Saturday, February 27, 2016

makalah mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah


I.                   PENDAHULUAN

Ushul fiqh berasal dari kata ushul dan fiqh, fiqh berarti faham. Pemahaman seseorang terhadap suatu hokum pasti berbeda-beda, perbedaan tersebur diakibatkan pada: pertama subjek, salah satunya pada budaya dan lingkungan sekitar. Kedua pada metodologi atau sudut pandang, subyak melihat sudut pandang yang berbeda sehingga perbedaan pemahaman terhadap suatu hokum. Ketiga pemahaman obyek yang beda.
Ilmu ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-dua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW. memberikan fatwa dan keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang diilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristimbath dan berijtihad. Para sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka fahami berdasarkan kemampuan  bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah kebahasaan yang dapat membimbing mereka untuk memahami nash. Mereka mengistimbathkan terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan mereka dalam persyari’atan hukum islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak mereka berteman dengan Rasulullah. Di samping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadits-hadits, serta mereka memahami betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar persyari’atan hukum.
Akan tetapi ketika kemenangan islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab pun sudah bercampur dengan bangsa-bangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan kedalam bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan uslub yang bukan bahaa Arab, maka kemampuan kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam kondisi yang murni, dan kesamaran- kesamaran  dan kemungkinan-kemungkinan lainnya banyak terjadi dalam memahami nash, maka kebutuhan sangat mendesak untuk membuat berbagai  ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa digunakan untuk memahami nash sebagaimana orang Arab, yang mana nash datang dengan bahasa mereka, memahaminya, sebagaimana pula kebutuhan menuntut untuk membuat kaidah nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan bahasa secara benar.[1]
Disini pemakalah akan membahas mengenai mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian mafhum, mafhum muwafaqah, mafhum mukhalafah, pembagian mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, beserta contoh mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dan kehujjahan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
II.                PERMASALAHAN

1.      Bagaimana pengertian mafhum muwafaqah?
2.      Bagaimana pengertian mafhum mukhalafah?
3.      Bagaimana kehujjahan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah?

III.             PEMBAHASAN
A.    MAFHUM MUWAFAQAH

Mafhum adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut. Seperti Firman Allah SWT.:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ (ألإسراء :  ٢٣  )
Artinya : “maka janganlah kamu katakana kepada kedua orang ibu-bapakmu perbuatan yang keji”. (Q.S Al-Isra’ : 23)

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mafhum yang tidak disebutkan, yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung pemahaman yang sama terhadap arti dari ayat tersebut. Pemahaman yang diambil dari segi pembicaraan yang tidak nyata disebut mafhum.
Adapun yang disebut dilalah mafhum adalah:
دَلاَلَةُالْمَفْهُوْمِ وَهِيَ دَلاَلَةُ الَّفْظِ لاَفِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَا ذُكِرَلِمِا سُكِتَ عَنْهُ أوْ عَلَى نَفْيِ الْحُكْمِ عَنْهُ.
Artinya: “petunjuk lafal bahwa hukum dari lawan yang disebut berlawanan dengan hokum yang disebut”.

Mafhum muwafaqah yaitu:
ماَ كَانَ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَنْطُوْقِ
Artinya: “Petunjuk lafal yang bersamaan antara hokum yang tidak disebut dengan hokum yang disebut”

Jadi mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi dalam:
a)      Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnyadengan Firman Allah SWT yang artinya: “Janganlah kamu katakan kata-kata yang keji kepada dua orang ibu-bapakmu”. Kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b)      Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا
( النّساء :۱۰(
Artinya: “mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka” ( QS. An-Nisa’ : 10)

Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim sama haramnya sebagaimana hartanya.[2]

B.      MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
إذَا نُوْ دِيَ لِلصَّلوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…
Artinya :
“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jumat,maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkan jual beli”
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari jumat sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan sholat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.[3]
Nash syara tidak mempunyai dalalah atas hokum menurut mafhum mukhalafah.
Apabila nash syara menunjukkan atas hokum suatu tempat (objek) yang dibarisi dengan suatu batasan,seperti jika tempat (objek) itu mempunyi sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi dengan suatu suatu batasan, atau dibatasi dengan bilangan, maka hokum nash atas tempat(objek) yang telah dapat nyata di dalamnya batasan tersebut, disebut bunyi nash (Mantuq an-Nash). Sedangkan atas tempat (objek) yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut Pengertian nash yang berbeda (Mafhum al-Mukholif) atau Mafhum Mukholafah.[4]
Pengertian global kaidah ini, ialah bahwa nash syara itu tidak mempunyai dalalah atas hokum yang terkandung dalam pengertian yang berbeda dengan bunyi nash. Karena hokum itu bukanlah madlul (makna) nash dengan jalan diantara jalan dalalah yang empat. Bahkan hokum pengertian yang berbeda dan didiamkan itu bisa diketahui dengan lain apa saja dari dalil-dali syara, yang diantaranya ialah kebolehan yang bersifat asal (Al-Ibahah al-Ashliyyah).
Jadi firman Allah SWT yang berbunyi :
قُلْ لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا.
(الا نعام: ۱۴۵  )
Artinya:
Katakanlah : tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir. (Q.S 6,al-An’am: 145).[5]
Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah, ialah seperti yang dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya Ushul fiqhi,sebagai berikut :
Untuk syahnya  Mafhum Mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1)      Mafhum Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.[6]
Contoh yang yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوْا اَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلاَقٍ (الإسراء : ۳۱  )
Artinya:
“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :31)

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh,tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq,ialah:
وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالحَقِّ (الإسراء: ۳۳  )
Artinya:
“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :33)
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْهُمَا ... (الإسراء :  ٢۳ )
Artinya:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada oaring tua, dan jangan pula engkau hardik”(Q.S Al-isra’ :23)
Yang disebutkan hanya kata-kata yang kasar mahfum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan dalil mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukul.

2)      Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.
Contoh :
... وَرَبَائِبُكُمُ الَّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ ... (النّساء : ٢۳  )

Artinya: “dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (Q.S An-Nisa’ : 23)
            Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaan boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan , sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3)      Yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan . contoh:
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (الحديث)
Artinya: “orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lisan maupun dengan tangannya(hadits)
Dengan perkataan “orang-orang islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara orang-orang islam sendiri.

4)      Yang disebutkan (mantuq) berdiri sendiri, tidak mengikuti pada yang lain. Contoh:
وَلاَ تُبَاشِرُهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِى الْمَسَاجِدِ (البقرة : ۱۸۷  )
Artinya: “janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) padahal kamu sedang beriktikaf di masjid(QS. Al-Baqarah :187)

Tidak dapat dipahamkan kalau tidak beriktikaf di masjid, boleh dicampuri.




Macam-macam mafhum mukhalafah

i)        Mafhum shifat ( washfi), yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada salah satu shifatnya, seperti Firman Allah SWT:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النّساء :   )
Artinya: “maka hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.
Seperti pula pada contoh berikut:
    وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَ بِكُم ( النّساء : ٢۳ )
Artinya: dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu). (Q.S Al-Isra’ : 23)

ii)      Mafhum illat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya. Contoh mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
  يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَ نْصَابُ وَالْاَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة :  ۹۰  )
 Artinya : wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. (Q.S Al-Maidah : 90)

iii)    Mafhum’adat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu. Firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُواْ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدوْهُمْ ثَمَا نِيْنَ جَلْدَةً...
(النّور :  ۴ )
Artinya: “orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina). Kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh kali pukulan”. (QS. An-Nur: 4)

Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.

iv)    Mafhum ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hokum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”
Seperti firman Allah SWT :
اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ ...
(المائدة : ۶ )
Artinya:
“Bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada kepada siku” (QS. Al-maidah:6).

   فَإِ نْطَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقر ة :  ٢۳ )
Artinya   : kemudian jika si suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 23).

Mafhum mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan suami kedua dan diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.

v)      Mafhum Had, yaitu menentukan hokum dengan disebutkan suatu ‘adad, di antara adat-adatnya, seperti firman Allah SWT:
قُلْ لاَ اَجِدُ فِيْمَا اُوحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهُ رِجْسٌ اَوْفِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ ... (الانعام :  ۱۴۵ )
Artinya :
“Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging babi,karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah.” (QS. Al-an’am : 145).

vi)    Mafhum Laqaab, Yaitu menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il, seperti sabda Nabi Saw:
قَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَبُوْ بَكْرٍفِىِ الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِى الْجَنَّةِ اِلَى عِدَّةِ الْعَشَرَ . حديث حسن
Artinya:
“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Usman masuk surga, Ali masuk surga sampai-sampai bilangan itu sepuluh”     (Hadis Hasan).[7]

Mafhum mukhalafah pada contoh lain seperti perkataan berikut:
 
   مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Artinya : Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah Swt.



C.     KEHUJJAHAN MAFHUM MUWAFAQAH DAN MUKHALAFAH
Para ahli ushul fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah dengan nash atas dasar mafhum mukhalafah dalam suatu bentuk, dan sepakat menjadikannya sebagai hujjah dalam bentuk tertentu, dan suatu bentuk lagi, mereka berbeda pendapat mengenai kehujjahannya.
1.      Adapun mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk tidak mempergunakan nash sebagai hujjah berdasarkan mafhum mukhalafahnya ialah : mafhum laqab. Yang dimaksudkan dengan laqab, ialah : lafazh jamid (tidak musytaq) yang ada dalam nash sebagai nama bagi suatu substansi yang menjadi sandaran hukum yang disebutkan di dalam nash.

Contohnya, dalam hadits :
فِى الْبَرِّصَدَقَةٌ.
Artinya :
“pada gandum ada (kewajiban) zakat”.
Lafazh “buur” adalah nama bagi biji-bijian tertentu yang wajib zakat.
Dan dalam hadits :
فِى الْغَنَمِ زَكَاةٌ.
Artinya :
“pada kambing ada (kewajiban) zakat”.
Lafazh ghanam (kambing) adalah nama bagi binatang tertentu yang wajib zakat. Tidak bisa difahami, baik menurut bahasa, menurut syara’, maupun menurut adat kebiasaan, bahwa penyebutan lafazh buur mengecualikan segala biji-bijian lainnya. Tidak pula difahami, bahwasannya penyebutan ghanam merupakan pengecualian terhadap jenis binatang ternak lainnya yang merumput. Tidak pula difahami, bahwa pewajiban zakat pada buur (satu jenis gandum), memberikan pemahaman bahwa tidak ada kewajiban zakat pada sya’ir (jenis gandum), jagung, biji-bijian lainnya. Tidak pula difahami bahwasannya pewajiban zakat pada kambing memberikan pemahaman bahwa zakat tidak wajib pada unta, sapi dan lainnya.
Oleh karena inilah, maka para ahli ilmu ushul fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah dalam laqab ini. Karena sesungguhnya penyebutannya tidak dimaksudkan untuk membatasi, tidak pula mentakhsish, dan tidak pula mengecualikan terhadap lainnya.
Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara nash syar’iyyah maupun nash perundang-undangan hukum positif, akad perjanjian manusia, tasharruf mereka dan seluruh perkataan mereka. Kalimat “Muhammad adalah Rasulullah”. Dari kalimat tersebut tidak dapat difahami bahwasannya selain Muhammad bukanlah Rasulullah. Hutang orang yang meninggal dunia dibayarkan dari harta peninggalannya. Dari kalimat tersebut tidak dapat difahami, bahwasannya selain hutangnya, seperti biaya persiapannya dan wasiat-wasiatnya yang terlaksana, tidak dibayarkan dari harta peninggalannya. Jual beli memindahkan pemilikan. Dari kalimat tersebut tidaklah difahami bahwa selain jual beli tidak dapat memindahkan pemilikan. Bahwasanya penjualan hak pada harta peninggalan seseorang yang masih terikat dalam kehidupan, walaupun dengan keridhaannya tidak batal. Oleh karena inilah Asy Syaukani berkata : “Orang yang mengatakan mafhum mukhalafah pada laqab tidak menemukan hujjah, baik secara kebahasaan, maupun aqliyyah, maupun syar’iyyah. Dari bahasa Arab diketahui, bahwa orang yang mengatakan : Saya melihad zaid. Dari ucapannya tersebut tidaklah dapat difahami bahwa ia tidak melihat selain zaid. Adapun apabila qarinah (tanda) menunjukkan penggunaannya pada suatu kasus khusus, maka hal itu tidak lain karena ada qarinah itu”.

2.      Adapun bentuk mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk mereka pergunakan sebagai hujjah, maka ia adalah mafhum sifat, atau mafhum syarat, mafhum ‘adad (hitungan) atau mafhum ghayah (batasan maksimal) pada selain nash syar’iyyah, maksudnya ialah dalam berbagai perjanjian antara mereka yang mengadakan perjanjian dan tasharruf mereka, perkataan manusia, ungkapan para pengarang, dan peristilahan para ahli fiqh.
Misalnya, perkataan orang yang berwakaf : saya menetapkan seperempat wakafku sepeninggalku untuk kerabatku yang fakir. Yang dikatakan adalah ketetapan pemberian hak kepada kerabatnya yang fakir. Mafhum Mukhalafahnya ialah penafian hak kerabatnya yang tidak fakir. Nash tersebut merupakan hujjah atas kedua hukum.
Juga perkataan orang yang berwakaf : saya menetapkan hasil penjualan penghasilan wakafku sepeninggalku untuk jandaku apabila ia tidak kawin lagi. Yang dikatakan adalah penetapan hak kepada jandanya apabila tidak kawin lagi. Mafhum Mukhalafahnya iaalah penafian haknya apabila telah kawin lagi. Nash tersebut merupakan hujjah atas kedua hukum.
Demikianlah setiap susunan kalimat dari seseorang yang melaksanakan akad, orang yang bertasharruf, pengarang, atau orang yang berkata manapun, apabila dibatasi dengan suatu sifat, atau syarat, atau dibatasi dengan hitungan atau batas maksimal, adalah hujjah bagi ketetapan hukum yang ada padanya, ketika ada sesuatu yang membatasinya, dan atas penafian hukum itu apabila batasan tersebut tidak ada. Karena sebenarnya adat kebiasaan manusia dan peristilahan mereka dalam pemahaman dan pengungkapan adalah berdasarkan ketentuan ini. Kalau sekiranya penafian dan penetapan tersebut tidak difahami, niscaya pembatasan itu dalam kebiasaan mereka adalah suatu kesia-siaan, kecuali apabila qarinah menunjukkan bahwasanya pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan.

3.      Adapun bentuk mukhalafah yang masih diperselisihkan oleh para ahli ilmu ushul fiqh mengenai pemakaiannya sebagai hujjah, maka ia adalah mafhum mukhalafah pada sifat, atau syarat, atau batas maksimal, ataupun hitungan, pada nash syar’iyyah secara khusus.[8]

Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah. Hamper semua ulama’ berpendirian demikian, kecuali golongan zhahiriyah: “semua mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab”.
Demikianlah pendapat kebanyakan ulama’ ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah ada faedahnya. Juga dapat diketahui dari bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya.
Berlainan dengan pendapat diatas, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan, bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[9]





IV.             KESIMPULAN

1.      Mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan.
2.      Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbath (menetapkan) maupun naïf (meniadakan)
3.      Kehujjahan mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah, adapun mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah.









V.                PENUTUP

Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan. Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk memotifasi makalah kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.

VI.             DAFTAR PUSTAKA

Drs. Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001

Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994

Prof. Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), PT Raja Grafindo Persada, 1996

Drs. H. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, 1997






















VII.          REVISI
1)      SEASON PERTANYAAN.
1.      (112152) : menapa dalam mafhum muwafaqah tidak terdapat syarat-syarat seperti mafhum mukhalafah?
2.      (112167) : apakah yang dimaksud dengan dalil khitab, dan mengapa mafhum mukholafah juga disebut dalil khitab?
3.      (112172) : alasan-alasan apa saja yang menyebabkan lafal itu di mafhumkan?

2)      SEASON JAWAB
1.      (112158) : karena dalam mafhum muwafaqah lafalnya hanya memahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Sedangkan mafhum mukhalafah membutuhkan makna yang lebih rinci dan detail, sehingga membutuhkan syarat-syarat untuk memahaminya. Selain itu juga pemakalah tidak menemukan subbab bagian syarat-syarat mafhum muwafaqah pada buku-buku yang ada.
2.      (112159) :  dalil khitab ialah beban pembicaraan, mafhum mhkhalafah disebut juga dalil khitab karena makna dari beban pembicaraan tidak secara tektual namun perlu dipahami secara kontekstual.
3.      (112160) : jika kita lihat lafal-lafal yang ada dalam Al-Qur’an terdapat makna yang berarti khusus dan makna yang berarti umum. Makna yang berarti khusus yakni makna yang sudah jelas pemahamannya, adapun makna yang umum maka butuh penjelasan yang rinci. Sehingga mafhum disini hadir untuk menjelaskan makna yang berarti umum. Contohnya:
فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْهُمَا ... (الإسراء :  ٢۳ )
Dari lafal tersebut membutuhkan pemahaman secara detail, yaitu kita tidak diperbolehkan mengatakan kata-kata yang keji pada kedua orang tua kita, apalagi sampai memukulnya maka hal tersebut juga diharamkan.
3)      SEASON SANGGAHAN/TAMBAHAN
1.      (112169) : mengenai syarat-syarat pada mafhum muwafaqah, menurutnya semua ilmu pasti ada syarat-syaratnya. Seperti halnya mempelajari ilmu Al-Qur’an, pada ushul fiqh juga perlu memahami syarat-syarat untuk mempelajarinya, misal alat bantu seperti ilmu balaghah, ilmu nahwu dan ilmu shorof untuk membantu memahami lafal yang ada dalam Al-Qur’an dan membuat suatu hokum atas lafal tersebut.
2.      (112151) : menyangga dari pernyataan penyangga diatas, bahwa yang dimaksud dari penanya tentang syarat-syarat mafhum muwafaqah adalah dalam memahami mafhum muwafaqah mengapa tidak terdapat syarat-syarat seperti halnya pada mafhum mukhalafah?. Adapun mafhum muwafaqah hanya dapat di bagi menjadi 2, yaitu lahnal khitab dan fahwal khitab.




[1]  Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal.8
[2] Khairul umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal.47
[3] H. Syafi’I karim , FIQIH-USHUL FIQIH, pustaka setia Bandung. 1997 hal 179-180
[4] Abdul Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, hal. 247
[5] Ibid, hal. 248
[6] Syafi’I Karim, Op.Cit, hal 180
[7] Ibid, hal. 186
[8] Op.Cit, hal.232-235
[9] Ibid, hal. 187 

1 comment: