I.
PENDAHULUAN
Ushul
fiqh berasal dari kata ushul dan fiqh, fiqh berarti faham. Pemahaman seseorang
terhadap suatu hokum pasti berbeda-beda, perbedaan tersebur diakibatkan pada: pertama
subjek, salah satunya pada budaya dan lingkungan sekitar. Kedua pada
metodologi atau sudut pandang, subyak melihat sudut pandang yang berbeda
sehingga perbedaan pemahaman terhadap suatu hokum. Ketiga pemahaman
obyek yang beda.
Ilmu ushul fiqh tidaklah tumbuh
kecuali pada abad ke-dua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah, ilmu
tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW. memberikan fatwa dan
keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang diilhamkan kepadanya, serta
berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan
kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristimbath dan berijtihad. Para
sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang
mereka fahami berdasarkan kemampuan
bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah
kebahasaan yang dapat membimbing mereka untuk memahami nash. Mereka
mengistimbathkan terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan
mereka dalam persyari’atan hukum islam yang tertanam di dalam jiwa mereka
semenjak mereka berteman dengan Rasulullah. Di samping itu, mereka juga
menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadits-hadits,
serta mereka memahami betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar
persyari’atan hukum.
Akan tetapi ketika kemenangan islam
semakin bertambah luas dan bangsa Arab pun sudah bercampur dengan bangsa-bangsa
lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan kedalam
bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan uslub yang bukan bahaa Arab, maka
kemampuan kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam kondisi yang murni, dan
kesamaran- kesamaran dan
kemungkinan-kemungkinan lainnya banyak terjadi dalam memahami nash, maka
kebutuhan sangat mendesak untuk membuat berbagai ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa
digunakan untuk memahami nash sebagaimana orang Arab, yang mana nash datang
dengan bahasa mereka, memahaminya, sebagaimana pula kebutuhan menuntut untuk
membuat kaidah nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan bahasa secara
benar.[1]
Disini pemakalah akan membahas mengenai mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian mafhum, mafhum
muwafaqah, mafhum mukhalafah, pembagian mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah,
beserta contoh mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dan kehujjahan mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
II.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana pengertian mafhum muwafaqah?
2.
Bagaimana pengertian mafhum mukhalafah?
3.
Bagaimana kehujjahan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah?
III.
PEMBAHASAN
A.
MAFHUM MUWAFAQAH
Mafhum adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak ditempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut. Seperti Firman
Allah SWT.:
فَلاَ
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ (ألإسراء : ٢٣ )
Artinya : “maka janganlah kamu katakana kepada kedua orang
ibu-bapakmu perbuatan yang keji”. (Q.S Al-Isra’ : 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mafhum yang tidak
disebutkan, yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal
yang mengandung pemahaman yang sama terhadap arti dari ayat tersebut. Pemahaman
yang diambil dari segi pembicaraan yang tidak nyata disebut mafhum.
Adapun yang disebut dilalah mafhum adalah:
دَلاَلَةُالْمَفْهُوْمِ
وَهِيَ دَلاَلَةُ الَّفْظِ لاَفِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَا
ذُكِرَلِمِا سُكِتَ عَنْهُ أوْ عَلَى نَفْيِ الْحُكْمِ عَنْهُ.
Artinya: “petunjuk lafal bahwa hukum dari lawan yang disebut
berlawanan dengan hokum yang disebut”.
Mafhum muwafaqah yaitu:
ماَ
كَانَ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَنْطُوْقِ
Artinya: “Petunjuk lafal yang bersamaan antara hokum yang tidak
disebut dengan hokum yang disebut”
Jadi mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu
menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi dalam:
a)
Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnyadengan
Firman Allah SWT yang artinya: “Janganlah kamu katakan kata-kata yang keji
kepada dua orang ibu-bapakmu”. Kata-kata yang keji saja tidak boleh
(dilarang) apalagi memukulnya.
b)
Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT.:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى
بُطُونِهِمْ نَارًا
(
النّساء :۱۰(
Artinya:
“mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan
api kedalam perut mereka” ( QS. An-Nisa’ : 10)
Membakar atau
setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim sama haramnya
sebagaimana hartanya.[2]
B.
MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian
yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat (menetapkan)
maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu
kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
إذَا نُوْ دِيَ لِلصَّلوةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…
Artinya :
“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari
jumat,maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkan jual beli”
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh
jual beli di hari jumat sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.[3]
Nash syara tidak mempunyai dalalah
atas hokum menurut mafhum mukhalafah.
Apabila nash syara menunjukkan atas
hokum suatu tempat (objek) yang dibarisi dengan suatu batasan,seperti jika
tempat (objek) itu mempunyi sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu
syarat, atau dibatasi dengan suatu suatu batasan, atau dibatasi dengan bilangan,
maka hokum nash atas tempat(objek) yang telah dapat nyata di dalamnya batasan
tersebut, disebut bunyi nash (Mantuq an-Nash). Sedangkan atas tempat
(objek) yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut Pengertian nash
yang berbeda (Mafhum al-Mukholif) atau Mafhum Mukholafah.[4]
Pengertian global kaidah ini, ialah
bahwa nash syara itu tidak mempunyai dalalah atas hokum yang terkandung dalam
pengertian yang berbeda dengan bunyi nash. Karena hokum itu bukanlah madlul
(makna) nash dengan jalan diantara jalan dalalah yang empat. Bahkan hokum
pengertian yang berbeda dan didiamkan itu bisa diketahui dengan lain apa saja
dari dalil-dali syara, yang diantaranya ialah kebolehan yang bersifat asal (Al-Ibahah
al-Ashliyyah).
Jadi firman Allah SWT yang berbunyi :
قُلْ لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ
اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً
أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا.
(الا نعام: ۱۴۵ )
Artinya:
Katakanlah : tidaklah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir.
(Q.S 6,al-An’am: 145).[5]
Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah,
ialah seperti yang dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya Ushul fiqhi,sebagai
berikut :
Untuk syahnya Mafhum
Mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1)
Mafhum Mukhalafah tidak
berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum
muwafaqah.[6]
Contoh yang yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ
تَقْتُلُوْا اَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلاَقٍ (الإسراء : ۳۱ )
Artinya:
“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :31)
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh,tetapi
mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq,ialah:
وَلاَ
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالحَقِّ (الإسراء: ۳۳ )
Artinya:
“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :33)
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ
تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْهُمَا ... (الإسراء : ٢۳ )
Artinya:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada oaring tua,
dan jangan pula engkau hardik”(Q.S Al-isra’ :23)
Yang disebutkan hanya kata-kata yang kasar mahfum mukhalafahnya
boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan dalil mafhum muwafaqahnya,
yaitu tidak boleh memukul.
2)
Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.
Contoh :
...
وَرَبَائِبُكُمُ الَّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ ... (النّساء : ٢۳ )
Artinya: “dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (Q.S
An-Nisa’ : 23)
Dan perkataan “yang
ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam
pemeliharaan boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan , sebab memang biasanya
anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3)
Yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan
sesuatu keadaan . contoh:
اَلْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (الحديث)
Artinya: “orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang
Islam lainnya, baik dengan lisan maupun dengan tangannya” (hadits)
Dengan perkataan “orang-orang islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa
orang-orang yang bukan islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut
dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara orang-orang
islam sendiri.
4)
Yang disebutkan (mantuq) berdiri sendiri, tidak mengikuti pada yang
lain. Contoh:
وَلاَ
تُبَاشِرُهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِى الْمَسَاجِدِ (البقرة : ۱۸۷ )
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) padahal
kamu sedang beriktikaf di masjid”(QS. Al-Baqarah :187)
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak beriktikaf di masjid, boleh
dicampuri.
Macam-macam mafhum mukhalafah
i)
Mafhum shifat ( washfi), yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada
salah satu shifatnya, seperti Firman Allah SWT:
فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النّساء : )
Artinya: “maka
hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.
Seperti pula
pada contoh berikut:
وَحَلاَئِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَ بِكُم ( النّساء : ٢۳ )
Artinya: dan
diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu). (Q.S Al-Isra’ : 23)
ii)
Mafhum illat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya.
Contoh mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ
أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَ نْصَابُ وَالْاَزْلاَمُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
(المائدة : ۹۰ )
Artinya
: wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi,
berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. (Q.S Al-Maidah : 90)
iii)
Mafhum’adat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu, kepada bilangan yang
tertentu. Firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُواْ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدوْهُمْ ثَمَا نِيْنَ جَلْدَةً...
(النّور
: ۴ )
Artinya:
“orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina). Kemudian
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh
kali pukulan”. (QS. An-Nur: 4)
Mafhum
mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.
iv)
Mafhum ghayah, yaitu
lafal yang menunjukkan hokum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga
lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”
Seperti firman Allah SWT :
اِذَا
قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى
الْمَرَافِقِ ...
(المائدة
: ۶ )
Artinya:
“Bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai kepada kepada siku” (QS. Al-maidah:6).
فَإِ نْطَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا
غَيْرَهُ (البقر ة : ٢۳ )
Artinya : kemudian jika si
suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 23).
Mafhum mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan
suami kedua dan diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.
v)
Mafhum Had, yaitu
menentukan hokum dengan disebutkan suatu ‘adad, di antara adat-adatnya,
seperti firman Allah SWT:
قُلْ
لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ
اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهُ
رِجْسٌ اَوْفِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ ... (الانعام : ۱۴۵ )
Artinya :
“Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi,karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih dengan tidak atas
nama Allah.” (QS. Al-an’am : 145).
vi)
Mafhum Laqaab, Yaitu
menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il, seperti sabda
Nabi Saw:
قَلَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَبُوْ بَكْرٍفِىِ الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى
الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِى الْجَنَّةِ اِلَى عِدَّةِ
الْعَشَرَ . حديث حسن
Artinya:
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Usman masuk surga, Ali
masuk surga sampai-sampai bilangan itu sepuluh” (Hadis Hasan).[7]
Mafhum mukhalafah pada contoh lain seperti perkataan berikut:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Artinya : Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah
Swt.
C.
KEHUJJAHAN MAFHUM MUWAFAQAH DAN MUKHALAFAH
Para ahli ushul
fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah dengan nash atas dasar mafhum
mukhalafah dalam suatu bentuk, dan sepakat menjadikannya sebagai hujjah dalam
bentuk tertentu, dan suatu bentuk lagi, mereka berbeda pendapat mengenai
kehujjahannya.
1.
Adapun mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk tidak
mempergunakan nash sebagai hujjah berdasarkan mafhum mukhalafahnya ialah : mafhum
laqab. Yang dimaksudkan dengan laqab, ialah : lafazh jamid (tidak
musytaq) yang ada dalam nash sebagai nama bagi suatu substansi yang menjadi
sandaran hukum yang disebutkan di dalam nash.
Contohnya,
dalam hadits :
فِى الْبَرِّصَدَقَةٌ.
Artinya
:
“pada
gandum ada (kewajiban) zakat”.
Lafazh
“buur” adalah nama bagi biji-bijian tertentu yang wajib zakat.
Dan
dalam hadits :
فِى الْغَنَمِ زَكَاةٌ.
Artinya
:
“pada
kambing ada (kewajiban) zakat”.
Lafazh ghanam
(kambing) adalah nama bagi binatang tertentu yang wajib zakat. Tidak bisa
difahami, baik menurut bahasa, menurut syara’, maupun menurut adat kebiasaan,
bahwa penyebutan lafazh buur mengecualikan segala biji-bijian
lainnya. Tidak pula difahami, bahwasannya penyebutan ghanam merupakan
pengecualian terhadap jenis binatang ternak lainnya yang merumput. Tidak pula
difahami, bahwa pewajiban zakat pada buur (satu jenis gandum),
memberikan pemahaman bahwa tidak ada kewajiban zakat pada sya’ir (jenis
gandum), jagung, biji-bijian lainnya. Tidak pula difahami bahwasannya pewajiban
zakat pada kambing memberikan pemahaman bahwa zakat tidak wajib pada unta, sapi
dan lainnya.
Oleh karena
inilah, maka para ahli ilmu ushul fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah
dengan mafhum mukhalafah dalam laqab ini. Karena sesungguhnya penyebutannya
tidak dimaksudkan untuk membatasi, tidak pula mentakhsish, dan tidak pula
mengecualikan terhadap lainnya.
Tidak ada
perbedaan dalam hal ini antara nash syar’iyyah maupun nash perundang-undangan
hukum positif, akad perjanjian manusia, tasharruf mereka dan seluruh perkataan
mereka. Kalimat “Muhammad adalah Rasulullah”. Dari kalimat tersebut tidak dapat
difahami bahwasannya selain Muhammad bukanlah Rasulullah. Hutang orang yang
meninggal dunia dibayarkan dari harta peninggalannya. Dari kalimat tersebut
tidak dapat difahami, bahwasannya selain hutangnya, seperti biaya persiapannya
dan wasiat-wasiatnya yang terlaksana, tidak dibayarkan dari harta peninggalannya.
Jual beli memindahkan pemilikan. Dari kalimat tersebut tidaklah difahami bahwa
selain jual beli tidak dapat memindahkan pemilikan. Bahwasanya penjualan hak
pada harta peninggalan seseorang yang masih terikat dalam kehidupan, walaupun
dengan keridhaannya tidak batal. Oleh karena inilah Asy Syaukani berkata :
“Orang yang mengatakan mafhum mukhalafah pada laqab tidak menemukan hujjah,
baik secara kebahasaan, maupun aqliyyah, maupun syar’iyyah. Dari bahasa Arab
diketahui, bahwa orang yang mengatakan : Saya melihad zaid. Dari ucapannya
tersebut tidaklah dapat difahami bahwa ia tidak melihat selain zaid. Adapun
apabila qarinah (tanda) menunjukkan penggunaannya pada suatu kasus khusus, maka
hal itu tidak lain karena ada qarinah itu”.
2.
Adapun bentuk mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk mereka
pergunakan sebagai hujjah, maka ia adalah mafhum sifat, atau mafhum syarat,
mafhum ‘adad (hitungan) atau mafhum ghayah (batasan maksimal) pada selain nash
syar’iyyah, maksudnya ialah dalam berbagai perjanjian antara mereka yang
mengadakan perjanjian dan tasharruf mereka, perkataan manusia, ungkapan para
pengarang, dan peristilahan para ahli fiqh.
Misalnya,
perkataan orang yang berwakaf : saya menetapkan seperempat wakafku
sepeninggalku untuk kerabatku yang fakir. Yang dikatakan adalah ketetapan
pemberian hak kepada kerabatnya yang fakir. Mafhum Mukhalafahnya ialah penafian
hak kerabatnya yang tidak fakir. Nash tersebut merupakan hujjah atas kedua
hukum.
Juga perkataan
orang yang berwakaf : saya menetapkan hasil penjualan penghasilan wakafku
sepeninggalku untuk jandaku apabila ia tidak kawin lagi. Yang dikatakan adalah
penetapan hak kepada jandanya apabila tidak kawin lagi. Mafhum Mukhalafahnya
iaalah penafian haknya apabila telah kawin lagi. Nash tersebut merupakan hujjah
atas kedua hukum.
Demikianlah
setiap susunan kalimat dari seseorang yang melaksanakan akad, orang yang
bertasharruf, pengarang, atau orang yang berkata manapun, apabila dibatasi
dengan suatu sifat, atau syarat, atau dibatasi dengan hitungan atau batas maksimal,
adalah hujjah bagi ketetapan hukum yang ada padanya, ketika ada sesuatu yang
membatasinya, dan atas penafian hukum itu apabila batasan tersebut tidak ada.
Karena sebenarnya adat kebiasaan manusia dan peristilahan mereka dalam
pemahaman dan pengungkapan adalah berdasarkan ketentuan ini. Kalau sekiranya
penafian dan penetapan tersebut tidak difahami, niscaya pembatasan itu dalam
kebiasaan mereka adalah suatu kesia-siaan, kecuali apabila qarinah menunjukkan
bahwasanya pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan.
3.
Adapun bentuk mukhalafah yang masih diperselisihkan oleh para ahli
ilmu ushul fiqh mengenai pemakaiannya sebagai hujjah, maka ia adalah mafhum
mukhalafah pada sifat, atau syarat, atau batas maksimal, ataupun hitungan, pada
nash syar’iyyah secara khusus.[8]
Mafhum
muwafaqah bisa menjadi hujjah. Hamper semua ulama’ berpendirian demikian,
kecuali golongan zhahiriyah: “semua mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah,
kecuali mafhum laqab”.
Demikianlah
pendapat kebanyakan ulama’ ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah
ada faedahnya. Juga dapat diketahui dari bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu
mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang
dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya.
Berlainan
dengan pendapat diatas, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah
mengatakan, bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan).
Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[9]
IV.
KESIMPULAN
1.
Mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut
ucapan lafal yang disebutkan.
2.
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dari
ucapan, baik dalam istinbath (menetapkan) maupun naïf (meniadakan)
3.
Kehujjahan mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah, adapun mafhum
mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah.
V.
PENUTUP
Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan.
Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim
penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk
memotifasi makalah kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila
terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat
bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2001
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama,
Semarang, 1994
Prof. Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu
Ushulul Fiqh), PT Raja Grafindo Persada, 1996
Drs. H. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia,
1997
VII.
REVISI
1)
SEASON PERTANYAAN.
1.
(112152) : menapa dalam mafhum muwafaqah tidak terdapat
syarat-syarat seperti mafhum mukhalafah?
2.
(112167) : apakah yang dimaksud dengan dalil khitab, dan mengapa
mafhum mukholafah juga disebut dalil khitab?
3.
(112172) : alasan-alasan apa saja yang menyebabkan lafal itu di
mafhumkan?
2)
SEASON JAWAB
1.
(112158) : karena dalam mafhum muwafaqah lafalnya hanya memahami
sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Sedangkan mafhum mukhalafah
membutuhkan makna yang lebih rinci dan detail, sehingga membutuhkan
syarat-syarat untuk memahaminya. Selain itu juga pemakalah tidak menemukan
subbab bagian syarat-syarat mafhum muwafaqah pada buku-buku yang ada.
2.
(112159) : dalil khitab
ialah beban pembicaraan, mafhum mhkhalafah disebut juga dalil khitab karena
makna dari beban pembicaraan tidak secara tektual namun perlu dipahami secara
kontekstual.
3.
(112160) : jika kita lihat lafal-lafal yang ada dalam Al-Qur’an
terdapat makna yang berarti khusus dan makna yang berarti umum. Makna yang
berarti khusus yakni makna yang sudah jelas pemahamannya, adapun makna yang
umum maka butuh penjelasan yang rinci. Sehingga mafhum disini hadir untuk
menjelaskan makna yang berarti umum. Contohnya:
فَلاَ
تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْهُمَا ... (الإسراء : ٢۳ )
Dari lafal tersebut membutuhkan pemahaman secara detail, yaitu kita
tidak diperbolehkan mengatakan kata-kata yang keji pada kedua orang tua kita,
apalagi sampai memukulnya maka hal tersebut juga diharamkan.
3)
SEASON SANGGAHAN/TAMBAHAN
1.
(112169) : mengenai syarat-syarat pada mafhum muwafaqah, menurutnya
semua ilmu pasti ada syarat-syaratnya. Seperti halnya mempelajari ilmu
Al-Qur’an, pada ushul fiqh juga perlu memahami syarat-syarat untuk
mempelajarinya, misal alat bantu seperti ilmu balaghah, ilmu nahwu dan ilmu
shorof untuk membantu memahami lafal yang ada dalam Al-Qur’an dan membuat suatu
hokum atas lafal tersebut.
2.
(112151) : menyangga dari pernyataan penyangga diatas, bahwa yang
dimaksud dari penanya tentang syarat-syarat mafhum muwafaqah adalah dalam
memahami mafhum muwafaqah mengapa tidak terdapat syarat-syarat seperti halnya
pada mafhum mukhalafah?. Adapun mafhum muwafaqah hanya dapat di bagi menjadi 2,
yaitu lahnal khitab dan fahwal khitab.
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Dina Utama, Semarang, 1994, hal.8
[2]
Khairul umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal.47
[3] H.
Syafi’I karim , FIQIH-USHUL FIQIH, pustaka setia Bandung. 1997 hal
179-180
[4] Abdul
Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1989, hal. 247
[5] Ibid,
hal. 248
[6]
Syafi’I Karim, Op.Cit, hal 180
[7] Ibid,
hal. 186
[8] Op.Cit,
hal.232-235
[9] Ibid,
hal. 187
apa lagi syarat untuk mafhum mukhalafah ye??
ReplyDelete