PENGARUH
PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP POLA KEHIDUPAN MANUSIA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah : Profesi Keguruan
Dosen Pengampu: Izah Ulya Qodam, M.Pd.I
Disusun Oleh kelompok 10:
1.
Nuur Laila Nihayatus Suroyya :112150
2.
Chusaini Hanifah :112152
3.
Ainun Najib :112165
4.
Siska Rahmawati :112174
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat sebagai jenis pengetahuan yang berusaha
mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran. Jadi
pada hakikitnya berfilsafat adalah berfikir secara mendalam untuk memecahkan
suatu hal, atau pengetahuan yang ingin mengetahui segala sesuatu secara
mendalam.[1]
Ada banyak manfaat yang bisa kita ambil dalam
mempelajari filsafat, yang merupakan manfaat dari mempelajari filsafat adalah,
agar terlatih berfifkir serius, agar mampu memahami filsafat, agar memjadi
filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik. Dengan mempelajari filsafat
kita dapat berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan
menggunakan pemikiran secara serius.
Dalam kehidupan masyarakat filsafat mempunyai peran
dalam kehidupan masyarakat, yang akan mempebgaruhi pola pemikiran dari masyarakat
itu sendiri, dalam masyarakat berfilsafat dpt melatih memecahkan dan mencari
kebenaran dalam masalah yang timbul dari dan dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri, dengan ini filsafat mempunyai pengaruh terhadap pola pemikiran dalam
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dan ruang lingkup filsafat manusia ?
2. Bagaimana
ciri-ciri filsafat manusia ?
3. Bagaimana
peran filsafat
terhadap pola fikir Dan pola hidup manusia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat Manusia
Manusia
sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal budi dan kemauannya sangat
kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai
dan mengungguli makhluk lain. Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia
merupakan sumber pengetahuan karena dari manusialah, pendidikan dilahirkan
pertama kali, bahkan orang-orang sufi mengatakan, “Barang siapa ingin
mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa manusia,” (man arrafa rabbahu
arrafa nafsahu).[2]
Hampir
semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang
makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannnya
adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Menurut tinjauan Islam,
manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturrahmi
dan pengabdi Tuhan. Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna
dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu
manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana
kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap
benar.
Ilmu
yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam
hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas, yaitu:
a. Pertama,
aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah
zat atau materi. Alam ini adalah zat
atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu
manusia adalah zat atau materi.
b. Kedua,
aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada
di dunia ini adalah roh. Hakikat manusia juga roh. Sementara zat adalah
manifestasi roh. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga,
lebih tinggi nilainya daripada materi. Dengan demikian, aliran ini menganggap
roh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
c. Ketiga, aliran
dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari
dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi badan tidak berasal roh dan roh tidak berasal dari badan.
d.
Keempat, aliran
eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia
merupakan eksistensi dari rumah. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Di
sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau
dualisme, tapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.[3]
Manusia memiliki salah satu sifat yang paling esensial,
yaitu berpikir, dan lahirnya filsafat
pendidikan tentang manusia berasal dari pemikiran manusia tentang jati dirinya yang unik dan misterius.
Dalam
perspektif pendidikan, mempelajari jati diri manusia sangat penting karena
alasan berikut:
1. Semua
manusia tercipta dalam keadaan tiak memiliki ilmu pengetahuan.
2. Manusia
terlahir dalam keadaan fitrah.
3. Manusia
diwajibkan mencari ilmu, sumber ilmu berasal dari Allah.
4. Belajar
dan mengamati jiwa manusia merupakan metode mengesakan Tuhan.
5. Manusia
berasal dari Tuhan.
Dalam
filsafat pendidikn tentang manusia, hal mendasar yang juga dikaji secara
mendalam adalah persoalan yang berkenaan dengan sistem kehidupan manusia menuju
kehidupan yang lebih baik. Hal ini karena Allah SWT menciptakan manusia dengan
sebaik-baik bentuk, dan manusia harus mempertahankannya. Tanggung jawab hakiki
dari eksistensinya di dunia adalah memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar ia
meraih nilai-nilai moral yang sejati
sehingga ia pantas disebut sebagai manusia sejati. Penerimaan sebuah nilai erat
kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari
pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya akan kebenaran sehingga ia
menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupannya di
dunia. Dengan cara demikian, manusia dapat hidup dengan cara yang baik dan
pantas setiap saat.
Dalam
filsafat pendidikan, manusia yang berhubungan dengan perbuatan moral mengarah
pada peralihan kebahagiaan seseorang yang bernilai teleologis. Perilaku yang
baik, yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang terealisasikan dalam kehidupan
yang bahagia menjadi relatif bagi setiap kepentingan individu, bahkan bersifat
individualistis dan relatif. Dengan demikian, dalam filsafat pendidikan, moral
diarahkan pada tujuan utama pendidikan, yaitu membina dan mengembangkan tingkah
laku yang mandiri, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab.
Tujuan
filsafat pendidikan tentang manusia mengarahkan pembentukan tingkah laku
manusia yang rasional, adaptif dengan alam, selektif dengan perubahan, berjiwa
reformis, modernis, kritis, dan progresif. Manusia diarahkan pada pembentukan
pola kehidupan yang mandiri dengan moralitas yang tinggi dan universal, yaitu
kebaikan yang tidak mengenal batas, ruang, dan waktu.[4]
2.
Ciri-Ciri
Filsafat Manusia
Ciri-cri
filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan
kritis.
Ciri
pertama, Ciri ekstensif filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya
jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat ini.
Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas
manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia tidak
menyoroti aspek-aspek tertentu dari gejala dan kejadian manusia secaa terbatas.
Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanian (kejiwaan dan kebutuhan),
kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta dimensi-dimensi
seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan
dan simbolisme semuanya itu ditempatkan dalam
kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian disoroti secara integral
oleh filsafat manusia.
Ciri
kedua, penjelasannya yang intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan
intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau sturuktur
dasar, yang melandasi segenap pernyataan. Dalam hubungannya dengan filsafat
manusia, dapatlah kita katakan, bahwa filsafat manusia hendak mencari inti,
hakikat (esensi), akar, atau stuktur dasar yang melandasi kenyataan manusia ,
baik yang tampak pada gelaja kehidupan sehari-hari (pra ilmiah) maupun, yang
terdapat didalam data-data dan teori-teori ilmiah.
Ciri
ketiga kritis, filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya
(sintesa dan refleksi) dan dua cirri yang terdapat didalam isi atau hasil
filsafatnya (ekstensif dan intensif). Karena tujuan filsafat manusia pada taraf
akhir tidak lain adalah untuk memahami diri manusia sendiri atau pemahaman
diri, amaka hal apa saja (apakah itu berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau
ideologi), yang langsung maupuntidak langsung berhubungan dengan pemahaman diri
manusia, tidak luput dari kritik filsafat.
Manfaat
mempelajari filsafat manusia:
a. Manfaat
praktis
Filsafat
manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara
menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahuisiapakah sesungguhnya diri kita di
dalam pemahaman tentang manusia yan menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian
pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis
dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil makna
dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani, dalam menentukan
arah dan tujuan hidup kita, yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan
secara pasti.
b. Manfaat
teoritis
Fisafat
manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia
sehingga dalam gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang
tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmu-ilmu tentang manusia.[5]
3.
Peran Filsafat
Terhadap Pola Pikir Dan Pola Hidup Manusia
Banyak orang yang sering kali
mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa
fungsi atau perannya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu
merupakan pertanyaan yang wajar dan tidak salah. Karena selama seseorang belum
mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan
cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan
mungkin mampu untuk memahaminya dengan baik.
Irmayanti M Budianto pernah mencatat beberapa peran
filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:
a. Filsafat atau berfilsafat mengajak
manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang
dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh
dengan mudah.
b. Berfilsafat dapat membentuk
pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup
dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c. Filsafat dapat membentuk sikap
kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat,
komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak
terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
d. Terutama bagi para ilmuwan ataupun
para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara
komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan
di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era
globalisasi, ketika berbagai kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin
melanda dalam kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap
kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu pengetahuan
berikut para ilmuannya.[6]
Dalam pandangan Hamami dan Wibisono,
filsafat melalui metode-metode
pemikirannya tidak akan dapat langsung mempersembahkan programe-programme
kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara praktis dan konkret
sebagaimana halnya dengan ekonomi, teknik dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya.
Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang abstrak dengan lemparan analisis-analisis
kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang telah terbiasa untuk
berpikir secara praktis, merupakan salah satu sebab mengapa para ahli filsafat
terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan strategi
pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme-programme kegiatan yang sudah
bersifat teknis operasional.
Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang
paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. Dengan
berpikir secara abstrak spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan
masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru dapat melihat sesuatu
permasalahan dari semua dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh
ilmu-ilmu lain dapat pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat adalah
menunjukkan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya
akan disertai dengan berbagai alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana
yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan.[7]
Apabila kita
berbicara mengenai peran filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat
mungkin hanya dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya dekadensi moral,
menjelaskan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, menerangkan cara-cara
penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung
kepada manusianya sendiri.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal
budi dan kemauannya sangat kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya,
manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain.
Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia merupakan sumber pengetahuan karena
dari manusialah, pendidikan dilahirkan pertama kali, bahkan orang-orang sufi
mengatakan, “Barang siapa ingin mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa
manusia,” (man arrafa rabbahu arrafa nafsahu).
2. Ciri-cri
filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan
kritis.
a.
Ciri pertama, Ciri ekstensif filsafat
manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek
kajian yang digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran
menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia.
b.
Ciri kedua, penjelasannya yang intensif
(mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti
hakikat (esensi), akar, atau sturuktur dasar, yang melandasi segenap
pernyataan.
c.
Ciri ketiga kritis, filsafat manusia
berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan dua
cirri yang terdapat didalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan
intensif).
3. Peran
filsafat dalam pola kehidupan manusia:
a.
Filsafat
atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat
berbagai masalah yang dihadapinya.
b.
Berfilsafat
dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar
pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.
Filsafat
dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya
d.
Terutama
bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk
menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai
permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun
kajian ilmiah lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan
Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Yogyakarta:
Liberty.
Ahmad
Tafsir. 2003. Filsafat Umum (Akal dan
Hati Sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Anas Salahudin. 2011. Filsafat Pendidikan., Bandung: Pustaka
Setia.
Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis
atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Jalaludin dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Zainal
Abidin. 2000. Filsafat Manusia (Memahami
manusia Melalui Filsafat). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales
sampai Capra), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hlm 9
[2] Anas
Salahudin, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm 91-92.
[3] Jalaludin dan
Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm 129-130.
[4] Anas
Salahudin, Op. Cit., hlm 94-99.
[5] Zainal Abidin, Filsafat manusia (Memahami manusia Melalui
Filsafat), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm 10-16.
[6] Budianto, Irmayanti M, Realitas
dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah, Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2002, hlm 53.
[7] Abbas dan Koento Wibisono, “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan”
dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta: Liberty, 1986,
hlm 64.