BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah
pertanahan (perkebunan) diindonesia telah menjadi catatan sejarah yang cukup
panjang, catatan ini paling tidak terbentang semenjak abad 19, yakni ketika
mulai ramainya pejelajah dan penjajah datang ke negeri ini. Kedatangan para
ekspansionis secara tidak lansung telah merubah struktur dan tata tertib
kepemilikan tanah di masyarakat. Hal ini ditandai berubahnya fungsi tanah yang
semula berfungsi sosial menjadi bersifat ekonomi. Perubahan fungsi ini semata-mata
didasari oleh kenyataan dimana para ekspansionis telah melakukan upaya paksa
maupun dengan jalan kekerasan untuk menguasai lahan yang ada. Selain itu untuk
lebih mempermudah proses penguasaan atas tanah salah satunya adalah melalui
proses kerjasama dengan penguasa setempat dengan cara-cara penekanan dan
pemaksaan.
Catatan
sejarah ini kemudian diteruskan oleh rezim penguasa yang berhasil memimpin
negeri ini bersama-sama dengan dukungan dari kekuatan nasional lainya.
Berlangsungnya proses modernisasi serta ramainya kegiatan pembangunan yang
diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam
eksistensi tanah sebagai objek landrefrom yang ini secara nyata didukung oleh
kepentingan kapitalis internasional. Wujud modernisasi tampil dalam bentuknya
yang paling vulgar, yakni penggusuran dan permpasan dengan mengatasnamakan
pembangunan. Dengan motto atas nama pembangunan semuanya harus tunduk dan patuh
mendukung sepenuhnya kerja pembangunan yang dilakukan. Modernisasi dan
pembangunan telah menyebabkan munculah berbagai persoalan, khususnya dalam
permasalahan tanah. Terlebih-lebih ketika kedua momentum kemudian signifikan
dalam menarik minatpara investor kenegeri ini. Catatan kemudian juga dilengkapi
oleh berbagai kisah tragedi berkenaan dengan upaya mempertahankan hak atas
tanah oleh masyarakat. Dan komunitas petani merupakan salah satu objek yang
acap akrab dengan persoalan yang muncul di sepuutar pertanahan.
Lahirnya
Undang-undang No. 5 tahun 1960 semasa rezim Soekarno dianggap cukp populis,
namun tampaknya ternyata hanya sebatas diatas kertas. Terlalu sulit untuk
mengimplementasikan peraturan ini di tengah-tengah masyarakat. Inilah fakta
yang berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. Pangkal masalahnya terletak
pada tidak adanya kemauan politik yang kuat dari negara untuk menerapkanya.
Kenyataan ini tambah runyam dengan lahirnya berbagai kebijakann dan peraturan
yang tumpang tindih dan merugikan petani. Alhasil , kompleksitas persoalan yang
muncul diseputar masalah pertanahan lainnya efek bola salju, terus
menggelinding dan semakin hari semakin membesar. Efek inilah yang akhirnya
berubah menjadi lingkaran setan persoalan yang pada akhirnya harus dihadapi
oleh negara.
Tulisan ini dilatar belakangi oleh dinamika
dan konstalasi sosial politik yang terjadi dinegeri ini mencoba menganalisis
lebih jauh akar permasalahan yang menjadi penyebab munculnya konflik
pertanahan, khususnya di Sumatera Selatan.
B. Rumusan Masalah
1.
Mengetahui
apa itu konflik perkebunan
2.
Mengetahui
bagaimana proses terjadinya konflik perkebunan
3.
Mengetahui
akibat-akibat konflik perkebunan
4.
Mengetahui
bagaimana cara penyelesaian konflik perkebunan
C.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Konflik
Agraria
Sebagaimana dikatakan oleh Christodolau
seperti dikutip oleh Gunawan Wiradi, reforma agraria adalah anak kendung
konflik agraria (Agraria Reform is the
offspring of the Agrarian Conflict). Artinya lahirnya gagasan tentang
perombakan struktur pemilihan atau penguasaan tanah (yang kemudian disebut
dengan sebutan landreform )
berkembang menjadi agrarian reform dan
sekarang dengan istilah Reforma Agraria merupakan respon terhadap situasi
konflik dalam masalah pertahanan. Oleh karna itu untuk memahaami seluk beluk
reforma Agraria perlu juga dipahami masalah konflik agraria.
Sebagai
suatu gejala sosial, konflik agraria adalah suatu sutuasi proses, yaitu proses
interaksi antar dua atau lebih orang atau kelompok yang masing-masing
memperjuangkan kepentinganya atas objek yang sama, yaitu benda-benda lain yang
bersangkutan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang dan juga udara yang
berada di atas tanah yang bersangkutan. Pada tahapan saling “berlomba” untuk
mendahului mencapai objek itu sifatnya masih dalam batas “persaingan”. Tetapi
pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah
situasi konflik.
Kunci utama untuk memahami konflik
agraria adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa
tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital, yanng mengatur hampir semua
aspek kehidupan . bukan saja sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bai
teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.
Ketimpangan
dalam hal akses terhadap tanah sangat menentukan corak masyarakat dan mencermin
dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat tertentu.[1]
Hak seseorang ataupun suatu
kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh
“pengalaman” secara utuh. Artinya pengakuan itu harus datang dari kedua-duanya,
baik dari masyarakat maupun terutama dari pemegang kekuasaan diatasnya. Itulah
sebabnya dikatakan bahwa masalah agraria hakekatnya adalah masalah kekuasaan (Land is at the Heart of Power), menuurut
Gunawan Wiradi terdapat sedikit tiiga macam incompatibilities
yaitu:[2]
a.
Ketimpangan
dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah
b.
Ketimpangan
dalam hal perumtukan tanah, dan
c. Incompatibity dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai
agraria
Ketimpangan
pertama sudah sangat jelas kita pahami, dari hasil sensus pertanian 1993
misalnya dapat ditarik suatu gambaran kasar bahwa disatu pihak sebanyak 43%
drai jumlah rumah tanggga perdesaan merupakan tuna kisma (landles), dilain pihak 16% rumah tangga menguasai 69% luas tanah
yang tersedia, dan 41% rumah tangga hanya menguasai hanya 31% luas tanah yang
tersedia.
Mengenai
“peruntukan agak sulit untuk memperoleh data yang bisa dipercaya, bukan saja
karena masalah peruntukan itu tampaknya memang belum diatur secara memadai,
tetapi karna hal ini berkaitan dengan masalah pengguanaan tanah. Namun indikasi
kesenjangan itu dapt diperuntukkan bagi pertanian rakyat yang selalu digusur
oleh tanah-tanah perkebunan besar yang semakin lama bertambah luas. Itulah
salah satu sumber konflik.[3]
B. Apa
itu Konflik Perkebunan
konflik agraria dan BUMN sektor
perkebunan memang berasal atas tanah. Sebab, latar belakang BUMN perkebunan
sebagian besar hasil nasionalisasi perusahaan perkebunan belanda atau afdeling,
oleh Presiden Soekarno lewat Undang-undang Nomor 86 tahun 1958. Awalnya,
belanda memperoleh lahan afdeling dengan cara merampas tanah atau kerajaan
lokal kalah perang, baik dengan atau umumnya tanpa konpensasi. Selanjutnya
belanda mempekerjaka rakyat pribumi sebagai kuli diperkebunan dengan tidak
manusiawi.[4]
Dendam
terhadap penjajahan tadi ternyata tak jua pupus lewat nasionalisasi Soekarno.
Sebab nasionalisasi tidak dilanjutkan dengan penyelesaian hak atas tanah
perkebunan secara adil, lewat program land reform dibingkai UU Nomor 5 Tahun
1960, tentang UU pokok Agraria (UUPA). Parahnya lagi, masa orde politik agraria
sangat merugikan rakyat. Yakni politik agraria atas nama kepentingan umum dan
pembangunan. Berbeda pendapat, hanya akan melahirkan stigma anti-pembangunan,
anti-pancasila, bahkan keturunan PKI. Tekanan berikutnya lewat aparat dan
kekerasan senjata. Ini sebabnya, performa tentara dan polisi sebagai alat
kekuasaan tak mudah dihapus.
Konflik
meledak diera reformasi, ketika rakyat merasa memperoleh kebebasan menyatakan
pendapat dan bertindak. Di era reformasi, konflik tanah terjadi dihampir semua
perusahaan perkebunan, baik BUMN maupun swasta. Berikutnya meski kini wewenang
HPH dan sebagian HGU kembali ke pusat, bukan berarti tak ada kolusi akal-akalan
menyiasati terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Syarat utama rekomendasi
HGU, yakni analisa dampak lingkungan, penerimaan masyarakat lokal, dan kejelasan
kepemilikan lahan, kerap diabaikan.
Hubungan
polotugis antara para pejabat, pengusaha dan obral izin ini bukan sekedar omong
kosong. Pemberian izin HGU perkebunan, mengucur deras menjelang pemilu kada.
Laju deforestasi dan obral izin dihutan konversi lebih kencang lagi sebelum
pemilu kada. Hasil penelitian tadi diurai Robin Burgess, profesor London School
of Economy Inggris, dalam paper-nya The Political Economy of Deforestation in
the Tropics. Burges menganalisis data statistik izin lokal HPG/HGU dan dinamika
politik lokal indonesia, sepanjang 1998 hingga 2008.
C. Proses
awal terjadinya Konflik Agraria
Terjadinya konflik agraria ini
bukanlah pertama kali terjadi tetapi sudah cukup lama di ogan llir, sumatra
selatan yaitu pada tahun 1982, dimulai pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis.
Dimana PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII ini telah merampas tanah rakyat.
Perampasan ini membuat pera petanidi 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan llir
dengan pasrah dan terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan perkebunan
sawit karna tidak mampu melakukan perlawanan. Pada akhirnya kebun karet dan
nanas masyarakat setempat digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak.[5]
Adapun upaya dialog dan mediasi
yang telah ditempun warga, namun pihak PTPN VII selalumengulur waktu dan tidak
pernah memberi kepastian yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yanng
diusahankan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 ha milik hak guna usaha (HGU)
berlokasi didaearah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian hanya 6.500 ha
saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan
dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas 13.500 ha
tidak diketahui keguanaannya.
Adapun masalah yang terjadi dengan
perlakuan yang sama oleh anggota Brigade Mobil (Brimob) yaitu pada tanggal 4
Desember 2009 dimana ada ketidakpuasan masyarakat attas kopensasi yang mereka
terima yaitu dimana terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berakhir
dengan peristiwa penembakan terhadap warga desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir
oleh nggota Brimob.
Dan pada akhir terjadi lagi yang man tidak
bisa dihindarkan lagi yanitu pad jum’at (27/07/2012). Petang. Dimana konflik
perkebunan ini terjadi di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten
Ogan Ilir sumatra selatan (sumsel). Konflik ini terjadi berawal dari aparat
kepolisian.
Pasukan Brimob polda melakukan penggeledahan
terhadap rumah-rumah penduduk di Desa Sri Bandung, kamis (26;07;12) dilakukan
pula penangkapantiga orang warga yang dituduh melakukan pencurian pupuk milik
PTPN VII pada siang menjelang shlat jum’at, (27;07;12) ratusan Aparat Brimob
kembali mendatangi dan melakukan “sweeping” ditiga desa diantaranya Desa
Betung, Desa Sri Tanjung, dan Desa sri Kembang, kemudian menangkap sedikitnya
dua orang petani dari Desa sri Tanjung truk kembali mendatangi Desa Limbang
Jaya. Warga yang melihat ratusan anggota Brimob memasuki desa mereka, akhirnya
secara beramai-ramai mendatangi personil melihat banyak warga mendatangi mereka
, pasukan Brimob bersenjata lengkap itu mendadak langsung mengeluarkan tembakan
kearah warga. Bentrok warga dan Brimob pun tak dapat dihindari.
D. Sebab-sebab
terjadinya Konflik Perkebunan
Salah satu penyebab konflik agraria
adalah masalah kesenjangan sosial. Konflik juga bisa disebabkan oleh kebijakan negara
masalalu. Misalnya pada zaman Hindia Belanda tidak melindungi eksistensi hukum
adat seperti hak ulayat sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum
adat dan wilayah konsensi perkebunan. “Pemerintah dianggap melanggar wilayah
hukum adat (hak ulayat)” kata ketua MK ahmad sodiki saat berbicara pada acara
konsolidasi Nasional Reforma agraria: mengawal
proses kebijakan dan perkembangan penanganan konflik agraria diindonesia
“yang diselenggarakan konsorsium pmbaruan agraria dijakarta, selasa (13,3).
Menurutnya pengambil-alihan dan
pengelolaan kebun sering kali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang
dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha
dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi kurang memperhatikan
masyarakat sekelilingnya. Dikatakannya, hal ini juga tercermin masih adanya
indikasi besarnya gaji antara pucuk antara pimpinan kebun dengan buruh seperti
langit dan bumi. Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial
yang melahirkan pikran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi
rakyat sekitarnya.
Meningkatnya pengetahuan rakyat dan
dengan pikiran yang sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang
dikategorikan melanggar hukum misalnya ada bagian tertentu dari areal yang
sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air,
pemilik kebun dianggap menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk
menduduki kebun secara paksa. Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya
penekanan hukum, tanah terlantar, dan reclaming sebagain tanah adat. Karna itu,
diperlukan upaya preventif dan penyelesaian sengketa. Diantaranya terhadap
tanah Hak Guna Usaha yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga
kelestariannya. Sebab menurut UUPA setiap prang atau badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan.
E. Cara
Penyelesaian
Dalam kasus konflik agraria ini belum
ada penyelesaiannya. Sudah banyak usulan dari berbagai pihak tentang perlunya
pembentukan lembaga khusus seperti komisi Nasional untuk penyelesaian Konflik
Agraria (KNuPKA), Pengadilan Agraria, atau menghidupkan kembali pengadilan land reform dengan menambah
kewenangannya tidak mendapat tanggapan yang serius dari pemerintahan.
Pemerintahan memilih strategi memperkuat
peran dan posisi Badan Pertahanan Nasional (BPN) dengan membentuk kedeputian
yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik
pertanahan melalui Perpes No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah. Sampai
saat ini program setengah hati pemerintah ini belum terealisasikan dengan baik.
Berbagai
perturan telah dikeluarkan BPN untuk mendukung penyelesaian konflik agraria,
seperti SK. BPN No 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penangan dan
peyelesaian masalah pertanahan, dan pedoman penyelesaian konflik agraria
melalui SK. BPN No 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan perkajian dan penanganan
kasus pertanahan. BPN menjadi satu-satunya
lembaga terdepan untuk penyelesaian sengketa agraria dengan mengedepan
proses-proses mediasi. Namun dipertanyakan sejauh mana kemampuan BPN manjadi
mediator tanpa ada keperpihakan. Idealnya lembaga mediator terdiri dari unsur
pemerintah, organisasipetani dan lembaga lainnya. Baru-baru ini pemerintah juga
akan membentuk Satgas penyelesaian konflik agraria, belum jelas apakah satgas
ini dibentuk sebagai gambaran kebingungan pemerintah dalam penyelesaian konflik
agraria.
Dalam
rangka penyelesaian konflik agraria dibutuhkan Badan Otoritas Sengketa Agraria,
yang memiliki kewenangan tidak hanya sekedar penyelesaian sengketa/konflik
agraria tetapi juga memiliki kewenangan menyelesaikan reforma agraria, memilik
konsep pembangunanpetani dan pertanian.
Harus
ada alokasi yang jelas bagi tanah pertanian dan tanaman pangan milik rakyat.
Investasi perkebunan tidak boleh mengalih fungsikan dan diatas tanah cadangan
bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik perkebunan tidak hanya
sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek
terutama rasa keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa
meminimalisir konflik dimasa mendatang. Konflik agraria adalah konflik
stuktural yang timbul karena kebijakan yang salah arah dari pemerintah. Butuh
kemauan politik pemerintahan untuk menyelesaikan, mungkin berkaca pada
perjajian pancang merah tahun 1930 di Pasaman yang dibuat atas kemauan politik
penguasa waktu itu.
“Sebaiknya
apabila ada HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat jalur hukum yang
berlaku,” ditinjau dari sudut terjadinya sengketa, faktor sejarah, keadaan
sosial ekonomi, dan politik mewarnai substansi sengketa. Oleh sebab itu
penanganannya mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.
Dan
sebaiknya PTPN harus memiliki legilitas hukum yang sah, sehingga tidak punya
HGU. Sedangkan HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk memperoleh
penghasilan nagara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk
mensejahterakan warga bukan meresahkan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII
harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII, Sabtu
(28/7/2012).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik berasal dar kata kerja latin
configere yang berarti saling memukul, secara sosiologis konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya
atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang baersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Bentrok antar warga dan Brimob yang
terjadi di Ogan Ilir, sumatera selatan, 27 Juli 2012, secara tak langsung
dipicu oleh ketegangan antara warga dan PT perkebunan Nusantara (PTPN) Unit
Cinta Manis yang mengelola perkebunan tebu diwilayah tersebut. Bentrok bukan pertama
kali terjadi di Ogan Ilir. Sejarah konflik agraria diderah tersebut bahkan
cukup panjang, dimulai pada 1982 tahun dimulainya pembangunan PTPN VII Unit
Cinta Manis. Pembanguna Unirt Cinta Manis membuat para petani di 20 desa dari 6
kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahakan lahan mereka untuk dijadikan
perkebunan tebu. Kebun karet dan nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII tnapa
ganti rugi yang layak. Ini diwarnai pula
dengan tekanan, intimidasi, dan sikap represif aparat keamanan.
Di awal juni lalu, ribuan warga dari 15
desa di Kabupaten Ogan Ilir turun kejalan menuju Kator DPRD Sumatera Selatan.
Upaya aksi tersebut tidak ditanggapi pihak pemerintah dengan berakhir buntu.
Lalu sebulan kemudian warga menggelar aksi kembali, kali ini dengan sasaran aksi
manuju PTPN VII. Warga menuntut pengembalian lahan mereka yang dirampas PTPN
VII seluas 13 ha dari 20 ribu ha yang digunakan PTPN VII. Dalam situasi ini,
PTPN VII menggunakan alat negara yakni aparat Brimob untuk menjaga kepentingan
para pemilik modal dari tuntutan rakyat. Artinya dapat dilihat bahwa negara
selalumenggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap persoalan
rakyat termasuk sengketa rakyat.
B. Saran
Didalam
penyelesaian konflik kita harus saling kompromi dimana pihak yang terlibat
konflik saling mengalah atau saling memberi atau menerima kebijakan, tanpa
paksaan, saling mengurangi tuntutan dan saling menghargai pendirian
masing-masing, mengambil pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang
bertikai dengan melalui lembaga formal, untuk berunding agar diperoleh
persetujuan bersama dan musyawarah pembahasan suatu masalah secara bersama-sama
agar tercapai pendapat bulat dan dianggap paling baik, paling benar, serta
dipertanggung jawabkan.
Didalam
kasus konflik perkebunan di Ogan Ilir sumatera selatan selain mengguanakan
cara-cara diatas, pemerintah dan aparatnya seharusnya menjadi kekuatan utama
masyarakat untuk memperoleh perlindungan dan dukungan dalam mewujudkan keadilan
sosial bagi petani miskin, rakyat tak bertanah dipedesaan dan wilayah-wilayah
perdalaman.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Mohamad Hatta, SH., Mkn. (2005) . Hukum Tanah Nasional Dalam
Persepektif Islam. Yogyakarta: Media Abadi
http://zonaalfian. Blogspot.com/2013/03/konflik-agraria.html diakses 03
april 2015http://nasional,news.viva.co.id/news/news/read/339738-awal-mula-sengketa-lahan-ptpn-di-ogan-ilir.html diakses 03 april 2015
[1]H. Mohamad
Hatta, SH., Mkn, Hukum Tanah Nasional Dalam Persepektif Negara Kesatuan, Yogyakarta:
Media Abadi,2005, Hlm.158
[2] Ibid 159
[3] Ibid 159
[4]http://zonaalfian.blogspot.com/2013/03/konflik-agraria.html
[5]
http://nasional.news.viva.ci.id/news/read/339738-awal-mula-sengketa-lahan-ptpn-di-ogan-ilir.html