Tuesday, March 1, 2016

makalah pengaruh penelitian filsafat


PENGARUH PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP POLA KEHIDUPAN MANUSIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Profesi Keguruan
Dosen Pengampu: Izah Ulya Qodam, M.Pd.I




                                                            Disusun Oleh kelompok 10:
1.      Nuur Laila Nihayatus Suroyya           :112150
2.      Chusaini Hanifah                                :112152
3.      Ainun Najib                                        :112165
4.      Siska Rahmawati                                :112174


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Filsafat sebagai jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran. Jadi pada hakikitnya berfilsafat adalah berfikir secara mendalam untuk memecahkan suatu hal, atau pengetahuan yang ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam.[1]
Ada banyak manfaat yang bisa kita ambil dalam mempelajari filsafat, yang merupakan manfaat dari mempelajari filsafat adalah, agar terlatih berfifkir serius, agar mampu memahami filsafat, agar memjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik. Dengan mempelajari filsafat kita dapat berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius.
Dalam kehidupan masyarakat filsafat mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat, yang akan mempebgaruhi pola pemikiran dari masyarakat itu sendiri, dalam masyarakat berfilsafat dpt melatih memecahkan dan mencari kebenaran dalam masalah yang timbul dari dan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, dengan ini filsafat mempunyai pengaruh terhadap pola pemikiran dalam masyarakat.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan ruang lingkup filsafat manusia ?
2.      Bagaimana ciri-ciri filsafat manusia ?
3.      Bagaimana peran filsafat terhadap pola fikir Dan pola hidup manusia ?



BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal budi dan kemauannya sangat kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain. Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia merupakan sumber pengetahuan karena dari manusialah, pendidikan dilahirkan pertama kali, bahkan orang-orang sufi mengatakan, “Barang siapa ingin mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa manusia,” (man arrafa rabbahu arrafa nafsahu).[2]
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannnya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Menurut tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturrahmi dan pengabdi Tuhan. Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas, yaitu:
a.       Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu manusia adalah zat atau materi.
b.      Kedua, aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah roh. Hakikat manusia juga roh. Sementara zat adalah manifestasi roh. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
c.       Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal roh dan roh tidak berasal dari badan.
d.      Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari rumah. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme, tapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.[3]
Manusia memiliki salah satu sifat yang paling esensial, yaitu  berpikir, dan lahirnya filsafat pendidikan tentang manusia berasal dari pemikiran manusia tentang jati dirinya yang unik dan misterius.
Dalam perspektif pendidikan, mempelajari jati diri manusia sangat penting karena alasan berikut:
1.      Semua manusia tercipta dalam keadaan tiak memiliki ilmu pengetahuan.
2.      Manusia terlahir dalam keadaan fitrah.
3.      Manusia diwajibkan mencari ilmu, sumber ilmu berasal dari Allah.
4.      Belajar dan mengamati jiwa manusia merupakan metode mengesakan Tuhan.
5.      Manusia berasal dari Tuhan.
Dalam filsafat pendidikn tentang manusia, hal mendasar yang juga dikaji secara mendalam adalah persoalan yang berkenaan dengan sistem kehidupan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Hal ini karena Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan manusia harus mempertahankannya. Tanggung jawab hakiki dari eksistensinya di dunia adalah memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar ia meraih  nilai-nilai moral yang sejati sehingga ia pantas disebut sebagai manusia sejati. Penerimaan sebuah nilai erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya akan kebenaran sehingga ia menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupannya di dunia. Dengan cara demikian, manusia dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.
Dalam filsafat pendidikan, manusia yang berhubungan dengan perbuatan moral mengarah pada peralihan kebahagiaan seseorang yang bernilai teleologis. Perilaku yang baik, yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang terealisasikan dalam kehidupan yang bahagia menjadi relatif bagi setiap kepentingan individu, bahkan bersifat individualistis dan relatif. Dengan demikian, dalam filsafat pendidikan, moral diarahkan pada tujuan utama pendidikan, yaitu membina dan mengembangkan tingkah laku yang mandiri, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab.
Tujuan filsafat pendidikan tentang manusia mengarahkan pembentukan tingkah laku manusia yang rasional, adaptif dengan alam, selektif dengan perubahan, berjiwa reformis, modernis, kritis, dan progresif. Manusia diarahkan pada pembentukan pola kehidupan yang mandiri dengan moralitas yang tinggi dan universal, yaitu kebaikan yang tidak mengenal batas, ruang, dan waktu.[4]

2.    Ciri-Ciri Filsafat Manusia
Ciri-cri filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis.
Ciri pertama, Ciri ekstensif filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek-aspek tertentu dari gejala dan kejadian manusia secaa terbatas. Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanian (kejiwaan dan kebutuhan), kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan dan simbolisme  semuanya itu ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian disoroti secara integral oleh filsafat manusia.
Ciri kedua, penjelasannya yang intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau sturuktur dasar, yang melandasi segenap pernyataan. Dalam hubungannya dengan filsafat manusia, dapatlah kita katakan, bahwa filsafat manusia hendak mencari inti, hakikat (esensi), akar, atau stuktur dasar yang melandasi kenyataan manusia , baik yang tampak pada gelaja kehidupan sehari-hari (pra ilmiah) maupun, yang terdapat didalam data-data dan teori-teori ilmiah.
Ciri ketiga kritis, filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan dua cirri yang terdapat didalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif). Karena tujuan filsafat manusia pada taraf akhir tidak lain adalah untuk memahami diri manusia sendiri atau pemahaman diri, amaka hal apa saja (apakah itu berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau ideologi), yang langsung maupuntidak langsung berhubungan dengan pemahaman diri manusia, tidak luput dari kritik filsafat.
Manfaat mempelajari filsafat manusia:
a.    Manfaat praktis
Filsafat manusia bukan saja berguna untuk mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahuisiapakah sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia yan menyeluruh itu. Pemahaman yang demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup sehari-hari, dalam mengambil makna dan arti dari setiap peristiwa yang setiap saat kita jalani, dalam menentukan arah dan tujuan hidup kita, yang selalu saja tidak gampang untuk kita tentukan secara pasti.
b.    Manfaat teoritis
Fisafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia sehingga dalam gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang terdapat didalam ilmu-ilmu tentang manusia.[5]

3.    Peran Filsafat Terhadap Pola Pikir Dan Pola Hidup Manusia
Banyak orang yang sering kali mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa fungsi atau perannya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang wajar dan tidak salah. Karena selama seseorang belum mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memahaminya dengan baik.
Irmayanti M Budianto pernah mencatat beberapa peran filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:
a.    Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.
b.    Berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.    Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
d.   Terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika berbagai kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu pengetahuan berikut para ilmuannya.[6]
Dalam pandangan Hamami dan Wibisono, filsafat  melalui metode-metode pemikirannya tidak akan dapat langsung mempersembahkan programe-programme kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara praktis dan konkret sebagaimana halnya dengan ekonomi, teknik dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya. Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang abstrak dengan lemparan analisis-analisis kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang telah terbiasa untuk berpikir secara praktis, merupakan salah satu sebab mengapa para ahli filsafat terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan strategi pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme-programme kegiatan yang sudah bersifat teknis operasional.
Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. Dengan berpikir secara abstrak spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru dapat melihat sesuatu permasalahan dari semua dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh ilmu-ilmu lain dapat pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat adalah menunjukkan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya akan disertai dengan berbagai alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan.[7]
Apabila kita berbicara mengenai peran filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat mungkin hanya dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya dekadensi moral, menjelaskan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, menerangkan cara-cara penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung kepada manusianya sendiri.






















BAB III
PENUTUP

Simpulan
1.      Manusia sebagai makhluk hidup memiliki rohani, yaitu akal budi dan kemauannya sangat kuat sehingga dengan akal budi dan kemauannya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain. Dalam perspektif ilmu pendidikan, manusia merupakan sumber pengetahuan karena dari manusialah, pendidikan dilahirkan pertama kali, bahkan orang-orang sufi mengatakan, “Barang siapa ingin mengetahui Sang Pencipta, pelajarilah jiwa manusia,” (man arrafa rabbahu arrafa nafsahu).
2.      Ciri-cri filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis.
a.       Ciri pertama, Ciri ekstensif filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia.
b.      Ciri kedua, penjelasannya yang intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau sturuktur dasar, yang melandasi segenap pernyataan.
c.       Ciri ketiga kritis, filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan dua cirri yang terdapat didalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif).
3.      Peran filsafat dalam pola kehidupan manusia:
a.       Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya.
b.      Berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.
c.       Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya
d.      Terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya.
























DAFTAR PUSTAKA
Abbas dan Koento Wibisono. 1986.  “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Yogyakarta: Liberty.
Ahmad Tafsir. 2003. Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Anas Salahudin. 2011. Filsafat Pendidikan., Bandung: Pustaka Setia.
Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Jalaludin dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Zainal Abidin. 2000. Filsafat Manusia (Memahami manusia Melalui Filsafat). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
















[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, hlm 9
[2] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm 91-92.
[3] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm 129-130.
[4] Anas Salahudin, Op. Cit., hlm 94-99.
[5] Zainal Abidin, Filsafat manusia (Memahami manusia Melalui Filsafat), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm 10-16.
[6] Budianto, Irmayanti M, Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002, hlm 53.
[7] Abbas dan Koento Wibisono,  “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm 64.

No comments:

Post a Comment