A.
Latar Belakang Masalah
Ushul fiqih
sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah
keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali
ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan
bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih
adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum
dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak akan
ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam
Al-Qur’an.
Sehingga banyak
para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam
memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi
kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang
tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata
namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian
halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang
disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu
meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring
berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait
dalil-dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan
membahas tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).
B.
Permasalahan
1.
Apakah pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar !
2.
Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi !
C.
Pembahasan
C.1 Pengertian Amar, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk
kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya
mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk
mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.[1]
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki
supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah
menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini,
tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya
lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang
yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni
dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat
(bentuk kata) Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung
pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk
sebagai berikut:
a.
Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:
اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS.
Al baqarah: 43)[2]
Contoh lain:
Apabila lafadz
yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau perintah, maka
lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah
itu secara penetapan dan kepastian.
Allah swt berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu)
…..”.
Firman tersebut
menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau beriddah
selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul)
bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya
ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka
ia menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia
tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu
qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang
dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya,
maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti
ibahah (pembolehan).[3]
b. Berbentuk Fi’il mudhari’
yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Artinya: “dan hendaklah thawaf
sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)
وَلْتَكُنْ مِّنْكُم اُمَّةٌ
Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS.
Ali Imran: 104)
c.
Isim Fi’il Amr, seperti:
عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi’il, seperti:
وَبِا لْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah:
83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan
lain sebagainya.
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْ
اَزْوَاجِهِمْ
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
يَأَيُّهَالَّذِيْنَ ءامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berpuasa”. (QS. Al Baqarah: 183)
اِنَّ اللّهَ يَأْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّالْآَمَنَتِ
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa’: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan
untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan
kalimatnya.[4]
Amr (perintah)
memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mutjahid dalam
mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima
bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan
keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul
telah sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15
macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS.
Al baqarah: 43)
2. Nadb (anjuran)
وَآتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّهِ الَّذِي أتكُمْ
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka
sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur :
33)
3. Takdzib (mendustakan)
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ اِنْكُنْتُمْ صَدِ قِيْنَ
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu
adalah orang yang benar”. (QS. Al Baqarah 111).
4. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5. Ibahah (kebolehan)
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu
beng putih dan benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
وَإِذَاحَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا
Artinya:
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6. Tahdid (Ancaman)
اِعْمَلُوْا مَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
بَصِيْرٌ
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki.
Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7. Inzhar (peringatan)
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ اِلَى النَّارِ
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena
sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8. Ikram (memuliakan)
اُدْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ آمِنِيْنَ
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke
dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. (QS. Al Hijr : 46)
9. Taskhir (penghinaan)
كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS.
Al Baqarah : 65)
10. Ta’jiz (melemahkan)
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang
seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)
فَاصْبِرُوا اَوْلاَتَصْبِرُوا
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At
Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلَعُ
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah.
Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13. Do’a
رَبِّ اغْفِرْلِى
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad :
35)
14. Ihanah (meremehkan)
ذُقْ إِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang
perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)
15. Imtinan
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّه
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS.
An Nahl :114)[5]
Kaidah
kedua: Perintah
setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari kaidah ini ialah,
apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah
mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat
membolehkan. Seperti Firman Allah swt:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَا نْتَشِرُوْا فِى
الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ الّله
“apabila shalat telah
dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia allah{
QS.al-jumu’ah 62:10}”.
Dengan
demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya
tidak wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan.
Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu
yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu,
tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya akan berdosa.
Kaidah
Keempat: pada dasarnya
perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah).
Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah
itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang
menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:
وَأَتِمُّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّه
“dan Sempurnakan haji
dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban
haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja
sudah cukup.[6]
Kaidah
Kelima: kaidah ini
menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa
disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang
diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah
untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan
bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya,
maka perkara itu wajb pula”.
3. Dilalah dan Tuntutan Amar
a.
Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh
Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar
menunjukkan tidak wajib suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada
qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah
juga ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib
(wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).
Contoh:
اُسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا الَّا اِبْلِيْسَ
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah
mereka kecuali iblis”. (QS. Al Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu
perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan
kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian Allah tidak mencela iblis karena
kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang
tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti
kemestian (wajib).
b. Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar /
suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib),
seperti salat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha.
Di antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib,
kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang
dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak
menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau
mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[7]
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah)
adalah :
a. Harus berupa
ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk
kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari
bawahan namanya do’a.[8]
Suatu kata
perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a)
Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan
tuntunan perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b)
Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang
diminta (ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta, seperti berdiri,
duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak
lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan
suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak
ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan
seorang hamba)”.[9]
C.2 Pengertian
Nahi, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang
(al-man’u), sedangkan Menurut
istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada
orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa
nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada
bawahan. Jadi Nahi
adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada
bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan
haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan
ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya
haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka
nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh,
mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada
ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh.
Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.[11]
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat
larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti
firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى
Artinya: “hai
orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An
Nisa : 43)
Ungkapan
yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
a) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:
وَاَحَلَّ اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
Kaidah
pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ بُوا الزِّنَى
Artinya:
“dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain
sebagai berikut:
a. Untuk do’a
رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau
salah”.
b. Untuk pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ
تَسُؤْكُمْ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
لَاتَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
“janganlah
kamu cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan
kebalikannya, seperti:
لَا تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan
Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak
menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu
dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas
yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak)
haram.
2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari
perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan,
misalnya larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar
semua umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti
berhubungan dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli
sewaktu shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
3. Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam
melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai
beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan
secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat
An-Nahl ayat 90 yang artinya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan”.
b.
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan,
misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
c. Larangan dengan
menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’
ayat 19:
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ اَنْ
تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya
:“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa”.
d.
Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk
sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan,
misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ
هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya:“Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
hingga sampai ia dewasa”.
e.
Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan tinggalkanlah
dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.
Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih,
misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا
يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
g.
Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya
surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أتهُمُ
اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya:
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka”.
h. Larangan dengan
cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193
فَإِنِ
انْتَهَوافَلَا عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya:
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”[13]
4. Syarat-syarat Nahi
1.
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la
nahi.
Arti nahi yang pokok.
a.
Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang)”.
Alasannya,
apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat
mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan
pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah
kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak
menyebabkan haram.
b.
Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”.
(makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.[14]
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya,
larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina.
Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu
tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya
dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah,
hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak
sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada
syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam
Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap
nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan
yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti
batal (tidak sah).[15]
D.
Simpulan
1.
‘Amar
·
Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu
yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada
hambanya.
·
Sighat (bentuk kata) ‘Amar
·
Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
·
Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2. Nahi
·
Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari
atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
·
Sighat (bentuk kata) Nahi
·
Dilalah dan Tuntutan Nahi
·
Syarat-syarat Nahi
E.
Daftar Pustaka
Efendi,Satria
dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media Group.
Karim,Syafi’i.2001.
Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul
dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008.
UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu
Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra Group.
F.
Notulen Diskusi
1.
Pertanyaan:
a.
Muhammad Khoirul Umam (112159): berikan contoh lain dari fi’il amar
yang selain di makalah.
b.
Ainun Najib (112165): apa hikmahnya dalam mempelajari Amar dan
Nahi?
c.
Oktavian Cahya Saputra (112180: berikan contoh lain dari Nahi yang
selain di makalah.
d.
Nadlichah Sofwiyyani (112157): berikan contoh lain dari Tamanni
(Amar).
e.
Nur Saidah (112149): Apa itu Sighot?
Jawaban:
a.
Contoh amar:
وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An nisa’:
4)
b. Hikmah mempelajari amar dan nahi adalah kita bisa mengetahui, memahami
dan membedakan antara lafadz amar (perintah) dan Nahi (larangan) dalam Al
Qur’an kemudian bisa kita amalkan / kerjakan dalam amar ma’ruf dan nahi munkar
(menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran).
c. Contoh nahi:
لَاتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ
Artinya: “janganlah sekali-kali kamu
menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup”. (QS. Al Hijr: 88).
d. Contoh lai Tamanni dalam amar
اِلَهِ لَسْتُ لِى الْفِرْدَوْسِ اَهْلَ وَلَا اَقْوَا
عَلَى النَّارِالْجَحِيْمِ
e. Sighot adalah berarti bentuk-bentuk / macam macam. Jika Sighot amar
berarti bentuk-bentuk / macam macam Jika Sighot Nahi berarti bentuk-bentuk /
macam macam contohnya seperti pada pembahasan di atas.
proenhance male enhancement patch
ReplyDeletebuy total curve
vig fx