Thursday, March 24, 2016

makalah hukum pembuktian


A.    PENDAHULUAN
Dalam tanya jawab di muka sidang pengadilan,para pihak yang berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan parkaranya.majlis hakim memperhaikan semua peristiwa yang dikemukakan oleh kedua belah pihak .Unuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa-peristiwa atau hubungan hukum sungguh-sungguh telah terjadi,majlis hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan guna dapat menerapkan hukumnya secara tepat,benar,dan adil .oleh karena itu,para pihak yang berperkara wajib memberikan keterangan disaertai bukti-bukti menurut hukum mengenai peristiwa atau hubungan hukum yang telah terjadi.Dengan kata lain,perlu pembuktian secara yuridis,yaitu menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberikan kepastian kepada majlis hakim mengenai terjadinya peristiwa atau hubungan.
Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari piahak lawan menenai apa yang digugatkan,atau untuk membenarkan suatu hak.Ada suatu peristiwa yang tidak memerlukan pembukian lagi karena kebenarannya sudah diakui umum,yang disebut peristiwa notoir  (notoir feiten, noticeable facts) .Setiap orang pasti mengetahuinya,sehingga majlis hakim harus yakin demikian adanya . Misalnya,sedang berlaku larangan keluar malam ,tak seorang pun yang boleh keluar rumah kecuali peugas keamanan .Tergugat mengatakan bahwa benar dia telah membayar harga barang yang disenkatakan ada malam hari di rumah penggugat,padahal penggugat dalam gugatannya mengatakan tergugat belum membayar apalai rumah mereka letaknya sangat berjauhan yang tidak memungkinkan tergugat keluar rumah waktu malam untuk melakukan pembayaran.Adanya jam malam itu sudah diketahui amum yang tidak perlu dibuktikan lagi,ehingga gugatan yang menyatakan tergugat belum membayar dipasikan benar adanya.Demikian pula pengetahuan hakim mengenai sau peristiwa merupakan bukti yang sah yang tidak tunduk pada kasasi (Putusan Mahkamah Agung 22 Agustus 1956 No.1-2 hlm.118)
Ketentuan-ketentuan tentang pembuktian diatur dalam pasal 162-177 HIR.pasal 282-314 RBg,dan Stb.No.29 Tahun 1867 tentang kekuatan pembuktian surat dibawah tangan.

B.     PERMASALAHAN
Untuk menguraikan judul makalah ini, da beberapa permasalahan yang perlu dibahas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1,Apa arti pembuktian dan daluarsa?
2.Bagaimanakah penentuan beban pembuktian ?
3.Apa sajakah alat-alat bukti ?
4.Bagaimana penilaian hakim terhadap pembuktian ?

C. PEMBAHASAN
1. ARTI PEMBUKTIAN DAN DALUARSA
a. Pembuktian                                                     
Prof.Dr.Supomo dalam bukunya Hukum acara perdata Pengadilan Negeri menerangkan bahwa membuktikan mempunyai arti terbatas. Di dalam arti yang luas membuktikan berarti memperkuat simpulan hakim dengan syarat-syarat dan bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Yang harus member bukti adalah pihak yang wajib membenarkan apa yang dikemukakannya . Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka sidang .[1]
            Pasal pertama dari buku IV kitab undang-undang Hukum perdata , yang mengatur perihal pembuktian, yaitu pasal 1865 yang berbunyi :” setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Demikian juga bunyi pasal 163 RIB dan pasal 283 RDS. Jelaslah Nampak dari pasal-pasal tersebut, bahwa tidak hanya peristiwa saja yang dapat dibuktikan, tetapi juga suatu hak. Kalau dulu seorang pengugat yang menuntut kembali barang miliknya, diwajibkan mendalilkan peristiwa-peristiwa bagaimana ia memperoleh hak miliknya.
Dalam beberapa hal maka peristiwanya yidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena :
1.      Peristiwanya memang dianggap idak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan , antara lain :

a.       Dalam hal dijatuhkan putusan verstek . karena tergugat tidak dating, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat tdalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b.      Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c.       Dengan telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
d.      Telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian .
2.      Hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, peristiwa-peristiwa itu ialah :
a.       Apa yang dikenal sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan  yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan pembenar untuk suatu tindakan  yang bersifat kemasyarakatan yang serius.
b.      Peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan dimuka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perklu dibuktikan lebih lanjut. Misalna bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak penggugat mengajukan barang bukti .
3.      Pengetahuan tentang pengalaman , adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum[2]

  B. Daluarsa
Dalam KUH perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Macam-macam daluarsa (Verjaring )
1.      Acquisitieve Verjaring, adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.
2.      Extinctieve Verjaring, adalah lampau wakgtu yang melenyapkan atau membebaskan terhadap taihan atau kewajibannya .[3]

2. PENENTUAN BEBAN PEMBUKTIAN
Penentuan beban pembuktian merupakan masalah yang tidak mudah karena tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian. Dalam praktek, majlis hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlau diberi beban pembuktian terlebih dahulu dan selanjutnya. Pasal 163 HIR,283 RBg mengatur beban pembuktian , tetapi tidak begitu jelas sehinga sulit untuk diterapkan secara tegas apakah beban pembuktian ada pada penggugat atau tergugat.
Menurut ketentuan pasal 163 HIR,283 RBg ,pihak yang mengatakan mempunyai hak,atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya,atau untuk membantah hak orang lain ,harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk menentukan beban pembuktian ada pada pihak mana,perlu diteliti dan dirinci ketentuan pasal tadi menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut :
1.      Pihak yang menyatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu .biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu .
2.      Pihak yang menyebutkan suatu pertisiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan suatu peristiwa itu penggugat, tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat,maka dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada tergugat .
3.      Pihak yang menyebutkan suatu peristwa untuk membantah hak orang lain harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan itu penggugat, maka beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktitan ada pada tergugat . [4]
Ketentuan paal 162 HIR dan 283 RBg hanya dapat dipegagng sebagai pedaoman saja bagi majlis hakim dalam menentukan beban pembuktian. Memang merupakan problema yuridis yang sulit dipecahkan, tidak hanya bagi hakim melainkan juga bagi para pengacara/penasehat hokum.sehingga menjadi alasan bagi hakim kasasi untuk membatalkan putusan hakim yang memeriksa fakta (judex fact).
Dalam hukum material (BW dan WvK) ada beberapa pasal tertentu yang mengatur tentang beban pembuktian. Dalam pasal tersebut telah ditentukan beban pembuktian itu ada pada pihak debitu. Dalam perkara perdata biasanya debitur menjadi pihak tergugat. Paal-paal yang dimaksud antara lain :
1.      pasal 1244 BW tentang keadaan memaksa (overmacht, force majeur) beban pembuktian ada pada debitur .
2.      pasal 1365 BW tentang perbuagan melawan hukum (ontrecht matige daad,unlawful act) beban pembuktian ada pada pelanggar (actor).
3.      Apaal 1394 BW tentang sewa dan bunga yang harus dibayar beban pembuktian ada pada debitur  yang sudah membayar cicilan .
4.      Pasal 1977 BW tentang bezit atas benda yang bergerak, beban pembuktian ada pada pemilik sebenarnya(eigenaar,owner)
5.      Pasal 468 ayat 2 WvK tentang pengangkutan (vervoer,transport) beban pembuktian ada pada pengangku barang.[5]
3.  ALAT-ALAT BUKTI
Menurut pasal 1866 kitab undang-undang Hukum perdata atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata , Yaitu :
1.      Alat bukti tertulis  
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian .

2.      pembuktian dengan saksi
kesaksian adalah kepastian yang di berikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang  yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan . 
3.      persangkaan
tentang penggertian persangkaan banyak terdapat salah pengertian. Adakalanya persangkaan itu dianggap sebagaI alat bukti yang berdigri sendiri atau sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian dan memang merupakan “ the slipperiest member of the family of legal terms”. Pada hakekatnya yang dimaksud persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.
4.      Pengakuaan
Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak,baik  tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara dipersidangan ,yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya,yang mengakibatkan pemeriksaanlebih lanjut oleh hakim tidak perlu lai. 
5.      Sumpah.
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Allah dari pada Tuhan,dan percaya bahwa yang siapa member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam peradilan.

Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diaakui sebagai alat –alat bukti yang sah yaitu :
1.      Kesaksiaan
2.      Surat-surat
3.      Pengakuan
4.      Petunjuk-petunjuk.[6]

4.      PENILAIAN PEMBUKTIAN
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih hsarus dinilai. Dalam hal ini pembentuk UU dapat mengikat hakim pada alat bukti tertentu, sehinga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya pembentuk UU dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilei pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis , misalnya: hyakim teritkat dalam penilaiannya(ps.165 HIR ,285 Rbg 1870 BW) sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (ps. 172 HIR 309Rbg,1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur , sebaliknya hakim bebas untuk menilai pembuktian . jadi yang wenang untuk menilai pembuktian adalah hakim, dan hanyalah judex fact aja, srhingga mahkamah agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Bukti itu dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat, bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar
.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, gdapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang  bertujuan untuk menyangkal akibat hokum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidak benarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Bukti lawan yang tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan . bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pasal 177 HIR (ps. 314 Rbg ) dan 1936 BW tentang sumpah tidak memugkinkan bukti lawan..
Berhubung dalam menilai pembuktian hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU , maka timbullah pertayaan :aampai berapa jauhkah hauakum positif boleh mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa dalam sidang ? tentang hal ini ada 3 teori :
1.      Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan  kepadanya.

2.      Teori pembuktian negatife
Menurut teorit ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa ketentuan itni harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian . jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian (ps. 1659 HIR , 306 Rbg , 1905 BW).
3.      Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, eori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini  hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 169 HIR, 285 Rbg , 1870 BW)

         Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hokum pembuktian ini dimaksudkan untuk member kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.[7]

D.    SIMPULAN
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu hak . Sedangkan  dalam KUH perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Macam-macam daluarsa (Verjaring )
1.      Acquisitieve Verjaring, adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.
2.      Extinctieve Verjaring, adalah lampau wakgtu yang melenyapkan atau membebaskan terhadap taihan atau kewajibannya .
Menurut ketentuan pasal 163 HIR,283 RBg ,pihak yang mengatakan mempunyai hak,atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya,atau untuk membantah hak orang lain ,harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk menentukan beban pembuktian ada pada pihak mana,perlu diteliti dan dirinci ketentuan pasal tadi menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut :
1.      Pihak yang menyatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu .biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu .
2.      Pihak yang menyebutkan suatu pertisiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan suatu peristiwa itu penggugat, tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat,maka dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada tergugat .
3.      Pihak yang menyebutkan suatu peristwa untuk membantah hak orang lain harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan itu penggugat, maka beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktitan ada pada tergugat .
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya buat guna memenuhi tugas ujian tengah semester yang  mengenai hukum pembuktian dan daluarsa , semoga semakin memperkaya keilmuan kita tentang hukum . Namun saya menyadari bahwa didalam makalah yang saya susun masih banyak kekurangan. Untuk kritik dan saran yang membangun dari pembaca kami harapkan guna untuk memperbaiki makalah yang berikutnya .
Demikian dari saya semoga makalah ini berguna bagi kita semua untuk menambah pengetahuan kita , Amin …….   

F. REFRENSI
Ali Afandi,S.H, Hukum Waris Keluarga Dan Hukum Pembuktian, Jakarta, rineka cipta, 1986, hal 192
H.S, Salim, S.H.S,M.S, maret 2002cet pertama, pengantar hokum perdata tertulis
Subekti R,Prof ,S.H. 1975,cet  9 , Pokok-pokok hokum perdata. Jakarta ,intermasa
Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata Indonesia ,cet 1, Citra Datya Bakti, bandung,1978, hlm 116-117
Subekti, SH, Hukum Pembuktian, Jakarta,Pratya Paramita, cet ke 2, 1969, hlm 19
Sudikno metro kusumo , S.H,Hukum acara Perdata Indonesia,Yogyakarta ,liberty,cet pertama,1998,hlm 113-114



[1] Ali Afandi,S.H, Hukum Waris Keluarga Dan Hukum Pembuktian, Jakarta, rineka cipta, 1986, hal 192
[2] H.S, Salim, S.H.S,M.S, maret 2002cet pertama, pengantar hukum perdata tertulis
[3] Subekti R,Prof ,S.H. 1975,cet  9 , Pokok-pokok hokum perdata. Jakarta ,intermasa
[4] Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata Indonesia ,cet 1, Citra Datya Bakti, bandung,1978, hlm 116-117
[5] Ibid, hlm 118
[6]Subekti, SH, Hukum Pembuktian, Jakarta,Pratya Paramita, cet ke 2, 1969, hlm 19
[7] Sudikno metro kusumo , S.H,Hukum acara Perdata Indonesia,Yogyakarta ,liberty,cet pertama,1998,hlm 113-114 

No comments:

Post a Comment