Friday, March 18, 2016

makalah hadits tentang penciptaan tradisi


A.  TEKS HADITS I
- 1718 حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ، جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ : حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم: ج: ٣, ص: ١٣٤٣ )[1]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad Ibn as-Shobbah, dan ‘Abdullah Ibn ‘Aunin al-Hilaly, dari Ibrahim Ibn Sa’ad. Ibn Sobbah berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Sa’ad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Auf, bercerita kepada kami dari ayahnya dari Qasim ibn Muhammad dari Aisyah. Beliau berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan dalam perintah kami ini, apa-apa yang bukan dari padanya, maka ia tertolak”.
 - 4606حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. قَالَ ابْنُ عِيسَى: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ[2]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Shobbah al-Bazzazi, Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibn Sa’ad, Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Isa, Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Ja’far al-Makhrumi dan Ibrahim ibn Sa’ad dari Sa’ad ibn Ibrahim dari Qasim ibn Muhammad dari Aisyah. Beliau berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara  baru dalam urusan (agama)  kami ini yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak”. Ibnu Isa berkata: “Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan selain dari perintah Kami, maka ia tertolak”.







B.  I’TIBAR SANAD
 
























C.  BIOGRAFI PERAWI
1.      Aisyah binti Abu bakar Radhiyallahu ‘anha[3]
Aisyah adalah istri Nabi Shallalahu ‘alaihi Wassalam putri Abu Bakar ash-Shiddiq teman dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam memperistrinya pada tahu 2 H. Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab nasab dan hari hari Arab . Berkata Az-Zuhri “ Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wassalam dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu Aisyah yang lebih utama”. Urwah mengatakan “ aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi Aisyah”.
Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits, diantara keistimewaannya beliau sendiri kadang kadang mengeluarkan beberapa masalah dari sumbernya, berijtihad secara khusus, lalu mencocokannya dengan pendapat pada sahabat yang alim. Aisyah meriwayatkan hadits dari ayahnya Abu Bakar, dari Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Usaid bin Khudlair dan lain lain. Sedangkan sahabat yang meriwayatkan dari beliau ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Syafiyah binti Syabah dan beberapa yang lain. Tabi’in yang mengutip beliau ialah: Sa’id bin al-Musayyab, alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda, Aisyah binti Thalhal, Amran binti Abdirrahman, dan Hafshah binti Sirin.
Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin Hafshin, dari Al Qasim bin Muhammad, dari Aisyah. Juga diriwayatkan oleh az-Zuhri atau Hisyam bin Urwah, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Syabl, dari Umm an Nu’man dari Aisyah. Aisyah wafat pada 57 H.
2.      Qasim bin Muhammad[4]
Nama lengkap beliau adalah Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq At-Taimi Al-Qurasyi, Al-Madani Al-Faqih. Menilik dari silsilahnya, beliau merupakan cucu Al-Khalifah Ar-Rasyid Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Tokoh tabi’in keponakan ibunda kaum mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anha ini berkunyah Abu Muhammad, dan ada yang mengatakan beliau berkunyah Abu ‘Abdurrahman.
Al-Qasim meriwayatkan hadits dari ayahnya (yakni Muhammad bin Abi Bakr), ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Abdullah bin Ja’far, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Khabbab, Mu’awiyah, Rafi’ bin Khadij, Aslam bekas budak Ibnu ‘Umar, Fathimah bintu Qais, dan yang lainnya. Dan adapun para muhadditsun yang meriwayatkan dari beliau di antaranya adalah anaknya sendiri (yakni ‘Abdurrahman), Asy-Sya’bi, Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Ibnu Abi Mulaikah, Nafi’ maula Ibni ‘Umar, Az-Zuhri, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu ‘Aun, Rabi’ah, Abu Az-Zinad, dan masih banyak lagi.
Penilaian terhadap Qasim bin Muhammad;
a)        Ayyub As-Sakhtiyani salah seorang alim di zamannya berkata: Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang (padahal) halal untuknya senilai seratus ribu dinar.
b)        Abdurrahman bin Al-Qasim (anaknya sendiri) pernah mengatakan: Beliau adalah manusia paling utama di zamannya.
c)        Yahya bin Sa’id berkata: Kami tidak melihat seorang pun di Madinah yang lebih kami utamakan daripada Al-Qasim.
d)       Abu Az-Zinad berkata: Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As-Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan aku juga melihat tidak ada seorang pun yang lebih jenius daripada dia.
e)        Imam Daril Hijrah Malik bin Anas mengatakan: Al-Qasim adalah salah seorang di antara Fuqaha’ umat ini.
f)         Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Orang yang paling mengetahui hadits (riwayat dari) ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah bintu ‘Abdirrahman.
g)        Ibnu Hibban mengatakan: Beliau adalah termasuk tokoh tabi’in dan orang yang paling utama di zamannya dari sisi keilmuan, adab, dan fiqh.
Al-Qasim, seorang tokoh besar tabi’in yang buta di akhir kehidupannya ini wafat setelah meninggalnya ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan tahun wafat dan umur beliau ketika itu. Ada yang mengatakan beliau wafat tahun 101 H, atau 102 H, ada juga yang mengatakan tahun 105 H, atau tahun 107 H. Beliau wafat dalam usia 70 tahun pada masa kekhalifahan Yazid bin ‘Abdil Malik bin Marwan
3.      Sa’ad bin Ibrahim
Nama lengkap beliau Sa’ad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf al-Quraysi az-Zuhr, Abu Ishaq dan ada yang mengatakan Abu Ibrahim al-Madany. Thobaqot pada peringkat 5 (lima) dari Shigor Tabi’in. Para muhadditsun yang meriwayatkan dari beliau di antaranya adalah imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majjah.
Penilaian terhadap Qasim bin Muhammad;
a)        Ibn Hajr berkata: Tsiqqah
b)        Muhammad bin Sa’ad: Tsiqqah, banyak hadits
c)        Abbas ad-Dauri, Ishaq bin Manshur, dan Abdullah bin Syuaib berkata: Tsiqqah tidak ada keraguan
Sa’ad bin Ibrahim wafat pada tahun 125 H dan ada yang mengatakan setelahnya.
4.      Ibrahim bin Sa’ad
Nama lengkap beliau Ibrahim bin Sa’ad ibn Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf al-Quraysi az-Zuhr, Abu Ishaq al-Madany. Beliau lahir pada tahun 108 H, Thobaqot ke 8 dari tabi’it tabi’in.
Penilaian terhadap Ibrahim bin Sa’ad:
a)        Abdullah bin Hanbal dari ayahnya berkata: Tsiqqah
b)        Shalih bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya berkata: Hadits-haditsnya dijadikan pegangan
5.      Abdullah bin Aun al-Hilali
Nama lengkap beliau Abdullah bin Aun bin Abi Aun: Abdul Muluk bin Yazid al-Hilaly Abu Muhammad al-baghdadi, Thobaqot ke 10 dari Tabi’it Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 232 H. muhaddits yang meriwayatkan hadits-hadistnya antara lain; Imam Muslim, dan an-Nasa’i
Penilaian terhadap Abdullah bin Aun:
Ali bin Husain bin al-Junaid, dari Yahya bin Ma’un berkata: Shuduq
6.      Abdullah bin Ja’far al-Mahromiy
Nama lengkap beliau Abdullah bin Ja’far bin Abdurrahman bin al-Musawir bin Makhromah bin Naufal bin Uhaib al-Quraysi al-Mahromy, Abu Muhammad al-Madani. Thobaqot 8 dari Tabi’it Tabi’in, beliau wafat tahun 170 H. Muhaddits yang meriwayatkan haditsnya adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majjah.
Penilaian ulama terhadap beliau;
a)        Abu Thalib dari Ahmad bin Hanbal berkata: Tsiqqah
b)        Abu Bakar bin Abi Khoitsamah dari Yahya bin Ma’in: Shuduq, tidak ada keraguan.
7.      Muhammad bin Isa
Nama lengkap beliau Muhammad bin Isa bin Najih al-Baghdadi, Abu Ja’far ibn at-Toba’, beliau lahir pada tahun 150 H. Thobaqot ke 10 dari Tabi’it Tabi’in, beliau wafat pada tahun 224 H. Penilaian ulama’ terhadap beliau:
a)        An-Nasa’i berkata: Tsiqqah
b)        Ibn Hajr berkata: Tsiqqah
8.      Muhammad bin as-Shobah al-Bazzazi
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Shobah al-Bazazy ad-Dulaby. Beliau lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 227 H, Muhammad bin Shabah adalah salah seorang pembesar Tabi’ at-Tabi’in.
Muhammad bin Shobah meriwayatkan dari Sa’id Muhammad bin al-Waraq, al-Walid bin Muslim dan Abi Mu’awiyah adh-Dharir. Yang meriwayatkan dari beliau adalah, Muhammad bin Yazid ar-Ruba’i,  Abu ‘Abdillah bin Majah dan Imam Muslim.
Penilaian terhadap Muhammad bin Shabah;
a)        Abu Zakaria berkata: Muhammad bin Shobah tsiqoh ma’mun.
b)        Qosim bin Nashar al-Mahrumi: bertanya imam Ahmad bin Hanbal mengenai Muhammad bin Shobah, dikatakan: Syaikhuna tsiqoh.
c)        Ya’qub bin Syaibah: Tsiqoh, Shohibu hadits.
d)       Maslamah dalam kitab “Ash-Shilah”: Tsiqoh masyhur.
e)        Penilaian yang lain menyebutkan: Tsiqoh, ‘Alim.
D.  ANALISA SANAD
Setelah memperhatikan dari berbagai penilaian ulama hadits terhadap para perawi hadits, dapat disimpulkan bahwasannya hadits tersebut tidak ada yang bermasalah dan hadits tersebut merupakan hadits yang Shahih. Adapun kedudukan hadits adalah salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip Islam. Hadits tersebut juga merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat (dhohir).

E.  DIROSAH MATAN
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari hadits diatas terdapat perbedaan dari segi lafadz yang digaris bawahi pada hadits yang diriwayatkan oeh Imam Muslim dan Abu Dawud, namun dari segi makna antara hadits satu dengan yang lainnya tertuju dalam pengertian yang sama.
F.   DIROSAH FIQHIYYAH
Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran, sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para shahabat), maka itulah bid'ah dan ini dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran, sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji. 
Bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan        bid’ah.
Bid’ah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bid’ah, walaupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Bid’ah dalam agama terkadang menambah dan terkadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bid’ah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bid’ah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bid’ah.
  1. TEKS HADITS II
 -1435 وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ  رواه مسلم (صحيح مسلم ,ج: ٤ ,  ص :٣٥٩([5]
Artinya : Diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin al-Mutsanna, diceritakan kepada kami oleh Abd al-Wahhab bin Abd al-MajiddariJa’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bn ‘Abd Allah ra, berkata : bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama jika berhutbah kedua matanya memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya meluap, hingga seakan-akan dia seperti komandan tentara yang berkata “Semoga Allah subhanahu wata’ala memberkati kalian di waktu pagi dan petang.” Lalu beliau bersabda  “Aku diutus dan hari kiamat seperti ini, “beliau mendekatkan  antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah, sambil bersabda, “Ammaba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk perkara adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru dan setiap yang baru adalah sesat” kemudian beliau bersabda “Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari pada dirinya sendiri. Barang siapa mewariskan harta, maka itu untuk keluarganya, barang siapa mewariskan agama, maka akan kembali kepadaku, atau menghilangkannya, maka ia akan berhadapan denganku.” (HR. Muslim)

44 -     حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَحْمَدُ بْنُ ثَابِتٍ الْجَحْدَرِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرِنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْأُمُورِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكَانَ يَقُولُ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَعَلَيَّ وَإِلَيَّ  رواه ابن ماجه )سنن ابن ماجه ,ج ۱ , ص ۵۲)[6]
Artinya : Diceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dan Ahmad bin Tsabit Al Jachdari mereka berkata diceritakan kepada kami Abdul Wahab As-Tsaqafi dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin Abdullah berkata : bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama jika berhutbah kedua matanya memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya meluap,  seakan-akan dia seperti komandan tentara yang berkata “Semoga Allah subhanahu wata’ala memberkati kalian di waktu pagi dan petang.” Lalu beliau bersabda  “Aku diutus dan hari kiamat seperti ini, “beliau mendekatkan  antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah, sambil bersabda, “Ammaba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkara adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk perkara adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru dan setiap yang baru adalah sesat” Dan kemudian beliau bersabda “Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari pada dirinya sendiri. Barang siapa mewariskan harta, maka itu untuk keluarganya, barang siapa mewariskan agama, maka akan kembali kepadaku, atau menghilangkannya, maka ia akan berhadapan denganku. (HR. Ibnu Majah)
2.     I’TIBAR SANAD















3.     BIOGRAFI PERAWI
1.      Jabir bin Abdullah
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahku. Setelah Ayahku terbunuh, aku selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.
Jabir bin Abdullah pernah melawat ke Mesir dan Syam dan banyak orang menimba ilmu darinya dimanapun mereka bertemu dengannya. Di Masjid Nabi Madinah ia mempunyai kelompok belajar , disini orang orang berkumpul untuk mengambil manfaat dari ilmu dan ketakwaan.
Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu itu ikut mensholatkannya.
Sanad terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.[7]
2.      Abu Ja’far Al-Baaqir
Nama lengkap dan silsilah beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Al- Qurosyi Al- Hasyimi (Rodliallaahu ‘anhum). Beliau lahir di kota Madiinatul Munawwaroh hari Jum’at 12 safar Tahun 57 H/676M dalam riwayat lain ada yang mengatakan 1 Rajab 57H.
Ayah nya dan sekaligus gurunya adalah Imam ‘Ali Zainal ‘Aabidiin yang selamat dari tragedi karbala, putra dari Sayyid Syuhadaa’ Sayyidinaa Husain bin ‘Ali bin Abi Thaalib (Rodliallaahu ‘anhum) Dan ibu nya adalah Sayyidah Faathimah binti hasan bin ‘Ali (Radhiallaahu ‘anhum). Dari pernikahan ini, maka lahirlah generasi pertama Ahlul Bayt yang kedua duanya bertemu, baik dari jalur Imam Hasan maupun Imam Husain, bertemu pada Sayyidina ‘Ali Karomallaahu wajhah maupun Sayyidaatinaa Fathimah Az-Zahroo putri Rosuulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam..
Nama panggilan beliau adalah Abu Ja’far. Meski beliau diberi banyak gelar seperti Abu ‘Abdullah,Imam Muhammad Al-Baqir, Maulana Al-Baqir Al-’Uluum, panggilan yang umum dikenal dan digunakan adalah Imam Muhammad Al-Baqir. Al-Baqir kata harfiah artinya memotong/membelah. Digelari Al-Baqir (yang membelah bumi) karena kapasitas keilmuan beliau yang begitu mendalam sehingga diibaratkan dapat membelah bumi dan mengeluarkan isinya yang berupa pengetahuan-pengetahuan (Al-Baqir Al-’Uluum). Mereka yang beruntung bertemu dan bertanya dengan beliau pasti akan puas, karena beliau membuka pengetahuan sampai ke akar akar nya, sampai ke asal usul nya, dan kemudian menyampaikan pengetahuan itu pada masyarakat luas. Dan yang pasti namanya harum dan tersohor sampai ke seantaro pelosok negri khusus nya jazirah arab kala itu. Dinilai oleh Ibnu Hajar Tsiqah.[8]
3.      Ja’far bin Muhammad
Nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 M., dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah /13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi'Madinah. Dinilai oleh Ibnu Hajar Shuduq, menurut Ibnu Ma’in Tsiqah.[9]
4.      Abdul Wahab bin Abdul Majid As-Tsaqafi
Nama beliau Abdul Wahab bin Abdul Majid As-Tsaqafi Abu Muhammad Al-Bashra, kakek beliau bernama Hakam bin Abi Al-‘Aash pamannya bernama Usman bin Abi Al-‘Aash, thabaqat beliau ke delapan pertengahan Tabi’ut Tabi’in beliau wafat tahun 194 H dan yang meriwayatkan hadits haditsnya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dinilai oleh Ibnu Hajar Tsiqah, menurut Ibnu Ma’in Hafidh dan Tsiqah.
5.      Suwaid bin Sa’id
Nama beliau Suwaid bin Sa’id bin Sahl Al Harawi Al Haddatsani beliau lahir tahun 140 H. Thabaqat beliau ke sepuluh thabaqat tertinggi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Tabi’in beliau wafat tahun 240 H. Yang meriwayatkan hadits haditsnya yaitu Imam Muslim dan Imam Ibnu Majah. Dinilai oleh Ibnu Hajar Shuduq, menurut Imam An-Nasa’i Laisa bi Tsiqah.
6.      Ahmad bin Tsabit Al-Jachdari
Nama beliau Ahmad bin Tsabit Al-Jachdari Abu Bakar Al-Bashri, thabaqat beliau ke sepuluh thabaqat tertinggi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Tabi’in, beliau wafat setelah tahun 250 H. Yang meriwayatkan haditsnya yaitu Imam Ibnu Majah. Dinilai Ibnu Hajar Shuduq.
7.      Muhammad bin Al-Mutsanna
Nama beliau Muhammad bin Al-Mutsanna bin Ubaid bin Qiis bin Diinaar Al-‘Anzii beliau dijuluki Abu Musa Al-Bashra Al-Hafidh dan beliau terkenal di masanya, beliau lahir tahun 167 H. thabaqat beliau ke sepuluh thabaqat tertinggi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Tabi’in, dan beliau wafat tahun 252 di Bashrah, yang meriwayatkan hadits haditsnya yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dinilai Ibnu Hajar Tsiqah Tsabit, menurut pendapat lain Tsiqah.[10]
8.      Ibnu Majah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan tahun 275 H. Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini termasuk dalam kelompok kutubus sittah. Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal.[11]
9.      Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875 M.) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.
Beliau juga sudah belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima hadis dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa tulisan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadis shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadis ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli hadis. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.[12]
4.     ANALISA SANAD
Setelah memperhatikan berbagai penilaian para ulama’ hadits terhadap susunan sanad hadits asal diatas ada satu rawi yaitu Suwaid bin Sa’id menurut pendapat Imam An-Nasa’i Laisa bi Tsiqah.
Hadits ini  tidak mempunyai syahid tapi mempunyai muttabi’, dan hadits ini termasuk  hadits An-Anah, karena sebagian besar menggunakan shigot ‘An.
5.     DIRASAH MATAN
إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ رواه مسلم (صحيح مسلم,ج: ٤ ,  ص :٣٥٩(
إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرِنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْأُمُورِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكَانَ يَقُولُ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَعَلَيَّ وَإِلَيَّ  رواه ابن ماجه )سنن ابن ماجه,ج ۱ , ص ۵۲)
Dari kedua matan diatas dapat kami analisis bahwa terdapat sedikit perbedaan dan sedikit penambahan yaitu pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat kalimat أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ, sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah tidak ada tambahannya.
6.     DIRASAH FIQHIYYAH
Tentang bagaimana memandang hukum bid’ah ini, maka tidaklah lepas dari bagaimana sudut pandang seseorang mengartikan bid’ah, bagaimana seseorang mengklasifikasikan bid’ah, dan juga asas yang dibangun dalam pengaplikasian pemahaman tersebut. Cukup rumit memang pemahaman dan juga pembagian bid’ah ini, karena antara satu pembagian dengan pembagian yang lain saling berkaitan dan juga mempertimbangkan konsistensi pembatasan bid’ah itu sendiri. Akan terjadi kerancuan apabila dalam satu sisi menggunakan batasan satu, di sisi lain menggunakan batasan yang lain. Dalam poin ini hanya akan dijelaskan gambaran umum mengenai bagaimana ulama mengklasifikasikan hukum Bid’ah.
Al-Syaikh Abu Abd Allah al-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Mantsur fi al-Qawa’id, membagi bid’ah dari sisi hukum melaksanakannya terbagi atas lima bagian,[13] sesuai dengan hukum yang terdapat dalam permasalahan keagamaan lainnya.
1.      Wajib: perkara ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang wajib, dan tidak didapatkan nash yang mewajibkannya, namun dikarenakan terdapat perkara wajib lain yang tidak bisa sempurna tanpa melaksanakannya, maka perkara ini juga memiliki implikasi hukum wajib, berdasarkan kaidah:
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
Beliau menghadirkan contoh, mempelajari ilmu nahwu. Karena pemahaman Islam adalah bersumber dari al-Qur’an Hadits, maka wajib hukumnya untuk mempelajari disiplin ilmu yang mengantarkan pemahaman mendalaminya.
2.      Sunnah (Mandub): hal ini dianggap mandub berdasarkan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya sekalipun tidak pernah di nash-kan kesunnahannya: seperti halnya memberikan metode pembelajaran yang baru dalam memudahkan membaca al-Qur’an (Qira’ati, Dirasaty), dan lain sebagainya.
3.      Haram: keharaman ini pastinya mengarah kepada perkara baru yang bertentangan dengan prinsip ajaran Aga Islam, seperti halnya mengaku Nabi, mengurangi bilangan raka’at shalat, dan lain-lain.
4.      Makruh: mempertimbangkan adanya kemadlaratan yang ditimbulkan, dengan catatan tidak sampai menyalahi Nash-nash al-Qur’an Hadits, seperti halnya menginjak-injak mushaf di depan publik, karena akan menimbulkan keresahan sekalipun tidak diharamkan secara Nash.
5.      Mubah: Mubah ini, ialah perkara yang sah-sah saja dilakukan tanpa menimbulkan kemadlaratan, dan apabila dilakukan tidak terdapat manfa’at yang di dapat. Seperti halnya membawa mushaf tanpa adanya maksud apa-apa. Hal ini dianggap mubah, karena pad zaman Rasul tidak didapatkan mushaf yang telah terbukukan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, bab al-Aqdhiya’, Juz 9. Hal.118, CD Maktabah Syamilah V. 2,11.
Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, bab as-Sunnah, Juz 12. Hal.210, CD Maktabah Syamilah V.2,11.
Al-Ishabah, kitab an-Nis no 701 ; Thabaqat Ibn Sa’ad 8/39
Shahih Muslim, Bab Al Jumu’ah, Juz 4, hal. 359, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
Sunan Ibnu Majah, Bab Muqaddimah, Juz 1, hal. 52, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
Al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, Al Asqalani, Asy Syafi’i, Al Mishri, Tahdzibut Tahdzib, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
Abu ‘Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id Juz I, Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H



[1] Al-Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, bab al-Aqdhiya’, Juz 9. Hal.118, CD Maktabah Syamilah V. 2,11.
[2] Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, bab as-Sunnah, Juz 12. Hal.210, CD Maktabah Syamilah V.2,11.
[3] Al-Ishabah, kitab an-Nis no 701 ; Thabaqat Ibn Sa’ad 8/39
[5] Shahih Muslim, Bab Al Jumu’ah, Juz 4, hal. 359, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
[6] Sunan Ibnu Majah, Bab Muqaddimah, Juz 1, hal. 52, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
[10] Al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, Al Asqalani, Asy Syafi’i, Al Mishri, Tahdzibut Tahdzib, CD Maktabah Syamilah Versi 2.11
[13] Abu ‘Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id Juz I, Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1405 H, hal. 219