Saturday, February 27, 2016

makalah amar dan nahi


A.   Latar Belakang Masalah
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).

B.   Permasalahan
1.      Apakah pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar !
2.      Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi !



C.   Pembahasan
C.1 Pengertian Amar, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.[1]
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi  derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
 Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian  perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
a.       Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:
اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)[2]


Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian.  Allah swt berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ                                                             
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).[3]
b.      Berbentuk Fi’il  mudhari’  yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)
وَلْتَكُنْ مِّنْكُم اُمَّةٌ
Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)
c.   Isim Fi’il Amr, seperti:
عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d.      Masdar pengganti fi’il, seperti:
وَبِا لْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e.       Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain sebagainya.
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْ اَزْوَاجِهِمْ
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
يَأَيُّهَالَّذِيْنَ ءامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah: 183)
اِنَّ اللّهَ يَأْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّالْآَمَنَتِ
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah”. (QS. An Nisa’: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.[4]
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1.      Ijab (Wajib)
Contoh:
اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2.      Nadb (anjuran)
وَآتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّهِ الَّذِي أتكُمْ
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3.      Takdzib (mendustakan)
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ اِنْكُنْتُمْ صَدِ قِيْنَ
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al Baqarah 111).

4.      Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5.      Ibahah (kebolehan)
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
وَإِذَاحَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6.      Tahdid (Ancaman)
اِعْمَلُوْا مَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7.      Inzhar (peringatan)
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ اِلَى النَّارِ
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8.      Ikram (memuliakan)
اُدْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ آمِنِيْنَ
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. (QS. Al Hijr : 46)

9.      Taskhir (penghinaan)
كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10.  Ta’jiz (melemahkan)
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
11.  Taswiyah (mempersamakan)
فَاصْبِرُوا اَوْلاَتَصْبِرُوا
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur  :16)
12.  Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ    يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلَعُ
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13.  Do’a
رَبِّ اغْفِرْلِى
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14.  Ihanah (meremehkan)
ذُقْ إِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)


15.  Imtinan
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّه
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)[5]
Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah swt:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَا نْتَشِرُوْا فِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ الّله
apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
 Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan. Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya akan berdosa.
Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:
وَأَتِمُّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّه
dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah cukup.[6]
Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.

3. Dilalah dan Tuntutan Amar
a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).   
Contoh:
اُسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا الَّا اِبْلِيْسَ
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis”. (QS. Al Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar / suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[7]
4.  Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.[8]
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a)      Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b)      Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta (ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya  perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.[9]
C.2 Pengertian Nahi, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.[11]
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
a)      Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b)      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
وَاَحَلَّ اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
                        Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ بُوا الزِّنَى
                        Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.      Untuk do’a
رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.      Untuk pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c.       Putus asa
لَاتَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
لَا تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).


Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1.      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.      Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.      Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
3.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang  secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
 “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
 Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’ ayat 19:
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
d.      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya:“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
 وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.       Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah : 34.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
            Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
g.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah : 193
فَإِنِ انْتَهَوافَلَا عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”[13]

4.      Syarat-syarat Nahi
1.      Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a.       Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
b.      Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.[14]
c.       Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).[15]

D.   Simpulan
1.      ‘Amar
·         Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
·         Sighat (bentuk kata) ‘Amar
·         Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
·         Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2.      Nahi
·         Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
·         Sighat (bentuk kata) Nahi
·         Dilalah dan Tuntutan Nahi
·         Syarat-syarat Nahi
E.   Daftar Pustaka
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media Group.
Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra Group.

F.    Notulen Diskusi
1.      Pertanyaan:
a.       Muhammad Khoirul Umam (112159): berikan contoh lain dari fi’il amar yang selain di makalah.
b.      Ainun Najib (112165): apa hikmahnya dalam mempelajari Amar dan Nahi?
c.       Oktavian Cahya Saputra (112180: berikan contoh lain dari Nahi yang selain di makalah.
d.      Nadlichah Sofwiyyani (112157): berikan contoh lain dari Tamanni (Amar).
e.       Nur Saidah (112149): Apa itu Sighot?
Jawaban:
a.       Contoh amar:
 وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An nisa’: 4)
b.      Hikmah mempelajari amar dan nahi adalah kita bisa mengetahui, memahami dan membedakan antara lafadz amar (perintah) dan Nahi (larangan) dalam Al Qur’an kemudian bisa kita amalkan / kerjakan dalam amar ma’ruf dan nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran).
c.       Contoh nahi:
لَاتَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ
Artinya: “janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup”. (QS. Al Hijr: 88).


d.      Contoh lai Tamanni dalam amar
اِلَهِ لَسْتُ لِى الْفِرْدَوْسِ اَهْلَ وَلَا اَقْوَا عَلَى النَّارِالْجَحِيْمِ
e.       Sighot adalah berarti bentuk-bentuk / macam macam. Jika Sighot amar berarti bentuk-bentuk / macam macam Jika Sighot Nahi berarti bentuk-bentuk / macam macam contohnya seperti pada pembahasan di atas.



[1]Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh,Darul Hikmah, JawaTimur . 2008. hal. 52.
[2] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia,Bandung.2001.hal
[3] Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib,Ilmu Ushul Fiqih,Toha Putra Group.semarang.1994.hal.306.
[4] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hal.109.
[5]Ibid,.hal.113.
[6]Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.2001.hal.224.
[7]Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hal.117.
[8]Muhammad Ma’sumZein Zudbah,.Op,Cit,.hal. 52-53. 
[9] Syafi’I Karim,Op,Cit,.hal.224.
[10] Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hal. 64.
[11] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,. hal.118.
[12] Ibid,.hal.120.
[13]Satria Efendi dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, KencanPerdana Media Group, Jakarta, hal. 187-190. 
[14] Syafi’I Karim,Op,Cit,. hal.234.
[15] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,.124.

1 comment: