Tuesday, March 1, 2016

makalah pengaruh penelitian filsafat


PENGARUH PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP POLA KEHIDUPAN MANUSIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Profesi Keguruan
Dosen Pengampu: Izah Ulya Qodam, M.Pd.I




                                                            Disusun Oleh kelompok 10:
1.      Nuur Laila Nihayatus Suroyya           :112150
2.      Chusaini Hanifah                                :112152
3.      Ainun Najib                                        :112165
4.      Siska Rahmawati                                :112174


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Filsafat sebagai jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran. Jadi pada hakikitnya berfilsafat adalah berfikir secara mendalam untuk memecahkan suatu hal, atau pengetahuan yang ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam.[1]
Ada banyak manfaat yang bisa kita ambil dalam mempelajari filsafat, yang merupakan manfaat dari mempelajari filsafat adalah, agar terlatih berfifkir serius, agar mampu memahami filsafat, agar memjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik. Dengan mempelajari filsafat kita dapat berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius.
Dalam kehidupan masyarakat filsafat mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat, yang akan mempebgaruhi pola pemikiran dari masyarakat itu sendiri, dalam masyarakat berfilsafat dpt melatih memecahkan dan mencari kebenaran dalam masalah yang timbul dari dan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, dengan ini filsafat mempunyai pengaruh terhadap pola pemikiran dalam masyarakat.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan ruang lingkup filsafat manusia ?
2.      Bagaimana ciri-ciri filsafat manusia ?
3.      Bagaimana peran filsafat terhadap pola fikir Dan pola hidup manusia ?



BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal budi dan kemauannya sangat kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain. Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia merupakan sumber pengetahuan karena dari manusialah, pendidikan dilahirkan pertama kali, bahkan orang-orang sufi mengatakan, “Barang siapa ingin mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa manusia,” (man arrafa rabbahu arrafa nafsahu).[2]
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannnya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Menurut tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturrahmi dan pengabdi Tuhan. Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas, yaitu:
a.       Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu manusia adalah zat atau materi.
b.      Kedua, aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah roh. Hakikat manusia juga roh. Sementara zat adalah manifestasi roh. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
c.       Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal roh dan roh tidak berasal dari badan.
d.      Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari rumah. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme, tapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.[3]
Manusia memiliki salah satu sifat yang paling esensial, yaitu  berpikir, dan lahirnya filsafat pendidikan tentang manusia berasal dari pemikiran manusia tentang jati dirinya yang unik dan misterius.
Dalam perspektif pendidikan, mempelajari jati diri manusia sangat penting karena alasan berikut:
1.      Semua manusia tercipta dalam keadaan tiak memiliki ilmu pengetahuan.
2.      Manusia terlahir dalam keadaan fitrah.
3.      Manusia diwajibkan mencari ilmu, sumber ilmu berasal dari Allah.
4.      Belajar dan mengamati jiwa manusia merupakan metode mengesakan Tuhan.
5.      Manusia berasal dari Tuhan.
Dalam filsafat pendidikn tentang manusia, hal mendasar yang juga dikaji secara mendalam adalah persoalan yang berkenaan dengan sistem kehidupan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Hal ini karena Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan manusia harus mempertahankannya. Tanggung jawab hakiki dari eksistensinya di dunia adalah memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar ia meraih  nilai-nilai moral yang sejati sehingga ia pantas disebut sebagai manusia sejati. Penerimaan sebuah nilai erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya akan kebenaran sehingga ia menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupannya di dunia. Dengan cara demikian, manusia dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.
Dalam filsafat pendidikan, manusia yang berhubungan dengan perbuatan moral mengarah pada peralihan kebahagiaan seseorang yang bernilai teleologis. Perilaku yang baik, yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang terealisasikan dalam kehidupan yang bahagia menjadi relatif bagi setiap kepentingan individu, bahkan bersifat individualistis dan relatif. Dengan demikian, dalam filsafat pendidikan, moral diarahkan pada tujuan utama pendidikan, yaitu membina dan mengembangkan tingkah laku yang mandiri, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab.
Tujuan filsafat pendidikan tentang manusia mengarahkan pembentukan tingkah laku manusia yang rasional, adaptif dengan alam, selektif dengan perubahan, berjiwa reformis, modernis, kritis, dan progresif. Manusia diarahkan pada pembentukan pola kehidupan yang mandiri dengan moralitas yang tinggi dan universal, yaitu kebaikan yang tidak mengenal batas, ruang, dan waktu.[4]

2.    Ciri-Ciri Filsafat Manusia
Ciri-cri filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis.
Ciri pertama, Ciri ekstensif filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek-aspek tertentu dari gejala dan kejadian manusia secaa terbatas. Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanian (kejiwaan dan kebutuhan), kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan dan simbolisme  semuanya itu ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian disoroti secara integral oleh filsafat manusia.
Ciri kedua, penjelasannya yang intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau sturuktur dasar, yang melandasi segenap pernyataan. Dalam hubungannya dengan filsafat manusia, dapatlah kita katakan, bahwa filsafat manusia hendak mencari inti, hakikat (esensi), akar, atau stuktur dasar yang melandasi kenyataan manusia , baik yang tampak pada gelaja kehidupan sehari-hari (pra ilmiah) maupun, yang terdapat didalam data-data dan teori-teori ilmiah.
Ciri ketiga kritis, filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan dua cirri yang terdapat didalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif). Karena tujuan filsafat manusia pada taraf akhir tidak lain adalah untuk memahami diri manusia sendiri atau pemahaman diri, amaka hal apa saja (apakah itu berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau ideologi), yang langsung maupuntidak langsung berhubungan dengan pemahaman diri manusia, tidak luput dari kritik filsafat.
Manfaat mempelajari filsafat manusia:
a.    Manfaat praktis
Filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahuisiapakah sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia yan menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani, dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita, yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan secara pasti.
b.    Manfaat teoritis
Fisafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia sehingga dalam gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmu-ilmu tentang manusia.[5]

3.    Peran Filsafat Terhadap Pola Pikir Dan Pola Hidup Manusia
Banyak orang yang sering kali mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa fungsi atau perannya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang wajar dan tidak salah. Karena selama seseorang belum mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memahaminya dengan baik.
Irmayanti M Budianto pernah mencatat beberapa peran filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:
a.    Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.
b.    Berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.    Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
d.   Terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika berbagai kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu pengetahuan berikut para ilmuannya.[6]
Dalam pandangan Hamami dan Wibisono, filsafat  melalui metode-metode pemikirannya tidak akan dapat langsung mempersembahkan programe-programme kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara praktis dan konkret sebagaimana halnya dengan ekonomi, teknik dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya. Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang abstrak dengan lemparan analisis-analisis kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang telah terbiasa untuk berpikir secara praktis, merupakan salah satu sebab mengapa para ahli filsafat terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan strategi pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme-programme kegiatan yang sudah bersifat teknis operasional.
Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. Dengan berpikir secara abstrak spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru dapat melihat sesuatu permasalahan dari semua dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh ilmu-ilmu lain dapat pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat adalah menunjukkan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya akan disertai dengan berbagai alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan.[7]
Apabila kita berbicara mengenai peran filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat mungkin hanya dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya dekadensi moral, menjelaskan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, menerangkan cara-cara penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung kepada manusianya sendiri.






















BAB III
PENUTUP

Simpulan
1.      Manusia sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal budi dan kemauannya sangat kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain. Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia merupakan sumber pengetahuan karena dari manusialah, pendidikan dilahirkan pertama kali, bahkan orang-orang sufi mengatakan, “Barang siapa ingin mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa manusia,” (man arrafa rabbahu arrafa nafsahu).
2.      Ciri-cri filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis.
a.       Ciri pertama, Ciri ekstensif filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia.
b.      Ciri kedua, penjelasannya yang intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau sturuktur dasar, yang melandasi segenap pernyataan.
c.       Ciri ketiga kritis, filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan dua cirri yang terdapat didalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif).
3.      Peran filsafat dalam pola kehidupan manusia:
a.       Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya.
b.      Berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.       Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya
d.      Terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya.
























DAFTAR PUSTAKA
Abbas dan Koento Wibisono. 1986.  “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Yogyakarta: Liberty.
Ahmad Tafsir. 2003. Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Anas Salahudin. 2011. Filsafat Pendidikan., Bandung: Pustaka Setia.
Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Jalaludin dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Zainal Abidin. 2000. Filsafat Manusia (Memahami manusia Melalui Filsafat). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
















[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hlm 9
[2] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm 91-92.
[3] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm 129-130.
[4] Anas Salahudin, Op. Cit., hlm 94-99.
[5] Zainal Abidin, Filsafat manusia (Memahami manusia Melalui Filsafat), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm 10-16.
[6] Budianto, Irmayanti M, Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002, hlm 53.
[7] Abbas dan Koento Wibisono,  “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm 64.

makalah metode penelitian filsafat


A.    PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia,  ilmu pengetahuan merupakan upaya khusus manusia untuk menyingkapkan realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu sama lain, membangun dialog dengan mengakui yang lain, dan meningkatkan harkat kemanusiaannya. Mengetahui secara ilmiah itu bukan menjadi lingkup mengadanya manusia yang lengkap, akan tetapi merupakan suatu sarana yang memungkinkan mengadanya dan tindakan manusia. Paling tidak itu meliputi tiga macam pengetahuan pendukung.
Pertama, dorongan untuk mengetahui justru lahir dari keterpaksaan untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, manusia juga mengalami kebutuhan yang lebih mendalam, yaitu untuk menemukan tata susunan yang sesungguhnya dalam kenyataannya. Ketiga, dorongan untuk mengetahui menyangkut penelitian mengenai realisasi mengadanya manusia. Maka dengan pengetahuannya manusia melakukan transendensi terhadap realitas seperti adanya, dan ia menuju kearah kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap realitas yang dialaminya itu.[1]
Dengan jalan refleksi itu filsafat dapat memberikan suatu pandangan hidup. Tetapi hasil filsafat berbeda dari pengertian awam tentang pandangan hidup, sebab filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat realitas secara sistematis-metodis, oleh karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan.[2] Untuk itu pemakalah akan menbahas tema yang berhubungan dengan ilmu filsafat, adapun tema dalam pembahasan ini yaitu metodologi penelitian filsafat. Dimana tema tersebut pemakalah  akan mencoba menyelaraskan dengan profesi keguruan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana maksud dari metode penelitian filsafat?
2.      Bagaimana metode-metode penelitian filsafat?
3.      Bagaimana filsafat profesi keguruan?


C.    PEMBAHASAN
C.1 Metode Penelitian Filsafat
Metode menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dari ilmu pengetahuan); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (jalan, menuju, melalui, mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos (perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.  Sehingga metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksud metode ialah: supaya kegiatan praktis terlaksanakan secara rasional dan terarah, agar mencapai hasil yang optimal.
Khususnya arti metode berlaku bagi ilmu pengetahuan sebagai bidang atau daerah terbatas didalam keseluruhan pengertian manusia. Metode ilmiah adalah sistem aturan yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu.[3]
Metode yang dimaksud disini adalah suatu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran seperti ini merupakan tujuan yang telah ditentukan pada saat pendekatan dilakukan. Jadi, dalam metode ilmu pengetahuan  itu seharusnya ditentukan pula jenis, bentuk dan sifatnya oleh obyek forma (cara pandang) yang dilakukan.[4] Metode adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Jika jalan yang ditempuh dalam penelitian tidak sampai pada suatu kesimpulan  ilmiah hal itu tidak dapat dikatakan sebagai metode.[5]
Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia  merupakan suatu masalah secara bersistem, kritis,  dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapat fakta baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Dasar penelitian ilmiah untuk mencari ilmu pengetahuan baru; pencarian yang bersistem untuk menemukan tantangan hal yang belum diketahui. Penelitian dalam tinjauan sosial adalah suatu proses yang berupa suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan permasalahan atau mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut.[6]
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan adanya kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup. Sebagaimana menurut Van Peursen;1985 dikutip dalam buku yang berjudul Metodologi Penelitian Filsafat, bahwa ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung didapat dialam sekitar. Lewat observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai, kemudian digolongkan menurut kelompok tertentu, sehingga dapat dipergunakan.
Pada pokoknya kegiatan penelitian merupakan upaya untuk merumuskan permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan jalan menemukan fakta-fakta dan memberikan penfsiran yang benar. Tetapi lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus menerus memperbaharui lagi kesimpulan dan teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta dan kesimpulan yang telah diketemukan. Tanpa usaha peneliti itu ilmu pengetahuan akan mandeg, bahkan akan surut kebelakang.[7]
Andi Hakim Nasution menulis dalam buku Metodologi Penelitian Filsafat sebagai berikut: “Darma penelitian dilaksanakan untuk  menyelenggarakan pendidikan menuju penghasilan tenaga yang terlatih dalam usaha penelitian dan penerapan penelitian. Darma penelitian seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi  melalui usaha terus menerus tenaga akademiknya untuk mengadakan penelitian didalam bidang ilmunya dengan sasaran ganda. Sasaran pertama ialah untuk menghasilkan pengetahuan baru yang dapat memajukan cakrawala pengetahuan batas-batas ketidaktahuan, sedangkan sasaran kedua ialah agar tenaga akademik itu selalu ada ditengah-tengah perkembangan  ilmu yang diasuhnya agar dia dapat mendidik mahasiswa asuhannya menjadi ilmuwan baru. Darma ketiga ialah pengabdian pada masyarakat yang maksudnya ialah agar semua pengetahuan baru yang ditemukan darma penelitian dapat disampaikan dan diterapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dikalangan masyarakat yang memerlukannya, serta agar interaksi  yang timbul dapat mencetuskan  permasalaahan baru sebagai bahan penelitian selanjutnya”.
Akhirnya sebagai darma utama, darma pendidikan dilaksanakan atas dasar adanya kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan maksud menghasilkan ilmuwan dan teknologi baru untuk berkelanjutannya usaha-usaha berkelanjutannya. Oleh karena itu, bermanfaatlah untuk mengkaji ketiga tugas Perguruan Tinggi di Indonesia, yang terkenal sebagai  Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.[8]
Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sedangkan kebutuhan manusia adalah sesuatu yang berkembang didalam dan bersama dengan perkembangan kebudayaan. Maka manusia selalu berupaya berdasarkan  disiplin metodologi ilmiah, dengan tujuan menemukan prinsip-prinsip baru untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan kebutuhannya. Itulah yang disebut penelitian.[9]
Filsafat secara bahasa berasal dari kata Yunani “philosophia” dari kata “philein” artinya mencintai, atau “philia” yang berarti cinta, dan “sophia” yang berarti kearifan. Yang kemudian menjadi kata “philosophy” (dalam bahasa inggris). Filsafat biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan atau kebijaksanaan”. Lalu orang yang mencintai kebijaksanaan itu disebut filsuf (philosopher) atau ahli pikir.[10]
Kebijaksanaan atau kearifan, yang dalam bahasa Inggis disebut “wisdom” yang berarti “accumulated philosophic or scientific learning” (perhimpunan kefilsafatan atau studi pengetahuan ilmiah). Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (1979) dijelaskan bahwa kata “wisdom” terkandung suatu pengetahuan  ilmiah, yaitu suatu pengetahuan yang benar secara metodologis dan sistematis. Pengetahuan yang demikian dapat diterima oleh akal sehat (logika) dan dapat diuji secara empiris. Selanjutnya, jika pengetahuan ini menyatu dengan kepribadian seseorang, maka orang tersebut cenderung bertingkah laku bijaksana.
Tingkah laku bijaksana merupakan suatu wujud atau bentuk yang berasal dari pemikiran-pemikiran mendalam atau pertimbangan-pertimbangan yang sangat hati-hati. Tindkan bijaksana adalah tingkah laku yang benar, yang baik, dan yang indah. Dengan nilai kebenaran, maka suatu tingkah laku itu secara tepat terarah kepada sasaran; dengan nilai kebaikan, suatu perbuatan menjadi berguna; dan dengan nilai keindahan, suatu perbuatan membuat kesemarakan, tidak memaksa, wajar dan selalu menarik bagi siapapun. Orang yang selalu bertingkah laku bijaksana sering disebut sebagai orang saleh.
Dari kata “cinta” dan “kebijaksanaan” dapat dipahami secara jelas bahwa ada kecenderungan secara terus menerus untuk menyatu dengan pengetahuan ilmiah yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Jadi, seorang filsuf adalah orang yang secara terus menerus berkecenderungan untuk menyatukan dirinya dengan pengetahuan ilmiah yag benar, baik, dan indah. [11]
Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi tentang realitas yang dihadapi manusia. Kebanyakan cabang ilmu mencari pemahaman untuk langsung dapat diterapkan dan bertindak dalam hidup sehari-hari. Tetapi diantaranya filsafat adalah kegiatan refleksi. Filsafat itu memang kegiatan akal budi, tetapi lebih berupa perenungan dan suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum tadi. Yang direfleksikan adalah pada prinsipnya apa saja, tanpa terbatas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya ialah memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna, dan inti segala inti. Oleh karena tu filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Itu meliputi hakekat manusia itu sendiri, hakekat semesta, bahkan hakekat Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun menurut segi normatifnya.
Dari satu pihak justru di sinilah letak kekuatan filsafat sebagai suatu ilmu: karena menjadi sistematisasi pandangan hidup secara menyeluruh. Maka terdapat keterlibatan erat antara filsuf dengan ilmu yang digelutinya. Dari lain pihak dapat disebut sebagai kelemahan filsafat, bahwa sebagai akibat keterlibatan erat tersebut, filsafat akan memperlihatkan julah aliran dan sistem serta variasi metode yang besar. Ini merupakan perbedaan mencolok antara filsafat dan ilmu pengetahuan lain, khususnya eksakta, yang tidak memiliki pengalaman hubungan pribadi seperti filsafat berhubungan dengan yang menekuninya. Hanya ilmu sosial dan human mendekati filsafat dalam hal ini.
Maka sesungguhnya sangat ideallah pendapat yang menyatakan, bahwa ilmu filsafat itu bersifat personal. Dan dengan demikian tujuan pendalaman dalam ilmu filsafat ialah agar mengantar dan membimbing orang yang mempelajarinya, untuk menjalankan filsafat secara pribadi. Tetapi sifat personal ini untuk kondisi tertentu mengandung  kelemahan, karena bisa mengaburkan arti “kebenaran” sebagai tujuan utama segala ilmu pengetahuan, termasuk filsafat itu sendiri.[12]
Dari penjelasan diatas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwa metode penelitian filsafat ialah suatu jalan atau cara berfikir secara sistematis untuk mencari pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan filsafat. Kemudiaan pemakalah akan mencoba menyelaraskan metode penelitian filsafat dengan profesi keguruan, bahwa dalam keguruan merupakan suatu kegiatan yang sistematis dimana terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain, dan unsur tersebut berfungsi sesuai dengan kegunaan masing-masing. Dan dalam menggunakan unsur-unsur tersebut terdapat beberapa langkah atau cara untuk melakukan hal tersebut. Seperti guru membutuhkan beberapa metode untuk digunakan dalam proses pembelajarannya, supaya peserta didik paham materi dengan melalui metode tertentu. Dan melakukan metode tersebut, terdapat beberapa pendekatan, strategi dan taktik tertentu dalam suatu proses pembelajaran.
Filsafat merupakan cinta dan kebijaksanaan, maka sebagai seorang guru setidaknya cinta akan profesinya, dan mencintai kebijaksanaan. Baik kebijaksanaan pada peserta didiknya, materi yang diajarkannya, perilaku yang profesional, dan lain sebagainya.

C.2  Metode-Metode Penelitian Filsafat
a. Metode Induksi-Deduksi
1. Metode Induksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Penarikan kesimpulan secara umum itu seperti “perunggu itu bila dipanaskan akan memuai, perak bila dipanaskan juga memuai, begitu pula emas dan jenis logam lainnya, dengan demikian semua logam, apabila dipanaskan, akan memuai pula.
Profesi keguruan metode induksi ini sebagai contoh bahwa seorang pendidik itu harus berfikir  secara sistematis dalam pembelajaran. Dalam metode ini seorang pendidik harus menafsirkan segala sesuatu yang harus dimengerti murid. Dalam metode ini tugas
Dikaitkan dengan profesi keguruan maka profesi guru melihat atau mengamati problematika-problematika yang berkaitan dengan profesi keguruan dan kemudian disimpulkan problematika ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Seperti halnya tentang adanya masalah dalam materi  yang disampaikan kepada peserta didik sulit dipahami oleh peserta didik, atau metode yang digunakan guru kurang efektif. Maka dari beberapa madrasah atau sekolah mengadakan kegiatan MGMP.

2.      Metode Deduksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertititk tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.[13]
Metode ini jika diterapkan dalam profesi keguruan akan memberikan pengertian bahwa pendidik itu harus berfikir secara sistematis, yang mana seorang pendidik harus menjelaskan pada pendidik yang sifatnya masih dalam kondisi umum dan tugas pendidik adalah menafsirkan dalam bentuk khusus.
Dalam profesi keguruan, metode ini misalnya problem dalam kurikulum 2013 yang mana banyak para guru yang belum mengerti dan memahami tentang pelaksanaan kurikulum 2013. Sehingga dari pihak pemerintah mengadakan sosialisasi kurikulum 2013 dengan perwakilan dari masing-masing pihak sekolah mendelegasikan kurang lebihnya 3 orang dimana guru yang dipilihnya untuk mengikuti sosialisasi kurikulum 2013 dengan keriteria tertentu.

b.      Metode Analisis-Sintesis
1.      Metode Analisis
Adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya.[14]

2.      Metode Sintesis
Adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan imiah dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula berarti cara penanganan terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabung-gabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan yang sifatnya sama sekali. Maksud sintesis yang pokok adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia.[15]

c.       Metode Kualitatif-Kuantitatif
1.      Metode Kualitatif
Metode kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Metode kualitatif ini lebih fleksibel digunakan dalam penelitian kefilsafat karena adanya beberapa pertimbangan antara lain :
-          Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah untuk dihadapkan kepada kenyataan.
-          Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, peneliti sebagai subyek dapat berdialog dengan responden sebagai obyek. Obyek dapat mengungkapkan dirinya secara langsung kepada subyek.
-          Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman-penajaman terhadap pola nilai-nilai yang diperlukan oleh peneliti.[16]

2.      Metode Kuantitatif
Penelitian kuantitatif, secara praktis istilah observasi diasosikan dengan istilah “pengukuran” (measurement).
Penelitian kuantitatif memiliki beberapa ciri, antara lain :
1)      Dapat menyokong penggunaan metode kualitatif
2)      Menggunakan logika positivisme dan menghindari sifat-sifat subyektif
3)      Menggunakan pengukuran yang terkendali
4)      Obyektif
5)      Data dipandang dari sudut pandang (visi) orang luar atau peneliti
6)      Berwawasan verivikasi, penegasan, penyederhanaan, inferensial dan hipotesis-deduktif
7)      Berorientasi pada tujuan akhir
8)      Terpercaya, data merupakan replika
9)      Mengeneralisasikan sebagai studi kasus
10)  Bersifat khusus
11)  Bertitik tolak pada anggapan bahwa realitas itu stabil.[17]
Perkembangan zaman yang dinamis pendidikan akan mengalamai problematika khususnya dalam profesi keguruan. Maka dengan adanya metode ini yang disesuaikan dengan kualifikasi guru yang dituntut untuk memenuhi pendidikan S-1, dimana syarat kelulusan S-1 harus melakukan penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif.
d.      Metode Hermeneutik
Secara etimologi, kata hermeneutik berasal dari yunani hermeneutik  yang berarti menafsirkan, kata bendanya hermeneia, secara harfiah dapat diartikan “penafsiran” atau interpretasi, sedangkan orang atau penafsiranya disebut hermeneut. Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[18] Istilah yunani tersebut mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu suatu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermess digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih bnayak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterprestasikan sebuah pesan keda;am bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu, hermenutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[19]
            Pendidik haruslah menjadi seorang hermeneut bagi peserta didiknya, yang mana pendidik itu menjadi penafsir bagi  peserta didiknya. Dimulai dari ketidaktahuan peserta didik menjadi tahu. Dari sinilah tugas dari seorang keprofesionalan seorang guru.
Dari pengertian diatas maka seorang pendidik juga bisa dikatakan sebagai tangan Tuhan karena seorang pendidik selain mentransfer ilmu pengetahuan, pendidik juga sebagai penafsir dari bahasa Tuhan kepada bahasa yang dapat dipahami peserta didik.

C.3 Filsafat Profesi Keguruan
Dalam filsafat profesi keguruan, pemakalah mengambil dari aliran-aliran filsafat pendidikan. Diantaranya adalah sebagai berikut;
a.       Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir.  Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar didalam kelas dengan cara berkelompok, dengan itu anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahannya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir logis.[20]
b.      Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, yang muncul pada zaman renaisance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaannya yang utama adalah memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serta terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih dan mempunyai tata yang jelas.[21] Aliran Essensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.[22]

c.       Perennialisme
Di zaman moder ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar yaitu dengan mengembalikan pada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itu, pendidikan harus lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang.[23] Diketahui bahwa perennialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Aristoteles telah mengembangkan filsafat perennialisme dengan menelusuri sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pikiran manusia itu sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang hendak dicapai yaitu untuk mewujudkan peserta didik dapat hidup bahagia demi kebaikan kehidupannya sendiri. Jadi, dengan mengembangkan akalnya maka akan dapat mempertinggi kemampuan akalnya.[24]
Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauaun, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar. Zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat.
Belajar menurut perennialisme adalah  latihan mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasio-nalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus.

d.      Progressivisme
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup.
Dalam pandangan pragmatisme, suatu keterangan itu benar kalau sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai dengan kenyataan.[25]
Pengalaman adalah kunci pengertian manusia terhadap segala sesuatu. Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yaitu perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos pada yang sulit-sulit (proses perkembangan lama). Pengalaman yaitu perjuangan.[26]
Aliran filsafat progressivisme ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.[27]
Hal yang harus diperhatikan guru adalah “anak didik bukan manusia dewasa yang kecil”, yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan.
Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.[28] Guru yang berpengalaman akan menjadi pejuang, yang mampu bertindak dan  merubah peserta didiknya untuk bisa lebih baik.
Bahwa filsafat Progressivisme bermaksud untuk menjadikan anak didik memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.[29]
Bagi guru dan pendidik pada umumnya, filsafat pendidikan itu sangat perlu karena tindakan-tindakannya mendidik dan mengajar akan selalu dipengaruhi oleh filsafat hidupnya dan oleh filsafat pendidikan yang dianutnya. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup.
Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.[30]

D.    SIMPULAN

1.      Metode penelitian filsafat merupakan ialah suatu jalan atau cara berfikir secara sistematis untuk mencari pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan filsafat.
2.      Metode-metode penelitian filsafat antara lain: induksi, deduksi, analisis, sintesis, kuantitatif, kualitatif, hermeneutik.
3.      Filsafat profesi keguruan dalam filsafat pendidikan antara lain; pragmatisme, esensialisme, progressivisme dan perennialisme.

E.     DAFTAR PUSTAKA
Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990

Dr. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002

Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruzz, Jogjakarta, 2004

http;//afidburhanuddin.wordpress.com/filsafat-esensialisme-dalam-pendidikan/


http;//docs.google.com/presentation/

Jalaludin, H. Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Rajawali Press, Jakarta, 2011

https;//www.google.com/search?q=filsafat+profesi+keguruan/





[1] Anton Bakker,  Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm.12
[2] Ibid, hlm.15
[3] Dr. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.10
[4]  Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruzz, Jogjakarta, 2004, hlm.100
[5]  Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 52
[6] Ibid, hlm. 41
[7] Anton Bakker, Op.Cit, hlm.11
[8] Ibid, hlm.12
[9] Anton Bakker, Op.Cit, hlm.14
[10] Suparlan Suhartono, Op.Cit, hlm.50
[11] Ibid, hlm. 54
[12] Anton Bakker, Op.Cit, hlm. 16
[13]  Sudarto, Ibid, hlm. 58
[14] Sudarto, Ibid,  hlm.57
[15]  Suparlan Suhartono. Op.Cit. hlm.122 
[16]  Sudarto, Op.Cit, hlm.63
[17] Ibid, hlm.76
[18] Ibid, hlm. 84
[19] Sumaryono. Hermeneutic, Sebuah Penelitian Filsafat. Kanisius: Yogyakarta. 1999. Hlm.23-24
[20] https;//afidbuurhanuddin.wordpress.com/pragmatisme-dalam-pendidikan. Diakses pada 22 November, pukul 16.53
[21] http;//afidburhanuddin.wordpress.com/filsafat-esensialisme-dalam-pendidikan/, diakses pada 22 November 2014 pukul 16.15
[22] Ibid, hlm. 95
[23] Ibid, hlm. 106
[24] Ibid, hlm. 107
[25] Jalaludin, H. Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, hlm. 78-79
[26] Ibid, hlm. 80
[27] Ibid, hlm. 84
[28] Ibid, hlm. 87
[29] Ibid, hlm. 80
[30] https;//www.google.com/search?q=filsafat+profesi+keguruan. Di akses pada 20 November 2014, pukul 16.30