Thursday, March 24, 2016

makalah cakupan kekuasaan peradilan pada masa rasulullah


A.  Latar Belakang
Dalam masyarakat pra-Islam, tidak ada kekuasaan  politik dan sistem peradilan yang terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengketaan tersebut diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.Untuk itu tidak ada pejabat resmi. Artinya jika terjadi persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa Muhammad Saw sebelum menjadi Rasul pernah bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad  pada tempat semula. Di kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “Inilah al-Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya. Kegiatan seperti ini terus berjalan hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan Rasul sebagai kepala negara, sebagai hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat Islam. Semula Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah, maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi hakim yang menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat mereka berada. Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk “berijtihad“, dalam kasus-kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘ (pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim. Penulis dalam hal ini akan membahas ketiganya dalam pembahasan.

B.  Permasalahan
1.    Apa pengertian dari pengadilan al-Qadla‘ dan apa saja cakupannya?
2.    Apa pengertian dari pengadilan al-Hisbahdan apa saja cakupannya?
3.    Apa pengertian dari pengadilan al-Mazhalim dan apa saja cakupannya?

C.  Pembahasan
1.    Pengadilan al-Qadla‘
a.       Pengertian Pengadilan al-Qadla‘
Makna al-Qadha’ secara bahasa, al-Qadha’ (القضاء) berasal dari kata قضى-يقضى-قضاء; jamaknya أقضية. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. Al-Qur`an mencantumkan kataal-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri.[1]
Sedangkan kata al-Qadla‘ menurut istilah mempunyai arti Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya.[2]
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an dan as­-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan. Rasul Saw. secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan lain sebagainya.
Imam Abu Hanifah mendefinisikanqadha‘ sebagai: “Suatu keputusan mengikat yang bersumber dari pemerintah umum guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan”. Imam Malik mendefinisikan, “Pemberitaan tentang hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti”. Ulama Maliki mendefinisikan al-qadha dari segi sifat lembaga hukum ini. Sementara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal memberikan definisi, “Penyelesaian persengketaan antara dua pihak atau  lebih berdasarkan huku Allah Swt“.[3]
b.      Hukum Pengangkatan dan Jenis Qadhi
Saya Mayoritas ulama berpendapat, al-Qadha’ hukumnya fardhu kifayah. Pelaksanaan tugas al­-Qadha’ ini pada dasarnya adalah tanggung jawab Imam/Khalifah. Rasul SAW dan Khulafaur Rasyidin sendiri menangani al-Qadha’ secara langsung. Namun, ketika wilayah negara semakin luas, tentu khalifah tidak mungkin menanganinya sendiri, di samping karena tugas Khalifah sangat kompleks. Dalam situasi tersebut, kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali Khalifah mengangkat para qadhi di seluruh daerah sebagai bahagian dari pemerintahan negara.
Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadha inilah yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat atau mencegah sesuatu yang boleh membahayakan hak-hak jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan pemerintahan negara.
Penjelasan tersebut sekaligus menjelaskan tiga kelompok perkara dan macam lembaga al­-Qadha’:
1)      Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan ‘uqubat. Perkara ini ditangani oleh al-Qadhi, kadang disebut Qudhat al-Khushumat.
2)      Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum; disebut Hisbah. Perkara ini ditangani oleh Qadhi al-Hisbah atau al-Muhtasib.
3)      Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman yang dilakukan oleh atau akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya. Inilah yang disebut mazhalim dan ditangani oleh Qadhi al-Mazhalim.[4]
c.       Syarat-syarat Pengangkatan Qadhi
Saya Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi seorang qadhi adalah sebagai berikut:
1)   Ia harus seorang pria
2)   Mempunyai kemampuan akal
3)   Merdeka
4)   Beragama islam
5)   Mempunyai kredibilitas individual
6)   Sempurna pendengaran dan penglihatannya
7)   Mempunyai kemampuan dalam ilmu pengetahuan
d.      Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi
Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi ialah sebagai berikut:
1)   Menguasai ilmu tentang Kitab Allah
2)   Menguasai ilmu tentang Sunnah Rasulullah
3)   Menguasai tentang takwil kalangan ulama salaf
4)   Menguasai ilmu tentang qiyas.[5]
2.    Pengadilan/wilayah al-Hisbah
a.         Pengertian Pengadilan al-Hisbah
Secara harfiah kata wilayah al-hisbahdiartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
Ini mengindikasikan wilayah merupakan jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, di mans kewenangan ini merupakan kewajiban untuk menegakkan atau melaksanakan bagi orang tertentu yang diyakini bahwa ia mampu untuk melaksanakan hat tersebut. Artinya, definisi wilayah hisbah tersebut hanya menggambarkan wilayah hisbah sebagai tugas pribadi muslim, belum menggambarkan pengertian wilayah hisbah sebagai bagian dari kekuasaan peradilan.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud dengan wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, yang tidak termasuk wilayah qadha‘ dan wilayah lainnya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan muhtasib (petugas wilayah hisbah) diangkat oleh sulthan (pemerintah), dan wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.[6]
b.        Kewenangan Wilayah al-Hisbah
1)      Dalam Bidang Aqidah
Hisbah berlaku dalam masalah-masalah penyimpangan aqidah, yaitu permasalahan-permasalahan yang terkait erat dengan unsur-unsur aqidah Islam. Pada saat terjadi praktek-praktek aqidah yang bertentangan dengan aqidah Islam, muhtasib berwenang untuk melarang perbuatan-perbuatan tersebut, seperti penyembahan kepada Allah dilakukan dengan ber-tawasul kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, mendatangi dukun-dukun untuk melihat garis keberuntungan nasib, perusakan terhadap al-Qur’an (dengan mengubah makna atau menukar ayat dengan unsur lain), dan lain-lain yang dilarang dalam Islam.
2)      Dalam Bidang Ibadah
Dalam bidang ibadah muhtasib memiliki kewenangan untuk menerapkan hisbah, antara lain, menyuruh melaksanakan shalat, memakmurkan   masjid, menyeru untuk berzakat, berpuasa, melarang minuman khamar diperjualbelikan, berkhalwat antar lawan jenis, dan lain-lain.
3)      dalam bidang muamalah
Yang dimaksud dengan muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, seperti jual-beli, syirkah, dan lain-lain. Dalam masalah ini kewenangan wilayah hisbah, antara lain, melarang dan mengawasi terjadinya kecurangan, seperti pengurangan ukuran dan timbangan, praktek-praktek yang mengandung unsur mengatur ketertiban jalan, dan hal-hal yang berkaitan dengan moral, seperti melarang perempuan memakai pakaian yang kelihatan auratnya.[7]
c.         Historisitas Wilayah Hisbah Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Satu hal yang dilakukan oleh Nabi Saw. di Madinah (setelah hijrah dari Makkah ke Madinah) adalah mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang :
1)   Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar berta orang-orang yang berhubungan dan berjuang bersama mereka.
2)   Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri.
3)   Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing.
4)   Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa.
5)   Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.[8]
Dengan keluarnya shahifah al-rasul ini mengindikasikan telah berdiri satu daulah Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang Quraisy).
Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi Saw. untuk menjadi qadhi, seperti Mu’adz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi Saw. Wilayah Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh Nabi Saw.,[9] seperti ketika Nabi Saw. berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi Saw. memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi Saw. kemudian bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ
Tidak termasuk golongan kita kelompok yang menipu.[10]
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.    Pengadilan al-Mazhalim
Kata al-Mazhalim adalah jama’ dari al-Mazhlamah yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan Wali al-Mazhalim. Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam masalah mazhalim, Rasul Saw. juga menanganinya secara langsung; seperti dalam masalah penolakan beliau untuk melakukan penetapan harga atau dalam masalah pengairan antara Zubair dan seorang laki-laki dari Anshar. Begitu juga Khulafaur Rasyidin menangani langsung perkara mazhalim dan belum menyediakan waktu khusus. Baru Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang menyediakan waktu khusus untuk meneliti masalah mazhalim, tanpa langsung memutuskan. Jika ada masalah atau perlu keputusan hukum, ia mengajukannya kepada qadhi-nya, yaitu Abi Idris al-Azadi karena beliau adalah qadhi mazhalim ketika itu. Baru pada masa Abassiyah diangkat qadhi khusus untuk menangani perkara mazhalim ini. Jabatan ini terus ada dan menjadi bagian dari al-Qadha’. Pengangkatan qadhimazhalim ini juga didasarkan pada as-Sunnah berupa perbuatan Rasul Saw.
Demikian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang pertama­-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.[11]

D.  Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1.    Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘ (pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim.
2.    Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an dan as­-Sunnah.
3.    Wilayah hisbah yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
4.    Pengadilan mazhalim pada masa Nabi dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).


Daftar Pustaka
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah.  
Alaiddin Kolo, Sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers: Jakarta, 2011.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001.
Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam,  PT Intermasa:Jakarta, 1996.











[1]Alaiddin Kolo, Sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers: Jakarta, 2011,  hlm. 10.
[2] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001, hlm.3.
[3]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 11.
[4]Ibid., hlm. 7.
[5]Ibid., hlm. 8.
[6]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 14.
[7]Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam,  PT Intermasa:Jakarta, 1996, hlm, 12.
[8]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 16.
[9]Ibid., hlm. 18.
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah, hlm. 242.  
[11]Alaiddin Kolo, Op.Cit., hlm. 25.

No comments:

Post a Comment