A.
Latar Belakang
Dalam masyarakat pra-Islam, tidak ada kekuasaan politik dan
sistem peradilan yang terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengketaan
mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum selain pembunuhan maka
persengketaan tersebut diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk
oleh masing-masing pihak yang bersengketa.Untuk itu tidak ada pejabat resmi. Artinya
jika terjadi persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Juru damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa Muhammad Saw sebelum menjadi Rasul pernah
bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di
kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk
meletakkan kembali hajar aswad pada tempat semula. Di
kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk
tugas yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di
antara sesama suku Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni
mereka sepakat untuk memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke
Ka’bah melalui pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui
pintu itu, kemudian mereka berseru. “Inilah al-Amin. Kami setuju dia
menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad
peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan
persoalan itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela
dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal
pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya. Kegiatan
seperti ini terus berjalan hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan
Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya terkumpul beberapa fungsi diantaranya,
sebagai Nabi dan Rasul sebagai kepala negara, sebagai hakim yang menyelesaikan
sengketa dikalangan ummat Islam. Semula Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai
hakim tunggal, namun setelah ummat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah,
maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi hakim
yang menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat mereka berada.
Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai
konsekuensi dari pemberian kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para
sahabat untuk “berijtihad“, dalam kasus-kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur’an
dan Sunnah.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang
dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘ (pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah
(pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim.
Penulis dalam hal ini akan membahas ketiganya dalam pembahasan.
B.
Permasalahan
1. Apa pengertian dari pengadilan al-Qadla‘ dan apa saja cakupannya?
2. Apa pengertian dari pengadilan al-Hisbahdan apa saja cakupannya?
3. Apa pengertian dari pengadilan al-Mazhalim dan apa saja cakupannya?
C.
Pembahasan
1. Pengadilan al-Qadla‘
a. Pengertian Pengadilan al-Qadla‘
Makna al-Qadha’ secara bahasa, al-Qadha’
(القضاء) berasal dari kata قضى-يقضى-قضاء;
jamaknya أقضية. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak,
memiliki banyak makna. Al-Qur`an mencantumkan kataal-Qadha’ dalam
banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan,
menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan
memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri.[1]
Sedangkan kata al-Qadla‘ menurut istilah mempunyai
arti Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang
mengikutinya.[2]
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an
dan as-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau
menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan. Rasul Saw. secara
langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah
masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam
beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan lain sebagainya.
Imam Abu Hanifah mendefinisikanqadha‘ sebagai: “Suatu
keputusan mengikat yang bersumber dari pemerintah umum guna menyelesaikan dan
memutuskan persengketaan”. Imam Malik mendefinisikan, “Pemberitaan tentang
hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti”. Ulama Maliki mendefinisikan
al-qadha dari segi sifat lembaga hukum ini. Sementara Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal memberikan definisi, “Penyelesaian persengketaan antara dua
pihak atau lebih berdasarkan huku Allah Swt“.[3]
b. Hukum Pengangkatan dan Jenis Qadhi
Saya Mayoritas ulama berpendapat, al-Qadha’ hukumnya
fardhu kifayah. Pelaksanaan tugas al-Qadha’ ini pada dasarnya adalah tanggung
jawab Imam/Khalifah. Rasul SAW dan Khulafaur Rasyidin sendiri menangani al-Qadha’
secara langsung. Namun, ketika wilayah negara semakin luas, tentu khalifah
tidak mungkin menanganinya sendiri, di samping karena tugas Khalifah sangat
kompleks. Dalam situasi tersebut, kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali
Khalifah mengangkat para qadhi di seluruh daerah sebagai bahagian dari
pemerintahan negara.
Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadha
inilah yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara
anggota masyarakat atau mencegah sesuatu yang boleh membahayakan hak-hak
jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan
pemerintahan negara.
Penjelasan tersebut sekaligus menjelaskan tiga kelompok
perkara dan macam lembaga al-Qadha’:
1) Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan ‘uqubat.
Perkara ini ditangani oleh al-Qadhi, kadang disebut Qudhat
al-Khushumat.
2) Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum; disebut Hisbah. Perkara
ini ditangani oleh Qadhi al-Hisbah atau al-Muhtasib.
3) Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman yang
dilakukan oleh atau akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya. Inilah yang
disebut mazhalim dan ditangani oleh Qadhi al-Mazhalim.[4]
c. Syarat-syarat Pengangkatan Qadhi
Saya Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi
seorang qadhi adalah sebagai berikut:
1) Ia harus seorang pria
2) Mempunyai kemampuan akal
3) Merdeka
4) Beragama islam
5) Mempunyai kredibilitas individual
6) Sempurna pendengaran dan penglihatannya
7) Mempunyai kemampuan dalam ilmu pengetahuan
d. Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi
Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon
qadhi ialah sebagai berikut:
1) Menguasai ilmu tentang Kitab Allah
2) Menguasai ilmu tentang Sunnah Rasulullah
3) Menguasai tentang takwil kalangan ulama salaf
4) Menguasai ilmu tentang qiyas.[5]
2. Pengadilan/wilayah al-Hisbah
a.
Pengertian Pengadilan
al-Hisbah
Secara harfiah kata wilayah al-hisbahdiartikan
dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak
dilakukan seperti yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik
apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila
nyata perbuatan itu dikerjakan.
Ini mengindikasikan wilayah merupakan jabatan keagamaan
yang mencakup menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, di mans
kewenangan ini merupakan kewajiban untuk menegakkan atau melaksanakan bagi
orang tertentu yang diyakini bahwa ia mampu untuk melaksanakan hat tersebut.
Artinya, definisi wilayah hisbah tersebut hanya menggambarkan wilayah
hisbah sebagai tugas pribadi muslim, belum menggambarkan pengertian wilayah
hisbah sebagai bagian dari kekuasaan peradilan.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah bahwa yang
dimaksud dengan wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya
adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, yang tidak termasuk
wilayah qadha‘ dan wilayah lainnya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan muhtasib
(petugas wilayah hisbah) diangkat oleh sulthan (pemerintah), dan
wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.[6]
b.
Kewenangan Wilayah
al-Hisbah
1) Dalam Bidang Aqidah
Hisbah berlaku dalam
masalah-masalah penyimpangan aqidah, yaitu permasalahan-permasalahan yang
terkait erat dengan unsur-unsur aqidah Islam. Pada saat terjadi praktek-praktek
aqidah yang bertentangan dengan aqidah Islam, muhtasib berwenang untuk melarang
perbuatan-perbuatan tersebut, seperti penyembahan kepada Allah dilakukan dengan
ber-tawasul kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, mendatangi dukun-dukun untuk
melihat garis keberuntungan nasib, perusakan terhadap al-Qur’an (dengan
mengubah makna atau menukar ayat dengan unsur lain), dan lain-lain yang
dilarang dalam Islam.
2)
Dalam Bidang Ibadah
Dalam bidang
ibadah muhtasib memiliki kewenangan untuk menerapkan hisbah, antara lain,
menyuruh melaksanakan shalat, memakmurkan masjid, menyeru untuk
berzakat, berpuasa, melarang minuman khamar diperjualbelikan, berkhalwat antar
lawan jenis, dan lain-lain.
3)
dalam bidang muamalah
Yang dimaksud
dengan muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan antar sesama
manusia, seperti jual-beli, syirkah, dan lain-lain. Dalam masalah ini
kewenangan wilayah hisbah, antara lain, melarang dan mengawasi
terjadinya kecurangan, seperti pengurangan ukuran dan timbangan,
praktek-praktek yang mengandung unsur mengatur ketertiban jalan, dan hal-hal
yang berkaitan dengan moral, seperti melarang perempuan memakai pakaian yang
kelihatan auratnya.[7]
c.
Historisitas Wilayah Hisbah
Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Satu hal yang dilakukan oleh Nabi Saw. di Madinah
(setelah hijrah dari Makkah ke Madinah) adalah mempererat persaudaraan antara
kaum Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah
yang dikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang :
1) Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar berta
orang-orang yang berhubungan dan berjuang bersama mereka.
2) Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang
mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri.
3) Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh,
dan bebas menjalankan agamanya masing-masing.
4) Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling
berbuat dosa.
5) Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku
zalim dan dosa.[8]
Dengan keluarnya shahifah al-rasul ini
mengindikasikan telah berdiri satu daulah Rasul sebagaimana terlihat dalam
penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang Quraisy).
Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang
diutus oleh Nabi Saw. untuk menjadi qadhi, seperti Mu’adz Ibn Jabbal sebagai
qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun
kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi),
akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh
mengajukan keputusan kembali kepada Nabi Saw. Wilayah Hisbah pada masa
ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya
praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh
Nabi Saw.,[9] seperti
ketika Nabi Saw. berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan,
kemudian Nabi Saw. memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan
menemukan bagian gandum yang basah, Nabi Saw. kemudian bersabda:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ غَشَّ
Tidak termasuk golongan kita kelompok yang menipu.[10]
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang
tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa
pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani
Umayyah.
3. Pengadilan al-Mazhalim
Kata al-Mazhalim adalah jama’ dari al-Mazhlamah yang menurut
bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan
seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh pemerintah khusus membela
orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari
pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk
diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini
menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang
menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan Wali al-Mazhalim. Adapun
syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian
atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan
oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam masalah mazhalim,
Rasul Saw. juga menanganinya secara langsung; seperti dalam masalah penolakan
beliau untuk melakukan penetapan harga atau dalam masalah pengairan antara
Zubair dan seorang laki-laki dari Anshar. Begitu juga Khulafaur Rasyidin
menangani langsung perkara mazhalim dan belum menyediakan waktu khusus.
Baru Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang menyediakan waktu khusus untuk
meneliti masalah mazhalim, tanpa langsung memutuskan. Jika ada masalah
atau perlu keputusan hukum, ia mengajukannya kepada qadhi-nya, yaitu Abi
Idris al-Azadi karena beliau adalah qadhi mazhalim ketika itu. Baru pada
masa Abassiyah diangkat qadhi khusus untuk menangani perkara mazhalim
ini. Jabatan ini terus ada dan menjadi bagian dari al-Qadha’.
Pengangkatan qadhimazhalim ini juga didasarkan pada as-Sunnah berupa
perbuatan Rasul Saw.
Demikian halnya
pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang pertama-tama yang ia
lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizalimi oleh para
pejabat/penguasa sebelumnya.[11]
D.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, penulis dapat
menyimpulkan:
1.
Dalam sejarah dunia
peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu:pengadilan al-Qadla‘
(pengadilan biasa), Pengadilan al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan
dengan jual beli/pasar), Pengadilan al-Mazhalim.
2.
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Qur‘an
dan as-Sunnah.
3. Wilayah hisbah yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan
itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu
dikerjakan.
4. Pengadilan mazhalim pada masa Nabi dibentuk oleh pemerintah khusus membela
orang-orang mazhlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari
pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk
diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla‘), dan pengadilan (al-hisbah).
Daftar Pustaka
Ahmad
bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah.
Alaiddin
Kolo, Sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers: Jakarta, 2011.
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan
dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001.
Zaini Ahmad
Noeh, Peradilan Agama Islam, PT
Intermasa:Jakarta, 1996.
[1]Alaiddin Kolo, Sejarah Peradilan Islam,
Rajawali Pers: Jakarta, 2011, hlm. 10.
[2] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan
dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2001, hlm.3.
[7]Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama
Islam, PT Intermasa:Jakarta, 1996,
hlm, 12.
[10] Ahmad bin
Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, J. 12, Maktabah Syamilah, hlm.
242.
No comments:
Post a Comment