggal dunia sedangkan ia punya tanggungan
puasa, maka walinya wajib berpuasa untuknya.”
Imam
Al-Bazzar meriwayatkan juga dengan tambahan: insyaa-a (jika ia mau).
Jadi
wali yang berpuasa untuk si mayit sebagai kebaikan baginya, bukan kewajiban
atas diri si wali tersebut. Ini diperkuat oleh riwayat imam Bukhori dan Muslim
dari Ibnu Abbas ra, katanya:[5]
رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَارَسُولَ الله اِنَّ اُمَّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ
شَهْرٍ اَمَا اَقْضِيْهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : فَدَيْنُ الله اَحَقُّ اَنْ يَقْضِيَ.
“datang
seorang sahabat menemui Nabi saw. Lalu bertanya ‘wahai Rasulullah sesungguhnya
ibuku telah meninggal dunia dalam keadaan menanggung (kewajiban) puasa sebulan,
apakah saya boleh puasa untuknya?’ jawab Nabi saw: ‘ya, (itu) hutang kepada
Allah yang lebih berhak ia bayar.’” (HR. Bukhori-Muslim)
Dan
sudah maklum bahwa manusia tidak dituntut membayar hutang orang lain, melainkan
karena sebagai bukti kasih saying dan kesinambungan silaturrahim. Sebab Al-As
bara’atudz dzimmah (pada prinsipnya seorang bebas dari tanggung jawab).
Mukalaaf tidak diwajibkan mengerjakan kewajiban yang harus diemban orang lain.
Yang
benar boleh memuasakan mayit, bukan wajib. Sehingga dengan demikian si mayit
bebas dari tanggung jawab.
2. Bisa
juga dengan cara memberi makan seorang miskin tiap hari yang diniatkan sebagai
ganti kewajiban yang pernah ditinggalkan oleh simayit. Sebab itu adalah hutang
kepada Allah yang lebih berhak untuk dilunasi. Sebagian mempersyaratkan adanya
wasiat dari si mayit. Jika tidak, maka tidak boleh. Sebab itu adalah ahli
waris.
Yang
benar menurut kami, itu menjadi hak ahli waris sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau sudah dibayar hutangnya. Sedang puasa yang belum dikerjakan
itu adalah hutang dan member makan orang miskin adalah hak yang diberikan
kepada orang miskin.
D.
Mengqodho Puasa Menurut Empat Imam
Madzhab
Empat imam madzhab sepakat bahwa
puasa ramadhan adala fardu atas segenap kaum Muslim. Ia merupakan salah satu
dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dilasnakan
oleh setiap Muslim yang telah baig, berakal seahat, suci(tidak sedang haid atau
nifas), bermukim ( tidak dalam perjalanan), dan sanggup mengerjakannya.
Perempuan yang sedang haid dan
nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap mengerjakannya, maka puasanya tidak
sah dan tetap berkewajiban mengqadhanya.
Perempuan
yang sedang hamil dan perempuan yang sedang menyusui anaknya boleh tidak
beruasa jika mereka khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan
anaknya.Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasaya sah. Adapun jika mereka
tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya maka ia wajib
mengqadhanya serta membayar kafarah, yaitu untuk setiap harinya satu mud. Demikian menurut pendapat Syafi’iyang
paling kuat dan Hambali. Hanafiberpendapat : Tidak ada kafarah atas
keduanya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, wajib
kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya,tidak bagi yang sedang
hamil. Kedua, tidak ada kafarah atas keduanya.
Ibn
‘Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, “ Wajib kafarah, tetapi tidak wajib
mengqadha”.
Puasa
bagi Musafir
Empat
imam mazhab sepakat bahwa orang yang sedang
bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak
berpuasa. Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah. Sementara
itu jika mereka berpuasa, padahal puasa itu membahayakan diri mereka, maka
hukumnya adalah makruh.
Sebagian
ulama ahli zahir mengatakan : tidak sah puasa dalam
safar.
Al-
Awza’i berpendapat: Tidak berpuasa bagi
orang yang bepergian adalah lebih utama secara mutlak.
Menurut
tiga imam mazhab: barang siapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia
melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasa nya.Hambali:
Ia membatalkan puasanya. Inilah pendapat al-Muzni.
Apabila
musafir yang tidak berpuasa telah sampai di tempat tujuannya, orang sakit sudah
sembuh, anak-anak sudah balig, orang kafir masuk Islam, atau perempuan haid
telah suci pada pertengahan siang, mereka wajib imsak, yaitu menahan diri dari hal-hal
yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Maliki berpendapat: Disukai imsak. Ini juga pendapat paling saih dari Syafi’i.
Apabila orang murtad kembali masuk Islam maka
ia wajib mengsadha puasa yang ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut tiga imam mazhab. Hanafi berpendapat: Tidak wajib mengqadhanya.
Puasa
Anak kecil, Orang Gila, Orang Sakit
Empat
Imam Mazhab sepakat bahwa anak kecil yang belum
mampu berpuasa dan orang gila yang terus-menerus tidak dikenai kewajiban puasa.
Tetapi, anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur
tujuh tahun dan dipukul jika (tidak berpuasa) pada umur sepuluh tahun.
Hanafi
berpendapat:
tidak sah puasa anak kecil. Jika orang gila sembuh dari gilanya maka ia tidak
wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya. Demikian menurut pendapat Hanafi
dan Syafi’i. Maliki berpendapat:
Wajib qadha. Hambali memiliki dua riwayat.
Orang
sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa,
tetapi diwajibkan membayar fidyah. Demikian pendapat Hanafi. Seperti itu
juga pendapat aling sahih dari Safi’i.
Hanafi
: Fidyah terseut adalah setengah sha’ gandum setiap hari.Sedangkan menurut Syafi’i:
Satu mud .
Maliki:
Tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.Demikian juga salah satu
pendapat Syafi’i.
Hambali:
Ia
harus memberi makan 1 sha’ kurma atau 1 mud gandum.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Allah
menjelaskan alasan seseorang untuk berpuasa bila karena dua alasan tersebut
seseorang tidak berpuasa maka hendaknya ia mengganti (mengqodho’ puasa) pada
bulan yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Adapun
ketentuan bagi orang yang sakit dan musafir harus mengqodho sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari yang lain sedang ketentuan qadha bagi wanita yang sedang
haid dan nifas maka kami diperintahkan mengqadha puasa tetapi tidak
diperintahkan mengqadha shalat.
Puasa
bagi musafir menurut empat imam madzhab sepakat bahwa orang yang sedang
bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak
berpuasa maka puasanya sah.
DAFTAR
PUSTAKA
Yusuf
Qardhawi, Fiqih Puasa, Era
Intermedia, Surakarta, 1998
QS.
Al-Baqarah ayat 184-185
Syaikh
al-“allamah muhammad, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi.Jl.Bojong koncor 44.
Bandung, 2001.
Www.Almuhajirin.Ac.Id/2014/07
Tafsir.Qs –Al-Baqarah-Ayat-184-185.Html
No comments:
Post a Comment