Sunday, April 17, 2016

Makalah Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam

KATA PENGANTAR
 Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, Segala puji serta keagungan hanyalah semata milik Allah Ta’ala, seluruh shalawat dan salam semoga tetap dilimpah curahkan kepada junjungan alam yakni Nabi besar Muhammad saw. Juga tak lupa pula kepada keluarganya serta para sahabat yang selalu menaati dan melaksanakan ajaran beliau.
Makalah yang berjudul “ Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam “ ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Islam. Penyusun mencoba untuk membahas sebuah makalah yang berjudul “Perbedaan Pemikiran Para Tokoh Filsafat Islam” adapun Tokoh pemikiran Islam yang akan kita bahas yaitu Ibnu Sina, Imam Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Tujuannya agar kita bisa mengetahui dan mengerti perkembangan pemikiran Islam melalui kajian Tokoh –tokoh Pemikiran Islam dibidang Filsafat.
Pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan. Semoga pembaca dapat memanfaatkannya. Tentu penyusun sangat memerlukan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Akhir kata, penyusun mengucapkan banyak terima kasih.
 
Penyusun Daftar isi

BAB I 1
PENDAHULUAN 1
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
IBNU SINA 3
IMAM GHAZALI 12
IBNU RUSYD 16
BAB III 20
PENUTUP 20
KESIMPULAN 20
DAFTAR PUSTAKA 23
BAB I
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang Filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambung di seluruh jagad raya ini.
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo, berarti Cinta (loving), sedangkan sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi, Filsafat secara sederhana berati cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksud adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan  mendalam  sampai keakar-akarnya atau sampai kedasar segala dasar.[1] Secara simpel dapat dikatakan, Filsafat adalah hasil proses berfikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).[2]
Pandangan bahwa Filsafat adalah usaha rasional dengan metode deduktif analogis menjadi paradigma yang digunakan untuk melihat Filsafat Islam. Karena itu, filsafat Islam hanya dinisbatkan pada Filosof Muslim. Dengan demikian Filsafat Islam terlihat tak berbeda dengan Filsafat Yunani atau Barat  dan menyunat segala yang tidak terkait dengan usaha rasional. Filsafat Islam dikawasan Arab dan Timur dianggap mati setelah berangus Al-Ghazali dengan takafut al-falasifah-nya. Selanjutnya Filsafat Islam berkembang di Barat dan berpuncak ditangan Ibnu Rusyd.[3]
Jelaslah bahwa Filasafat Islam merupakan hasil pemikiran Umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam  ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur‘an dan Hadis. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan Ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India. Dengan kata lain Umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula perdaban bangsa sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani dan lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
IBNU SINA
Riwayat Hidup, karir, dan Karyanya
Ibnu Sina adalah Filosof Muslim yang mengembangkan Falsafat Klasik Islam kepuncak tertinggi dan diberi gelar “ pangeran para Dokter”. [4] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husain  Ibnu  ‘Abd Allah Ibn Hasan  Ibnu ‘Ali Ibn Sina. Di Barat populer dengan sebutan “Avicenna” akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadi perubahan  ini berawal  dari usaha  penerjemahan naskah-naskah Arab kedalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[5]
Ibnu Sina dilahirkan di desa Afshanah, dekat Kharmaitan, kabupaten Balkh, wilayah Afghanistan Propinsi Bukhara- yang sekarang masuk daerah Rusia. Ibnu Sina lahir pada masa kekacauan, dimana Khalifah Abasiah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula dibawah kekuasaan Khilafah tersebut memisahkan diri untuk berdiri sendiri. Sedangkan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan juga merupakan pusat ilmu pengetahuan jatuh ketangan Bani Buwaih (334 H). [6]
Ibnu Sina berdasarkan pengamatan dan penyelidikan para ahli, lahir pada 370 H/ 980 M dan meninggal dunia pada tahun 428 H/1037 M dalam usia 58 tahun. Wafat dan jasadnya dikebumikan di Hamadzan. Ibunya bernama Astarah, sedangkan Ayahnya bernama Abdullah seorang Gubernur dari suatu Distrik di Bukhara pada masa Samaniyyah-Nuh II bin Mansur.[7]
Ibnu Sina sejak usia muda  selain telah hafal Al-Qur‘an seluruhnya dalam usia 10 tahun, ia dalam usia kurang lebih 17 tahun telah menguasai beberapa disiplin ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lainnya, juga falsafat yang berkembang dimasanya.
Pada usia 17 tahun, dengan kecerdasannya yang sangat mengagumkan, ia sudah tampil sebagai Dokter dan berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Bukhara, Nuh Ibn Mansur, dari Dinasti Samaniyyah. Sejak itu ia dapat leluasa memasuki perpustakaan Istana Bukhara, Kutub Hana. Ia juga pernah diangkat menjadi Menteri oleh Sultan Syams Al- Dawlah yang berkuasa di Hamdan dan menjadi penasihat politik di Isfahan, sebagai sebagai pengakuan atas kematangannya  dalam ilmu pengetahuan dan falsafat dan atas kepemimpinannya dalam politik ia dikenal dengan gelar “Al-Syaykh Al-ra’is”.
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah Al-Natili dan Isma’il sang Zahid.[8] Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru.
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang Filsafat dan kedokteran, keduanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran ia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang  materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga– dimana tumbuh-tumbuhanini banyak membantu terhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana 600 tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula-mula mempraktekan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas , dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter jiwa.
Karya Tulis yang dihasilkan Ibnu Sina cukup banyak. Kebanyakan penulis menegaskan bahwa jumlahnya tidak kurang dari 276 buah,  dalam buku dan risalah, dan dalam bentuk karangan ilmiah biasa (prosa) atau dalam bentuk syair. Karya-karya ini sebagian besar berbahasa Arab, tapi sebagian kecil dalam bahasa Persia. Diantara karangan-karangan ibnu Sina adalah:
Kitab Al-Syifa’ (The book of Recovery or the book of Remedy)
Merupakan buku tentang penemuan, atau buku tentang Penyembuhan. Buku ini dikenal didalam bahasa latin dengan nama Sanatio  atau Sufficienta. Terdiri  dari 18 jilid. Naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M), dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu Ketuhanan,  Fisika, Matematika  dan Logika.
Kitab Al- Najat
Merupakan ringkasan dari Kitab Al-Syifa’ , tapi yang dibicarakan didalamnya hanya logika, Fisika, dan Metafisika (ketuhanan).
Kitab Al-Qanun fi al-Thibb
Berisikan ilmu kedokteran. Menjadi pegangan wajib di Universitas Eropa sampai abad XVII M.
Kitab Al-Isyarat wa al-Tanbihat
Terdiri dari 3 jilid, yang berisikan uraian tentang logika dan hikmah. Merupakan karya terakhir yang dihasilkan Ibnu Sina.[9]
Filsafat
Al- Tawfiq ( Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan antara Agama dan Filsafat. Menurut nabi dan Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filsofot melalui akal Mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal Mustafad sebagai anugrah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah dari pada akal materil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut Wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk Ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana Farabi, juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para Nabi dan para Filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakannya dirinya jadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi Nabi.
Dalam pandangan Ibnu Sina, para Nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi dengan para mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Demikianlah uraian Ibnu Sina dan dengan demikian ia bukan saja mengakui adanya Nabi/Rasul dan Kenabian/Kerasulan, melainkan juga menegaskan bahwa Nabi/Rasul lebih unggul dari filosof.
Ketuhanan
Ibnu Sina membuktikan adanya Tuhan (Isbat Wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Dalam Filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut[10]:
Wajib Al–Wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud kedalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang kain diluar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada apa yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar).
Mumkin al-wujud, Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak atau diandaikan ada, maka tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada. Mumkin al-wujud dapat pula dilihat dari sisi lainnya, karena dirinya sendiri, tidaklah lain dari segenap alam yang diciptakan Tuhan.
Mumtani’ al-wujud, Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud seperti adanya sekarang ini juga kosmon lain disamping kosmos yang ada.
Sebagaimana Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal (kully) di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimakudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial ini secara tidak langsung, yakni melaui zatnya sebagai sebab adanya alam.[11] Dari pendapat Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.
Emanasi (pancaran)
Teori emanasi Ibnu Sina hampir tidak berbeda sama sekali dengan teori emanasi yang dikemukaan oleh Farabi.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud (bukkan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (berta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal sepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.[12]
Sejalan dengan Filsafat emanasi, alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah sejak Qidam dan Azali. Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pencaran, alam ini baharu (hudus zaty). Sementara itu Allah adalah taqaddum zaty, ia sebab semua yang ada dan ia adalah pencipta alam. Jadi, alam ini baharu dan qadim. Baharu dari segi  esensi, dan qadim dari segi zaman.
Jiwa
Kata jiwa dalam Al-qur’an dan Hadis diistilahkan dengan al-nafs (jiwa) atau al-ruh (imateri) yang berada dalam tubuh. Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
Fisika,membicarkan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Jiwa Tumbuh-tumbuhan, mempunyai 3 daya yaitu makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak.
Jiwa Binatang mempunyai 2 daya yaitu gerak dan menangkap. Daya yang terakhir ini menjadi 2 bagian:
Menangkap dari luar dengan pancaindra
Menangkap dari dalam dengan indra-indra batin
Dengan demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
Jiwa Manusia, yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai 2 daya yaitu Praktis dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai 4 tingkatan yaitu:
Akal materiil (al-‘aql al-hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
Akal malakat (al-‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
Akal Mustafad (al-‘aql al-mustafad) yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstraktanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal sebagai berikut:
Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan 4 dalil yaitu:
Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
Gerakan Paksaan, gerakan yang timbul pada suatu benda yang disebabkan adanya dorongan dari luar.
Gerakan tidak paksaan, gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam seperti batu jatuh dari atas kebawah. Sedangkan yang berlawanan dengan hukum alam seperti seperti manusia berjalan dan burung terbang hal ini terjadi karena adanya penggerak yang disebut dengan jiwa.[13]
Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Begitu juga dalam masalah psikologi terdapat keserasian dan koordinasi yang mengesankan yang menunjukan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
Dalil Kontinuitas (al-istimrar)[14]
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit yang 10 tahun lewat karena telah mengalami perubahan seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula dengan jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu tidak mengalami perubahan dan pergantian. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan. Namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkn dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Hakikat Jiwa
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhur rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak  membawa pada hancurnya jiwa (roh).  Pendapat ini lebih dekat pada plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri.
Hubungan Jiwa dengan jasad
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
Kekekalan Jiwa
Ibnu Sina lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Al-qur’an. Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan di akhirat. Akan tetapi, kekalnya ini dikekalkan Allah. Jadi, jiwa adalah baharu karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Uraian diatas mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa pada peringkat yang paling tinggi. Disamping sebagai dasar fikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa menurut Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan.[15]
IMAM GHAZALI
Riwayat Hidup, karir dan karyanya
Nama lengkap dari Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (orang tua) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol.[16] Panggilan Al-Ghazali sebagai sebutan penduduk Khurasan kepadanya. Sebagian ahli sejarah menyebutnya Al-Ghazali sehubungan dengan desa tempat dia dilahirkan, yaitu Ghazalah.[17]
Al-Ghazali belajar di Thus, Jurjan, dan Naisabur. Sampai usia 20 tahun  ia menuntut ilmu dikota kabupatennya- thus- dari kedua gurunya Razakani bin Muhammad dan Yusuf Al-Nassaj seorng sufiwan terkenal pada tahun 479 H. Ia menimba ilmunya Abu Nasr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk kesekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini (Imam Al- Karamain). Selanjutnya ia bermukim di Mu’askar (komplek tentara) selama 5 tahun dan di Baghdad selama 5 tahun berikutnya. Di Baghdad inilah ia menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Ia berusaha keras menjadi mempelajari Filsafat dan menunjukan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku Maqasad al-Falasafiyah (tentang pemahaman para Filosof, tentu menurut pemahaman Al-Ghazali), kemudian menunjukan kemampuannya mengkritik argumen-argumen para filosof dengan menulis Tahafut al-falasafiyah (ketidak konsistenan para filosof), dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan pemikiran para filosof muslim. Setelah sembuh dari mengalami sakit yang parah selama 6 bulan (kehilangan nafsu makan dan tidak bisa bicara) karena konflik batin : sama kuat antara dorongan untuk berada di baghdad (memimpin dan mengajar di Nizhamiyah Baghdad) dan dorongan untuk meninggalkan Baghdad (untuk menjalani tasawuf) ia berhasil menjalani kehidupan tasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Yerusalem, Mekkah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Naisabur selama 2 tahun, ia kembali lagi ke Thus mendirikan Khankah (pusat latihan) bagi calon sufi. [18]Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat di Thus pada tanggal 14 jumadil akhir 505 H, itu dalam usia 55 tahun[19]. Jasadnya dikebumikan disebelah Timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (argumentasi islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum Filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah Muslim terbesar sesudah Muhammad[20].
Al-Ghazali adalah Fakih, Mutakallim, dan Sufi. Ia mahir bicara dan sangat produktif dalam mengarang. Karya tulisannya lebih dari 228 buku/risalah. Dibawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:
Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
Al-Iqtishad fi al-i’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliaran al-asy’ariyah
Maqasid al-falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan
Tahafut al-falasafiyah, berisikan kritikan terhadap para Filosof.
Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berrbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahnya.
Mizan al-‘amal, didalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
 
 
Filsafat
Masalah keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof bependapat bahwa alam ini qadim, artinya wujud alam bersamaan wujud Allah. Keqadiman Allah dari alam hanya dari segi zatnya dan tidak dari segi zaman. Bagi Al-Ghazali, bila alam dikatakan Qadim (tidak pernah tidak ada), maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadimnya alam, menurut Al-Ghazali membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an.
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti  pada awalnya tuhan ada, sedang alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan Alam, maka alam ada disamping adanya Tuhan. Sebaliknya pagi para filosof muslim yang berpaham bahwa alam itu qadim, seperti bagi Al-farabi dan Ibnu Sina, bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka dengan pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya.
Tuhan tidak mengetahui yang Juz’iyyat (parsial)
Para filosof muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (Juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan Ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di Alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Ini mustahil terjadi pada Allah[21].
Menurut Al-Ghazali pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena Ilmu merupakan i’dhafah (sesuatu yang rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah, tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof tentang pengetahuan Allah itu wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut Al-Ghazali berbedanya objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedngkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
3.Kebangkitan jasmani di Akhirat
Menurut para Filosof Muslim, yang akan dibangkitakan di Akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasman akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof Muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an. Menurut Al-Ghazali tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Gambaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi tentang kehidupan diakhirat bukanlah mengacu kepada kehidupan rohani saja, akan tetapi pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Pemahaman bahwa kehidupan di syurga dan Neraka itu bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat, dan pemahaman demikian bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dan oleh karena itu dikufurkannya.

IBNU RUSYD
Riwayat Hidup, Karir, dan karyanya
Ibnu Rusyd atau Averrois [22](metamorfose Yahud-Spanyol-Latin) yang nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 520 H/1126 M di Cordova, Andalus dari keluarga terdidik dan terpandang. Kakeknya adalah Dewan Hakim dari seluruh Andalusia dibawah pemerintahan Al-Murbatiyah. Ibnu Rusyd wafat di Marakesh (Maroko) pada tahun 595 H/1198 M.
Setelah menguasai Fiqih, ilmu kalam, dan sastra  Arab dengan baik, Ibnu Rusyd menekuni matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan falsafat. Tidaklah dapat disangkal bahwa Ibnu Rusyd adalah salah seorang sarjana dan Filosof yang paling besar yang pernah dilahirkan oleh dunia Arab, dan salah seorang komentator yang paling dalam menguasai karya-karya aristoteles sehingga ia diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy[23].
            Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat Negara,-ketua Mahkamah Agung, Guru besar, dan dokter istana-menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan. Karya-karya ini menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli. Hal ini merupakan indikasi keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.
Karir Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Memang saat permulaan pemerintahan Khalifah Ya’qub Ibnu Yusuf yang menggantikan ayahnya. Yusuf Abu Muhammad ‘AbdAl-Mukmin, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya. Akan tetapi  pada tahun 1195 M, ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dilepas dalam segala jabatannya. Lebih dari, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, astronomi[24]. Menurut Nurcholish  Madjid, terjadinya tindakan khalifah yang tragis ini hanya berdasarkan perhitungan politis. Suasana yang mencekam ini dimanfaatkanoleh ulama-ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Untunglah  masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak langsung lama (satu tahun).  Pada tahun 1197 M, Khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/9 safar 595 H di Marakes dalam usia 72 tahun.[25]
Telah dikemukakan diatas, bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisannya ialah gaya penuturan yang mencangkup komentar, koreksi, dan opini, sehingga karyanya lebih lebi hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka.
Diantara karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
Fash al-Maqal fi ma bain Al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan berisikan antara agama dan filsafat.
Al-Kasyf’an Manahij Al-Adillat fi’aqa’id al-millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
Bidayat al-mujtahid wa nihayat al-Muqtasid, berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.
Filsafat
Alam Qadim
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim – Alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (Al-ijad min al’adam, creatio ex nihilo).      Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah  alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Filosof Muslim, alam ini Qadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang Filosof Muslim yang berpendapat bahwa Qadimnya alam sama dengan Qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang berubah menjadi ada dalam bentuk lain.
Menurut Ibnu Rusyd dapat diambil kesimpulan bahwaalam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al’adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa faham Qadim-Nya alam tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan[26].
Bagi Filosof Muslim, alam itu dikatakan Qadim (ada sejak Qidam/azali) justru karena diciptakan oleh tuhan yang Qadim, sejak Qidam/azali. Karena diciptakan sejak Qidam/azali, maka akibatnya tentu alam itu menjadi Qadim pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam, kendati dari segi waktu itu sama-sama Qadim, tetapi tidak sekufu/sederajat karena Tuhan adalah Qadim tang mencipta, sedang alam adalah Qadim yang dicipta atau ciptaan yang Qadim.
Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di Alam
Menurut Al-Ghazali para Filosof Muslim berbeda pendapat bahwa Allahlah tidak mengetahui yang parsial di Alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak tidak ada para filosof yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di  Alam tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat Qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di Alam ini betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitupula pengetahuan Allah bersifat sebab, sedangkan pengetahuan manusia bersifat akibat.
Demikian juga menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan Juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i ini adalah satuan yang ada di Alam yang berbentuk materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kully mencankup berbagai jenis. Kully bersifata abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancraindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibnu Rusyd tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
Kebangkitan jasmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan jasmani di Akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di Akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di Akhirat tidak sama dengan kehidupan di Dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadis :”Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan Rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[27]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa perbedaan pendapat  antara Al-Ghazali dengan para Filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar terebut. Dengan arti hanya pebedaan ijtihad para Filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang muslim lain dalam memahami ayat-ayat Allah dan Hadis. Hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan ini tidak akan membawa kekafiran (bisa dimaafkan). Sehubungan dengan Hadis “ Siapa yang benar dalam berijtihad di budangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah (keliru) dalam ijtihadnya ia mendapat satu pahala”
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4, hal 2.
[2] Ibid hal 4
[3] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1 hal 4
[4] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1 hal 44
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4, hal  91
[6] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1 hal 34
[7] Ibid hal 34
[8] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hal 191
[9] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) , hal 93
[10] Harun Nasution, falsafat, op.cit; hal 33-34
[11] Muhammad Yusuf Musa, op.cit; hal 72
[12] Ibnu Sina, al-najt, (kairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1938) hal 398
[13] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) , hal 106
[14] Ibid hal 107-110
[15] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) , hal 76
[16] Zaky mubarak, al-akhlaq ‘ind Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-katib al-araby al-thaba’at al-nasyr, 168), hal 47
[17] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1 hal 55
[18] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) ,  hal 106
[19] Muhammad Yusuf Musa,falsafat al-akhlaq fi al-islam, (Kairo:Dar al-ma’arif, 1963),  hal 129
[20] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 31
[21] Al-Ghazali, Tahafut, op.cit ; hal 206-207
[22] Nurcholish Majid, kaki langit peradaban Islam,( Jakarta: Paramadina,1997),  hal. 94-95
[23] Ahamd Fu’ad, ibnu Rusyd, hal 542-543
[24] Nurcholish, Majid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), hal 37
[25] TJ. De boer, Tarikh al- falsafah fi  al-islam. Terjem. Muhammad:Abd al-hady  Abu zaidah. (Kairo: Mathba’at al-takhlif, 1962), hal. 252
[26] Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, Al-Naz’at al-‘aqliyyat fi falsafat Ibn Rusyd, (Kairo: Dar al-Ma’arif 1979), hal 78
[27] Harun Nasution, falsafat dan Misticisme dalam islam. (jakarta: Bulan Bintang:1973), hal  47
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003)
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Harun Nasution, falsafat dan Misticisme dalam islam. (jakarta: Bulan Bintang:1973),
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987),
Nurcholish Majid, kaki langit peradaban Islam,( Jakarta: Paramadina,1997(
Nurcholish, Majid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984(
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), Cet.1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya (Jakarta: Raja Wali, 2010), Ed. 1. Cet. 4
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), Cet.1
TJ. De boer, Tarikh al- falsafah fi  al-islam. Terjem. Muhammad:Abd al-hady  Abu zaidah. (Kairo: Mathba’at al-takhlif, 1962),

No comments:

Post a Comment