A.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan berkembang dari rasa
ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia,
ilmu pengetahuan merupakan upaya khusus manusia untuk menyingkapkan
realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu sama lain, membangun
dialog dengan mengakui yang lain, dan meningkatkan harkat kemanusiaannya.
Mengetahui secara ilmiah itu bukan menjadi lingkup mengadanya manusia yang
lengkap, akan tetapi merupakan suatu sarana yang memungkinkan mengadanya dan
tindakan manusia. Paling tidak itu meliputi tiga macam pengetahuan pendukung.
Pertama, dorongan untuk mengetahui
justru lahir dari keterpaksaan untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, manusia
juga mengalami kebutuhan yang lebih mendalam, yaitu untuk menemukan tata
susunan yang sesungguhnya dalam kenyataannya. Ketiga, dorongan untuk mengetahui
menyangkut penelitian mengenai realisasi mengadanya manusia. Maka dengan
pengetahuannya manusia melakukan transendensi terhadap realitas seperti adanya,
dan ia menuju kearah kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan
terhadap realitas yang dialaminya itu.[1]
Dengan jalan refleksi itu filsafat dapat
memberikan suatu pandangan hidup. Tetapi hasil filsafat berbeda dari pengertian
awam tentang pandangan hidup, sebab filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat
realitas secara sistematis-metodis, oleh
karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan.[2]
Untuk itu pemakalah akan menbahas tema yang berhubungan dengan ilmu filsafat,
adapun tema dalam pembahasan ini yaitu metodologi penelitian filsafat. Dimana
tema tersebut pemakalah akan mencoba menyelaraskan
dengan profesi keguruan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
maksud dari metode penelitian filsafat?
2. Bagaimana
metode-metode penelitian filsafat?
3. Bagaimana
filsafat profesi keguruan?
C.
PEMBAHASAN
C.1 Metode Penelitian
Filsafat
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan cara
yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dari ilmu
pengetahuan); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Kata metode berasal dari kata
Yunani methodos, sambungan kata depan
meta (jalan, menuju, melalui,
mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos
(perjalanan, cara, arah). Kata methodos
sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian
ilmiah. Sehingga metode ialah cara
bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksud metode ialah: supaya kegiatan
praktis terlaksanakan secara rasional dan terarah, agar mencapai hasil yang
optimal.
Khususnya arti metode berlaku bagi ilmu
pengetahuan sebagai bidang atau daerah terbatas didalam keseluruhan pengertian
manusia. Metode ilmiah adalah sistem aturan yang menentukan jalan untuk
mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu.[3]
Metode yang dimaksud disini adalah suatu
cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran seperti ini
merupakan tujuan yang telah ditentukan pada saat pendekatan dilakukan. Jadi,
dalam metode ilmu pengetahuan itu
seharusnya ditentukan pula jenis, bentuk dan sifatnya oleh obyek forma (cara
pandang) yang dilakukan.[4]
Metode adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Jika
jalan yang ditempuh dalam penelitian tidak sampai pada suatu kesimpulan ilmiah hal itu tidak dapat dikatakan sebagai
metode.[5]
Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia merupakan suatu masalah secara
bersistem, kritis, dan ilmiah untuk
meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapat fakta baru, atau melakukan
penafsiran yang lebih baik. Dasar penelitian ilmiah untuk mencari ilmu
pengetahuan baru; pencarian yang bersistem untuk menemukan tantangan hal yang
belum diketahui. Penelitian dalam tinjauan sosial adalah suatu proses yang
berupa suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan
sistematis untuk memperoleh pemecahan permasalahan atau mendapatkan jawaban
atas pertanyaan tersebut.[6]
Penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan adanya kegiatan penelitian. Tanpa
penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup. Sebagaimana menurut Van
Peursen;1985 dikutip dalam buku yang berjudul Metodologi Penelitian Filsafat, bahwa ilmu itu bagaikan bangunan
yang tersusun dari batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah
langsung didapat dialam sekitar. Lewat observasi ilmiah batu-batu sudah
dikerjakan sehingga dapat dipakai, kemudian digolongkan menurut kelompok tertentu,
sehingga dapat dipergunakan.
Pada pokoknya kegiatan penelitian
merupakan upaya untuk merumuskan permasalahan, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
dengan jalan menemukan fakta-fakta dan memberikan penfsiran yang benar. Tetapi
lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni
terus menerus memperbaharui lagi kesimpulan dan teori yang telah diterima
berdasarkan fakta-fakta dan kesimpulan yang telah diketemukan. Tanpa usaha peneliti
itu ilmu pengetahuan akan mandeg, bahkan akan surut kebelakang.[7]
Andi Hakim Nasution menulis dalam buku Metodologi Penelitian Filsafat sebagai
berikut: “Darma penelitian dilaksanakan untuk
menyelenggarakan pendidikan menuju penghasilan tenaga yang terlatih
dalam usaha penelitian dan penerapan penelitian. Darma penelitian seharusnya
dilakukan oleh perguruan tinggi melalui
usaha terus menerus tenaga akademiknya untuk mengadakan penelitian didalam
bidang ilmunya dengan sasaran ganda. Sasaran pertama ialah untuk menghasilkan
pengetahuan baru yang dapat memajukan cakrawala pengetahuan batas-batas
ketidaktahuan, sedangkan sasaran kedua ialah agar tenaga akademik itu selalu
ada ditengah-tengah perkembangan ilmu
yang diasuhnya agar dia dapat mendidik mahasiswa asuhannya menjadi ilmuwan
baru. Darma ketiga ialah pengabdian pada masyarakat yang maksudnya ialah agar
semua pengetahuan baru yang ditemukan darma penelitian dapat disampaikan dan
diterapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dikalangan masyarakat yang
memerlukannya, serta agar interaksi yang
timbul dapat mencetuskan permasalaahan
baru sebagai bahan penelitian selanjutnya”.
Akhirnya sebagai darma utama, darma
pendidikan dilaksanakan atas dasar adanya kegiatan penelitian dan pengabdian
masyarakat dengan maksud menghasilkan ilmuwan dan teknologi baru untuk
berkelanjutannya usaha-usaha berkelanjutannya. Oleh karena itu, bermanfaatlah
untuk mengkaji ketiga tugas Perguruan Tinggi di Indonesia, yang terkenal
sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian pada masyarakat.[8]
Ilmu pengetahuan berkembang sesuai
dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sedangkan kebutuhan manusia adalah
sesuatu yang berkembang didalam dan bersama dengan perkembangan kebudayaan.
Maka manusia selalu berupaya berdasarkan
disiplin metodologi ilmiah, dengan tujuan menemukan prinsip-prinsip baru
untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan kebutuhannya. Itulah yang
disebut penelitian.[9]
Filsafat secara bahasa berasal dari kata
Yunani “philosophia” dari kata “philein” artinya mencintai, atau “philia” yang berarti cinta, dan “sophia” yang berarti kearifan. Yang
kemudian menjadi kata “philosophy” (dalam
bahasa inggris). Filsafat biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan atau
kebijaksanaan”. Lalu orang yang mencintai kebijaksanaan itu disebut filsuf
(philosopher) atau ahli pikir.[10]
Kebijaksanaan atau kearifan, yang dalam
bahasa Inggis disebut “wisdom” yang berarti “accumulated
philosophic or scientific learning” (perhimpunan kefilsafatan atau studi pengetahuan
ilmiah). Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (1979) dijelaskan bahwa kata
“wisdom” terkandung suatu pengetahuan
ilmiah, yaitu suatu pengetahuan yang benar secara metodologis dan
sistematis. Pengetahuan yang demikian dapat diterima oleh akal sehat (logika)
dan dapat diuji secara empiris. Selanjutnya, jika pengetahuan ini menyatu
dengan kepribadian seseorang, maka orang tersebut cenderung bertingkah laku
bijaksana.
Tingkah laku bijaksana merupakan suatu
wujud atau bentuk yang berasal dari pemikiran-pemikiran mendalam atau
pertimbangan-pertimbangan yang sangat hati-hati. Tindkan bijaksana adalah
tingkah laku yang benar, yang baik, dan yang indah. Dengan nilai kebenaran,
maka suatu tingkah laku itu secara tepat terarah kepada sasaran; dengan nilai
kebaikan, suatu perbuatan menjadi berguna; dan dengan nilai keindahan, suatu
perbuatan membuat kesemarakan, tidak memaksa, wajar dan selalu menarik bagi
siapapun. Orang yang selalu bertingkah laku bijaksana sering disebut sebagai
orang saleh.
Dari kata “cinta” dan “kebijaksanaan”
dapat dipahami secara jelas bahwa ada kecenderungan secara terus menerus untuk
menyatu dengan pengetahuan ilmiah yang mengandung nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Jadi, seorang filsuf adalah orang yang secara terus
menerus berkecenderungan untuk menyatukan dirinya dengan pengetahuan ilmiah yag
benar, baik, dan indah. [11]
Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi
tentang realitas yang dihadapi manusia. Kebanyakan cabang ilmu mencari
pemahaman untuk langsung dapat diterapkan dan bertindak dalam hidup
sehari-hari. Tetapi diantaranya filsafat adalah kegiatan refleksi. Filsafat itu
memang kegiatan akal budi, tetapi lebih berupa perenungan dan suatu tahap lebih
lanjut dari kegiatan rasional umum tadi. Yang direfleksikan adalah pada
prinsipnya apa saja, tanpa terbatas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya
ialah memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna, dan inti segala
inti. Oleh karena tu filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat realitas
yang ada dalam kehidupan manusia. Itu meliputi hakekat manusia itu sendiri,
hakekat semesta, bahkan hakekat Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun
menurut segi normatifnya.
Dari satu pihak justru di sinilah letak
kekuatan filsafat sebagai suatu ilmu: karena menjadi sistematisasi pandangan
hidup secara menyeluruh. Maka terdapat keterlibatan erat antara filsuf dengan
ilmu yang digelutinya. Dari lain pihak dapat disebut sebagai kelemahan
filsafat, bahwa sebagai akibat keterlibatan erat tersebut, filsafat akan
memperlihatkan julah aliran dan sistem serta variasi metode yang besar. Ini
merupakan perbedaan mencolok antara filsafat dan ilmu pengetahuan lain,
khususnya eksakta, yang tidak memiliki pengalaman hubungan pribadi seperti
filsafat berhubungan dengan yang menekuninya. Hanya ilmu sosial dan human
mendekati filsafat dalam hal ini.
Maka sesungguhnya sangat ideallah
pendapat yang menyatakan, bahwa ilmu filsafat itu bersifat personal. Dan dengan
demikian tujuan pendalaman dalam ilmu filsafat ialah agar mengantar dan membimbing
orang yang mempelajarinya, untuk menjalankan filsafat secara pribadi. Tetapi
sifat personal ini untuk kondisi tertentu mengandung kelemahan, karena bisa mengaburkan arti
“kebenaran” sebagai tujuan utama segala ilmu pengetahuan, termasuk filsafat itu
sendiri.[12]
Dari penjelasan diatas, pemakalah dapat
menyimpulkan bahwa metode penelitian filsafat ialah suatu jalan atau cara
berfikir secara sistematis untuk mencari pemecahan permasalahan yang berkaitan
dengan filsafat. Kemudiaan pemakalah akan mencoba menyelaraskan metode
penelitian filsafat dengan profesi keguruan, bahwa dalam keguruan merupakan
suatu kegiatan yang sistematis dimana terdiri dari unsur-unsur yang saling
berkaitan satu sama lain, dan unsur tersebut berfungsi sesuai dengan kegunaan
masing-masing. Dan dalam menggunakan unsur-unsur tersebut terdapat beberapa
langkah atau cara untuk melakukan hal tersebut. Seperti guru membutuhkan
beberapa metode untuk digunakan dalam proses pembelajarannya, supaya peserta
didik paham materi dengan melalui metode tertentu. Dan melakukan metode
tersebut, terdapat beberapa pendekatan, strategi dan taktik tertentu dalam
suatu proses pembelajaran.
Filsafat merupakan cinta dan
kebijaksanaan, maka sebagai seorang guru setidaknya cinta akan profesinya, dan
mencintai kebijaksanaan. Baik kebijaksanaan pada peserta didiknya, materi yang
diajarkannya, perilaku yang profesional, dan lain sebagainya.
C.2 Metode-Metode
Penelitian Filsafat
a.
Metode Induksi-Deduksi
1.
Metode Induksi
Ialah
suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah
dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat
khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Penarikan
kesimpulan secara umum itu seperti “perunggu itu bila dipanaskan akan memuai,
perak bila dipanaskan juga memuai, begitu pula emas dan jenis logam lainnya,
dengan demikian semua logam, apabila dipanaskan, akan memuai pula.
Profesi
keguruan metode induksi ini sebagai contoh bahwa seorang pendidik itu harus
berfikir secara sistematis dalam
pembelajaran. Dalam metode ini seorang pendidik harus menafsirkan segala
sesuatu yang harus dimengerti murid. Dalam metode ini tugas
Dikaitkan
dengan profesi keguruan maka profesi guru melihat atau mengamati
problematika-problematika yang berkaitan dengan profesi keguruan dan kemudian
disimpulkan problematika ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Seperti
halnya tentang adanya masalah dalam materi
yang disampaikan kepada peserta didik sulit dipahami oleh peserta didik,
atau metode yang digunakan guru kurang efektif. Maka dari beberapa madrasah
atau sekolah mengadakan kegiatan MGMP.
2. Metode
Deduksi
Ialah
suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan
bertititk tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum,
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.[13]
Metode
ini jika diterapkan dalam profesi keguruan akan memberikan pengertian bahwa
pendidik itu harus berfikir secara sistematis, yang mana seorang pendidik harus
menjelaskan pada pendidik yang sifatnya masih dalam kondisi umum dan tugas
pendidik adalah menafsirkan dalam bentuk khusus.
Dalam
profesi keguruan, metode ini misalnya problem dalam kurikulum 2013 yang mana
banyak para guru yang belum mengerti dan memahami tentang pelaksanaan kurikulum
2013. Sehingga dari pihak pemerintah mengadakan sosialisasi kurikulum 2013
dengan perwakilan dari masing-masing pihak sekolah mendelegasikan kurang
lebihnya 3 orang dimana guru yang dipilihnya untuk mengikuti sosialisasi
kurikulum 2013 dengan keriteria tertentu.
b. Metode
Analisis-Sintesis
1. Metode
Analisis
Adalah
jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan
pemerincian terhadap obyek yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu
obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai
halnya.[14]
2. Metode
Sintesis
Adalah
jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan imiah dengan cara
mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula berarti cara penanganan
terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabung-gabungkan pengertian
yang satu dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh
pengetahuan yang sifatnya sama sekali. Maksud sintesis yang pokok adalah
mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu
pandangan dunia.[15]
c. Metode
Kualitatif-Kuantitatif
1. Metode
Kualitatif
Metode
kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Metode
kualitatif ini lebih fleksibel digunakan dalam penelitian kefilsafat karena
adanya beberapa pertimbangan antara lain :
-
Menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah untuk dihadapkan kepada kenyataan.
-
Metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, peneliti
sebagai subyek dapat berdialog dengan responden sebagai obyek. Obyek dapat
mengungkapkan dirinya secara langsung kepada subyek.
-
Metode ini lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman-penajaman terhadap pola
nilai-nilai yang diperlukan oleh peneliti.[16]
2. Metode
Kuantitatif
Penelitian
kuantitatif, secara praktis istilah observasi diasosikan dengan istilah
“pengukuran” (measurement).
Penelitian
kuantitatif memiliki beberapa ciri, antara lain :
1) Dapat
menyokong penggunaan metode kualitatif
2) Menggunakan
logika positivisme dan menghindari sifat-sifat subyektif
3) Menggunakan
pengukuran yang terkendali
4) Obyektif
5) Data
dipandang dari sudut pandang (visi) orang luar atau peneliti
6) Berwawasan
verivikasi, penegasan, penyederhanaan, inferensial dan hipotesis-deduktif
7) Berorientasi
pada tujuan akhir
8) Terpercaya,
data merupakan replika
9) Mengeneralisasikan
sebagai studi kasus
10) Bersifat
khusus
11) Bertitik
tolak pada anggapan bahwa realitas itu stabil.[17]
Perkembangan zaman yang dinamis
pendidikan akan mengalamai problematika khususnya dalam profesi keguruan. Maka
dengan adanya metode ini yang disesuaikan dengan kualifikasi guru yang dituntut
untuk memenuhi pendidikan S-1, dimana syarat kelulusan S-1 harus melakukan
penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif.
d. Metode
Hermeneutik
Secara etimologi, kata hermeneutik
berasal dari yunani hermeneutik yang berarti menafsirkan, kata bendanya
hermeneia, secara harfiah dapat diartikan “penafsiran” atau interpretasi,
sedangkan orang atau penafsiranya disebut hermeneut. Hermeneutik diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[18]
Istilah yunani tersebut mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama
Hermes, yaitu suatu utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter
kepada manusia. Hermess digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki
bersayap, dan lebih bnayak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin.
Tugas hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi
hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan
dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu
menginterprestasikan sebuah pesan keda;am bahasa yang dipergunakan oleh
pendengarnya. Oleh karena itu, hermenutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[19]
Pendidik haruslah menjadi seorang
hermeneut bagi peserta didiknya, yang mana pendidik itu menjadi penafsir
bagi peserta didiknya. Dimulai dari
ketidaktahuan peserta didik menjadi tahu. Dari sinilah tugas dari seorang
keprofesionalan seorang guru.
Dari pengertian diatas maka seorang
pendidik juga bisa dikatakan sebagai tangan Tuhan karena seorang pendidik selain
mentransfer ilmu pengetahuan, pendidik juga sebagai penafsir dari bahasa Tuhan
kepada bahasa yang dapat dipahami peserta didik.
C.3
Filsafat Profesi Keguruan
Dalam filsafat profesi keguruan,
pemakalah mengambil dari aliran-aliran filsafat pendidikan. Diantaranya adalah
sebagai berikut;
a. Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa yunani
yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan
pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu
aliran berpikir. Dengan demikian
filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Model
pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar didalam kelas dengan cara
berkelompok, dengan itu anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah
dan pemecahannya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk
terus belajar, serta anak dilatih berpikir logis.[20]
b. Esensialisme
Esensialisme
adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia, yang muncul pada zaman renaisance dengan
ciri-ciri utama yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaannya yang utama
adalah memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas,
dimana serta terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu.
Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
dan mempunyai tata yang jelas.[21] Aliran Essensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.[22]
c. Perennialisme
Di zaman moder ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan
krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar yaitu dengan mengembalikan
pada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Untuk itu, pendidikan harus lebih banyak mengarahkan
perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang.[23]
Diketahui bahwa perennialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Aristoteles telah mengembangkan filsafat perennialisme dengan
menelusuri sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pikiran manusia itu
sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang hendak dicapai yaitu
untuk mewujudkan peserta didik dapat hidup bahagia demi kebaikan kehidupannya
sendiri. Jadi, dengan mengembangkan akalnya maka akan dapat mempertinggi
kemampuan akalnya.[24]
Perennialisme
memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kekacauaun, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang
akan berlayar. Zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas.
Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian
ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat.
Belajar
menurut perennialisme adalah latihan
mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah
berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasio-nalistis.
Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif
dan induktif sekaligus.
d.
Progressivisme
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progressivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive
menghadapi semua tantangan hidup.
Dalam pandangan pragmatisme, suatu keterangan itu benar kalau
sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai
dengan kenyataan.[25]
Pengalaman adalah kunci pengertian manusia terhadap segala sesuatu.
Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yaitu perkembangan, maju setapak demi
setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos pada yang sulit-sulit (proses
perkembangan lama). Pengalaman yaitu perjuangan.[26]
Aliran filsafat progressivisme ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan,
baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan
yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh
orang lain.[27]
Hal yang harus diperhatikan guru adalah “anak didik bukan manusia
dewasa yang kecil”, yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa.
Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi
pendidikan.
Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya.
Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk
kepentingan anak didik.[28]
Guru yang berpengalaman akan menjadi pejuang, yang mampu bertindak dan merubah peserta didiknya untuk bisa lebih
baik.
Bahwa filsafat Progressivisme bermaksud untuk menjadikan anak didik
memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan
menjawab tantangan zaman peradaban baru.[29]
Bagi guru dan pendidik pada umumnya,
filsafat pendidikan itu sangat perlu karena tindakan-tindakannya mendidik dan
mengajar akan selalu dipengaruhi oleh filsafat hidupnya dan oleh filsafat
pendidikan yang dianutnya. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu
memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan
pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan
perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup.
Peran filsafat pendidikan bagi guru,
dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak
sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui
tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus
diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana
cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami
yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga
kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.[30]
D.
SIMPULAN
1. Metode
penelitian filsafat merupakan ialah suatu jalan atau cara berfikir secara
sistematis untuk mencari pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan filsafat.
2. Metode-metode
penelitian filsafat antara lain: induksi, deduksi, analisis, sintesis, kuantitatif,
kualitatif, hermeneutik.
3. Filsafat
profesi keguruan dalam filsafat pendidikan antara lain; pragmatisme,
esensialisme, progressivisme dan perennialisme.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990
Dr. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986
E.Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruzz,
Jogjakarta, 2004
http;//afidburhanuddin.wordpress.com/filsafat-esensialisme-dalam-pendidikan/
http;//docs.google.com/presentation/
Jalaludin,
H. Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Rajawali
Press, Jakarta, 2011
https;//www.google.com/search?q=filsafat+profesi+keguruan/
[1] Anton Bakker, Metodologi
Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm.12
[2] Ibid, hlm.15
[3] Dr. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.10
[4] Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruzz,
Jogjakarta, 2004, hlm.100
[6] Ibid, hlm. 41
[7] Anton Bakker, Op.Cit, hlm.11
[9] Anton Bakker, Op.Cit, hlm.14
[10] Suparlan Suhartono, Op.Cit, hlm.50
[11] Ibid, hlm. 54
[12] Anton Bakker, Op.Cit, hlm. 16
[13] Sudarto, Ibid,
hlm. 58
[14] Sudarto, Ibid,
hlm.57
[15] Suparlan Suhartono. Op.Cit. hlm.122
[16] Sudarto, Op.Cit,
hlm.63
[17] Ibid, hlm.76
[18] Ibid, hlm. 84
[19] Sumaryono. Hermeneutic, Sebuah Penelitian Filsafat. Kanisius:
Yogyakarta. 1999. Hlm.23-24
[20]
https;//afidbuurhanuddin.wordpress.com/pragmatisme-dalam-pendidikan. Diakses pada
22 November, pukul 16.53
[21]
http;//afidburhanuddin.wordpress.com/filsafat-esensialisme-dalam-pendidikan/,
diakses pada 22 November 2014 pukul 16.15
[22] Ibid, hlm.
95
[23] Ibid, hlm.
106
[24] Ibid, hlm.
107
[25] Jalaludin, H. Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, hlm. 78-79
[26] Ibid, hlm. 80
[27] Ibid, hlm.
84
[28] Ibid, hlm.
87
[29] Ibid, hlm. 80
[30]
https;//www.google.com/search?q=filsafat+profesi+keguruan. Di akses pada 20
November 2014, pukul 16.30
No comments:
Post a Comment