A.
PENDAHULUAN
Dalam
tanya jawab di muka sidang pengadilan,para pihak yang berperkara bebas mengemukakan
peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan parkaranya.majlis hakim memperhaikan semua
peristiwa yang dikemukakan oleh kedua belah pihak .Unuk memperoleh kepastian
bahwa peristiwa-peristiwa atau hubungan hukum sungguh-sungguh telah terjadi,majlis
hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan guna dapat menerapkan hukumnya
secara tepat,benar,dan adil .oleh karena itu,para pihak yang berperkara wajib
memberikan keterangan disaertai bukti-bukti menurut hukum mengenai peristiwa
atau hubungan hukum yang telah terjadi.Dengan kata lain,perlu pembuktian secara
yuridis,yaitu menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberikan
kepastian kepada majlis hakim mengenai terjadinya peristiwa atau hubungan.
Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari
piahak lawan menenai apa yang digugatkan,atau untuk membenarkan suatu hak.Ada
suatu peristiwa yang tidak memerlukan pembukian lagi karena kebenarannya sudah
diakui umum,yang disebut peristiwa notoir
(notoir feiten, noticeable facts)
.Setiap orang pasti mengetahuinya,sehingga majlis hakim harus yakin demikian
adanya . Misalnya,sedang berlaku larangan keluar malam ,tak seorang pun yang
boleh keluar rumah kecuali peugas keamanan .Tergugat mengatakan bahwa benar dia
telah membayar harga barang yang disenkatakan ada malam hari di rumah
penggugat,padahal penggugat dalam gugatannya mengatakan tergugat belum membayar
apalai rumah mereka letaknya sangat berjauhan yang tidak memungkinkan tergugat
keluar rumah waktu malam untuk melakukan pembayaran.Adanya jam malam itu sudah
diketahui amum yang tidak perlu dibuktikan lagi,ehingga gugatan yang menyatakan
tergugat belum membayar dipasikan benar adanya.Demikian pula pengetahuan hakim
mengenai sau peristiwa merupakan bukti yang sah yang tidak tunduk pada kasasi
(Putusan Mahkamah Agung 22 Agustus 1956 No.1-2 hlm.118)
Ketentuan-ketentuan tentang pembuktian diatur dalam pasal 162-177
HIR.pasal 282-314 RBg,dan Stb.No.29 Tahun 1867 tentang kekuatan pembuktian
surat dibawah tangan.
B.
PERMASALAHAN
Untuk
menguraikan judul makalah ini, da beberapa permasalahan yang perlu dibahas,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1,Apa arti pembuktian
dan daluarsa?
2.Bagaimanakah
penentuan beban pembuktian ?
3.Apa sajakah
alat-alat bukti ?
4.Bagaimana
penilaian hakim terhadap pembuktian ?
C. PEMBAHASAN
1. ARTI PEMBUKTIAN DAN DALUARSA
a. Pembuktian
Prof.Dr.Supomo
dalam bukunya Hukum acara perdata Pengadilan Negeri menerangkan bahwa
membuktikan mempunyai arti terbatas. Di dalam arti yang luas membuktikan
berarti memperkuat simpulan hakim dengan syarat-syarat dan bukti yang sah. Di
dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan
oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah tidak perlu
dibuktikan kebenarannya. Yang harus member bukti adalah pihak yang wajib
membenarkan apa yang dikemukakannya . Dengan demikian nampaklah bahwa
pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka
sidang .[1]
Pasal pertama dari buku IV kitab
undang-undang Hukum perdata , yang mengatur perihal pembuktian, yaitu pasal
1865 yang berbunyi :” setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak,
atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain,
menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut”. Demikian juga bunyi pasal 163 RIB dan pasal 283 RDS.
Jelaslah Nampak dari pasal-pasal tersebut, bahwa tidak hanya peristiwa saja
yang dapat dibuktikan, tetapi juga suatu hak. Kalau dulu seorang pengugat yang
menuntut kembali barang miliknya, diwajibkan mendalilkan peristiwa-peristiwa
bagaimana ia memperoleh hak miliknya.
Dalam
beberapa hal maka peristiwanya yidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh
hakim. Ini disebabkan karena :
1.
Peristiwanya memang
dianggap idak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim,
yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya.
Dalam hal-hal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan , antara lain :
a.
Dalam hal
dijatuhkan putusan verstek . karena tergugat tidak dating, maka peristiwa yang
menjadi sengketa yang dimuat tdalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian
dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya pihak
tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b.
Dalam hal
tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang
diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti
sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c.
Dengan telah
dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang
menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
d.
Telah menjadi
pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan
referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para
pihak dengan pembuktian .
2.
Hakim secara ex
officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih
lanjut, peristiwa-peristiwa itu ialah :
a.
Apa yang
dikenal sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau
keadaan yang dianggap harus diketahui
oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan
penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari
sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang
memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan pembenar untuk
suatu tindakan yang bersifat
kemasyarakatan yang serius.
b.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi di persidangan dimuka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian ini
dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perklu dibuktikan lebih lanjut.
Misalna bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak penggugat mengajukan
barang bukti .
3.
Pengetahuan
tentang pengalaman , adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum[2]
B. Daluarsa
Dalam
KUH perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau
membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.
Macam-macam
daluarsa (Verjaring )
1.
Acquisitieve
Verjaring, adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.
2.
Extinctieve
Verjaring, adalah lampau wakgtu yang melenyapkan atau membebaskan terhadap
taihan atau kewajibannya .[3]
2. PENENTUAN BEBAN PEMBUKTIAN
Penentuan
beban pembuktian merupakan masalah yang tidak mudah karena tidak ada satu
pasalpun yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian. Dalam
praktek, majlis hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan
pihak mana yang perlau diberi beban pembuktian terlebih dahulu dan selanjutnya.
Pasal 163 HIR,283 RBg mengatur beban pembuktian , tetapi tidak begitu jelas sehinga
sulit untuk diterapkan secara tegas apakah beban pembuktian ada pada penggugat
atau tergugat.
Menurut
ketentuan
pasal 163 HIR,283 RBg ,pihak yang mengatakan mempunyai hak,atau menyebutkan
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya,atau untuk membantah hak orang lain
,harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk menentukan beban
pembuktian ada pada pihak mana,perlu diteliti dan dirinci ketentuan pasal tadi
menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut :
1.
Pihak yang
menyatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu .biasanya penggugat yang
mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian
lebih dahulu .
2.
Pihak yang
menyebutkan suatu pertisiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya
peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan suatu peristiwa itu
penggugat, tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat,maka
dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada tergugat .
3.
Pihak yang
menyebutkan suatu peristwa untuk membantah hak orang lain harus membuktikan
adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan itu penggugat, maka
beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan
peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktitan ada pada tergugat . [4]
Ketentuan
paal 162 HIR dan 283 RBg hanya dapat dipegagng sebagai pedaoman saja bagi
majlis hakim dalam menentukan beban pembuktian. Memang merupakan problema
yuridis yang sulit dipecahkan, tidak hanya bagi hakim melainkan juga bagi para
pengacara/penasehat hokum.sehingga menjadi alasan bagi hakim kasasi untuk
membatalkan putusan hakim yang memeriksa fakta (judex fact).
Dalam
hukum material (BW dan WvK) ada beberapa pasal tertentu yang mengatur tentang
beban pembuktian. Dalam pasal tersebut telah ditentukan beban pembuktian itu
ada pada pihak debitu. Dalam perkara perdata biasanya debitur menjadi pihak
tergugat. Paal-paal yang dimaksud antara lain :
1.
pasal 1244 BW
tentang keadaan memaksa (overmacht, force majeur) beban pembuktian ada pada
debitur .
2.
pasal 1365 BW
tentang perbuagan melawan hukum (ontrecht matige daad,unlawful act) beban
pembuktian ada pada pelanggar (actor).
3.
Apaal 1394 BW
tentang sewa dan bunga yang harus dibayar beban pembuktian ada pada
debitur yang sudah membayar cicilan .
4.
Pasal 1977 BW
tentang bezit atas benda yang bergerak, beban pembuktian ada pada pemilik
sebenarnya(eigenaar,owner)
5.
Pasal 468 ayat
2 WvK tentang pengangkutan (vervoer,transport) beban pembuktian ada pada pengangku
barang.[5]
3. ALAT-ALAT BUKTI
Menurut
pasal 1866 kitab undang-undang Hukum perdata atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS)
alat-alat bukti dalam perkara perdata , Yaitu :
1.
Alat bukti
tertulis
Alat
bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
fikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian .
2.
pembuktian
dengan saksi
kesaksian adalah kepastian yang di berikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh orang yang
bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan .
3.
persangkaan
tentang penggertian persangkaan banyak terdapat salah pengertian.
Adakalanya persangkaan itu dianggap sebagaI alat bukti yang berdigri sendiri
atau sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian
dan memang merupakan “ the slipperiest
member of the family of legal terms”. Pada hakekatnya yang dimaksud
persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.
4.
Pengakuaan
Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak,baik tertulis maupun lisan yang tegas dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara dipersidangan ,yang membenarkan
baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum
yang diajukan oleh lawannya,yang mengakibatkan pemeriksaanlebih lanjut oleh hakim
tidak perlu lai.
5.
Sumpah.
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan
atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat akan
sifat Allah dari pada Tuhan,dan percaya bahwa yang siapa member keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah
merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam peradilan.
Dalam
halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diaakui sebagai
alat –alat bukti yang sah yaitu :
1.
Kesaksiaan
2.
Surat-surat
3.
Pengakuan
4.
Petunjuk-petunjuk.[6]
4.
PENILAIAN PEMBUKTIAN
Sekalipun
untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun
pembuktian itu masih hsarus dinilai. Dalam hal ini pembentuk UU dapat mengikat
hakim pada alat bukti tertentu, sehinga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya
pembentuk UU dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilei
pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis , misalnya: hyakim
teritkat dalam penilaiannya(ps.165 HIR ,285 Rbg 1870 BW) sebaliknya hakim tidak
wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian
(ps. 172 HIR 309Rbg,1908 BW).
Pada
umumnya, sepanjang UU tidak mengatur , sebaliknya hakim bebas untuk menilai
pembuktian . jadi yang wenang untuk menilai pembuktian adalah hakim, dan
hanyalah judex fact aja, srhingga mahkamah agung tidak dapat mempertimbangkan
dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Bukti itu dinilai lengkap atau sempurna,
apabila hakim berpendapat, bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa
yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar
.
Tiap
pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, gdapat dilumpuhkan oleh bukti
lawan. pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkal akibat hokum yang
dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidak benarannya
peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Bukti lawan yang tidak dimungkinkan
terhadap bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan . bukti yang bersifat
menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna yang tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Pasal 177 HIR (ps. 314 Rbg ) dan 1936 BW tentang sumpah tidak
memugkinkan bukti lawan..
Berhubung
dalam menilai pembuktian hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU , maka
timbullah pertayaan :aampai berapa jauhkah hauakum positif boleh mengikat hakim
atau para pihak dalam pembuktian peristiwa dalam sidang ? tentang hal ini ada 3
teori :
1.
Teori
pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya.
2.
Teori
pembuktian negatife
Menurut teorit ini harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa
ketentuan itni harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian . jadi hakim di sini dilarang dengan
pengecualian (ps. 1659 HIR , 306 Rbg , 1905 BW).
3.
Teori
pembuktian positif
Disamping adanya larangan, eori ini
menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps.
169 HIR, 285 Rbg , 1870 BW)
Pendapat
umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya
kebebasan dalam hokum pembuktian ini dimaksudkan untuk member kelonggaran
wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.[7]
D.
SIMPULAN
Yang
dimaksud dengan pembuktian adalah suatu bantahan atau sangkalan dari pihak
lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu hak .
Sedangkan dalam KUH perdata pasal 1946
Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan dalam UU.
Macam-macam
daluarsa (Verjaring )
1.
Acquisitieve
Verjaring, adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.
2.
Extinctieve
Verjaring, adalah lampau wakgtu yang melenyapkan atau membebaskan terhadap
taihan atau kewajibannya .
Menurut
ketentuan pasal 163 HIR,283 RBg ,pihak yang mengatakan mempunyai hak,atau
menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya,atau untuk membantah hak
orang lain ,harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk
menentukan beban pembuktian ada pada pihak mana,perlu diteliti dan dirinci
ketentuan pasal tadi menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut :
1.
Pihak yang
menyatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu .biasanya penggugat yang
mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian
lebih dahulu .
2.
Pihak yang
menyebutkan suatu pertisiwa untuk meneguhkan haknya harus membuktikan adanya
peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan suatu peristiwa itu
penggugat, tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat,maka
dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada tergugat .
3.
Pihak yang
menyebutkan suatu peristwa untuk membantah hak orang lain harus membuktikan
adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan itu penggugat, maka
beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan
peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktitan ada pada tergugat .
E. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat saya buat guna memenuhi tugas ujian tengah semester yang mengenai hukum pembuktian dan daluarsa ,
semoga semakin memperkaya keilmuan kita tentang hukum . Namun saya menyadari
bahwa didalam makalah yang saya susun masih banyak kekurangan. Untuk kritik dan
saran yang membangun dari pembaca kami harapkan guna untuk memperbaiki makalah
yang berikutnya .
Demikian
dari saya semoga makalah ini berguna bagi kita semua untuk menambah pengetahuan
kita , Amin …….
F. REFRENSI
Ali Afandi,S.H, Hukum Waris Keluarga Dan Hukum Pembuktian, Jakarta, rineka cipta,
1986, hal 192
H.S, Salim, S.H.S,M.S, maret 2002cet
pertama, pengantar hokum perdata tertulis
Subekti R,Prof ,S.H. 1975,cet 9 , Pokok-pokok
hokum perdata. Jakarta ,intermasa
Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata Indonesia ,cet 1,
Citra Datya Bakti, bandung,1978, hlm 116-117
Subekti, SH, Hukum Pembuktian, Jakarta,Pratya Paramita, cet ke 2, 1969, hlm 19
Sudikno metro kusumo , S.H,Hukum acara Perdata Indonesia,Yogyakarta
,liberty,cet pertama,1998,hlm 113-114
[1]
Ali Afandi,S.H, Hukum Waris Keluarga Dan
Hukum Pembuktian, Jakarta, rineka cipta, 1986, hal 192
[2]
H.S, Salim, S.H.S,M.S, maret 2002cet pertama, pengantar hukum perdata tertulis
[3]
Subekti R,Prof ,S.H. 1975,cet 9 , Pokok-pokok hokum perdata. Jakarta
,intermasa
[4]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata
Indonesia ,cet 1, Citra Datya Bakti, bandung,1978, hlm 116-117
[5]
Ibid, hlm 118
[6]Subekti,
SH, Hukum Pembuktian, Jakarta,Pratya
Paramita, cet ke 2, 1969, hlm 19
[7]
Sudikno metro kusumo , S.H,Hukum acara
Perdata Indonesia,Yogyakarta ,liberty,cet pertama,1998,hlm 113-114
No comments:
Post a Comment