Thursday, March 24, 2016

makalah hukum agraria



BAB II
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
           Masalah pertanahan (perkebunan) diindonesia telah menjadi catatan sejarah yang cukup panjang, catatan ini paling tidak terbentang semenjak abad 19, yakni ketika mulai ramainya pejelajah dan penjajah datang ke negeri ini. Kedatangan para ekspansionis secara tidak lansung telah merubah struktur dan tata tertib kepemilikan tanah di masyarakat. Hal ini ditandai berubahnya fungsi tanah yang semula berfungsi sosial menjadi bersifat ekonomi. Perubahan fungsi ini semata-mata didasari oleh kenyataan dimana para ekspansionis telah melakukan upaya paksa maupun dengan jalan kekerasan untuk menguasai lahan yang ada. Selain itu untuk lebih mempermudah proses penguasaan atas tanah salah satunya adalah melalui proses kerjasama dengan penguasa setempat dengan cara-cara penekanan dan pemaksaan.
           Catatan sejarah ini kemudian diteruskan oleh rezim penguasa yang berhasil memimpin negeri ini bersama-sama dengan dukungan dari kekuatan nasional lainya. Berlangsungnya proses modernisasi serta ramainya kegiatan pembangunan yang diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam eksistensi tanah sebagai objek landrefrom yang ini secara nyata didukung oleh kepentingan kapitalis internasional. Wujud modernisasi tampil dalam bentuknya yang paling vulgar, yakni penggusuran dan permpasan dengan mengatasnamakan pembangunan. Dengan motto atas nama pembangunan semuanya harus tunduk dan patuh mendukung sepenuhnya kerja pembangunan yang dilakukan. Modernisasi dan pembangunan telah menyebabkan munculah berbagai persoalan, khususnya dalam permasalahan tanah. Terlebih-lebih ketika kedua momentum kemudian signifikan dalam menarik minatpara investor kenegeri ini. Catatan kemudian juga dilengkapi oleh berbagai kisah tragedi berkenaan dengan upaya mempertahankan hak atas tanah oleh masyarakat. Dan komunitas petani merupakan salah satu objek yang acap akrab dengan persoalan yang muncul di sepuutar pertanahan.
           Lahirnya Undang-undang No. 5 tahun 1960 semasa rezim Soekarno dianggap cukp populis, namun tampaknya ternyata hanya sebatas diatas kertas. Terlalu sulit untuk mengimplementasikan peraturan ini di tengah-tengah masyarakat. Inilah fakta yang berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. Pangkal masalahnya terletak pada tidak adanya kemauan politik yang kuat dari negara untuk menerapkanya. Kenyataan ini tambah runyam dengan lahirnya berbagai kebijakann dan peraturan yang tumpang tindih dan merugikan petani. Alhasil , kompleksitas persoalan yang muncul diseputar masalah pertanahan lainnya efek bola salju, terus menggelinding dan semakin hari semakin membesar. Efek inilah yang akhirnya berubah menjadi lingkaran setan persoalan yang pada akhirnya harus dihadapi oleh negara.
Tulisan ini dilatar belakangi oleh dinamika dan konstalasi sosial politik yang terjadi dinegeri ini mencoba menganalisis lebih jauh akar permasalahan yang menjadi penyebab munculnya konflik pertanahan, khususnya di Sumatera Selatan.
B.    Rumusan Masalah
1.      Mengetahui apa itu konflik perkebunan
2.      Mengetahui bagaimana proses terjadinya konflik perkebunan
3.      Mengetahui akibat-akibat konflik perkebunan
4.      Mengetahui bagaimana cara penyelesaian konflik perkebunan


C. 
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Konflik Agraria
         Sebagaimana dikatakan oleh Christodolau seperti dikutip oleh Gunawan Wiradi, reforma agraria adalah anak kendung konflik agraria (Agraria Reform is the offspring of the Agrarian Conflict). Artinya lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilihan atau penguasaan tanah (yang kemudian disebut dengan sebutan landreform ) berkembang menjadi agrarian reform dan sekarang dengan istilah Reforma Agraria merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertahanan. Oleh karna itu untuk memahaami seluk beluk reforma Agraria perlu juga dipahami masalah konflik agraria.
             Sebagai suatu gejala sosial, konflik agraria adalah suatu sutuasi proses, yaitu proses interaksi antar dua atau lebih orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentinganya atas objek yang sama, yaitu benda-benda lain yang bersangkutan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Pada tahapan saling “berlomba” untuk mendahului mencapai objek itu sifatnya masih dalam batas “persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah situasi konflik.
             Kunci utama untuk memahami konflik agraria adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital, yanng mengatur hampir semua aspek kehidupan . bukan saja sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bai teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.
Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah sangat menentukan corak masyarakat dan mencermin dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat tertentu.[1]
             Hak seseorang ataupun suatu kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh “pengalaman” secara utuh. Artinya pengakuan itu harus datang dari kedua-duanya, baik dari masyarakat maupun terutama dari pemegang kekuasaan diatasnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa masalah agraria hakekatnya adalah masalah kekuasaan (Land is at the Heart of Power), menuurut Gunawan Wiradi terdapat sedikit tiiga macam incompatibilities yaitu:[2]
a.       Ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah
b.      Ketimpangan dalam hal perumtukan tanah, dan
c.       Incompatibity dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria
                                
            Ketimpangan pertama sudah sangat jelas kita pahami, dari hasil sensus pertanian 1993 misalnya dapat ditarik suatu gambaran kasar bahwa disatu pihak sebanyak 43% drai jumlah rumah tanggga perdesaan merupakan tuna kisma (landles), dilain pihak 16% rumah tangga menguasai 69% luas tanah yang tersedia, dan 41% rumah tangga hanya menguasai hanya 31% luas tanah yang tersedia.
            Mengenai “peruntukan agak sulit untuk memperoleh data yang bisa dipercaya, bukan saja karena masalah peruntukan itu tampaknya memang belum diatur secara memadai, tetapi karna hal ini berkaitan dengan masalah pengguanaan tanah. Namun indikasi kesenjangan itu dapt diperuntukkan bagi pertanian rakyat yang selalu digusur oleh tanah-tanah perkebunan besar yang semakin lama bertambah luas. Itulah salah satu sumber konflik.[3]
B.   Apa itu Konflik Perkebunan
             konflik agraria dan BUMN sektor perkebunan memang berasal atas tanah. Sebab, latar belakang BUMN perkebunan sebagian besar hasil nasionalisasi perusahaan perkebunan belanda atau afdeling, oleh Presiden Soekarno lewat Undang-undang Nomor 86 tahun 1958. Awalnya, belanda memperoleh lahan afdeling dengan cara merampas tanah atau kerajaan lokal kalah perang, baik dengan atau umumnya tanpa konpensasi. Selanjutnya belanda mempekerjaka rakyat pribumi sebagai kuli diperkebunan dengan tidak manusiawi.[4]
Dendam terhadap penjajahan tadi ternyata tak jua pupus lewat nasionalisasi Soekarno. Sebab nasionalisasi tidak dilanjutkan dengan penyelesaian hak atas tanah perkebunan secara adil, lewat program land reform dibingkai UU Nomor 5 Tahun 1960, tentang UU pokok Agraria (UUPA). Parahnya lagi, masa orde politik agraria sangat merugikan rakyat. Yakni politik agraria atas nama kepentingan umum dan pembangunan. Berbeda pendapat, hanya akan melahirkan stigma anti-pembangunan, anti-pancasila, bahkan keturunan PKI. Tekanan berikutnya lewat aparat dan kekerasan senjata. Ini sebabnya, performa tentara dan polisi sebagai alat kekuasaan tak mudah dihapus.
Konflik meledak diera reformasi, ketika rakyat merasa memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan bertindak. Di era reformasi, konflik tanah terjadi dihampir semua perusahaan perkebunan, baik BUMN maupun swasta. Berikutnya meski kini wewenang HPH dan sebagian HGU kembali ke pusat, bukan berarti tak ada kolusi akal-akalan menyiasati terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Syarat utama rekomendasi HGU, yakni analisa dampak lingkungan, penerimaan masyarakat lokal, dan kejelasan kepemilikan lahan, kerap diabaikan.
Hubungan polotugis antara para pejabat, pengusaha dan obral izin ini bukan sekedar omong kosong. Pemberian izin HGU perkebunan, mengucur deras menjelang pemilu kada. Laju deforestasi dan obral izin dihutan konversi lebih kencang lagi sebelum pemilu kada. Hasil penelitian tadi diurai Robin Burgess, profesor London School of Economy Inggris, dalam paper-nya The Political Economy of Deforestation in the Tropics. Burges menganalisis data statistik izin lokal HPG/HGU dan dinamika politik lokal indonesia, sepanjang 1998 hingga 2008.
C.   Proses awal terjadinya Konflik Agraria
             Terjadinya konflik agraria ini bukanlah pertama kali terjadi tetapi sudah cukup lama di ogan llir, sumatra selatan yaitu pada tahun 1982, dimulai pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. Dimana PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII ini telah merampas tanah rakyat. Perampasan ini membuat pera petanidi 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan llir dengan pasrah dan terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan perkebunan sawit karna tidak mampu melakukan perlawanan. Pada akhirnya kebun karet dan nanas masyarakat setempat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak.[5]
             Adapun upaya dialog dan mediasi yang telah ditempun warga, namun pihak PTPN VII selalumengulur waktu dan tidak pernah memberi kepastian yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yanng diusahankan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 ha milik hak guna usaha (HGU) berlokasi didaearah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian hanya 6.500 ha saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas 13.500 ha tidak diketahui keguanaannya.
             Adapun masalah yang terjadi dengan perlakuan yang sama oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) yaitu pada tanggal 4 Desember 2009 dimana ada ketidakpuasan masyarakat attas kopensasi yang mereka terima yaitu dimana terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berakhir dengan peristiwa penembakan terhadap warga desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir oleh nggota Brimob.
             Dan pada akhir terjadi lagi yang man tidak bisa dihindarkan lagi yanitu pad jum’at (27/07/2012). Petang. Dimana konflik perkebunan ini terjadi di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir sumatra selatan (sumsel). Konflik ini terjadi berawal dari aparat kepolisian.
             Pasukan Brimob polda melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk di Desa Sri Bandung, kamis (26;07;12) dilakukan pula penangkapantiga orang warga yang dituduh melakukan pencurian pupuk milik PTPN VII pada siang menjelang shlat jum’at, (27;07;12) ratusan Aparat Brimob kembali mendatangi dan melakukan “sweeping” ditiga desa diantaranya Desa Betung, Desa Sri Tanjung, dan Desa sri Kembang, kemudian menangkap sedikitnya dua orang petani dari Desa sri Tanjung truk kembali mendatangi Desa Limbang Jaya. Warga yang melihat ratusan anggota Brimob memasuki desa mereka, akhirnya secara beramai-ramai mendatangi personil melihat banyak warga mendatangi mereka , pasukan Brimob bersenjata lengkap itu mendadak langsung mengeluarkan tembakan kearah warga. Bentrok warga dan Brimob pun tak dapat dihindari.
D.   Sebab-sebab terjadinya Konflik Perkebunan
             Salah satu penyebab konflik agraria adalah masalah kesenjangan sosial. Konflik juga bisa disebabkan oleh kebijakan negara masalalu. Misalnya pada zaman Hindia Belanda tidak melindungi eksistensi hukum adat seperti hak ulayat sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dan wilayah konsensi perkebunan. “Pemerintah dianggap melanggar wilayah hukum adat (hak ulayat)” kata ketua MK ahmad sodiki saat berbicara pada acara konsolidasi Nasional Reforma agraria: mengawal  proses kebijakan dan perkembangan penanganan konflik agraria diindonesia “yang diselenggarakan konsorsium pmbaruan agraria dijakarta, selasa (13,3).
             Menurutnya pengambil-alihan dan pengelolaan kebun sering kali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya. Dikatakannya, hal ini juga tercermin masih adanya indikasi besarnya gaji antara pucuk antara pimpinan kebun dengan buruh seperti langit dan bumi. Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang melahirkan pikran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi rakyat sekitarnya.
             Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum misalnya ada bagian tertentu dari areal yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air, pemilik kebun dianggap menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki kebun secara paksa. Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya penekanan hukum, tanah terlantar, dan reclaming sebagain tanah adat. Karna itu, diperlukan upaya preventif dan penyelesaian sengketa. Diantaranya terhadap tanah Hak Guna Usaha yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya. Sebab menurut UUPA setiap prang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan.
E.   Cara Penyelesaian
           Dalam kasus konflik agraria ini belum ada penyelesaiannya. Sudah banyak usulan dari berbagai pihak tentang perlunya pembentukan lembaga khusus seperti komisi Nasional untuk penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), Pengadilan Agraria, atau menghidupkan kembali pengadilan land reform dengan menambah kewenangannya tidak mendapat tanggapan yang serius dari pemerintahan.
             Pemerintahan memilih strategi memperkuat peran dan posisi Badan Pertahanan Nasional (BPN) dengan membentuk kedeputian yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpes No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah. Sampai saat ini program setengah hati pemerintah ini belum terealisasikan dengan baik.
Berbagai perturan telah dikeluarkan BPN untuk mendukung penyelesaian konflik agraria, seperti SK. BPN No 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penangan dan peyelesaian masalah pertanahan, dan pedoman penyelesaian konflik agraria melalui SK. BPN No 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan perkajian dan penanganan kasus pertanahan. BPN menjadi satu-satunya  lembaga terdepan untuk penyelesaian sengketa agraria dengan mengedepan proses-proses mediasi. Namun dipertanyakan sejauh mana kemampuan BPN manjadi mediator tanpa ada keperpihakan. Idealnya lembaga mediator terdiri dari unsur pemerintah, organisasipetani dan lembaga lainnya. Baru-baru ini pemerintah juga akan membentuk Satgas penyelesaian konflik agraria, belum jelas apakah satgas ini dibentuk sebagai gambaran kebingungan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria.
Dalam rangka penyelesaian konflik agraria dibutuhkan Badan Otoritas Sengketa Agraria, yang memiliki kewenangan tidak hanya sekedar penyelesaian sengketa/konflik agraria tetapi juga memiliki kewenangan menyelesaikan reforma agraria, memilik konsep pembangunanpetani dan pertanian.
Harus ada alokasi yang jelas bagi tanah pertanian dan tanaman pangan milik rakyat. Investasi perkebunan tidak boleh mengalih fungsikan dan diatas tanah cadangan bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik perkebunan tidak hanya sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek terutama rasa keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa meminimalisir konflik dimasa mendatang. Konflik agraria adalah konflik stuktural yang timbul karena kebijakan yang salah arah dari pemerintah. Butuh kemauan politik pemerintahan untuk menyelesaikan, mungkin berkaca pada perjajian pancang merah tahun 1930 di Pasaman yang dibuat atas kemauan politik penguasa waktu itu.
“Sebaiknya apabila ada HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang berlaku,” ditinjau dari sudut terjadinya sengketa, faktor sejarah, keadaan sosial ekonomi, dan politik mewarnai substansi sengketa. Oleh sebab itu penanganannya mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.
Dan sebaiknya PTPN harus memiliki legilitas hukum yang sah, sehingga tidak punya HGU. Sedangkan HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk memperoleh penghasilan nagara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan meresahkan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII, Sabtu (28/7/2012).





















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
        Konflik berasal dar kata kerja latin configere yang berarti saling memukul, secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang baersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
        Bentrok antar warga dan Brimob yang terjadi di Ogan Ilir, sumatera selatan, 27 Juli 2012, secara tak langsung dipicu oleh ketegangan antara warga dan PT perkebunan Nusantara (PTPN) Unit Cinta Manis yang mengelola perkebunan tebu diwilayah tersebut. Bentrok bukan pertama kali terjadi di Ogan Ilir. Sejarah konflik agraria diderah tersebut bahkan cukup panjang, dimulai pada 1982 tahun dimulainya pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. Pembanguna Unirt Cinta Manis membuat para petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahakan lahan mereka untuk dijadikan perkebunan tebu. Kebun karet dan nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII tnapa ganti rugi yang layak. Ini  diwarnai pula dengan tekanan, intimidasi, dan sikap represif aparat keamanan.
        Di awal juni lalu, ribuan warga dari 15 desa di Kabupaten Ogan Ilir turun kejalan menuju Kator DPRD Sumatera Selatan. Upaya aksi tersebut tidak ditanggapi pihak pemerintah dengan berakhir buntu. Lalu sebulan kemudian warga menggelar aksi kembali, kali ini dengan sasaran aksi manuju PTPN VII. Warga menuntut pengembalian lahan mereka yang dirampas PTPN VII seluas 13 ha dari 20 ribu ha yang digunakan PTPN VII. Dalam situasi ini, PTPN VII menggunakan alat negara yakni aparat Brimob untuk menjaga kepentingan para pemilik modal dari tuntutan rakyat. Artinya dapat dilihat bahwa negara selalumenggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap persoalan rakyat termasuk sengketa rakyat.

B.   Saran
Didalam penyelesaian konflik kita harus saling kompromi dimana pihak yang terlibat konflik saling mengalah atau saling memberi atau menerima kebijakan, tanpa paksaan, saling mengurangi tuntutan dan saling menghargai pendirian masing-masing, mengambil pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang bertikai dengan melalui lembaga formal, untuk berunding agar diperoleh persetujuan bersama dan musyawarah pembahasan suatu masalah secara bersama-sama agar tercapai pendapat bulat dan dianggap paling baik, paling benar, serta dipertanggung jawabkan.
Didalam kasus konflik perkebunan di Ogan Ilir sumatera selatan selain mengguanakan cara-cara diatas, pemerintah dan aparatnya seharusnya menjadi kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dan dukungan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi petani miskin, rakyat tak bertanah dipedesaan dan wilayah-wilayah perdalaman.





DAFTAR PUSTAKA

H. Mohamad Hatta, SH., Mkn. (2005) . Hukum Tanah Nasional Dalam Persepektif Islam. Yogyakarta: Media Abadi
http://zonaalfian. Blogspot.com/2013/03/konflik-agraria.html diakses 03 april 2015http://nasional,news.viva.co.id/news/news/read/339738-awal-mula-sengketa-lahan-ptpn-di-ogan-ilir.html diakses 03 april 2015




[1]H. Mohamad Hatta, SH., Mkn, Hukum Tanah Nasional Dalam Persepektif Negara Kesatuan, Yogyakarta: Media Abadi,2005, Hlm.158
[2] Ibid 159
[3] Ibid 159
[4]http://zonaalfian.blogspot.com/2013/03/konflik-agraria.html
[5] http://nasional.news.viva.ci.id/news/read/339738-awal-mula-sengketa-lahan-ptpn-di-ogan-ilir.html

makalah cakupan kekuasaan peradilan pada masa rasulullah


A.  Latar Belakang
Dalam masyarakat pra-Islam, tidak ada kekuasaan  politik dan sistem peradilan yang terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengketaan tersebut diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.Untuk itu tidak ada pejabat resmi. Artinya jika terjadi persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa Muhammad Saw sebelum menjadi Rasul pernah bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad  pada tempat semula. Di kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “Inilah al-Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya. Kegiatan seperti ini terus berjalan hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan Rasul sebagai kepala negara, sebagai hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat Islam. Semula Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah, maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi hakim yang menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat mereka berada. Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk “berijtihad“, dalam kasus-kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘ (pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim. Penulis dalam hal ini akan membahas ketiganya dalam pembahasan.

B.  Permasalahan
1.    Apa pengertian dari pengadilan al-Qadla‘ dan apa saja cakupannya?
2.    Apa pengertian dari pengadilan al-Hisbahdan apa saja cakupannya?
3.    Apa pengertian dari pengadilan al-Mazhalim dan apa saja cakupannya?

C.  Pembahasan
1.    Pengadilan al-Qadla‘
a.       Pengertian Pengadilan al-Qadla‘
Makna al-Qadha’ secara bahasa, al-Qadha’ (القضاء) berasal dari kata قضى-يقضى-قضاء; jamaknya أقضية. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. Al-Qur`an mencantumkan kataal-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri.[1]
Sedangkan kata al-Qadla‘ menurut istilah mempunyai arti Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya.[2]
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an dan as­-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan. Rasul Saw. secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan lain sebagainya.
Imam Abu Hanifah mendefinisikanqadha‘ sebagai: “Suatu keputusan mengikat yang bersumber dari pemerintah umum guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan”. Imam Malik mendefinisikan, “Pemberitaan tentang hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti”. Ulama Maliki mendefinisikan al-qadha dari segi sifat lembaga hukum ini. Sementara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal memberikan definisi, “Penyelesaian persengketaan antara dua pihak atau  lebih berdasarkan huku Allah Swt“.[3]
b.      Hukum Pengangkatan dan Jenis Qadhi
Saya Mayoritas ulama berpendapat, al-Qadha’ hukumnya fardhu kifayah. Pelaksanaan tugas al­-Qadha’ ini pada dasarnya adalah tanggung jawab Imam/Khalifah. Rasul SAW dan Khulafaur Rasyidin sendiri menangani al-Qadha’ secara langsung. Namun, ketika wilayah negara semakin luas, tentu khalifah tidak mungkin menanganinya sendiri, di samping karena tugas Khalifah sangat kompleks. Dalam situasi tersebut, kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali Khalifah mengangkat para qadhi di seluruh daerah sebagai bahagian dari pemerintahan negara.
Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadha inilah yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat atau mencegah sesuatu yang boleh membahayakan hak-hak jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan pemerintahan negara.
Penjelasan tersebut sekaligus menjelaskan tiga kelompok perkara dan macam lembaga al­-Qadha’:
1)      Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan ‘uqubat. Perkara ini ditangani oleh al-Qadhi, kadang disebut Qudhat al-Khushumat.
2)      Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum; disebut Hisbah. Perkara ini ditangani oleh Qadhi al-Hisbah atau al-Muhtasib.
3)      Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman yang dilakukan oleh atau akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya. Inilah yang disebut mazhalim dan ditangani oleh Qadhi al-Mazhalim.[4]
c.       Syarat-syarat Pengangkatan Qadhi
Saya Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi seorang qadhi adalah sebagai berikut:
1)   Ia harus seorang pria
2)   Mempunyai kemampuan akal
3)   Merdeka
4)   Beragama islam
5)   Mempunyai kredibilitas individual
6)   Sempurna pendengaran dan penglihatannya
7)   Mempunyai kemampuan dalam ilmu pengetahuan
d.      Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi
Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi ialah sebagai berikut:
1)   Menguasai ilmu tentang Kitab Allah
2)   Menguasai ilmu tentang Sunnah Rasulullah
3)   Menguasai tentang takwil kalangan ulama salaf
4)   Menguasai ilmu tentang qiyas.[5]
2.    Pengadilan/wilayah al-Hisbah
a.         Pengertian Pengadilan al-Hisbah
Secara harfiah kata wilayah al-hisbahdiartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
Ini mengindikasikan wilayah merupakan jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, di mans kewenangan ini merupakan kewajiban untuk menegakkan atau melaksanakan bagi orang tertentu yang diyakini bahwa ia mampu untuk melaksanakan hat tersebut. Artinya, definisi wilayah hisbah tersebut hanya menggambarkan wilayah hisbah sebagai tugas pribadi muslim, belum menggambarkan pengertian wilayah hisbah sebagai bagian dari kekuasaan peradilan.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud dengan wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, yang tidak termasuk wilayah qadha‘ dan wilayah lainnya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan muhtasib (petugas wilayah hisbah) diangkat oleh sulthan (pemerintah), dan wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.[6]
b.        Kewenangan Wilayah al-Hisbah
1)      Dalam Bidang Aqidah
Hisbah berlaku dalam masalah-masalah penyimpangan aqidah, yaitu permasalahan-permasalahan yang terkait erat dengan unsur-unsur aqidah Islam. Pada saat terjadi praktek-praktek aqidah yang bertentangan dengan aqidah Islam, muhtasib berwenang untuk melarang perbuatan-perbuatan tersebut, seperti penyembahan kepada Allah dilakukan dengan ber-tawasul kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, mendatangi dukun-dukun untuk melihat garis keberuntungan nasib, perusakan terhadap al-Qur’an (dengan mengubah makna atau menukar ayat dengan unsur lain), dan lain-lain yang dilarang dalam Islam.
2)      Dalam Bidang Ibadah
Dalam bidang ibadah muhtasib memiliki kewenangan untuk menerapkan hisbah, antara lain, menyuruh melaksanakan shalat, memakmurkan   masjid, menyeru untuk berzakat, berpuasa, melarang minuman khamar diperjualbelikan, berkhalwat antar lawan jenis, dan lain-lain.
3)      dalam bidang muamalah
Yang dimaksud dengan muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, seperti jual-beli, syirkah, dan lain-lain. Dalam masalah ini kewenangan wilayah hisbah, antara lain, melarang dan mengawasi terjadinya kecurangan, seperti pengurangan ukuran dan timbangan, praktek-praktek yang mengandung unsur mengatur ketertiban jalan, dan hal-hal yang berkaitan dengan moral, seperti melarang perempuan memakai pakaian yang kelihatan auratnya.[7]
c.         Historisitas Wilayah Hisbah Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Satu hal yang dilakukan oleh Nabi Saw. di Madinah (setelah hijrah dari Makkah ke Madinah) adalah mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang :
1)   Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar berta orang-orang yang berhubungan dan berjuang bersama mereka.
2)   Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri.
3)   Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing.
4)   Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa.
5)   Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.[8]
Dengan keluarnya shahifah al-rasul ini mengindikasikan telah berdiri satu daulah Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang Quraisy).
Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi Saw. untuk menjadi qadhi, seperti Mu’adz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi Saw. Wilayah Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh Nabi Saw.,[9] seperti ketika Nabi Saw. berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi Saw. memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi Saw. kemudian bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ
Tidak termasuk golongan kita kelompok yang menipu.[10]
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.    Pengadilan al-Mazhalim
Kata al-Mazhalim adalah jama’ dari al-Mazhlamah yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan Wali al-Mazhalim. Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam masalah mazhalim, Rasul Saw. juga menanganinya secara langsung; seperti dalam masalah penolakan beliau untuk melakukan penetapan harga atau dalam masalah pengairan antara Zubair dan seorang laki-laki dari Anshar. Begitu juga Khulafaur Rasyidin menangani langsung perkara mazhalim dan belum menyediakan waktu khusus. Baru Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang menyediakan waktu khusus untuk meneliti masalah mazhalim, tanpa langsung memutuskan. Jika ada masalah atau perlu keputusan hukum, ia mengajukannya kepada qadhi-nya, yaitu Abi Idris al-Azadi karena beliau adalah qadhi mazhalim ketika itu. Baru pada masa Abassiyah diangkat qadhi khusus untuk menangani perkara mazhalim ini. Jabatan ini terus ada dan menjadi bagian dari al-Qadha’. Pengangkatan qadhimazhalim ini juga didasarkan pada as-Sunnah berupa perbuatan Rasul Saw.
Demikian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang pertama­-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.[11]

D.  Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1.    Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘ (pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim.
2.    Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an dan as­-Sunnah.
3.    Wilayah hisbah yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
4.    Pengadilan mazhalim pada masa Nabi dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).


Daftar Pustaka
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah.  
Alaiddin Kolo, Sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers: Jakarta, 2011.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001.
Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam,  PT Intermasa:Jakarta, 1996.











[1]Alaiddin Kolo, Sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers: Jakarta, 2011,  hlm. 10.
[2] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001, hlm.3.
[3]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 11.
[4]Ibid., hlm. 7.
[5]Ibid., hlm. 8.
[6]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 14.
[7]Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam,  PT Intermasa:Jakarta, 1996, hlm, 12.
[8]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 16.
[9]Ibid., hlm. 18.
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah, hlm. 242.  
[11]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 25.