Saturday, February 27, 2016

makalah proses masuknya islam di diindonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah. Dibawah kepemimpinan para khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih luas lagi. Sampai abad ke-8 saja, pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam mulai berkembang hingga Nusantara.
Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di massa media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia. Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang proses masuknya Islam di Indonesia dengan rumusan masalah berikut:
1.      Bagaimanakah proses masuknya Islam di Indonesia?
2.      Bagaimanakah teori tentang masuknya Islam di Indonesia?
3.      Bagaimanakah cara ulama menyebarkan Islam di Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Proses masuknya Islam di Indonesia
Proses masuknya islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai memeluk agama Islam.
Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut:
1)      Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak Indonesia yang sangat strategis ini membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia sangat padat karena dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang muslim. Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang muslim ini banyak yang tinggal dan mendirikan perkampungan islam di Nusantara. Para pedagang ini juga tak jarang mengundang para ulama dan mubaligh dari negeri asal mereka ke nusantara. Para ulama dan mubaligh yang datang atas undangan para pedagang inilah yang diduga memiliki salah satu peran penting dalam upaya penyebaran Islam di Indonesia.
2)      Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap sebagai kelangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu. Pernikahan secara muslim antara para saudagar muslim dengan penguasa lokal ini semakin memperlancar penyebaran Islam di Nusantara.
3)      Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilakukan di pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun kyai. Para santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan mendakwahkan Islam di kampung masing-masing.
4)      Melalui Kesenian
Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk menyebarkan islam kepada penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang yang mementaskan wayang untuk mengenalkan agama Islam. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam.
5)      Melalui Pengobatan
Pengobatan menjadi salah satu cara para ulama dalam menyebarkan islam kepada masyarakat Indonesia. Hal ini tidak hanya dilakukan kepada msyarakat awam pedesaan tetapi juga kepada para bangsawan bahkan raja dan keluarganya. Beberapa raja dan keluarganya pun masuk Islam setelah diobati oleh para ulama, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.
2.      Teori tentang masuknya Agama Islam di Indonesia
Proses masuknya Agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:
-       Teori Gujarat,
-       Teori Makkah dan
-       Teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara :
1)      Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
  1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
  2. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
3.      Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

2)      Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
  1. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
  2. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
3.      Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.




3)      Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
  1. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan  Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
  2. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
  3. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
  4. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren  adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).


  • Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing- lambang budaya).
  • Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Proses masuknya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.
Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam dalam melawan kolonial.
Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
  1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
  2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
  3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
  4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
  5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
  6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
  7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
  8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
  9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
3.      Beberapa Pendapat  lain Tentang Awal Masuknya Islam di Indonesia.
1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
  1. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah  catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
  2. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
  3. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan alaya antara tahun 606-699 M.
  4. Prof. Sayed Naguib Al -Attas (Malaysia) dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
  5. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia
    mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah
    masuk ke Malaya.
  6. Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay
    berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
  7. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya
    Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya penduduk Arab muslim berkunjung ke
    Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
  8. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The
    Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
2. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
  1. Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082).
3. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
  1. Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
  2. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya
    kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
  3. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met
    Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
  4. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan
    Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
    Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa
    kerajaaan islam di kawasan Indonesia.

C. Pembawa Islam ke Indonesia
Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-kontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif, akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China.
  1. Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa Arab, Persia, India dan china punya nadil melancarkan perkembangan islam di kawasan Indonesia.
  2. Gujarat (India)
Pedagang islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:
- ukiran batu nisan gaya Gujarat.
- Adat istiadat dan budaya India islam.
3.      Persia
Para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
- Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
- Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
- Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
4.      Arab
Para pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia, dengan bukti antara lain:
1.      Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
2.      Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
China
4.      Para pedagang dan angkatan laut China (Ma Huan, Laksamana Cheng Ho) mengenalkan islam di pantai dan pedalaman Jawa dan sumatera, dengan bukti antar  lain:
- Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
- Beberapa makam China muslim.
-Beberapa wali yang dimungkinkan keturunan China.
-Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan social yang penuh toleransi (Umar kayam:1989)
  1. Perdagangan dan Perkawinan
Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).
  1. Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat penulis simpulkan, bahwa terdapat beberapa teori tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu Teori Gujarat, teori Mekkah dan teori Persia. Masing-masing teori di atas didukung oleh data-data yang otentik oleh para sejarawan. Adapun mengenai cara ulama dalam menyebarkan Islam adalah dengan beberapa cara, di antaranya perdagangan, pendidikan, pernikahan, kesenian dan pengobatan.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa, dalam tulisan ini terdapat banyak kekurangan. Di samping itu juga terbatas karena hanya merupakan makalah, yang tidak mungkin memuat segala hal mengenai pembahasan sebagaimana dalam judul. Dengan demikian, kiranya ke depan ada studi lanjut yang dapat memaparkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan lebih baik dan konprehensip.















DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pustaka 1982
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Jakarta: Cahaya Gemilang, 1996
Prof. Sayed Naguib Al –Attas, Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, 1969.
W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya
Compiled From Chinese sources


 
 


makalah evaluasi belajar


A.          Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, evaluasi memegang peranan yang amat penting. Dari evaluasi itu, para pengambil keputusan pendidikan mendasarkan diri dalam memutuskan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak serta layak diberikan sertifikasi atau tidak.[1]
Ulangan dan Ulangan Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) dan TPB (Tes Prestasi Belajar) adalah alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar. Sementara itu istilah evaluasi biasanya dipandang sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN).[2]
Isu aktual yang berkembang dalam pendidikan saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan Indonesia yang telah disadari oleh berbagai pihak, terutama oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat, antara lain dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Rendahnya pendidikan di Indonesia dapat diketahui dari hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) 2006 yang diterbitkan Selasa, 4 desember 2007, menunjukkan bahwa kemampuan mambaca (reading literacy) anak-anak Indonesia usia 15 tahun berada pada peringkat ke-48, kemampuan matematika berada pada peringkat ke-50, dan kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam berada pada peringkat ke-50 dari 57 negara yang diteliti. Kemampuan membaca siswa usia 15 masih pada peringkat ke-48 (peringkat bawah), padahal kemampuan membaca ini merupakan faktor yang terpenting untuk melakukan eksplorasi informasi yang sangat erat dengan kegiatan siswa dalam belajarnya. Kemampuan matematika dan ilmu pengetahuan alam berada pada peringkat ke-50, hal ini juga sangat memprihatinkan dalam sejarah pendidikan Indonesia.[3]
            Laporan dari PISA ini juga sejalan dengan laporan yang dikeluarkan oleh International Association for the Evaluation of Educational Achuievement (IEA) berdasarkan hasil studi Trends in International Mathematic and Sciense Study (TIMSS) 2004 menunjukkan bahwa untuk bidang matematika, siswa sekolah menengah pertama (SMP) kelas II di Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 45 negara. Sementara untuk bidang sains, siswa Indonesia pada tingkat yang sama berada pada urutan ke-36 dari 45 negara.[4]
Nilai kelulusan UAN yang dicapai oleh sebagian besar siswa kita sebenarnya merupakan nilai yang tidak wajar. Namun, masyarakat kelihatannya senang jika sekolah tertentu semua siswanya (100%) lulus. Masyarakat senang jika anak-anak lulus dengan nilai baik, walaupun dengan cara yang tidak mendidik dan tidak masuk akal. Barangkali sekarang, sudah saatnya sekolah tidak memberi tanda lulus dengan disertai dengan nilai kelulusan. Sekolah cukup memberikan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Dalam STTB cukup diterangkan, seorang anak telah tamat belajarnya di SD, SMP, SMA atau SMK. Jika orang mau melihat prestasi yang dimiliki siswa, silahkan melihat nilai yang dimilikinya.[5]
Dari uraian di atas pemakalah ingin menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana dunia evaluasi dalam pendidikan. Agar kita mengetahui makna sebenarnya dari evaluasi untuk selanjutnya menjadi lebih bijak dalam mengaplikasikannya pada proses belajar mengajar sehingga pendidikan di Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dan mampu bersaing dalam dunia global.

B.           Rumusan Masalah
1.      Mengapa evaluasi belajar penting untuk dilakukan?
2.      Apa ragam alat evaluasi belajar ?
3.      Bagaimana cara mengevaluasi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa?


C.          Pembahasan
1.      Pentingnya Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang integeral dari pendidikan/pengajaran, sehingga perencanaan/penyusunan, pelaksanaan dan penggunaannyapun tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan program pendidikan/pengajaran. Di dalam membahas langkah-langkah evaluasipun tidak dapat dipisahkan dari langkah-langkah pengajaran.
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam sebuah program.[6]
Fungsi dan tujuan evaluasi belajar
          I.      Fungsi evaluasi
Di samping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Fungsi administrasi untuk penyusunan daftar nilai dan pengsianbuku raport.
2.      Fungsi promosi untuk menetapakan kenaikan atau kelulusan.
3.      Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan ).
4.      Dumber daya BP untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan penyuluhan (BP).
5.      Bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PBM.
Selanjutnya Muhibin Syah (1999) menjelaskan bahwa selain memiliki fungsi-fungsi seperti di atas, evalusi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru maupun bagi orang tuanya. Bagi siswa, penilaian guru merupkan alat bantu untuk mengatasi kekurunganmampuan dan ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinyasendiri, siswa memiliki self-consciousnes, kesadaran yang lugas menegenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akal sendiri (Mulchacyet al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menentukan posisi dan statusnya secara tepat di antara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.[7]
Selain itu juga ada fungsi lain untuk evaluasi belajar antara lain:
1.      Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional secara komperehensif yang meliputi aspek pengetahuan,sikap,dan tingkah laku.
2.      Sebaagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
3.      Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Bagi peserta didikberguna untuk mengetahui bahann pelajaran yang diberikan dan dikuasainya.dan bagi masyarakat, untuk mengetahui berasil tidaknya program-progam yang dilaksanakan.
4.      Untuk memberikan umpan balik pada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.
5.      Untuk menemukan angka kemajuan atau hasil belajar.
6.      Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
7.      Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.

       II.      tujuan evaluasi
Adapun tujuan evaluasi menurut Muhibbinsyah (1999) adalah
Pertama, untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah di capai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan perilaku siswa sebagai proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya.
Kedua, untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya. Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat di jadikan guru sebagai alat penetap apakah siswa tersebut  termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.
Ketiga, untuk mengetahui tingkat usaha yang di lakukan siswa dalam belajar. Hal ini berarti dalam evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil yang baik pada umumnya enunjukkan tingkat usaha yang efisien.
Keempat, untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yng di milikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.
Kelima, untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah di gunakan guru dalam proses  belajar mengajar. Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru sebaiknya mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi.[8]

2.      Alat evaluasi belajar
             I.         Ragam alat evaluasi
Alat Evaluasi
Kata “alat” biasa disebut juga dengan istilah “instrumen”. Dengan demikian maka alat evaluasi juga dikenal dengan instrumen evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi, fungsi alat untuk memperoleh hasil yang lebih baik sesuai dengan kenyataan yang di evaluasi.
Contoh:
Jika dievaluasi seberapa siswa mampu mengingat nama nabi atau rasul, hasil evaluasinya berupa berapa banyak siswa dapat menyebutkan nama nabi dan rasul yang diingat.
Dengan pengertian tersebut maka alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan evaluator menggunakan cara atau teknik, dan oleh karena itu dikenal dengan teknik evaluasi, yaitu
1)      teknik nontes dan
Yang tergolong teknik nontes diantaranya adalah :
1.skala bertingkat (rating scale),
2.kuesioner (questionair),
3.daftar cocok (check list),
4.wawancara (interview),
5.pengamatan (observation),
6.riwayat hidup.[9]
2)      teknik tes
2.1 Pengertian Tes
Istilah tes dari kata testum suatu pengertian dalam bahasa kuno yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Adapula yang mengartikan sebagai sebuah piring yang dibuat dari tanah.
Sebelum sampai kepada uraian yang lebih jauh, maka akan diterangkan dahulu arti beberapa istilah-istilah yang berhubungan dengan tes ini.
1.      Menurut amir da’in indrakusuma
“Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan obyektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat” (1972: 27).
2.      Menurut muhtar bukhori
“Tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada seseorang murid atau kelompok murid”.
3.      Definisi terakhir dari webster’s collegiate dalam bukunya :
“Encyclopedia of Educational Evaluation”.
Test is comprehensive assessment of an individual or to an entire program evaluation effort
Artinya : Tes adalah penilain komprehensif terhadap seseorang individu atau keseluruhan usaha evaluasi program.


Dari beberapa kutipan dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1)    Tes merupakan suatu alat pengumpulan informasi yang bersifat resmi karena penuh dengan batasan-batasan.
2)    Tes itu disusun secara sistematis dan obyektif
3)    Tes itu berbentuk tugas yang terdiri dari pernyataan dan perintah
4)    Tes itu diberikan pada individu/ kelompok
5)    Bahwa dengan tes itu dengan waktu yang singkat kita bisa memperoleh keterangan yang kita perlukan.[10]

2.2 Tes Lisan
Tes ini termasuk kelompok tes verbal, yaitu tes soal dan jawabannyamenggunakan bahasa lisan (wayan nurkancana, 1983: 60).[11]
Dari segi persiapan dan cara bertanya tes lisan dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
1.Tes lisan bebas
Artinya, pendidik dalam memberikan soal kepada peserta didik tanpa menggunakan pedoman yang dipersiapkan secara tertulis.
2.Tes lisan berpedoman
Pendidik menggunakan pedoman tertulis tentang apa yang akan ditanyakan kepada peserta didik.
Dalam tes bebas, dialog terjadi lebih orisinil tidak terikat formalitas, namun sering jawaban lupa tidak tercatat. Sedangkan kalau dengan pedoman, pertanyaan terarah, jawaban lebih mudah dicatat dan diseragamkan skoringnya.

2.3 Tes Perbuatan/Pengukuran Ranah Psikomotor
Pengukuran Ranah Psikomotorrik dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan (suharsimi, 2001: 182). Menurut ngalim purwanto (1987: 48), yang dimaksud tes perbuatan adalah tes dimana respon atau jawaban yang dituntut dari peserta didik berupa perbuatan, tingkah laku kongkrit. Alat yang dapat digunakan untuk melakukan tes ini adalah observasi atau pengamatan terhadap tingkah laku tersebut.
Tes digunakan untuk mengukur perubahan sikap peserta didik, kemampuan dalam meragakan atau mengaplikasikan jenis keterampilan tertentu.
Bentuk tes ini berupa petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik secara lisan atau secara tertulis, dapat berupa penyediaan situasi dimana peserta didik diminta untuk bereaksi terhadap situasi tersebut, baik dengan disengaja ataupun tidak.[12]

2.4 Tes sikap/ pengukuran ranah afektif
Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif. Pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah sewaktu-waktu (suharsimi:2001:177). Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai.
Pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, namun jawaban yang khusus tentang dirinya mengenai minat, sikap, dan internalisasi nilai (oleh cronbach dibedakan antara maximum performance dengan typical performance attitude)(cronbach. 1970). Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap anatara lain :
a)      Skala likert
b)      Skala pilihan ganda
c)      Skala thurstone
d)     Skala guttman
e)      Semantic differential
f)       Pengukuran minat[13]

          II.            Prinsip-prinsip Evaluasi
Sebelum penelitian (evaluasi) dilaksanakan, kiranya perlu diperhatikan terlebih dahulu prinsip-prinsip penilaian yang nantinya dapat digunakan sebagai pedoman kebijaksanaan dalam melaksanaknnya. Dan prinsip-prinsip ini ditempuh dengan masksud agar tujuan yang diinginkan dapat tercpai.
Adapun prinsip-prinsip penilaian berlaku dalam dunia pendidikan menurut Abror (1995) yaitu:
1.      Prinsip Komprehensif. Prinsip ini mengajarkan kepada kita bahwa seluruh aspek anak perlu dinilai. Misalnya:
a.       Bagaimana hafalannya
b.      Bagaimana pemahamannya
c.       Bagaimana kecepatan menangkap dan meresponnya
d.      Bagaimana keterampilannya
e.       Bagaimana sukap dan perilakunnya
f.       Bagaimana kecepatan dan ketepatannya
2.      Prinsip kontinuitas. Prinsip ini menyatakan kepada kita bahwa evaluasi itu hendaknya dilaksanakan secara berkesenimbangan. Malahan sambil mengajar, penilaian perlu dilakukan terhadap sikap, minat dan perhatan anak didik, tanpa melupakan pertimbangan waktu yang tersedia. Sehubung dengan itu, sekurang-kurangnya ada tiga tahap, yaitu:
a.       Tahap pendahuluan (initial), yang sering disebut dengan “pretesst”;
b.      Tahap formatif, yang berfungsi untuk memperhatikan proses belajar-mengajar, yang sering diistilahkan dengan “posttest”;
c.       Tahap sumatif, yang berfungsi untuk menentukan hasil belajar anak, yang sering disebut dengan “final test”.
Dalam pengalaman disekolah,jika test formatif dapat disamakan dengan ulangan harian, maka test sumatif ini dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasannya dilaksanakan pada tiap akhir catur wulan atau akhir semester (Suharsimi 1986).
3.      Prinsip obyektivitas. Dalam melaksanakan penilaian hendaknya dihindari perasaan “suka atau tidak suka” agar hasil penilaian benar-benar mencapai obyektivitas. Dengan kata lain, penilaian hendaknya didasarkan ats kenyataan (apa adanya), tanpa melupakan sifat individual.
4.      Prinsip validitas (kesasihan). Yang dimaksud adalah menakar apa yang hendak ditakar. Jadi, test inteligensi, misalnya dikatakan valid atau sahih kalau test tersebut benar-benar hanya menakar kecerdasan; sebaliknya idk valid jika digunakan untuk menakar ingatan. Dan berdasarkan pengalaman, prinsip ini semakin jelas penerapannya untuk menakar benda-benda. Misalnya, meteran hanya valid untuk menakar panjang dan lebar; sebaliknya, tidak valid bila digunakan untuk menakar suhu dan berat.
Karena validitas atau kesahihan itu bukan merupakan ciri yang mutlak, maka beberapa jenis kesahihan bisa diidentifikasikan, yang bergantung kepada tujuan yang digunakannya metode evaluasi. (Crow & Crow, 1958, hlm 376).
5.      Prinsip Reliabilitas. Secara sederhana, reliabilitas berarti hal tahan uji atau dpat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reiabel atau tahan uji, apabila memiliki eksistensi atau keajegan hasil. Aryinya apabila alat itu diujikan kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan prestasi “X”, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “X”  itu dapat pula dicapai kelompok siswa tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain (Mushibbinsyah, 19).[14]
Dalam bukunya shaleh,Berkenaan dengan itu, dalam pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip  sebagai dasar penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Evaluasi hendaknya di dasarkan atras hasil pengukuran yang komperehensif, pengukuran yang meliputi aspek kognitif, dan psikomotorik.
2.      Evaluasi harus dibedakan antara penskoran dengan angka dan penilaian dengan kategori. Penskoran berkenaan dengan aspek kuantitatif (dapat dihitung), dan dengan aspek kualitatif (mutu)
3.      Dalam proses penmberian nilai hendaknya diperhatikan dua macam penilaian, yaitu: penilaian yang berkenaan dengan hasil belajar, dan penilaian berkenaan dengan penempatan.
4.      Pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integraldari proses belajar mengajar.
5.      Penialaian harusnya bersifat komparabel, artinya dapat dibandingkan antara satu tahap penilaian dengan tahap penialaian lainnya.
6.      Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan bagi pengajar sendiri sehingga tidak membingungkan.[15]

ALAT EVALUASI
3.         Evaluasi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
I.       Evaluasi ranah kognitif
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan te tertulis maupun tes lisan dan perbuatan, karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena sikap dan perlakuannya yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengatasi masalah subjektifitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk subjektif maupun objektif (kecuali tes Benar-Salah), seyogyanya dipakai sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila anda menghendaki informasi yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S, tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan, sebagai gantinya, anda sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes isian dan tes esai.[16]

       III.            Evaluasi ranah afektif
Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif.. Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, tetapi jawaban khusus tentang dirinya mengenai minat, sikap dan internalisasi nilai.
Dewasa ini banyak ditemukan teknik konstruksi skala sikap, tetapi pelaksanaan dan pengolahannya menuntut kemampuan dan keahlian ilmu statistik, sehingga tidak setiap guru mampu menggunakannya[17]. Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap antara lain[18]:
1)      Skala Likert
Skala ini berbentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons yang menunjukkan tingkatan. Misalnya: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TB (Tidak Berpendapat), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan.
2)      Skala Thurstone
Skala Thurstone mirip skala Likert karena merupakan suatu instrumen yang jawabannya menunjukkan tingkatan. Pernyataan yang diajukan kepada responden disarankan oleh Thurstone kira-kira 10 butir, tetapi tidak kurang dari 5 butir.
3)      Skala Guttman
Skala ini berupa tiga atau empat buah pernyataan masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan sehingga bila responden setuju pernyataan nomor 2, diasumsikan setuju nomor 1 dan seterusnya.
4)      Semantic Differential
Instrument yang disusun oleh Osgood dan kawan-kawan ini mengukur konsep-konsep untuk tiga dimensi yakni baik-tidak baik, kuat-lemah, cepat-lambat atau aktif-pasif atau dapat juga berguna-tidak berguna.

       IV.            Evaluasi ranah psikomotorik
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Bentuk tes ini berupa petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik secara lisan atau tertulis, dapat berupa penyediaan situasi dimana peserta didik diminta untuk bereaksi baik dengan sengaja atau tidak.[19]








D.          Kesimpulan
1.      Evaluasi merupakan bagian yang integeral dari pendidikan/pengajaran, sehingga perencanaan/penyusunan, pelaksanaan dan penggunaannyapun tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan program pendidikan/pengajaran. Di dalam membahas langkah-langkah evaluasipun tidak dapat dipisahkan dari langkah-langkah pengajaran. Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai fungsi dan tujuan yang telah di tetapkan dalam sebuah program.
2.      Alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan evaluator menggunakan cara atau teknik, dan oleh karena itu dikenal dengan teknik evaluasi, yaitu teknik nontes dan teknik tes.
3.      Evaluasi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik

1.      Evaluasi ranah kognitif
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan te tertulis maupun tes lisan dan perbuatan, karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena sikap dan perlakuannya yang subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2.      Evaluasi ranah afektif
Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif.. Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, tetapi jawaban khusus tentang dirinya mengenai minat, sikap dan internalisasi nilai.
3.      Evaluasi ranah psikomotorik
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Bentuk tes ini berupa petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik secara lisan atau tertulis, dapat berupa penyediaan situasi dimana peserta didik diminta untuk bereaksi baik dengan sengaja atau tidak.

Daftar Pustaka
Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Musthofa Rembangy. 2010. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta: Teras.
Muzdalifah. 2008. Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus: Stain.
Oemar Hamalik. 2004. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Shaleh,Abdul Rahman,dkk,Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam,kencana,jakarta,2004,hal.207
Sugiharto,dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.         
Sulistyorini. 2009. Evaluasi Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Teras.
Suwarto. 2013 . Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Hamid Hasan, 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.




[1]Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa:Yogyakarta, 2000, hal.98.
[2]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, PT Remaja Rosdakarya:Bandung, 2008, hal.141.
[3]Suwarto, Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran, Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2013, hal.1.
[4] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, Teras:Yogyakarta, 2010, hal.9.
[5] Suyanto dan Djihad Hisyam, Op.Cit, hal.100-101.
[6] Muzdalifah, Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus, Stain 2008,hal.279.
[7] Ibid, hal.281.
[8] Ibid,hlm.280
[9] Sulistyorini, Evaluasi Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, teras, yogyakarta, 2009, hal:79.
[10] Ibid,  hal:87.
[11] Ibid,  hal:110.
[12] Ibid, hal:113.
[13] Ibid, hal:118
[14] Muzdalifah,Op. Cit.  hal. 287-290.
[15] Shaleh,Abdul Rahman,dkk,Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam,kencana,jakarta,2004,hal.207

[16] Muhibbin Syah, Op.Cit, hal.154
[17] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, PT Bumi Aksara:Jakarta, 2004, hal.228.
[18] Sulistyorini, Op, Cit, hal.116-118.
[19]Ibid, hal.113.