I.
PENDAHULUAN
Pendidikan
Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai proses atau upaya
untuk membimbing, membina, mendewasakan, memperbaiki sikap yang buruk menjadi
sikap baik, merubah hal yang negative menjadi hal yang positif, dan juga
membentuk kepribadian yang baik. Dan semua hal tersebut da dasarkan pada ajaran
agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Pendidikan
dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib,
riyadhoh, dan tadris. Menurut ulama’ tarbiyah dapat juga diartikan dengan
“proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani). Kepada peserta
didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan
menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti, dan
kepribadian yang luhur”. Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan
dalam transformasi ilmu pengetahuan yang sulit.[1]
Menurut Drs.
Ahmad D. Marimba; pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan
hokum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan
kepribadian utama tersebut dengan istilah “kepribadian muslim”, yaitu
kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam. Memilih dan memutuskan serta
berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam.[2]
Dalam hal ini
pemakalah akan membahas dan menjelaskan mengenai peran dan fungsi Pendidikan
Islam dalam struktur keberagamaan.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana fungsi pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan?
2.
Bagaimana peran pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Fungsi pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan
Ditinjau dari
sudut pandangan sosiologi dan antropologi, fungsi utama pendidikan untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik,
dan menanamkan nilai yang baik. Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik,
menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Persoalan
manusia baik adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran
ilmiah rasional. Akan tetapi menyangkut masalah penghayatan dan pemakaman yang
lebih bersifat efektif dari pada
kognitif.
Untuk mencapai
tujuan menjadikan manusia, dibutuhkan materi pendidikan yang baik, strategi,
pendekatan, metode dan teknik belajar mengajar yang baik pula.
Persoalan
menjadikan manusia baik tidak hanya menjadi persoalan pendidikan, melainkan
hanya menjadi tanggung jawab semua jenis pendidikan, baik pendidikan rasional,
teknologi, ekonomi maupun pendidikan jasmaniah.
Kewajiban
mengimplikasikan nilai dalam semua jenis pendidikan, sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia baik.
Sehingga menjadikan IPTEK harus mampu melahirkan cendekiawan, ilmuwan dan
teknokrat yang ahli dalam bidang masing-masing sekaligus peduli terhadap tata
nilai yang hidup dalam kenyataan masyarakat sekitar, memiliki tanggung jawab
social, dan landasan kepribadian yang kuat.
Namun
pendidikan yang berwawasan nilai tidak harus mengorbankan kreativitas rasional
dan ketrampilan tinggi bagi peserta didik, yang terjadi sebaliknya, pendidikan
nilai dapat mempergunakan pendekatan rasional ilmiah.
Membahas
mengenai nilai, termasuk nilai kemanusiaan dan ke-Tuhan-an tidak sederhana.
Sebab selain pendekataan yang digunakan menggunakan pendekataan rasional dan
efektif, juga didasarkan atas tata nilai yang bersifat normative. Disamping itu
arti baik itu sendiri sangat bervariasi sesuai dengan konteks kalimat dan sifat
objek yang dijelaskan.
Tujuan yang
baik, tidak sama pengertiannya dengan materi yang baik, dan manusia yang baik.
Manusia yang baik adalah menusia yang memiliki kepribadian utama; tujuan yang
baik adalah tujuan yang dapat dijangkau, dan memiliki dimensi yang luas. Adapun
materi yang baik adalah materi yang sesuai dengan pemikiran peserta didik.[3]
Fungsi
pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan
tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar.
Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat structural
dan institusional.
Arti dan tujuan
struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang
mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertical maupun
segi horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional (
saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses
kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk
menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan
yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung kearah tingkat
kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur
kependidikan yang formal, imformal dalam masyarakat.
Menurut Kursyid
Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.
Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan
bangsa.
2.
Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang
secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan
melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan
perubahan social dan ekonomi.[4]
Pendidikan
agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam
mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa
atau pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran
yakni pengajaran agama Islam itu sendiri.
Aspek pertama
dari pendidikan Islam adalah yang ditujukan pada jiwa atau pembentukan
kepribadian, Artinya bahwa melalui pendidikan agama Islam ini anak didik
diberikan keyakinan tentang adanya Allah swt.
Aspek kedua
dari pendidikan Agama Islam adalah yang ditujukan kepada aspek pikiran
(intelektualitas), yaitu pengajaran Agama Islam itu sendiri. Artinya, bahwa
kepercayaan kepada Allah swt, beserta seluruh ciptaan-Nya tidak akan sempurna
manakala isi, makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaran-Nya)
tidak dimengerti dan dipahami secara benar. Di sini anak didik tidak hanya
sekedar diinformasikan tentang perintah dan larangan, akan tetapi justru pada
pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta argumentasinya yang dapat
diyakini dan diterima oleh akal.[5]
Jika
diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan islam, maka kurikulum berfungsi
sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya
kearah tujuan tertinggi pendidikan islam, melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan islam
bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan tetapi hendaklah
mengacu kepada konseptualisasi manusia paripuma (insan kamil ) yang strateginya
telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan islam.
Pendidikan
islam itu berlangsung selam hidup, maka tujuan akhirnya pada waktu hidup di
dunia ini telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan
pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertamah dan berkurang dalam
perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat
mmpengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk
menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan
pendidikan yang telah dicapai.[6]
Fungsi
pendidikan Agama Islam di sini dapat menjadi inspirasi dan pemberi kekuatan
mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi segala tingkah laku dan
petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit gangguan jiwa. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Agama Islam adalah:
1)
Memperkenalkan dan mendidik anak didik agar meyakini ke-Esaan Allah
swt, pencipta semesta alam beserta
seluruh isinya; biasanya dimulai dengan menuntunnya mengucapkan
lailahaillallah.
2)
Memperkenalkan kepada anak didik apa dan mana yang diperintahkan
dan mana yang dilarang (hukum halal dan haram).
3)
Menyuruh anak agar sejak dini dapat melaksanakan ibadah, baik
ibadah yang menyangkut hablumminallah maupun ibadah yang menyangkut
hablumminannas.
4)
Mendidik anak didik agar mencintai Rasulullah saw, mencintai ahlu
baitnya dan cinta membaca al-Qur’an.
5)
Mendidik anak didik agar taat dan hormat kepada orang tua dan serta
tidak merusak lingkungannya.
Bila dilihat
secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk
1)
Pertama, Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan
tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide
masyarakat dan nasional.
2)
Kedua, Alat untuk mengadakan
perubahan inovasi dan perkembangan.
Maka dapat
disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam secara mikro adalah proses penanaman
nilai-nilai ilahiah pada diri anak didik, sehingga mereka mampu
mengaktualisasikan dirinya semaksimal mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip
religius. Secara makro pendidikan Islam berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya
danidentitas suatu komunitas yang didalamnya manusia melakukan interaksi
dansaling mempengaruhi antara satu dengan yang lain[7].
Dengan pengertian pendidikan islam seperti
tersebut di atas fungsi pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara
dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia
seutuhnya. (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan
islam.
Untuk memperjelas fungsi pendidikan islam dapat
ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia, dengan
asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui
pendidikan.
Fenomena tersebut dapat ditelusuri melaui
kajian antropologi budaya dan sosiologi yang menunjukakan bahwa peradaban
masyarakat manusia dari masa ke masa semakin berkembang maju. Kemajuan itu
diperoleh melalui interaksi komunikasi sosialnya. Semakin intens interaksi
sosialnya semakin cepat pula perkembangannya. Itulah sebabnya suku terasing
lambat sekali erkembangan peradabannya.
Kedalaman dan keluasan interaksi manusia
semakin bertambah dengan semakin berkembangnya teknologi informasi :
radio,televisi,surat kabar,dan lain-lain. Aneka ragam informasi dapat diterima
dalam sesaat sehingga wawasan manusia semakin luas baik mengenai
peristiwa-peristiwa alam maupun manusia Dengan segala kompleksitas masalahnya.
Semakin luas wawasan seseorang semakin maju pula pemikirannya. Seiring dengan
kemajuan pemikirannya berkembang pula kreativitasnya untuk mencipta berbagai
perangkat kehidupan untuk memenuhi hajat hidupnya.
Demikianlah masyarakat manusia berkembang dari
masyarakat primitif sampai ke masyarakat modern. Kita dapat membandingkan pola
pikir dan tingkah laku masyarakat primitif dan modern dalam mengatasi problem
kehidupnnya. Masyarakat primitif, dengan wawasannya yang sangat terbtas baik
mengenai dirinya maupun alam sekitarnya, sangat terbatas pula kreativitasnya.
Sebaliknya, masyarakat modern, karena wawasannya semakin luas maka semakin
tinggi pula kreativitasnya.
Aneka ragan informasi akan tetap merupakan
informasi tanpa makna bila manusia tidak mampu menganalisisnya,
mengabstraksikan dan menemukan hubungannya yang unik dan menjadikannya sebagai
wawasan yang tepat. Untuk itu diperlukan pendidikan yang dapat membntu menumbuh
kembangkan berbagai kemampuan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiolagi,fungsi
pendidikan yang pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat
mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan
tumbuhnya kemampuan mambaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan
kehidupannya dan membangun lingkungannya.
Interaksi manusia dapat berlangsung secara
harmonis karena ada nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati bersama, antara
lain kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling hormat-menghormati dan lain
sebagainya. dapat dibayangkan, bahkan sudah terjadi dalam kehidupan manusia
sejak tempo dulu sampai dewasa ini, kehidupan manusia akan sengsara dan
menyengsarakan apabila nilai-nilai tersebut dilanggar.
Untuk dapat mengaktualisasikan atau mengamalkan
nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan dipelukan kemauan moral. untuk
menumbuhkan kemauan moral diperlukan penghayatan dan untuk menghayati
nilai-nilai moral diperlukan pemahaman. proses pemahaman, penghayatan dan
pengalaman nilai-nilai tersebut disebut pendidikan. dengn perkataan lain,
pendidikan ialah upaya untuk
mengenternalisasikan dan mentrasformasikan nilai-nilai insani dalam
kehidupan. nilai-nilai inilah yang akan menuntun wawasan dan kreativitas manusia
secara tepat dan bermakna bagi hidup dan kehidupan, baik individu maupun
sosial.
Di samping nilai-nilai yang ingin
ditransformasikan dari generasi ke generasi, sudah menjadi naluri bahwa manusia
ingin mempertahankan hidupnya maupun generasinya. untuk itu mereka berusaha
mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada generasi berikutnya lewat
pendidikan. kenyataan menunjukkan bahwa generasi berikutnya memiliki semakin
banyak pengetahuan dan keterampilan dan sebelumnya belum banyak diketahui.
Semakin luas wawasan masyarakat manusia
terhadap dirinya dan alam sekitarnya, semakin banyak hal yang ingin
diketahuinya. lewat pendidikan, kecenderungan (fitrah) ingin tahu itu dilayani
dan dibimbing sehingga muncullah berbagai ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya
masih tersembunyi. dengan demikian pendidikan berfungsi sebagai kunci pembuka
jalan yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan. tanpa
pendidikan semua tidak akan terjadi.
Dari pengertian pendidikan
Islam di atas fungsi pendidikan Islam dapat berarti memelihara dan
mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan
Islam.
Ditinjau dari segi
antropologi budaya dan sosiologi, fungsi pendidikan yang pertama ialah
menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga
dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan membaca (analisis),
kreativitas dalam memajukan hidup dan kedidupannya dan membangun lingkungannya.
Dari kajian antropologi dan
sosiologi secara sekilas diatas dapat kita ketahui adanya tiga fungsi
pendidikan;
1. Mengembangkan
wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya
akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreativitas dan
produkstivitas.
2. Melestarikan
nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberdaannya,
baik secara individual maupun sosial, lebih bermakna.
3. Membuka pintu ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan
kemajuan hidup individu maupun sosial.
Apabila dari kajian antropologi dan sosiologi tersebut dikembalikan
pada sudut pandang Al-Qr’an sebagai sumber utama pendidikan Islam, maka fungsi
pertama dan terutama pendidikan Islam adalah memberikan kemampuan membaa
(iqra’) pada peserta didik.
Dengan menegembalikan kajian
antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa
fungsi pendidikan Islam ialah :
1. Mengembangkan
wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan
mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumguh kemampuan membaca (analisis) fenomena
alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai
implementasi identifikasi diri pada tuhan “pencipta”.
2. Membebaskan manusia
dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia),
baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
3. Mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial.[8]
Pendidikan
Agama Islam di sekolah berfungsi:
1.
Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta
didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam kelingkungan keluarga. Pada
dasarnya usaha menanamkan keimanan dan ketaqwaan menjadi tanggung jawab setiap
orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan kemempuan
yang ada pada diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar
keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
2.
Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal
sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
3.
Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,
pemahaman dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negative dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan
menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
5.
Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah
lingkungannyasesuai dengan ajaran agama Islam.
6.
Sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[9]
B.
Peran pendidikan Islam
dalam struktur keberagamaan
Menurut penulis, peran adalah
konstribusi sesuatu yang dapat diberikan kepada yang lain baik konstribusi
positif maupun negatif. Peran pendidikan Islam memiliki makna konstribusi
pendidikan islam yang dapat diberikan ada aspek yang lainnya yang bersifat
positif. Karena pendidikan harus diarahkan untuk mencapai atau memberi sesuatu
yang positif. Jika peran tersebut bersifat negatif maka tidak dapat dikatakan
sebagai pendidikan islam. Peran dalam pendidikan islam seharusnya memiliki
peran beberapa kategori yaitu antara lain;
a. Bersifat positif, yaitu peran atau
konstribusi yang diberikan oleh pendidikan islam harus positif bagi kehidupan
peserta didik maupun masyarakat.
b. Terencana yaitu peran atau konstribusi
yang diberikan islam harus didesain atau direncan secara matang, cermat melalui
rencana pembelajaran.
c. Disadari, yaitu peran atau konstribusi
pendidikan islam harus benar-benar disadari oleh pelaksanaan pendidikan islam.
Berbicara pendidikan islam diawali dari asumsi
terhadap agama islam. Diakui atau agama baik dari aspek teologis maupun
sosiologis, dipandang sebagai instrumen untuk memehami realitas yang ada
disekitar kehidupan manusia baik yang menyangkut kualitas dirinya sendiri
maupun kualitas hubungan pribadi dengan lingkungannya.
Dari aspek teologis, agama islam memiliki kandungan
simbol-simbol yang hadir dimana-mana, simbol tersebut ikut mempengaruhi, bahkan
membentuk struktur sosial, budaya ekonomi dan politik serta kebijakan publik.
Dengan ciri itu, maka islam tidak mau pasti akan memiliki pengaruh dalam arti
dipengaruhi atau mempengaruhi dianmika kehidupan masyarakat dalam segala aspek.
Secara teologis islam lebih dipahami sebagai digma ketimbangan sebagai ilmu
pengetuahuan (sience), implikasi
islam lebih bersifat sakral, tertutup dan dianggap sudah final. Memahami islam
sebagai dogma memang menjadi salah satu persyaratan bagi setiap pemeluk agama,
tetapi jika hanya dipahami sebatas dogma maka islam akan mengalami kemandegkan.
Pemahaman islam sebagai dogma akan mudah melahirkan ketegangan dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh sebab itu islam juga harus dipahami sebagai ilmu
pengetahuan agar islam bisa menjawab
berbagai tantangan kehidupan masyarakat. Islam sebagi ilmu pengetahuan
dapat juga diartikan islam secara sosilogis. Yaitu bagaimana mengurai atau
menjelaskan islam dari berbagai aspek kedupan yang melingkupi pemeluknya.
Dalam konteks ini, Endang Komara dalam makalahnya
pendidikan islam dan globalisasi, memjelaskan bahwa, pada dasarnya ada tida
aliran besar dalam memandang islam
a. Prespektif mekanik holistik, yang memposisikan hubungan
antara aganma dan persoalan kemasyarakatan sebagi sesuatu yang tak terpisahkan
b. Pemikiran yang mengajukan proposisi
bahwa keduanya merupakan wilayah (domains)
yang antara stu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan.
c. Pandangan tengah yang mencoba
mengintregasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antra agama
dengan persoalan kemasyaraatan.
Secara garis besar, aliran ketiga ini
berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang
berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat
dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik holistik dan intitusioanal,
didalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fack) bahwa antar keduannya tidak ada hubungan sama sekali.
Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam
kadar dan intensitas yang tidak sam serta dalam pola dan bentuk yang tidak
selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya
mengambil bentuk inspiratif dan substansif.
Pendidikan islam adalah pendidikan yang
bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya mengembangkan seluruh potensi
manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan
hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan
demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu
sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memehami hakikat pendidikan
islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut islam.
Lebih lanjut Endang Komara menjelaskan
bahwa berpedonam ruang lingkup pendidikan islam yang ingin dicapai, maka
kurukulum pendidikan islam itu beroriantasi kepada tiaga hal yaitu:
a. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
b. Tercapainya tujuan hablum manannas(hubungan dengan manusia)
c. Tercapainya tujuan hablum minal’lam(hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan islam seperti
al-Abrasyi, an-Nahlawi, al- jamali, as-syaibani, al-Ainani, masing-masing
mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan islam yang pada
prinsipnya tetap beroriantasi kepada ketiga komponen tersebut.
Dalam Endang Komara, ketiga permaslahan
pokok pendidikan islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya
seperti struktural, kultural dan sumber daya manusia, probelm itu dapat diurai
sebagai berikut:
Pertama, secara stuktural
lembaga-lembaga pendidikan islam negeri berada langsung dibawah kontrol dan
kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang
timbula dalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas.
Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatsnya upaya
pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak
melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost persiswa atau mahsiswa.
Sehubungan dengan hal itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan
kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan
juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan islam
terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggap segi lembaga pendidikan
“kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhhi masyarakat muslim untuk
memasukan anaknya kelembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap
lembaga pendidikan islam tersebut sebagai pendidikan kelas dua dapat dilihat
dari outputnya, gurunya, saran dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah
jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang
memiliki kedudukan atau jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan islam
seperti diatas.
Ketiganya, sumber daya manusia para
pengelola dan pelaksana pendidikan dilembaga pendidikan islam yang terdiri dari
guru dan tenaga administrasi perlu ditingakatkan. Tenaga guru dari segi jumlah
dan perofesional masih kurang. Guru bidang studi umum ( matematika, IPA,
biologi, kimia, dll) masih belum memcukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap
outpunya.
Berdasarkan beberapa kajian tersebut
diatas maka dapat dikatakan bahwa peran pendidikan islam adalah sangat luas,
kompleks dan komperhensif. Peran pendidikan Islam dapat diwujudkan dalam bentuk
sebagi berkut:
a. Peran akademik, pendidikan islam harus
memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik
khususnya dalam penegmbangan potensi atau kualitas akademis yang meliputi:
1. Kemampuan untuk menegtahui
2. Kemampuan untuk memahami
3. Kemampuan untuk menerapkan teori
4. Kemampuan untuk menganalisis
5. Kemampuan untuk melakukan sintesa
6. Kemanpuan untuk melakukan evaluasi.
b. Peran moral, pendidikan islam harus
memiliki kemampuan untuk membimbing, melatik kualitas moral peserta didik ynag
meliputi affektif yaitu recaiving, responding, organiting, valuing dan value
compleks.
c. Peran teknologis, yaitu pendidikan islam
harus memilki kemampuan untuk melahirkan peserta didik yang mampu menggunakan
atau manfaat teknologi sabagai sarana untuk me;ahirkan ketenangan,
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat.
d. Peran sosiologis yaitu pendidikan islam
harus memiliki kemampuan melatih, membibimbing peserta didik yang memiliki
hubungan atau perilaku denga sesama manusia secara baik, toleran saling
menghargai sesama manusia.
e. Peran psikologis, yaitu pendidikan islam
harus memiliki kemampuan untuk melahirkan sikap dan kepribadian yang utuh dan
komprehensif sehingga terwujud personifikasi individu yang baik.[10]
Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam Menduduki
posisi strategis dan vitas. Pendidik yang terlibat secara fisik dan emosional
dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung ataupun tidak akan
memberi warna tersendiri terhadap corak dan model sumber daya manusia yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, disamping sangat menghargai posisi strategi
pendidik, Islam telah menggariskan fungsi, peranan dan criteria seorang
pendidik.
Menurut
Zuhairini, dkk dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat
penting, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan
tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang
berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas
mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi
dari pada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan sebagai
pendidik. Hal ini didasarkan pada surat Al-Mujadalah (58) ayat 11:
يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Sebagai
pengembang fitrah kemanusiaan anak atau peserta didik, maka pendidik harus
memiliki nilai lebih atau nilai plus di banding si terdidik. Tanpa memiliki
nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta
didik, sebab itu akan kehilangan arah, tidak tahu arah kemana fitrah anak didik
dikembangkan, serta daya dukung apa yang dapat digunakan. Nilai lebih yang
harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu
pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang di dasarkan nilai-nilai ajaran
Islam.
Agar dapat
melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam dengan baik, Mohamad
Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat dan /atau yang harus dimiliki
oleh pendidik Islam, yaitu:
1. Bersifat Zuhud,
dalam arti tidak mengutamakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya,
namun lebih mementingkan perolehan keridlaan Allah.
2. Berjiwa bersih
dan terhindar dari sifat/akhlak buruk, dalam arti bersih secara fisik/jasmani
dan bersih secara mental/rohani, sehingga dengan sendirinya terhindar dari
sifat/perilaku buruk.
3. Bersikap ikhlas
dalam melaksanakan tugas mendidik. Hamper sama dengan zuhud, tetapi ikhlas
dalam hal ini lebih diperluas. Makna ikhlas dalam kaitan ini termasuk pula
sikap terbuka, mau menerima saran dan kritik tidak terkecuali dari peserta
didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara guru dan murid
bagaikan interaksi antar sesama subyek.
4. Bersifat
pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh dinamika.
5. Bersifat
kebapaan dan keibuan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung
yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka.
6. Berkemampuan
memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik, khususnya pendidik Islam disini
tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan psikologi. Agar mampumemahami
tabiat, watak, pertumbuhan dan perkembanagn peserta didik sebagai landasan
dasar pengembangan potensi mereka.
7. Menguasai
bidang studi/bidang pengetahuan yang akan dikembangkan atau diajarkan.
Sifat dan
kemampuanyang dipersyaratkan kepada pendidik Islam sebagaimana dirumuskan
diatas, hanyalah sebagian dari sekian banyak sifat dan kemampuan yang harus
dimiliki agar fungsi dan peranan
pendidik Islam dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan
tuntutan dan tuntutan ajaran Islam serta perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dunia kependidikan Islam. Sifat dan kemampuan lain, misalnya pendidik
Islam harus bersifat kreatif, keteladanan, bertanggung jawab dan sebagainya.
Pendidik
seharusnya mempunyai kreatifitsnya, karena peserta didik dengan fitrahnya
memiliki model kreatif yang siap berkembang, tanpa di imbangi dan di tuntun
dengan sifat dan sikap kreatif tinggi dari pendidik/guru, maka modal kreatif
anak didik tidak akan berkembang maksimal.
Pendidikan pada
hakikatnya juga proses alih budaya, pemindahan pengetahuan, pengalaman,
keterampilan dan kepribadian/tingkah laku, dimana di dalamnya termuat proses
peniruan anak didik terhadap orag-orang di sekitarnya, khususnya para pendidik
mereka. Agar proses peniruan tersebut bermakna positif, maka guru sebagai objek
sekaligus subjek tiruan anak harus memberikan keteladanan, baik keteladanan
dalam perilaku pergaulan dan peribadatan/pengabdian maupun keteladanan dalam
menghargai, mencintai dan berikhtiar menguasai pengetahuan dan keterampilan.
Nabi Muhammad SAW sebagai seorang guru/pendidik umat manusia telah memposisikan
dirinya sebagai teladan. Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang
agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan
kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya
pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu
para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga
memposisikan diri sebagai teladan.
Tugas membina
dan mengembangkan fitrah peserta didik pada hakikatnya tugas membina dan
mengembangkan diri manusia dengan segala potensinya, kebebasannya, kreativitas
dan dinamikanya, sehingga bila tidak disertai dengan sikap tanggung jawab
pendidik membawa mereka secara konsisten ke sasaran/tujuan yang telah
ditentukan, kemungkinan terjadinya salah didik, salah arah dan penyimpangan
sangat berat dan itu sangat berbahaya. Lain halnya dengan binatang yang
bersifat pasif, tidak memiliki potensi dan sejenisnya, kalaupun terjadi salah
arah, tidak akan melampaui batas yang sangat berlebihan.
Disisi lain,
salah satu dari muatan materi pendidikan Islam itu adalah penanaman sifat dan
sikap tanggung jawab peserta didik. Oleh karena itu, sangat mustahil sifat dan
sikap tanggung jawab itu dapat di alihkan, diwariskan atau ditanamkan kepada
peserta didik jika dilakukan oleh seorang pendidik yang tidak/kurang memiliki
sikap tanggung jawab
Pendidikan
Islam sebagai sebuah ikhtiar bermakna kumpulan aktivitas/perilaku, termasuk
perilaku pendidik. Dalam Islam, setiap perilaku mengandung konsekuensi
pertanggungjawaban kepada berbagai pihak, khususnya kepada Allah SWT. Perilaku
mendidik yang diperankan oleh para pendidik Islam secara otomatis harus
dipertanggungjawabkan. Karena itu dalam pelaksanaannya harus disertai sikap
tanggung jawab.
Dengan
terpenuhinya berbagai criteria teknis dan moral yang dipersyaratkan ajaran
Islam, diharapkan para pendidik Islam mampu melaksanakan fungsi dan peranan
kependidikannya, sehingga berhasil membawa peserta didik mencapai tujuan
ideal/tujuan akhir pendidikan Islam, kesejahteraan hidup di dunia dan di
akhirat.[11]
Sebenarnya bila diteliti lebih lanjut bahwa masyarakat
Indonesia sembilan puluh persen beragama islam yang lainnya beragama kristen,
hindu, budha, dll. Kemudian sudah mengeyam pendidikan madrasah ataupun
pendidikan yang lebih tinggi yang berbasis agama islam tetapi dari diri
mereka sendiri belum mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan, padahal bila
pendidikan agama islam diterapkan pada kehidupan saat ini, mungkin negara akan
menjadi tentram dan sesuai dengan apa yang telah diharapkan selama ini.
Indonesia mempunyai sumber hukum pancasila dan UUD 1945 tidak seperti di
negara Saudi Arabia yang berlandaskan hukum alqur’an, sehingga negara Indonesia
belum bisa dikatakan negara islami. Jadi, dapat dimaklumi apabila masyarakatnya
masih banyak yang tidak sejalan dengan ajaran agama karena perbedaan agama
ataupun orang yang beragama islam yang terpangaruh dan mengikuti kebiasaan
buruk mereka seperti: perilaku, model baju,dll. Sehingga dapat menggoyahkan
pendirian mereka seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman.[12]
Peran pendidikan agama islam di era gobalisasi ini mempunyai beberapa
bentuk yaitu:
1)
Sebagai penunjuk jalan yang
benar. Tanpa adanya agama manusia tidak mempunyai pendirian yang
teguh,tidak mempunyai aturan. Karena agama merupakan
sebuah kepercayaan yang harus dianut seseorang untuk menentukan arah tujuan
hidup orang tersebut.
2) Menciptakan budi pekerti
yang luhur, dengan adanya akhlaqul karimah hubungan manusia satu dengan lainnya
akan terjalin dengan baik, berbudi pekerti yang luhur juga sudah di cuntohkan
oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Karena saat ini sangat dibutuhkan agar
agama islam tidak meniru kepribadian negara barat yang melenceng dari agama
islam.
3) Dapat memanfaatkan kekuatan teknologi sebagaimana mestinya, teknologi
adalah segalanya bagi kita, dengan adanya teknologi akan melepaskan diri
dari bentuk penindasan oleh orang yang kuat terhadap orang yang lemah,
membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan serta keterbelakangan.Tetapi bila
terjadi kesalahan penggunaan teknologi maka dapat mencemarkan akhlaq, tidak
dapat berkonsentrasi penuh dalam menerima ilmu, waktu digunakan dengan sesuatu
yang tidak bermanfaat.
4) Untuk menjadikan filter
bagi kebudayaan asing malalui nilai-nilai dan norma yang ada. Semua pikiran,
perilaku,budaya serta norma-norma kita tidak harus berkiblat kepada mereka walaupun perubahan-perubahan itu juga dari negara asing. Resiko bila
tidak mengikuti trend, bisa dikatakan “ ndeso”, “kampungan”, tetapi
kenyataannya tradisi dan kebudayaan yang berasal dari negara asing
tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Seperti, berpakaian yang
mengundang syahwat, minum-minuman yang beralkohol,dll. Alanglkah baiknya bila
kita meniru yang baik saja dan meninggalkan yang jelek.
5) Menghormati dan mengakui agama lain yang biasa disebut dengan pluralisme
agama, menghormati perbedaan pendapat harus kita terima, karena akan menjalin
ikatan yang baik antar umat dan bila tidak terjalin hubungan baik maka
tujuan negara tidak akan tercapai yakni terciptanya perdamaian abadi antar
Negara. Oleh karena itu, agar tercapai tujuan dari negara kita dituntut
untuk toleransi terhadap agam lain.[13]
Dari kelima peran tadi, dapat
dsimpulkan bahwa pendidikan agama islam bisa dijadikan tolak ukur untuk
mengubah kesan negatif pada zaman modern yang mengorak-abrik moral bangsa dan
apabila pendidikan agama islam ini benar-benar di pelajari lebih mendalam lagi
dan diamalkannya maka akan memberikan kesan positif bagi negara dan agama
islam. Serta menjadikan anak -anak penerus bangsa yang brintelektual
tinggi dan berakhlaq mulia tanpa mencemaskan situasi dan kondisi yang memburuk.
Selain itu, negara lain akan tertarik dengan bentuk- bentuk kita dalam
menyikapi problem tantangan global, dan akan mengikiti apa yang telah dilakukan
oleh negara kita.
Oleh karenanya, negara harus ditata sedemikian rupa agar tidak terkalahkan
oleh tantangan zaman modern. kemudian tumbuhkanlah semangat anak-anak bangsa
dan janganlah berputus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi negara.
Apabila kita simak masalah pendidikan Islam di dalam kerangka
reformasi pendidikan nasional, maka perlu kita lihat makna pendidikan Islam di
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Mencari paradigma baru pendidikan Islam
perlu mengetahui eksistensi pendidikan Islam di dalam sejarah kehidupan
berbangsa kita pada masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Dalam rangka
inilah kita coba menggali nilai-nilai luhur yang di sandang oleh pendidikan
Islam sehingga di dalam usaha untuk menentukan posisi dan fungsi pendidikan
Islam dalam masyarakat Indonesia baru dapat ditentukan peranannya di dalam
penyusunan suatu system pendidikan nasional yang baru.
Apabila kita lihat sejarah kehidupan
bangsa Indonesia, pendidikan Islam telah berhasil survive di dalam
berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa. Oleh sebab itu dia menyandang
berbagai jenis nilai luhur sebagai berikut:
1.
Nilai Historis, Pendidikan Islam telah survive baik pada masa
colonial, pada masa jepang, maupun di dalam kehidupan bangsa kita sejak
proklamasi kemerdekaan. Pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai-nilai yang
sangat besar di dalam kesinambungan hidup bangsa, di dalam kehidupan bermasyarakat,
di dalam perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Di dalam invasi
kebudayaan barat, pendidikan Islam telah menunjukkan ketahanujiannyasehingga
tetap survive menghadapi terpaan kolonialisme.
2.
Nilai Religius, Pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya
telah memberikan dan mengembangkan nilai-nilai Agama Islam sebagai salah
satu nilai budaya masyarakat Indonesia.
3.
Nilai Moral, Pendidikan Islam tidak dapat diragukan sebagai
pusat-pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan
Agama Islam. Sekolah-sekolah madrasah, pesantren-pesantren, bukan hanya
berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tetapi juga sebagai pusat-pusat atau
benteng moral dari kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.
Keseluruhan
nilai-nilai tersebut diatas merupakan kekuatan budaya yang kokoh di dalam
membangun ketahanan kehidupan bermasyarakat bahkan ketahanan kehidupan nasional
bangsa Indonesia.[14]
IV.
REVIEW PRESENTASI
Season
pertanyaan :
1.
Yeni Fahris Millati (112167) : dalam halaman 14, terdapat berbagai
problem pendidikan. Bagaimana menurut pemakalah mengatasi problem tersebut?
2.
Innayatul Hidayah (112172) : menurut versi pemakalah, apa yang
dimaksud dengan keberagamaan?
3.
Mustaghfirotun (112173) : pelajaran Pendidikan Agama Islam sudah
diterapkan diberbagai sekolah tetapi sering dipandang sebelah mata dengan
pendidikan umum. Bagaimana pemakalah menanggapi?
Jawaban
:
1.
Menurut Endang Komara, tiga
pokok permasalahan pendidikan Islam di Indonesia melahirkan beberapa problem
seperti structural, cultural, dan sumber daya manusia. Menanggapi hal tersebut,
pemakalah membahas yang pertama yakni structural. Dimana pendidikan negeri berada langsung dibawah control dan
kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan pendidikan
Islam seakan di nomor duakan oleh pemerintah setempat. Sehubungan dengan hal
tersebut, perlu adanya pengkajian secara cermat dan arif yang melahirkan
kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan
juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua cultural, dimana masyarakat lebih dominan pada pendidikan
umum dibandingkan pendidikan agama. Menurut mereka pendidikan agama tidak
terlalu member bekal kelak ketika anaknya lulus, tetapi apabila pada pendidikan
umum pasti sudah berpengalaman kerja seperti adanya PPL, sehingga hal tersebut
dianggap member bekal kelak ketika lulus sekolah langsung bisa bekerja. Hal ini
karena adanya pemikiran yang pragmatis di kalangan orang-orang terdekat,
tentunya masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu, setidaknya diadakan program
sekolah parent day yaitu hari dimana di khususkan untuk pembinaan terhadap
orang tua wali atau semacam seminar wali murid untuk memberi pengetahuan mereka
tentang pentingnya pendidikan agama bagi anak sedini mungkin. Dengan
menguatkannya di datangkanlah nara sumber yang ahli dalam bidang tersebut.
Ketiga adalah sumber daya manusia, perlu adanya peningkatan dalam para pengelola
dan pelaksana pendidikan di pendidikan islam yang terdiri dari guru, dan tenaga
administrasi. Banyak manusia yang lebih memilih mengelola pada pendidikan
negeri dari pada menjadi pengelola pendidik islam, seperti halnya guru TPQ
dianggap rendah karena dilihat dari segi upahnya. Padahal di balik itu semuanya
terdapat pahala yang sangat besar. Hal ini perlu kesadaran dari sumber daya
manusia akan pengetahuan tentang pahala mengamalkan pengetahuan pada sesama
manusia.
2.
Keberagamaan menurut pemakalah adalah ajaran-ajaran atau
pedoman-pedoman yang terdapat dalam masing-masing agama di implikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat yang sifatnya heterogen, serta bagaimana kita menyikapi
dan berinteraksi dengan baik yang sudah diatur dalam ajaran-ajaran agama.
3.
Jika dilihat pada pendidikan yang diutamakan adalah mata pelajaran
Ujian Nasional. Sehingga yang diperdalam adalah mata pelajaran yang diujikan.
Adapun tentang pelajaran agama juga diujikan tetapi tidak mendominasi pada
nilai kelulusan, sehingga tidak sedalam pengetahuan umum yang dipelajari.
Apabila pengetahuan pendidikan agama juga didalami sebagaimana pengetahuan
umum, maka pendidikan agama tidak dipandang sebelah mata.
V.
KESIMPULAN
1.
Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang
dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan
dengan lancar. Pendidikan agama Islam
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan
kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek
terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian
anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam itu
sendiri.
2.
Peran Pendidikan Islam dapat di wujudkan dalam bentuk sebagai
berikut:
a)
Peran Akademik
b)
Peran moral
c)
Peran teknologi
d)
Peran sosiologis
e)
Peran psikologis
VI.
PENUTUP
Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan.
Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim
penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk
memotifasi makalah kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila
terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat
bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.
DAFTAR
PUSTAKA
Pedoman Umum PAI di Sekolah Umum Tingkat Menengah dan Sekolah Luar
Biasa, Departemen
Agama, 2003
Dr. Abdul
Mujib, M.Ag, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,Kencana Prenada Media, Jakarta,
2006
Drs. HM. Chabib
Thoha, MA., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta, 1996
H. Ahmad
Syar’I, M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005
Prof. Dr. H.AR.
Tilaar, M.Sc. Ed.,Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta,
Jakarta, 2002
Dra. Hj. Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, 2000
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar
Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997
M. Saekhan
Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros,
Kudus, 2009
Prof. Dr. Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Ngalim Purwanto,
Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung : 2000
[1]
Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta,
hal.10
[2] Hj.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung,
hal. 9
[3] HM.
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta, 1996, hal. 59
[4]
Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta,
2006, hal. 68
[6] . Dr. Zakiah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara,
Jakarta: 13220. Hal 29
[7]
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja
Rosdakarya, Bandung : 2000, hal. 36
[8]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,
hal. 30
[9]Pedoman
Umum PAI di Sekolah Umum dan Tingkat Menengah dan Sekolah Luar Biasa, Departemen
Agama, 2003, hal. 5
[10] M.
Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku
Daros, Kudus, 2009, hal. 39-45
[11]
Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2005, hal.35
[12]
Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004,
hal. 29
[13]
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta: 1997, hal
32
[14]
H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,
2002, hal. 77
No comments:
Post a Comment