Tuesday, March 1, 2016

makalah tipe guru


A.    PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik baik dari jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Seorang guru bukanlah hanya sebagai tenaga pengajar saja, lebih dari itu guru menjadi sumber perbaikan, menjadi contoh, menjadi tauladan dan memberikan bimbingan kepada anak didiknya agar anak didik tersebut tetap berada di jalan yang benar.[1]
Guru adalah insan yang senantiasa dipehatikan oleh masyarakat. Setiap tingkah laku, gerak gerik dan aktivitas yang dilakukan akan dinilai oleh semua orang, khususnya anak didik di sekolah masing-masing. Tugas guru bukan sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan semata-mata, tetapi tingkah laku dan perbuatan baik mereka akan senantiasa menjadi ikutan dan rujukan oleh semua pihak.
Seorang guru di tuntut untuk melaksanakan tugasnya dengan professional, yang telah diatur dalam UU dosen dan guru. Namun terkadang, pada realitanya tidak semua guru di Indonesia dapat memenuhi kriteria sebagai guru professional. Terdapat beberapa kategori dan tipe guru yang dapat menggambarkan kemampuan guru dalam mengajar.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kategori guru?
2.      Bagiamana prototipe guru?
3.      Bagaimana kategori dan prototipe guru menurut profesi keguruan?

C.     PEMBAHASAN
Kemampuan guru dibagi menjadi kelompok-kelompok yang disebut kategori.[2] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian kategori adalah bagian dari suatu sistem klasifikasi (golongan, jenis pangkat, dan sebagainya).[3] Sedangkan prototipe adalah model yang mula-mula (model asli) yang menjadi contoh.[4] Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kategori guru adalah pengklasifikasian kemampuan guru berdasarkan model dan tipe tertentu.
1.      Kategori guru
Sebenarnya persoalan yang paling mendasar pada sekolah formal ialah guru yang mengajar dan iklim belajar (learning climate) di kelas yang harus diciptakan. Bukan saja cara belajar siswa aktif tetapi juga cara guru mengajar aktif (student learning active and teacher teaching active).
Model analisa mengenai situasi belajar mengajar di kelas yang dikemukakan oleh Glickman disebut Paradigma Kategori guru. Yang dimaksud dengan Paradigma ialah sesuatu yang dipertanyakan terus menerus, dan timbul pertanyaan: Apakah calon guru, lulusan pendidikan guru dan para guru itu memiliki:
1.      Tingkat berfikir abstrak dan berpikir imajinatif yang cukup.
2.       Tingkat komitment atau memiliki keterlibatan aktif dalam tanggung jawab yang mendalam.[5]
a)       Guru yang memiliki tingkat berfikir abstrak
Guru yang tingkat berpikirnya abstrak dan imajinatif yang tinggi, punya kemampuan untuk berdiri di depan kelas dan dengan muda menghadapi masalah-masalah belajar mengajar seperti manajemen kelas, disiplin, menghadapi sikap acuh tak acuh dari siswa dan mampu menentukan alternatif pemecahan masalah. Ia juga dapat merancangkan berbagai program belajar dan dapat memimpin siswa dari berfikir nyata ke berfikir konseptual.
Ada kemungkinan sementara guru yang sibuk menganut paham “Banking Concept”, menurut PAULO FREIRE; yaitu mengajar dikelas dianggap sebagai bank, masukkan uang akan keluar bunganya. Mengajar dan mendidik tidak  demikian halnya.
Subjek didik bukan sebuah manusia, tetapi seorang manusia. Praktek mendidik seperti ini disebut tidak manusiawi (The humanization, menurut Paulo Freire).
Jadi guru yang tingkat berpikir abstraknya tinggi mampu menghadapi masalah, sedangkan guru yang berpikir abstraknya rendah akan bingung dalam menghadapi suatu masalah dan hanya melakukan kebiasaan-kebiasaan rutin.[6]

b)     Guru yang memiliki tingkat komitmen
Guru bukan saja harus memiliki kemampuan berpikir abstrak tetapi juga memiliki tingkat komitmen. Komitmen adalah kecenderungan untuk merasa terlibat aktif dengan penuh tanggung jawab. Komitmen lebih luas daripada kepedulian (concern). Comitment is longer than concern, because it includes time and effort.
Seorang guru yang peduli terhadap tugas berarti ia memiliki tingkat kepedulian yang tinggi. Tingkat kepedulian harus diikuti pula dengan etik profesional, bahwa ia memiliki komitmen terhadap jabatan guru. Secara etis ia terikat kepada sumpah jabatan, ialah bahwa tugas pokoknya memanusiakan manusia bukan mencari keuntungan pribadi.
Konsekuensi dari komitmen ini ia harus menyediakan waktu dan energi dalam melakukan tugasnya. Komitmen ini tidak diperoleh sejak lahir, tetapi harus dipelajari dan dikenal. Bagaimana membentuk rasa cinta pada tugas sebagai guru. Program pendidikan harus mampu mengubah sikap calon guru untuk kemudian dapat mencintai jabatan guru.[7]
c)      Guru yang memiliki tanggung jawab
Untuk bisa menjadi seorang guru yang bertanggung jawab Imam Ghazali mensyaratkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1)      Jika mengajar merupakan keahlian dan profesi milik seorang guru, maka sifat utama yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang. Dengan sifat ini, seorang guru dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang besar pada diri siswa. Dengan kasih sayang dan rasa percaya diri yang tinggi, maka akan tercipta situasi yang kondusif bagi siswa untuk belajar dengan semakin giat dan rajin.
2)      Meskipun sangat susah untuk menerapkan faktor kedua ini, tidak ada salahnya jika anda merenungkan pendapat Imam Ghazali yang mengatakan bahwa mengajarkan ilmu itu pada dasarnya merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Karena itu, tidaklah pantas bagi seorang guru untuk menuntut upah dari aktivitas mengajarnya itu. Mungkin, “mengajar tanpa dibayar” seperti ini sudah tidak cocok diterapkan di zaman modern ini. Tetapi, makna terpenting yang bisa anda renungkaan adalah jangan jadikan gaji yang sedikit sebagai alasan untuk mengajar dengan kurang tulus dan kurang bersemangat.
3)       Seorang guru yang bertanggung jawab harus selalu mengingatkan siswanya bahwa tujuan dari pengajaran adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk memperbaiki diri, dan untuk mengabdi pada sesama. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan, dan pertengkaran dengan sesama guru yang lain agar tidak menimbulkan kesan negatif bagi siswa-siswanya.
4)      Pada saat mengajar, seorang guru hendaknya menggunakan cara-cara simpatik, halus, anti kekerasan, menjauhi cacian, menghindari makian, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, seorang guru hendaknya jangan menyebarluaskan kesalahan-kesalahan siswanya di depan umum. Hal ini dapat membuat si anak memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang, dan bahkan memusuhi gurunya.
5)      Anda harus tampil sebagai seorang teladan atau panutan yang baik dihadapan siswa-siswa anda. Dalam hal ini, anda harus bersikap toleran dan mau menghargai orang lain, termasuk siswa siswi anda. Jangan pernah mencela ilmu-ilmu yang tidak menjadi keahlian atau spesialisasi anda.
6)      Anda harus mengajar dengan cara-cara yang sesuai dengan tingkat atau kemampuan pemahaman siswa. Janganlah memberi pelajaran yang belum dapat dicerna oleh siswa.
7)      Seorang guru yang bertanggung jawab adalah guru yang mampu memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan siswanya. Selain itu, ia juga harus memahami bakat, tabiat dan karakter kejiwaan siswanya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada siswa yang kemampuannya dalam menyerap pelajaran kurang, hendaknya seorang guru tidak mengajarkan hal-hal yang rumit. Jika tidak, maka akan timbul rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu dalam diri siswa.
8)      Seorang guru yang bertanggung jawab adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya. Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah dikemukakannya agar guru tidak kehilangan wibawanya. Jika tidak, guru akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan para siswa, yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur kelas. Ia tidak lagi mampu mengarahkan atau memberi petunjuk kepada siswa-siswanya.[8]
2.      Prototipe Guru
3.      Kategori dan Prototipe Guru dalam Profesi Keguruan
Guru yang di butuhkan dalam sekolah adalah guru yang profesional. Menurut Desi Reminsa (2008) menjadi sosok manusia professional adalah tuntutan dalam setiap jenis jabatan, pekerjaan, ataupun profesi. Dan, perlu diketahui bahwa dua satu hal paling penting yang menjadi aspek penentu bagi keberhasilan sebuah profesi, yaitu sikap professional dan kualitas kerja. Sederhananya, menjadi professional adalah menjadi sosok yang ahli dalam bidangnya. Seseorang, apabila sudah ahli dalam bidang pekerjaan yang digelutinya, maka ia akan mampu menjalankan pekerjaan itu secara professional dan bertanggung jawab. Konsekuensi logis dari profesionalisme ini adalah mereka akan memberikan hasil yang maksimal dan berkualitas.
Meski demikian, tidak semua ahli dapat menjadi sosok yang berkualitas. Menjadi berkualitas itu bukan semata-mata persoalan ahli dan tidak ahli, tetapi juga ditentukan pula oleh adanya integritas dan kepribadian yang mapan. Dengan demikian, menjadi pribadi yang professional itu merupakan satu kesatuan antara konsep kepribadian dan integritas yang lalu dipadupadankan dengan skill atau keahlian.
Khusus pada profesi guru, menjadi professional merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena guru jelas-jelas bertanggung jawab pada kesuksesan anak-anak didiknya. Menjadi guru memang mensyaratkan adanya keahlian tertentu minimal seorang guru harus menguasai secara mendalam dan memahami materi pelajaran yang ia ajarkan. Apabila seorang guru tidak menguasai materi pelajaran yang diampunya, maka lunturlah profesionalismenya. Dengan pemahaman seperti ini, kita bisa memahami kalau tidak semua orang bisa menjadi guru, bahwa menjadi guru itu memang tidak mudah.
Banyaknya guru yang tidak professional pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari apa yang mendorongnya untuk memilih profesi itu. Tidak sedikit orang-orang yang “terpaksa” melamar menjadi guru karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka dapatnya. Akhirnya, cukup dengan modal mampu menyampaikan materi pelajaran, mereka sudah berani mendaftar menjadi guru.
Bahkan, ada banyak lembaga pendidikan yang mengangkat seorang guru semata-mata dengan pertimbangan “yang penting dia bisa mengajar”, tanpa terlalu memikirkan sejauh mana keahlian, loyalitas dan dedikasi si calon guru. Padahal, guru memegang peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan, terutama demi mengentaskan kebodohan dan mengantarkan siswa-siswinya menuju kesuksesan.
Mengingat bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia dan memiliki banyak tanggung jawab, maka diperlukan upaya maksimal dari seorang guru agar bisa menjadi guru yang professional. Hal ini tidak lain demi meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Indonesia. Selain itu, guru merupakan suatu jenis pekerjaan yang sangat lekat dengan citra kemanusiaan. Di tangan seorang guru lah, masyarakat menggantungkan harapan dalam mencerdaskan generasi muda. Karena itu, perlu di pahami beberapa kriteria dari seorang guru professional, yaitu:
1)       Memiliki Keahlian dalam Mendidik
Setiap orang bisa saja bekerja sebagai seorang guru, tetapi tidak semuanya bisa menjadi guru yang benar-benar memiliki skill dan keahlian dalam mendidik. Diperlukan upaya maksimal dan tak kenal lelah untuk bisa mencapai tingkatan seorang guru yang professional, positif dan penuh motivasi. Berikut ini beberapa potensi positif yang harus dimiliki dalam mendidik :
a.    Memiliki kemampuan intelektual yang memadai, terutama yang berkaitan dengan materi pelajaran yang di ampu.
b.    Memiliki kemampuan untuk memahami visi dan misi pendidikan, sehingga dapat membuat skala prioritas dan dapat bekerja secara lebih terarah.
c.    Memiliki keahlian dalam mentransfer ilmu pengetahuan atau menguasai metodologi pembelajaran dengan baik. Hal ini penting dimiliki oleh masing-masing guru agar apa yang mereka ajarkan benar-benar tepat sasaran dan efektif.
d.   Memiliki pemahaman yang baik tentang konsep perkembangan siswa. Hal ini juga penting agar dalam mengajar guru dapat menilai sampai sejauh mana keberhasilan mereka, apa saja kendala yang dihadapi dan bagaimana menemukan solusi yang tepat.
e.    Memiliki kemampuan mengelola dan mengatur siswa sehingga kegiatan belajar bisa berjalan dengan efektif.
f.     Memiliki kreativitas dan menguasai “seni mendidik” sehingga kegiatan belajar dapat diikuti siswa-siswi dengan menyenangkan.
2)       Posisikan Diri sebagai Guru yang Berkualitas
Persoalan-persoalan pendidikan yang sering muncul dewasa ini bukan hanya berkenaan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan. Namun, persoalan lain yang tak kalah ironis adalah minimnya jumlah guru yang memiliki kualitas. Profesi yang dinilai memiliki tenaga berkelas tinggi masih dianggap sebagai hal milik dari bidang pekerjaan yang “elit” seperti teller bank, dokter, insinyur dan psikolog. Padahal, guru seharusnya juga merupakan sebuah profesi yang sangat mulia dan karenanya layak mendapat penghormatan yang tinggi di masyarakat. Mengingat begitu pentingnya peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat, maka sudah sepantasnya kalau profesi guru ini ditempatkan pada posisi yang terhormat.
Namun, tinggi rendahnya kualitas sebagai seorang guru sebaiknya tidak ditentukan oleh penilaian masyarakat, melainkan lebih kepada keberhasilan anak-anak didik. Jika ingin menjadi seorang guru yang hebat, maka tunjukkanlah skill, dedikasi dan pengorbanan yang maksimal demi meraih kemajuan pendidikan sehingga kelak masyarakat luas dapat menilai sendiri sejauh mana kualitas seorang guru.[9]







[1] Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan Dan Pengajaran, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990, hlm. 61
[2] Made Pidarta, Supervisi Pendidikan Kontekstual, Jakarta : Rineka Cipta, 2009, hlm. 145
[3] Tim Penyusun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikandan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, Jakarta, 2011, hlm. 529
[4] Ibid., Made Pidarta, hlm. 217
[5] Piet A. sahertian dan Ida Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm 41-44
[6] Pieter Alex Sahertian, Paradigma Kategori Guru Kaitannya dengan Profesionalisasi Tenaga Kependidikan,  (Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1992) hlm. 2
[7] Ibid., Pieter Alex Sahertian, hlm. 4
[8] Nurlaela Isnawati, Guru Positif-Motivatif, Laksana, Jogjakarta, 2010, hlm. 129-131
[9] Opcit,. Nurlaela Isnawati, hlm. 117-122

No comments:

Post a Comment