Sunday, April 17, 2016

Makalah Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam

KATA PENGANTAR
 Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, Segala puji serta keagungan hanyalah semata milik Allah Ta’ala, seluruh shalawat dan salam semoga tetap dilimpah curahkan kepada junjungan alam yakni Nabi besar Muhammad saw. Juga tak lupa pula kepada keluarganya serta para sahabat yang selalu menaati dan melaksanakan ajaran beliau.
Makalah yang berjudul “ Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam “ ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Islam. Penyusun mencoba untuk membahas sebuah makalah yang berjudul “Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam” adapun Tokoh pemikiran Islam yang akan kita bahas yaitu Ibnu Sina, Imam Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Tujuannya agar kita bisa mengetahui dan mengerti perkembangan pemikiran Islam melalui kajian Tokoh –tokoh Pemikiran Islam dibidang Filsafat.
Pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan. Semoga pembaca dapat memanfaatkannya. Tentu penyusun sangat memerlukan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Akhir kata, penyusun mengucapkan banyak terima kasih.
 
Penyusun Daftar isi

BAB I 1
PENDAHULUAN 1
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
IBNU SINA 3
IMAM GHAZALI 12
IBNU RUSYD 16
BAB III 20
PENUTUP 20
KESIMPULAN 20
DAFTAR PUSTAKA 23
BAB I
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang Filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambung di seluruh jagad raya ini.
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo, berarti Cinta (loving), sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi, Filsafat secara sederhana berati cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksud adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan  mendalam  sampai keakar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar.[1] Secara simpel dapat dikatakan, Filsafat adalah hasil proses berfikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).[2]
Pandangan bahwa Filsafat adalah usaha rasional dengan metode deduktif analogis menjadi paradigma yang digunakan untuk melihat Filsafat Islam. Karena itu, filsafat Islam hanya dinisbatkan pada Filosof Muslim. Dengan demikian Filsafat Islam terlihat tak berbeda dengan Filsafat Yunani atau Barat  dan menyunat segala yang tidak terkait dengan usaha rasional. Filsafat Islam dikawasan Arab dan Timur dianggap mati setelah berangus Al-Ghazali dengan takafut al-falasifah-nya. Selanjutnya Filsafat Islam berkembang di Barat dan berpuncak ditangan Ibnu Rusyd.[3]
Jelaslah bahwa Filasafat Islam merupakan hasil pemikiran Umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam  ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur‘an dan Hadis. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan Ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India. Dengan kata lain Umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula perdaban bangsa sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani dan lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
IBNU SINA
Riwayat Hidup, karir, dan Karyanya
Ibnu Sina adalah Filosof Muslim yang mengembangkan Falsafat Klasik Islam kepuncak tertinggi dan diberi gelar “ pangeran para Dokter”. [4] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husain  Ibnu  ‘Abd Allah Ibn Hasan  Ibnu ‘Ali Ibn Sina. Di Barat populer dengan sebutan “Avicenna” akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadi perubahan  ini berawal  dari usaha  penerjemahan naskah-naskah Arab kedalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[5]
Ibnu Sina dilahirkan di desa Afshanah, dekat Kharmaitan, kabupaten Balkh, wilayah Afghanistan Propinsi Bukhara- yang sekarang masuk daerah Rusia. Ibnu Sina lahir pada masa kekacauan, dimana Khalifah Abasiah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula dibawah kekuasaan Khilafah tersebut memisahkan diri untuk berdiri sendiri. Sedangkan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan juga merupakan pusat ilmu pengetahuan jatuh ketangan Bani Buwaih (334 H). [6]
Ibnu Sina berdasarkan pengamatan dan penyelidikan para ahli, lahir pada 370 H/ 980 M dan meninggal dunia pada tahun 428 H/1037 M dalam usia 58 tahun. Wafat dan jasadnya dikebumikan di Hamadzan. Ibunya bernama Astarah, sedangkan Ayahnya bernama Abdullah seorang Gubernur dari suatu Distrik di Bukhara pada masa Samaniyyah-Nuh II bin Mansur.[7]
Ibnu Sina sejak usia muda  selain telah hafal Al-Qur‘an seluruhnya dalam usia 10 tahun, ia dalam usia kurang lebih 17 tahun telah menguasai beberapa disiplin ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lainnya, juga falsafat yang berkembang dimasanya.
Pada usia 17 tahun, dengan kecerdasannya yang sangat mengagumkan, ia sudah tampil sebagai Dokter dan berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Bukhara, Nuh Ibn Mansur, dari Dinasti Samaniyyah. Sejak itu ia dapat leluasa memasuki perpustakaan Istana Bukhara, Kutub Hana. Ia juga pernah diangkat menjadi Menteri oleh Sultan Syams Al- Dawlah yang berkuasa di Hamdan dan menjadi penasihat politik di Isfahan, sebagai sebagai pengakuan atas kematangannya  dalam ilmu pengetahuan dan falsafat dan atas kepemimpinannya dalam politik ia dikenal dengan gelar “Al-Syaykh Al-ra’is”.
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah Al-Natili dan Isma’il sang Zahid.[8] Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru.
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang Filsafat dan kedokteran, keduanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran ia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang  materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga– dimana tumbuh-tumbuhanini banyak membantu terhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana 600 tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula-mula mempraktekan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas , dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter jiwa.
Karya Tulis yang dihasilkan Ibnu Sina cukup banyak. Kebanyakan penulis menegaskan bahwa jumlahnya tidak kurang dari 276 buah,  dalam buku dan risalah, dan dalam bentuk karangan ilmiah biasa (prosa) atau dalam bentuk syair. Karya-karya ini sebagian besar berbahasa Arab, tapi sebagian kecil dalam bahasa Persia. Diantara karangan-karangan ibnu Sina adalah:
Kitab Al-Syifa’ (The book of Recovery or the book of Remedy)
Merupakan buku tentang penemuan, atau buku tentang Penyembuhan. Buku ini dikenal didalam bahasa latin dengan nama Sanatio  atau Sufficienta. Terdiri  dari 18 jilid. Naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M), dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu Ketuhanan,  Fisika, Matematika  dan Logika.
Kitab Al- Najat
Merupakan ringkasan dari Kitab Al-Syifa’ , tapi yang dibicarakan didalamnya hanya logika, Fisika, dan Metafisika (ketuhanan).
Kitab Al-Qanun fi al-Thibb
Berisikan ilmu kedokteran. Menjadi pegangan wajib di Universitas Eropa sampai abad XVII M.
Kitab Al-Isyarat wa al-Tanbihat
Terdiri dari 3 jilid, yang berisikan uraian tentang logika dan hikmah. Merupakan karya terakhir yang dihasilkan Ibnu Sina.[9]
Filsafat
Al- Tawfiq ( Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan antara Agama dan Filsafat. Menurut nabi dan Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filsofot melalui akal Mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal Mustafad sebagai anugrah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal materil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut Wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk Ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana Farabi, juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para Nabi dan para Filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakannya dirinya jadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi Nabi.
Dalam pandangan Ibnu Sina, para Nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi dengan para mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Demikianlah uraian Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja mengakui adanya Nabi/Rasul dan Kenabian/Kerasulan, melainkan juga menegaskan bahwa Nabi/Rasul lebih unggul dari filosof.
Ketuhanan
Ibnu Sina membuktikan adanya Tuhan (Isbat Wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Dalam Filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut[10]:
Wajib Al–Wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud kedalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang kain diluar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada apa yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar).
Mumkin al-wujud, Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak atau diandaikan ada, maka tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada. Mumkin al-wujud dapat pula dilihat dari sisi lainnya, karena dirinya sendiri, tidaklah lain dari segenap alam yang diciptakan Tuhan.
Mumtani’ al-wujud, Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud seperti adanya sekarang ini juga kosmon lain disamping kosmos yang ada.
Sebagaimana Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal (kully) di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimakudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial ini secara tidak langsung, yakni melaui zatnya sebagai sebab adanya alam.[11] Dari pendapat Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.
Emanasi (pancaran)
Teori emanasi Ibnu Sina hampir tidak berbeda sama sekali dengan teori emanasi yang dikemukaan oleh Farabi.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud (bukkan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (berta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal sepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.[12]
Sejalan dengan Filsafat emanasi, alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah sejak Qidam dan Azali. Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pencaran, alam ini baharu (hudus zaty). Sementara itu Allah adalah taqaddum zaty, ia sebab semua yang ada dan ia adalah pencipta alam. Jadi, alam ini baharu dan qadim. Baharu dari segi  esensi, dan qadim dari segi zaman.
Jiwa
Kata jiwa dalam Al-qur’an dan Hadis diistilahkan dengan al-nafs (jiwa) atau al-ruh (imateri) yang berada dalam tubuh. Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
Fisika,membicarkan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Jiwa Tumbuh-tumbuhan, mempunyai 3 daya yaitu makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak.
Jiwa Binatang mempunyai 2 daya yaitu gerak dan menangkap. Daya yang terakhir ini menjadi 2 bagian:
Menangkap dari luar dengan pancaindra
Menangkap dari dalam dengan indra-indra batin
Dengan demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
Jiwa Manusia, yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai 2 daya yaitu Praktis dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai 4 tingkatan yaitu:
Akal materiil (al-‘aql al-hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
Akal malakat (al-‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
Akal Mustafad (al-‘aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstraktanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal sebagai berikut:
Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan 4 dalil yaitu:
Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
Gerakan Paksaan, gerakan yang timbul pada suatu benda yang disebabkan adanya dorongan dari luar.
Gerakan tidak paksaan, gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam seperti batu jatuh dari atas kebawah. Sedangkan yang berlawanan dengan hukum alam seperti seperti manusia berjalan dan burung terbang hal ini terjadi karena adanya penggerak yang disebut dengan jiwa.[13]
Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Begitu juga dalam masalah psikologi terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan yang menunjukan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
Dalil Kontinuitas (al-istimrar)[14]
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit yang 10 tahun lewat karena telah mengalami perubahan seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula dengan jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu tidak mengalami perubahan dan pergantian. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan. Namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkn dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Hakikat Jiwa
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhur rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak  membawa pada hancurnya jiwa (roh).  Pendapat ini lebih dekat pada plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri.
Hubungan Jiwa dengan jasad
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
Kekekalan Jiwa
Ibnu Sina lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Al-qur’an. Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan di akhirat. Akan tetapi, kekalnya ini dikekalkan Allah. Jadi, jiwa adalah baharu karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Uraian diatas mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa pada peringkat yang paling tinggi. Disamping sebagai dasar fikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa menurut Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan.[15]
IMAM GHAZALI
Riwayat Hidup, karir dan karyanya
Nama lengkap dari Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (orang tua) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol.[16] Panggilan Al-Ghazali sebagai sebutan penduduk Khurasan kepadanya. Sebagian ahli sejarah menyebutnya Al-Ghazali sehubungan dengan desa tempat dia dilahirkan, yaitu Ghazalah.[17]
Al-Ghazali belajar di Thus, Jurjan, dan Naisabur. Sampai usia 20 tahun  ia menuntut ilmu dikota kabupatennya- thus- dari kedua gurunya Razakani bin Muhammad dan Yusuf Al-Nassaj seorng sufiwan terkenal pada tahun 479 H. Ia menimba ilmunya Abu Nasr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk kesekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini (Imam Al- Karamain). Selanjutnya ia bermukim di Mu’askar (komplek tentara) selama 5 tahun dan di Baghdad selama 5 tahun berikutnya. Di Baghdad inilah ia menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Ia berusaha keras menjadi mempelajari Filsafat dan menunjukan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku Maqasad al-Falasafiyah (tentang pemahaman para Filosof, tentu menurut pemahaman Al-Ghazali), kemudian menunjukan kemampuannya mengkritik argumen-argumen para filosof dengan menulis Tahafut al-falasafiyah (ketidak konsistenan para filosof), dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan pemikiran para filosof muslim. Setelah sembuh dari mengalami sakit yang parah selama 6 bulan (kehilangan nafsu makan dan tidak bisa bicara) karena konflik batin : sama kuat antara dorongan untuk berada di baghdad (memimpin dan mengajar di Nizhamiyah Baghdad) dan dorongan untuk meninggalkan Baghdad (untuk menjalani tasawuf) ia berhasil menjalani kehidupan tasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Yerusalem, Mekkah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Naisabur selama 2 tahun, ia kembali lagi ke Thus mendirikan Khankah (pusat latihan) bagi calon sufi. [18]Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat di Thus pada tanggal 14 jumadil akhir 505 H, itu dalam usia 55 tahun[19]. Jasadnya dikebumikan disebelah Timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (argumentasi islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum Filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah Muslim terbesar sesudah Muhammad[20].
Al-Ghazali adalah Fakih, Mutakallim, dan Sufi. Ia mahir bicara dan sangat produktif dalam mengarang. Karya tulisannya lebih dari 228 buku/risalah. Dibawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:
Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
Al-Iqtishad fi al-i’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliaran al-asy’ariyah
Maqasid al-falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan
Tahafut al-falasafiyah, berisikan kritikan terhadap para Filosof.
Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berrbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahnya.
Mizan al-‘amal, didalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
 
 
Filsafat
Masalah keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof bependapat bahwa alam ini qadim, artinya wujud alam bersamaan wujud Allah. Keqadiman Allah dari alam hanya dari segi zatnya dan tidak dari segi zaman. Bagi Al-Ghazali, bila alam dikatakan Qadim (tidak pernah tidak ada), maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadimnya alam, menurut Al-Ghazali membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an.
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti  pada awalnya tuhan ada, sedang alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan Alam, maka alam ada disamping adanya Tuhan. Sebaliknya pagi para filosof muslim yang berpaham bahwa alam itu qadim, seperti bagi Al-farabi dan Ibnu Sina, bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka dengan pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya.
Tuhan tidak mengetahui yang Juz’iyyat (parsial)
Para filosof muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (Juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan Ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di Alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Ini mustahil terjadi pada Allah[21].
Menurut Al-Ghazali pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena Ilmu merupakan i’dhafah (sesuatu yang rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah, tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof tentang pengetahuan Allah itu wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut Al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedngkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
3.Kebangkitan jasmani di Akhirat
Menurut para Filosof Muslim, yang akan dibangkitakan di Akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasman akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof Muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an. Menurut Al-Ghazali tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Gambaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi tentang kehidupan diakhirat bukanlah mengacu kepada kehidupan rohani saja, akan tetapi pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Pemahaman bahwa kehidupan di syurga dan Neraka itu bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat, dan pemahaman demikian bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dan oleh karena itu dikufurkannya.

IBNU RUSYD
Riwayat Hidup, Karir, dan karyanya
Ibnu Rusyd atau Averrois [22](metamorfose Yahud-Spanyol-Latin) yang nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 520 H/1126 M di Cordova, Andalus dari keluarga terdidik dan terpandang. Kakeknya adalah Dewan Hakim dari seluruh Andalusia dibawah pemerintahan Al-Murbatiyah. Ibnu Rusyd wafat di Marakesh (Maroko) pada tahun 595 H/1198 M.
Setelah menguasai Fiqih, ilmu kalam, dan sastra  Arab dengan baik, Ibnu Rusyd menekuni matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan falsafat. Tidaklah dapat disangkal bahwa Ibnu Rusyd adalah salah seorang sarjana dan Filosof yang paling besar yang pernah dilahirkan oleh dunia Arab, dan salah seorang komentator yang paling dalam menguasai karya-karya aristoteles sehingga ia diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy[23].
            Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat Negara,-ketua Mahkamah Agung, Guru besar, dan dokter istana-menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan. Karya-karya ini menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli. Hal ini merupakan indikasi keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.
Karir Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Memang saat permulaan pemerintahan Khalifah Ya’qub Ibnu Yusuf yang menggantikan ayahnya. Yusuf Abu Muhammad ‘AbdAl-Mukmin, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya. Akan tetapi  pada tahun 1195 M, ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dilepas dalam segala jabatannya. Lebih dari, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, astronomi[24]. Menurut Nurcholish  Madjid, terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan perhitungan politis. Suasana yang mencekam ini dimanfaatkanoleh ulama-ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Untunglah  masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak langsung lama (satu tahun).  Pada tahun 1197 M, Khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/9 safar 595 H di Marakes dalam usia 72 tahun.[25]
Telah dikemukakan diatas, bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisannya ialah gaya penuturan yang mencangkup komentar, koreksi, dan opini, sehingga karyanya lebih lebi hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka.
Diantara karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
Fash al-Maqal fi ma bain Al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan berisikan antara agama dan filsafat.
Al-Kasyf’an Manahij Al-Adillat fi’aqa’id al-millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
Bidayat al-mujtahid wa nihayat al-Muqtasid, berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.
Filsafat
Alam Qadim
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim – Alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (Al-ijad min al’adam, creatio ex nihilo).      Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah  alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Filosof Muslim, alam ini Qadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang Filosof Muslim yang berpendapat bahwa Qadimnya alam sama dengan Qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang berubah menjadi ada dalam bentuk lain.
Menurut Ibnu Rusyd dapat diambil kesimpulan bahwaalam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al’adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa faham Qadim-Nya alam tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan[26].
Bagi Filosof Muslim, alam itu dikatakan Qadim (ada sejak Qidam/azali) justru karena diciptakan oleh tuhan yang Qadim, sejak Qidam/azali. Karena diciptakan sejak Qidam/azali, maka akibatnya tentu alam itu menjadi Qadim pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam, kendati dari segi waktu itu sama-sama Qadim, tetapi tidak sekufu/sederajat karena Tuhan adalah Qadim tang mencipta, sedang alam adalah Qadim yang dicipta atau ciptaan yang Qadim.
Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di Alam
Menurut Al-Ghazali para Filosof Muslim berbeda pendapat bahwa Allahlah tidak mengetahui yang parsial di Alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak tidak ada para filosof yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di  Alam tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat Qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di Alam ini betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitupula pengetahuan Allah bersifat sebab, sedangkan pengetahuan manusia bersifat akibat.
Demikian juga menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan Juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i ini adalah satuan yang ada di Alam yang berbentuk materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kully mencankup berbagai jenis. Kully bersifata abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancraindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibnu Rusyd tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
Kebangkitan jasmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan jasmani di Akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di Akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di Akhirat tidak sama dengan kehidupan di Dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadis :”Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan Rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa perbedaan pendapat  antara Al-Ghazali dengan para Filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar terebut. Dengan arti hanya pebedaan ijtihad para Filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang muslim lain dalam memahami ayat-ayat Allah dan Hadis. Hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan ini tidak akan membawa kekafiran (bisa dimaafkan). Sehubungan dengan Hadis “ Siapa yang benar dalam berijtihad di budangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah (keliru) dalam ijtihadnya ia mendapat satu pahala”
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4, hal 2.
[2] Ibid hal 4
[3] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1 hal 4
[4] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1 hal 44
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4, hal  91
[6] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1 hal 34
[7] Ibid hal 34
[8] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hal 191
[9] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) , hal 93
[10] Harun Nasution, falsafat, op.cit; hal 33-34
[11] Muhammad Yusuf Musa, op.cit; hal 72
[12] Ibnu Sina, al-najt, (kairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1938) hal 398
[13] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) , hal 106
[14] Ibid hal 107-110
[15] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) , hal 76
[16] Zaky mubarak, al-akhlaq ‘ind Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-katib al-araby al-thaba’at al-nasyr, 168), hal 47
[17] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1 hal 55
[18] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) ,  hal 106
[19] Muhammad Yusuf Musa,falsafat al-akhlaq fi al-islam, (Kairo:Dar al-ma’arif, 1963),  hal 129
[20] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 31
[21] Al-Ghazali, Tahafut, op.cit ; hal 206-207
[22] Nurcholish Majid, kaki langit peradaban Islam,( Jakarta: Paramadina,1997),  hal. 94-95
[23] Ahamd Fu’ad, ibnu Rusyd, hal 542-543
[24] Nurcholish, Majid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal 37
[25] TJ. De boer, Tarikh al- falsafah fi  al-islam. Terjem. Muhammad:Abd al-hady  Abu zaidah. (Kairo: Mathba’at al-takhlif, 1962), hal. 252
[26] Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, Al-Naz’at al-‘aqliyyat fi falsafat Ibn Rusyd, (Kairo: Dar al-Ma’arif 1979), hal 78
[27] Harun Nasution, falsafat dan Misticisme dalam islam. (jakarta: Bulan Bintang:1973), hal  47
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003)
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Harun Nasution, falsafat dan Misticisme dalam islam. (jakarta: Bulan Bintang:1973),
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987),
Nurcholish Majid, kaki langit peradaban Islam,( Jakarta: Paramadina,1997(
Nurcholish, Majid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984(
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1
TJ. De boer, Tarikh al- falsafah fi  al-islam. Terjem. Muhammad:Abd al-hady  Abu zaidah. (Kairo: Mathba’at al-takhlif, 1962),

Makalah filsafat ilmu

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) dan penjelasan gaib (mystical exploitation). Kini di satu pihak manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi dipihak lain sebagian mengenal pula aneka keterangan gaib yang tidak mungkin diuji sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih berada di luar jangkauan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.
Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaahan (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find), atau pencarian (search). Oleh karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia ilmu kini dipergunakan istilah research (penelitian) untuk aktivitas ilmiah yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.
Pengetahuan yang telah disempurnakan atau yang dikenal dengan sebutan ilmu itu bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas berbagai macam ilmu yang dikemukakan para ilmuwan guna mengingat pentingnya mengetahui dan mempelajari ilmu tersebut.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana Pengklasifikasian ilmu?
Bagaimana Hierarki ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Ilmu
Istilah Ilmu Pengetahuan merupakan suatu pleonasme[1]), yaitu pemakaian lebih daripada satu kata yang maknanya sama. Dalam bahasa Inggris science (ilmu) tidak sama dengan pengetahuan. Ilmu bermakna ganda:
Menurut cakupannya = ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan.
Ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu pokok soal tertentu.
Istilah science Inggris kadang-kadang diberi arti khusus lebih terbatas lagi, yaitu sebagai pengetahuan sistematis mengenai dunia fisik atau material.
Pengetahuan = paling umum. Para filsuf cenderung terdapat pemahaman bahwa ilmu adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Pengertian ilmu sebagai Pengetahuan = sesuai dengan asal-usul istilah science = Latin “scientia” = scire = to know, to learn. Akhirnya Ilmu dapat difenisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagagi metode sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.
Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan semangat zaman. Pemunculan suatu cabang ilmu baru terjadi karena beberapa factor. Bert Hoselitz[2]) menyebut adanya tiga hal sebagai berikut. Pembentukan suatu disiplin khusus yang baru dalam bidang ilmu manapun berkaiatn dengan tiga syarat. Pertama, yaitu eksistensi dan pengenalan seperangkat problem-problem baru yang menarik perhatian beberapa penyelidik. Kedua, yaitu pengumpulan sejumlah cukup data yang akan memungkinkan penggerapan generalisasi-generalisasi  yang cukup luas lingkupnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum problem-problem yang sedang diselidiki. Ketiga, yaitu pencapaian pengakuan resmi atau institusional terhadap disiplin batu itu.
Dengan berkembangnya demikian banyak cabang ilmu khusus, timbullah masalah pokok tentang penggolongan ilmu-ilmu itu atau pembagiannya. Klasifikasi merupakan pengaturan yang sistematik untuk menegaskan definisi sesuatu cabang ilmu, menentukan batas-batasnya dan menjelaskan saling hubungannya dengan cabang-cabang yang lain. Ada beberapa pandangan yang terkait dengan klasifikasi ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan
Pembagian ilmu pengetahuan pada zaman ini berdasarkan “artis liberalis” atau kesenian yang merdeka, yang terdiri atas dua bagian yaitu:
Trivium atau tiga bagian yaitu:
Gramatika, bertujuan agar manusia dapat berbicara yang baik.
Dialektika, bertujuan agar manusia dapat berpikir baik, formal dan logis.
Retorika, bertujuan agar manusia dapat berbicara dengan baik.
Quadrivium atau empat bagian yaitu:
Aritmatika yaitu ilmu hitung.
Geometrika yaitu ilmu ukur.
Musika yaitu ilmu musik.
Astronomia yaitu ilmu perbintangan.
The Liang Gie
The Liang Gie membagi pengetahuan ilmiah berdasarkan dua hal, yaitu ragam pengetahuan dan jenis pengetahuan. Pembagian ilmu menurut ragamnya mengacu pada salah satu sifat atributif yang dipilih sebagai ukuran. Pembagian ini hanya menunjukkan sebuah ciri dari sekumpulan pengetahuan ilmiah. Sifat atributif yang akan dipakai dasar untuk melakukan pembagian dalam ragam ilmu adalah sifat dasar manusia yang berhasrat mengetahui dan ingin berbuat. Dengan demikian The Liang Gie[3]) membagi ilmu dibedakan menjadi dua ragam, yaitu ilmu teoritis (theoretical science) dan ilmu praktis (practical science).
Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap pembagian menurut ragam adalah pembagian ilmu menurut jenisnya. Menurut The Liang Gie ada enam jenis objek material pengetahuan ilmiah, yaitu ide abstrak, benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.
Berdasarkan enam jenis pokok soal di atas, the Liang Gie membagi ilmu menjadi tujuh jenis, yaitu

No      Jenis Ilmu              Ragam Ilmu
Ilmu Teoritis Ilmu Praktis
Ilmu-ilmu matematis Aljabar
Geometri
Accounting
Ilmu-ilmu fisis
Ilmu-ilmu biologi
Ilmu-ilmu psikologis
Ilmu-ilmu sosial
Ilmu-ilmu linguistik
Ilmu-ilmu interdisipliner
2.

Ilmu-ilmu fisis

Kimia
Fisika

Ilmu keinsinyuran
Metalurgi
3.

Ilmu-ilmu biologi

Biologi molekuler
Biologi sel

Ilmu pertanian
Ilmu peternakan
4.

Ilmu-ilmu psikologis

Psikologi eksperimental
Psikologi perkembangan

Psikologi pendidikan
Psikologi perindustrian
5.

Ilmu-ilmu sosial

Antropologi
Ilmu ekonomi

Ilmu administrasi
Ilmu marketing
6.

Ilmu-ilmu linguistik

Linguistik teoritis
Linguistik perbandingan

Linguistik terapan
Seni terjemahan
7.

Ilmu-ilmu interdisipliner

Biokimia
Ilmu lingkungan

Farmasi
Ilmu perencanaan kota
erti yang digambarkan pada tabel berikut:

3) Cristian Wolff
Wolff mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan empiris, matematika, dan filsafat. Wolff menjelaskan pokok-pokok pikirannya mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan itu sebagai berikut:
1.      Dengan mempelajari kodrat pemikiran rasional, dapat ditemukan sifat yang benar dari alam semesta.
2.      Pengetahuan kemanusiaan terdiri atas ilmu-ilmu murni dan filsafat praktis.
3.      Ilmu-ilmu murni dan filsafat praktis sekaligus merupakan produk berpikir deduktif.
4.      Seluruh kebenaran pengetahuan diturunkan dari hukum-hukum berpikir.
5.      Jiwa manusia dalam pandangan Wolff dibagi menjadi tiga yaitu mengetahui, menghendaki dan merasakan.
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Wolff ini dapat diskemakan sebagai berikut:
a)      Ilmu pengetahuan Empiris
kosmologis empiris
psikologi empiris
b)      Matematika
Murni: aritmatika, geometri, dan aljabar.
Campuran: mekanika, dan lain-lain.
c)      Filsafat
Spekulatif (metafisika): umum-ontologi, dan khusus; psikologi, kosmologi, theologi.
Praktis: intelek-/Logika, kehendak; ekonomi, etika, politik, dan pekerjaan fisik; teknologi.

4)      Auguste Comte
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:
Ilmu Pasti (Matematika) merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan.
Ilmu Perbintangan (Astronomi) dapat menyusun hukum yang bersangkutan dengan gejala benda langit.
Ilmu Alam (Fisika) merupakan ilmu yang lebih tinggi dari ilmu perbintangan.
Ilmu Kimia (Chemistry), gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu alam.
Ilmu Hayat (Fisiologi atau Biologi) merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala kehidupan.
Fisika Sosial (Sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan.
Atau secara garis besar dapat diskemakan sebagai berikut:
A.    Ilmu Pengetahuan; a. Logika (matematika murni); b.Ilmu pengetahuan empiris: astronomi, fisika, kimia, biologi, sosiologi.
B.     Filsafat: a. Metafisika; b. filsafat ilmu pengetahuan: pada umumnya; pada khususnya.

5)      Karl Raimund Popper
Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dunia (world)[4]), yaitu dunia 1, dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan bahwa dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedang dunia 2 adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil keja sama antara dunia 1 dan dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan sebagainya.

Kalau diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Dunia 1                                                        Dunia 3                                                  Dunia 2
Kenyataan fisis                                          Hipotesis, hokum, teori                      Kenyataan psikis
Dunia                                                            (ciptaan manusia)                                               dalam diri manusia


                                         Karya Ilmiah     Studi Ilmiah          Penelitian Ilmiah
6)      Thomas S.Kuhn
Thomas S.Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma[5]), yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Menurut Khun cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Selama menjalankan aktivitas ilmiah para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang  dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini dinamakan anomali. Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bias memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.
Gambaran ketiga tahap tersebut dapat diskematisasikan sebagai berikut:
PARADIGMA
Dalam Masa Normal Science
ANOMALI
PARADIGMA BARU
Revolusi ilmiah
7)      Jurgen Habermas
Pandangan Jurgen Habermas tentang klasifikasi ilmu pengetahuan sangat terkait dengan sifat dan jenis ilmu, pengetahuan yang dihasilkan, akses kepada realitas, dan tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ignas Kleden menunjukkan tiga jenis metode ilmiah berdasarkan sifat dan jenis ilmu seperti terlihat dalam bagan berikut:
Sifat Ilmu
Jenis Ilmu
Pengetahuan yang Dihasilkan
Akses kepada Realitas
Tujuan
Empiris-Analitis
Ilmu alam dan social empiris
Informasi
Observasi
Penguasaan teknik
Historis hermeneutis
Humaniora
Interpretasi
Pemahaman arti via bahasa
Pengembangan inter subjektif
Sosial-kritis
Ekonomi, sosiologi, politik
Analisis
Self-Reflextion

Pembebasan kesadaran non-reflektif
Ignas Kleden menunjukkan pandangan Habermas tentang ada tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi dan menentukan bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan manusia, yaitu kerja, komunikasi, dan kekuasaan.
8)      Francis Bacon
Francis Bacon mendasarkan klasifikasi ilmunya pada subjeknya, yaitu daya manusia untuk mengetahui sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, ia membeda-bedakannya sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan ingatan yaitu membicarakan masalah-masalah atau kejadian yang telah lalu, meskipun dimanfaatkan untuk masa depan.
Ilmu pengetahuan khayal yaitu membicarakan kejadian-kejadian dalam dunia khayal, meskipun berdasar dan untuk keperluan dunia nyata.
Ilmu pengetahuan akal yaitu umumnya pembahasannya mengandalkan diri pada logika dan kemampuan berfikir.
Klasifikasi tersebut tidak dapat dibenarkan apabila apabila pemikiran kita berpangkal pada pandangan bahwa kita tidak akan mungkin mengenal dengan akal, ingatan, atau daya khayal semata, tetapi dengan seluruh pribadi kita.
9)      Aristoteles
Aristoteles memberikan suatu klasifikasi berdasarkan objek formal yaitu ilmu teoritis (spekulatif), praktis, dan poietis (produktif). Ilmu teoritis bertujuan bagi pengetahuan itu sendiri, yaitu untuk keperluan perkembangan ilmu. Ilmu praktis yaitu ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran begi perbuatan kita. Poietis yaitu ilmu pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil karya, alat, dan teknologi.
10)  Wilhelm Windelband
Wilhelm Windelband membeda-bedakan ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaf) dan ilmu srjarah (geschichtswissenschaft)[6]). Menurutnya, kedua jenis ilmu pengetahuan itu tidak berbeda dalam hal objeknya karena objeknya satu yaitu kenyataan. Adapun perbedaannya terletak pada metode. Metode untuk naturwissenschaf disebut nomotetis yaitu berhubungan dengan nomos atau norma yang menunjuk pada adanya usaha untuk membuat hal umum atau generalisasi. Sedangkan geschichtswissenschaft menggunakan metode ideografis yaitu tertuju pada hal yang sifatnya individual atau tidak umum, tetapi menuju individualisasi, serta hanya terjadi sekali atau bersifat einmalig. Artinya, tidak dapat diulangi dan tidak pula dapat diduga atau diramalkan. Metode ini semata-mata suatu usaha untuk melukiskan gagasan atau ide dari objek.

11)  Al-Ghazali
Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu Syar’iyyah
1)   Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
* Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
*Ilmu tentang kenabian.
*Ilmu tentang akhirat atau eskatoogis
*Ilmu tentang sumber pengetahuan religious. Yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori:
                   i Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
                   ii.Ilmu-ilmu pelengkap.
2)  Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
* Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
* Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
        i. Ilmu tentang transaksi
       ii.Ilmu tentang kewajiban kontraktual
* Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
b.     Ilmu Aqliyyah
Matematika: aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, music
Logika
Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorology, mineralogy, kimia
Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika:
Ontologi
*      Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi.
*      Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana.
*      Pengetahuan tentang dunia halus.
*      Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi.
*      Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini mengemukakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
Pembagian ilmu-ilmu dewasa ini menimbulkan perincian yang dinamakan disiplin ilmu dan cabang ilmu dalam masyarakat ilmuwan. Saat ini, klasifikasi ilmu didukung banyak ahli. Adapun ilmu tersebut dibagi menjadi:
1)      Ilmu pengetahuan Aprori (rasional). Teori ilmu pengetahuan menuntut penyadaran kita terhadap pengertian pengetahuan. Penyadaran terhadap pengetahuan yang berdasarkan pengalaman serta pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman. Penyadaran pertama menimbulkan pengetahuan apriori (sebelum pengalaman). Penyadaran kedua atau terakhir menghasilkan ilmu pengetahuan aposteroiri (sesudah pengalaman).
2)      Ilmu pengetahuan alam dan rohani. Ilmu pengetahuan alam dan rohani berbeda karena objeknya. Perbedaan pertama, berobjekan pada hal-hal yang cukup dijangkau atas dasar kategori kausalitas. Dengan kata lain, objek ilmu tersebut dapat diterangkan dengan mempersoalkan sebabnya. Objek ilmu pengetahuan rohani yaitu manusia dengan kehidupan rohaninya, tidak mungkin hanya dipandang sebagai benda mati atau benda hidup.
Selain itu tedapat pula pengkalsifikasian ilmu yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan[8]) tentang Perguruan Tinggi Nomor: 22 Tahun 1961 di Indonesia yang terdiri atas empat kelompok sebagai berikut:
a.       Ilmu Agama/Kerohanian, yang meliputi:
·         Ilmu Agama
·         Ilmu Jiwa
b.      Ilmu Kebudayaan, yang meliputi:
·         Ilmu Sastra
·         Ilmu Sejarah
·         Ilmu Pendidikan
·         Ilmu Filsafat
c.       Ilmu Sosial, yang meliputi:
·         Ilmu Hukum
·         Ilmu Ekonomi
·         Ilmu Sosial Politik
·         Ilmu Ketatanegaraan dan Ketataniagaan

d.      Ilmu Eksakta dan Teknik, yang meliputi:
·         Ilmu Hayat
·         Ilmu Kedokteran
·         Ilmu Farmasi
·         Ilmu Kedokteran Hewan
·         Ilmu Pertanian
·         Ilmu Pasti Alam
·         Ilmu Teknik
·         Ilmu Geologi
·         Ilmu Oceanografi
C.    Hierarki Ilmu
Hierarki ilmu merupakan urutan atau tingkatan dari ilmu. Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu metodologis, ontologism dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuwan muslim sesudahnya membuat klasifikasi ilmu-ilmu.
Sebagaimana telah dikemukakan suatu disiplin ilmu terbagi dalam sejumlah specialty yang dalam bahasa Indonesia sebaiknya disebut cabang ilmu. Cabang ilmu atau specialty pada umumnya juga telah tumbuh cukup luas sehingga dapat dibagi lebih terperinci menjadi beberapa ranting ilmu. Kadang-kadang sesuatu ranting ilmu yang cukup pesat pertumbuhannya bisa mempunyai perincian lebih lanjut yang kami sebut tangkai ilmu. Jadi, dalam ruang lingkup sesuatu jenis ilmu yang bercorak teoritis atau praktis terdapat urutan tata jenjang yang merupakan hierarki ilmu sebagai
berikut:
Jenis Ilmu
Rumpun Ilmu
Cabang Ilmu
Tangkai Ilmu

  BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Banyak pengklasifikasian ilmu yang dikemukakan oleh para ahli dengan cara yang berbeda-beda pula, yaitu: klasifikasi berdasarkan subjek (Francis Bacon), objek (Aristoteles) serta metode (Wilhelm Windelband). Adapun ahli lain seperti The Liang Gie yang mengklasifikasikan ilmu berdasarkan jenis dan ragamnya, Cristian Wolff mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar, Auguste Comte mengklasifikasikan berdasarkan sejarah ilmu itu sendiri, Karl Raimund Popper membagi menjadi tiga dunia, Thomas S. Kuhn dengan teori paradigmanya serta Jurgen Habermas berdasarkan sifat dan jenis ilmu. Sedangkan menurut Islam yang dikemukakan oleh Al-Ghazali membagi ilmu secara filosofis.
2.      Hierarki ilmu yaitu urutan tata jenjang ilmu atau tingkatan-tingkatan dari ilmu yang dimulai dari jenis ilmu kemudian rumpun ilmu selanjutnya cabang ilmu dan terakhir yaitu tangkai ilmu.
B.     Saran
Adapun saran yang disampaikan penulis yaitu dalam pembuatan makalah haruslah sesuai dengan prosedur dalam pembuatan makalah yang sesungguhnya.







DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Pandia, Wisma. Filsafat Ilmu. Sekolah tinggi Theologi Injili Philadelphia.
Salam, Burhanuddin. 2000. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.
        Jakarta: Bumi Aksara.
Wiramihardja, Sutardjo. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT.Refika Aditama.

Makalah asbabun nuzul

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala berkat limpahan rahmat dan nikmat yang telah diberikan kepada kita sehingga kita masih diberi kesempatan untuk mencari, menggali, membahas, dan mengamalkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepangkuan beliau Nabi Agung Muhammad SAW.
Ulumul Qur’an  adalah salah satu mata kuliah di fakultas agama islam UNISSULA yang membahas tentang berbagai bentuk dan  pembagian – pembagian ulumul Qur’an dan masih banyak yang lainnya.
Akhirnya kami merasa dalam penyusunan makalah “ ULUMUL QUR’AN” ini masih banyak kekurangan maka kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu suksesnya makalah ini terutama kepada Bapak Khoirul Anwar yang senantiasa mendorong kami untuk mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalan mata kuliah ulumul Qur’an dikehidupan sehari-hari.
Semoga kesuksesan menjadi milik kita bersama. Amin ya robbal ‘alamin.........





penyusun



DAFTAR ISI

KATA  PENGANTAR........................................................................................I
DAFTAR ISI........................................................................................................II
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................2
A. Pengertian Asbabun Nuzul..............................................................................2
B. Sumber dan Cara Mengetahui Asbbun Nuzul.................................................3
C. Sebab – Sebab Turunnya Al – Qur’an.............................................................5
D. Fungsi Asbabun Nuzul Dan Kegunaan Mempelajarinya................................8
E. Contoh-contoh Asbabun Nuzul.......................................................................10
BAB III
PENUTUP...........................................................................................................12
A. Kesimpulan......................................................................................................12
B. Saran.................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Asbabun nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang harus diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an secara mendalam.
            Berdasarkan pemahaman para ahli tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbabun Nuzul maka ilmu ini perlu dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan sekarang Asbabun Nuzul telah dijadikan salah satu kajian  dalam ‘Ulumul Qur’an.
Maka dalam makalah ini, penulis membahas tentang  “ Ilmu Asbabun Nuzul ”, semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi penulis. Amin...

Rumusan Maslah
Pengertian Asbabun Nuzul.
Sumber dan cara mengetahui Asbabun Nuzul
Sebab-Sebab  turunnya Al Qur’an
Fungsi Asbabun Nuzul dan kegunaan mempelajarinya.
Contoh-contoh Asbabun Nuzul.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Asbabun Nuzul
Kata asbabun nuzul terdiri atas kata asbab dan an-nuzul. Asbab adalah kata jamak (banyak) dari kata mufrod (tunggal) sabab, yang secara etimologis berarti sebab,alasan ,illat (dasar logis), perantaraan, wasilah, pendorong (motivasi), tali kehidupan, persahabatan, hubungan, kekeluargaan, kerabat, asal, sumber, dan jalan.
Yang di maksud sengan dengan nuzul di sini ialah penurunan Al-Qur’an dari Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantaraan malaikat Jibril. Karena itu istilah lengkap asalnya  ialah Asbabu Nuzulil Qur’an yang berarti sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Namun demikian, dalam istilah teknis keilmuan lazim dikenal dengan sebutan asbab/sababun nuzul saja, tanpa menyertakan kata Al-Qur’an karena sudah dikenal luas pengertian, dan maksudnya.
Ada beberapa pengertian yang di kemukakan oleh para ahli ulumul Qur’an. Di antaranya menurut Manna’ al-Qaththan yaitu asbabun nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan sesuai itu Al-Qur’an di turunkan pada waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.
Menurut Subhi as-Shalih ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat Al-Qur’an diturunkan (dalam rangka) mengcover, menjawab atau menjelaskan hukumnya di saat sesuatu itu terjadi.
Mengacu kepada kedua definisi tersebut, di samping memperhatikan pengertian harfiah dari kata asbabun nuzul itu sendiri, dapatlah di formulasikan bahwa asbabun nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat Al-Qur’an di turunkan. Yang di maksud dengan sesuatu  itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berbentuk alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.
Atas dasar ini, maka tidak selamanya asbabun nuzul harus di artikan dengan segala sesuatu yang terjadi lebih dahulu dan baru kemudian turun ayat Al-Qur’an. Sebab, bisa saja peristiwa itu sendiri masih jauh akan terjadi, tetapi ayat AlQur’annya telah di turunkan terlebih dahulu . berkenaan dengan perihal ini, az-Zarkasyi menegaskan bahwa terkadang memang terjadi turunnya ayat Al-Qur’an lebih dulu dari pada pensyariatan hukum atu kejadian peristiwanya itu sendiri.
Di antara  contohnya ialah ayat di bawah ini:
((((( (((((((( ((( (((((((( ((((  
14. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
Dari ayat ini ada sebagian ahli hukum Islam di antaranya Abdullah bin Umar yang beristidlal (mengambil dalil) tentang kewajiban zakat fitrah, padahal zakat fitrahnya sendiri baru di wajibkan dua atau tiga tahun setelah Nabi Muhammad Saw, hijrah ke Madinah. Itulah sebabnya sebagian ulama merasa heran atas intinbath hukum Ibnu Umar ini mengingat surat Al-A’la tergolong kedalam surat makkiyah (yang di turunkan di makkah) sedangkan periode Makkah itu belum pernah ada syari’at (perintah) “id/hari raya maupun zakat”.

Sumber dan Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas maka al itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf, mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal”.
Maksudnya, para sahabat apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan orang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul.
Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif (lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:
Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223,
((((((((((((( (((((( (((((( ((((((((( (((((((((( (((((( (((((((( ( (((((((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( (((( (((((((((((((( ((((((( (((((((((( ( ((((((((( ((((((((((((((( (((((  
223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas. Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.

Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul, ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat.
Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama, salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian, maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.

Sebab – sebab Turunnya Al-Qur’an (Asbabun Nuzul)
Sebab turunnya Al-Qur’an dalam segi bentuknya ada tiga macam, yaitu:
Peristiwa pertengkaran
Contoh: perselisihan yang berkecambuk antara suku Aus dan Khazr,aj. Perselisihan tersebut muncul dari instrik-instrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi. Peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat Ali Imran:100
((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((((((( ((((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((( (((((( (((((((((((( (((((((((( (((((  

100. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.

Peristiwa kesalahan serius
Seorang yang menjadi imam saat sholat dan orang tersebut dalam keadaaan mabuk,, sehingga salah dalam mengucapka ayat Al-Quran, maka turunlah QS An-Nisaa’:43
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (( ((((((((((( ((((((((((( ((((((((( ((((((((( (((((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((( ((((((( (((( (((((((( ((((((( (((((( ((((((((((((( ( ((((( (((((( (((((((( (((( (((((( (((((( (((( (((((( (((((( ((((((( ((((( (((((((((((( (((( ((((((((((( (((((((((((( (((((( ((((((((( (((((( ((((((((((((( (((((((( (((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( ( (((( (((( ((((( ((((((( (((((((( ((((  

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Menurut sebagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Untuk lebih jelas lagi, peristiwa ini terdapat dalam sebuah riwayat yang dikemukakan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamar, sehingga terganggu otak mereka. Ketika tiba waktu sholat, Ali menjadi imam saat sholat, dan ketika waktu itu beliau membaca dengan keliru Surah Al-Kafirun maka turunlah QS An-nisa’:43.
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Diriwatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, al-Hakim yang bersumber dari Ali. (Qamaruddin, dkk:1992:132)

Cita-cita dan keinginan
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim  yang bersumber dari Umar. Sejarah mencatat ada beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh umar bin Khatab, tapi ia tidak berani kemudian turun ayat Al-Qur’an Al-mukminun:12,13,14 .yang berbunyi:
(((((((( ((((((((( (((((((((( ((( ((((((((( (((( ((((( ((((  
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
(((( ((((((((((( (((((((( ((( ((((((( ((((((( ((((  
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
(((( ((((((((( ((((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((((( (((((((( ((((((((((( ((((((((((( ((((((( (((( (((((((((((( ((((((( ((((((( ( ((((((((((( (((( (((((((( (((((((((((((( ((((  
14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
D. Urgensi dan Kegunaan Asbabun Nuzul
Az-Zarqani dan As-Suyuti mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui Asbabun Nuzul merupakan hal sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan dengan meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar, karena tidak  mungkin menguniversalkan pesan Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.
Sementara itu mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat Asbabun Nuzul merupakan hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Dalam suatu statemennya Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Asbabun Nuzul sangat menolong dalam menginterprestasi Al-Qur’an”.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi Asbabun Nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat Al-Qur’an.
Di antaranya dalam surat Al Baqarah ayat 115 :
((((( (((((((((((( (((((((((((((( ( ((((((((((( ((((((((( (((((( (((((( (((( ( (((( (((( ((((((( ((((((( (((((  

115. dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui
Ayat tersebut menyatakan bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat zahir ayat di atas, seseorang boleh menghadap ke arah mana saja sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban menghadap kiblat ketika shalat.
Akan tetapi setelah melihat Asbabun Nuzulnya, tahapan bahwa interpretasi itu adalah keliru. Sebab ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang dalam perjalanan dan melaksanakan shalat di atas kendaraan atau orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
2. Menurut As-Syafii, pesan ini tidak bersifat umum (hasr).
Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas, As-Syafii menggunakan alat bantu Asbabun Nuzul. Menurutnya, ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak memakan sesuatu, kecuali yang telah mereka halalkan sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, tertama orang Yahudi, maka turulah ayat di atas.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-Asbab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafdz). Dengan demikian, ayat “ zihar “ dalam permulaan surat Al-Mujadilah, yang turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzihar istrinya, hanya berlaku bagi kedua orang tersebut. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan jalan dengan jalan analogi (qiyas).
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
Umpamanya, Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunujuk Abd Rahman Ibn Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunya ayat :  “Dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya “Cis kamu berdua…” (Al Ahqaf:17). Untuk meluruskan persoalan, Aisyah berkata kepada Marwan : ”Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.
5.Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang  mendengarnya.
Asbabun nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul, diantaranya:
Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turunnya ayat itu.

E. Contoh-contoh asbabun nuzul
Berikut ini adalah contoh-contoh asbabun nuzul yang di nukil dari kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an:

أخرج البخاري عن أنس قال: قال عمر: وافقت ربي في ثلاث. قلت: يا رسول الله لو اتخذت من مقام إبراهيم مصلى، فنزلت: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} [ البقرة: 125].

وقلت يا رسول الله: إن نساءك يدخل عليهن البر والفاجر، فلو أمرتهن أن يحتجبن، فنزلت آية الحجاب، واجتمع على رسول الله صلى الله عليه وسلم نساؤه في الغيرة، فقلت لهن: {عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ} [التحريم: 5] فنزلت كذلك.
-2 نزلت آيات في سعد بن أبي وقاص: قال: كانت أمي حلفت ألا تأكل ولا تشرب حتى أفارق محمد صلى الله عليه وسلم، فأنزل الله {وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا} [لقمان: 15].
عن ابن عباس قال: كان قوم يسألون النبي صلى الله عليه وسلم استهزاءً، فيقول
الرجل: من أبي؟ ويقول الرجل تضل ناقته: أين ناقتي ؟ فأنزل الله تعالى فيهم هذه الآية.
-4قوله تعالى: {وَأَقِمْ الصَّلاةَ طَرَفِي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود:114].

عن عبد الله قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إني عالجت امرأة في أقصى المدينة وإني أصبت منها ما دون أن آتيها وأنا هذا فاقض فيّ ما شئت، قال: فقال عمر: لقد سترك الله لو سترت نفسك، فلم يرد عليه النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً، فانطلق الرجل فأتبعه رجلاً ودعاه، فتلا عليه هذه الآية، فقال الرجل: يا رسول الله هذا له خاصة؟ قال: " لا، بل للناس كافة ".
-5 قوله تعالى: {وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا} [ الإسراء: 110].



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menurut Manna’ al-Qaththan yaitu asbabun nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan sesuai itu Al-Qur’an di turunkan pada waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.
2. Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:
1. Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas).
2. Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab).
3. Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya.
4. Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas.
3. Sebab turunnya Al-Qur’an dalam segi bentuknya ada tiga macam, yaitu:
1.Peristiwa pertengkaran.
2.Peristiwa kesalahan serius.
3. Cita-cita dan keinginan.
4. Asbabun nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu

Saran.
Makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin






DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,S.H.,M.A.,M.M. Ulumul Qur’an. Ed-1, Cet-1, Jakarta:Raja Wali Pers,2013,hlm-203
Al-Imam Jalaludin As-Suyuti, Kitab  Lubabun Nuquli fii Asbabin Nuzuuli.
KHQ.Shalih, HAA. Dahlan. Asbabun Nuzuuli Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an.
Manna al-Qothan, Mabahits Fi Ulumil Qur'an
http://www. al-aziziyah.com/…/147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok.