Sunday, March 6, 2016

makalah pendidikan islam dalam struktur keberagamaan


I.     PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai proses atau upaya untuk membimbing, membina, mendewasakan, memperbaiki sikap yang buruk menjadi sikap baik, merubah hal yang negative menjadi hal yang positif, dan juga membentuk kepribadian yang baik. Dan semua hal tersebut da dasarkan pada ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhoh, dan tadris. Menurut ulama’ tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani). Kepada peserta didik agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur”. Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan yang sulit.[1]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba; pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hokum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah “kepribadian muslim”, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam. Memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam. Dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.[2]
Dalam hal ini pemakalah akan membahas dan menjelaskan mengenai peran dan fungsi Pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan.

II.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana fungsi pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan?
2.      Bagaimana peran pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan?

III.             PEMBAHASAN
A.    Fungsi pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan
Ditinjau dari sudut pandangan sosiologi dan antropologi, fungsi utama pendidikan  untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik. Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional. Akan tetapi menyangkut masalah penghayatan dan pemakaman yang lebih bersifat efektif  dari pada kognitif.
Untuk mencapai tujuan menjadikan manusia, dibutuhkan materi pendidikan yang baik, strategi, pendekatan, metode dan teknik belajar mengajar yang baik pula.
Persoalan menjadikan manusia baik tidak hanya menjadi persoalan pendidikan, melainkan hanya menjadi tanggung jawab semua jenis pendidikan, baik pendidikan rasional, teknologi, ekonomi maupun pendidikan jasmaniah.
Kewajiban mengimplikasikan nilai dalam semua jenis pendidikan, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia baik. Sehingga menjadikan IPTEK harus mampu melahirkan cendekiawan, ilmuwan dan teknokrat yang ahli dalam bidang masing-masing sekaligus peduli terhadap tata nilai yang hidup dalam kenyataan masyarakat sekitar, memiliki tanggung jawab social, dan landasan kepribadian yang kuat.
Namun pendidikan yang berwawasan nilai tidak harus mengorbankan kreativitas rasional dan ketrampilan tinggi bagi peserta didik, yang terjadi sebaliknya, pendidikan nilai dapat mempergunakan pendekatan rasional ilmiah.
Membahas mengenai nilai, termasuk nilai kemanusiaan dan ke-Tuhan-an tidak sederhana. Sebab selain pendekataan yang digunakan menggunakan pendekataan rasional dan efektif, juga didasarkan atas tata nilai yang bersifat normative. Disamping itu arti baik itu sendiri sangat bervariasi sesuai dengan konteks kalimat dan sifat objek yang dijelaskan.
Tujuan yang baik, tidak sama pengertiannya dengan materi yang baik, dan manusia yang baik. Manusia yang baik adalah menusia yang memiliki kepribadian utama; tujuan yang baik adalah tujuan yang dapat dijangkau, dan memiliki dimensi yang luas. Adapun materi yang baik adalah materi yang sesuai dengan pemikiran peserta didik.[3]
Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat structural dan institusional.
Arti dan tujuan struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertical maupun segi horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional ( saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung kearah tingkat kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal, imformal dalam masyarakat.
Menurut Kursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.      Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
2.      Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan social dan ekonomi.[4]
Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam itu sendiri.
Aspek pertama dari pendidikan Islam adalah yang ditujukan pada jiwa atau pembentukan kepribadian, Artinya bahwa melalui pendidikan agama Islam ini anak didik diberikan keyakinan tentang adanya Allah swt.
Aspek kedua dari pendidikan Agama Islam adalah yang ditujukan kepada aspek pikiran (intelektualitas), yaitu pengajaran Agama Islam itu sendiri. Artinya, bahwa kepercayaan kepada Allah swt, beserta seluruh ciptaan-Nya tidak akan sempurna manakala isi, makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaran-Nya) tidak dimengerti dan dipahami secara benar. Di sini anak didik tidak hanya sekedar diinformasikan tentang perintah dan larangan, akan tetapi justru pada pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta argumentasinya yang dapat diyakini dan diterima oleh akal.[5]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan tertinggi pendidikan islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan tetapi hendaklah mengacu kepada konseptualisasi manusia paripuma (insan kamil ) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan islam.
Pendidikan islam itu berlangsung selam hidup, maka tujuan akhirnya pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertamah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mmpengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.[6]
Fungsi pendidikan Agama Islam di sini dapat menjadi inspirasi dan pemberi kekuatan mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit gangguan jiwa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Agama Islam adalah:
1)      Memperkenalkan dan mendidik anak didik agar meyakini ke-Esaan Allah swt,  pencipta semesta alam beserta seluruh isinya; biasanya dimulai dengan menuntunnya mengucapkan lailahaillallah.
2)      Memperkenalkan kepada anak didik apa dan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang (hukum halal dan haram).
3)      Menyuruh anak agar sejak dini dapat melaksanakan ibadah, baik ibadah yang menyangkut hablumminallah maupun ibadah yang menyangkut hablumminannas.
4)      Mendidik anak didik agar mencintai Rasulullah saw, mencintai ahlu baitnya dan cinta membaca al-Qur’an.
5)      Mendidik anak didik agar taat dan hormat kepada orang tua dan serta tidak merusak lingkungannya.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk
1)      Pertama, Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2)       Kedua, Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
Maka dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam secara mikro adalah proses penanaman nilai-nilai ilahiah pada diri anak didik, sehingga mereka mampu mengaktualisasikan dirinya semaksimal mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip religius. Secara makro pendidikan Islam berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya danidentitas suatu komunitas yang didalamnya manusia melakukan interaksi dansaling mempengaruhi antara satu dengan yang lain[7].
Dengan pengertian pendidikan islam seperti tersebut di atas fungsi pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya. (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan islam.
Untuk memperjelas fungsi pendidikan islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
Fenomena tersebut dapat ditelusuri melaui kajian antropologi budaya dan sosiologi yang menunjukakan bahwa peradaban masyarakat manusia dari masa ke masa semakin berkembang maju. Kemajuan itu diperoleh melalui interaksi komunikasi sosialnya. Semakin intens interaksi sosialnya semakin cepat pula perkembangannya. Itulah sebabnya suku terasing lambat sekali erkembangan peradabannya.
Kedalaman dan keluasan interaksi manusia semakin bertambah dengan semakin berkembangnya teknologi informasi : radio,televisi,surat kabar,dan lain-lain. Aneka ragam informasi dapat diterima dalam sesaat sehingga wawasan manusia semakin luas baik mengenai peristiwa-peristiwa alam maupun manusia Dengan segala kompleksitas masalahnya. Semakin luas wawasan seseorang semakin maju pula pemikirannya. Seiring dengan kemajuan pemikirannya berkembang pula kreativitasnya untuk mencipta berbagai perangkat kehidupan untuk memenuhi hajat hidupnya.
Demikianlah masyarakat manusia berkembang dari masyarakat primitif sampai ke masyarakat modern. Kita dapat membandingkan pola pikir dan tingkah laku masyarakat primitif dan modern dalam mengatasi problem kehidupnnya. Masyarakat primitif, dengan wawasannya yang sangat terbtas baik mengenai dirinya maupun alam sekitarnya, sangat terbatas pula kreativitasnya. Sebaliknya, masyarakat modern, karena wawasannya semakin luas maka semakin tinggi pula kreativitasnya.
Aneka ragan informasi akan tetap merupakan informasi tanpa makna bila manusia tidak mampu menganalisisnya, mengabstraksikan dan menemukan hubungannya yang unik dan menjadikannya sebagai wawasan yang tepat. Untuk itu diperlukan pendidikan yang dapat membntu menumbuh kembangkan berbagai kemampuan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiolagi,fungsi pendidikan  yang  pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan mambaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan kehidupannya dan membangun lingkungannya.
Interaksi manusia dapat berlangsung secara harmonis karena ada nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati bersama, antara lain kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling hormat-menghormati dan lain sebagainya. dapat dibayangkan, bahkan sudah terjadi dalam kehidupan manusia sejak tempo dulu sampai dewasa ini, kehidupan manusia akan sengsara dan menyengsarakan apabila nilai-nilai tersebut dilanggar.
Untuk dapat mengaktualisasikan atau mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan dipelukan kemauan moral. untuk menumbuhkan kemauan moral diperlukan penghayatan dan untuk menghayati nilai-nilai moral diperlukan pemahaman. proses pemahaman, penghayatan dan pengalaman nilai-nilai tersebut disebut pendidikan. dengn perkataan lain, pendidikan ialah upaya untuk  mengenternalisasikan dan mentrasformasikan nilai-nilai insani dalam kehidupan. nilai-nilai inilah yang akan menuntun wawasan dan kreativitas manusia secara tepat dan bermakna bagi hidup dan kehidupan, baik individu maupun sosial.
Di samping nilai-nilai yang ingin ditransformasikan dari generasi ke generasi, sudah menjadi naluri bahwa manusia ingin mempertahankan hidupnya maupun generasinya. untuk itu mereka berusaha mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada generasi berikutnya lewat pendidikan. kenyataan menunjukkan bahwa generasi berikutnya memiliki semakin banyak pengetahuan dan keterampilan dan sebelumnya belum banyak diketahui.
Semakin luas wawasan masyarakat manusia terhadap dirinya dan alam sekitarnya, semakin banyak hal yang ingin diketahuinya. lewat pendidikan, kecenderungan (fitrah) ingin tahu itu dilayani dan dibimbing sehingga muncullah berbagai ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya masih tersembunyi. dengan demikian pendidikan berfungsi sebagai kunci pembuka jalan yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan. tanpa pendidikan semua tidak akan terjadi.
Dari pengertian pendidikan Islam di atas fungsi pendidikan Islam dapat berarti memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.
Ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiologi, fungsi pendidikan yang pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan membaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan kedidupannya dan membangun lingkungannya.
Dari kajian antropologi dan sosiologi secara sekilas diatas dapat kita ketahui adanya tiga fungsi pendidikan;
1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produkstivitas.
2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberdaannya, baik secara individual maupun sosial, lebih bermakna.
3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial.
      Apabila dari kajian antropologi dan sosiologi tersebut dikembalikan pada sudut pandang Al-Qr’an sebagai sumber utama pendidikan Islam, maka fungsi pertama dan terutama pendidikan Islam adalah memberikan kemampuan membaa (iqra’) pada peserta didik.
Dengan menegembalikan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam ialah :
1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumguh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada tuhan “pencipta”.
2. Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial.[8]

Pendidikan Agama Islam di sekolah berfungsi:
1.      Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam kelingkungan keluarga. Pada dasarnya usaha menanamkan keimanan dan ketaqwaan menjadi tanggung jawab setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan kemempuan yang ada pada diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2.      Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus dibidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.
3.      Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negative dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
5.      Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social dan dapat mengubah lingkungannyasesuai dengan ajaran agama Islam.
6.      Sumber nilai, yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[9]
B.     Peran pendidikan Islam dalam struktur keberagamaan
Menurut penulis, peran adalah konstribusi sesuatu yang dapat diberikan kepada yang lain baik konstribusi positif maupun negatif. Peran pendidikan Islam memiliki makna konstribusi pendidikan islam yang dapat diberikan ada aspek yang lainnya yang bersifat positif. Karena pendidikan harus diarahkan untuk mencapai atau memberi sesuatu yang positif. Jika peran tersebut bersifat negatif maka tidak dapat dikatakan sebagai pendidikan islam. Peran dalam pendidikan islam seharusnya memiliki peran beberapa kategori yaitu antara lain;
a.       Bersifat positif, yaitu peran atau konstribusi yang diberikan oleh pendidikan islam harus positif bagi kehidupan peserta didik maupun masyarakat.
b.      Terencana yaitu peran atau konstribusi yang diberikan islam harus didesain atau direncan secara matang, cermat melalui rencana pembelajaran.
c.       Disadari, yaitu peran atau konstribusi pendidikan islam harus benar-benar disadari oleh pelaksanaan pendidikan islam.
Berbicara pendidikan islam diawali dari asumsi terhadap agama islam. Diakui atau agama baik dari aspek teologis maupun sosiologis, dipandang sebagai instrumen untuk memehami realitas yang ada disekitar kehidupan manusia baik yang menyangkut kualitas dirinya sendiri maupun kualitas hubungan pribadi dengan lingkungannya.
Dari aspek teologis, agama islam memiliki kandungan simbol-simbol yang hadir dimana-mana, simbol tersebut ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, maka islam tidak mau pasti akan memiliki pengaruh dalam arti dipengaruhi atau mempengaruhi dianmika kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Secara teologis islam lebih dipahami sebagai digma ketimbangan sebagai ilmu pengetuahuan (sience), implikasi islam lebih bersifat sakral, tertutup dan dianggap sudah final. Memahami islam sebagai dogma memang menjadi salah satu persyaratan bagi setiap pemeluk agama, tetapi jika hanya dipahami sebatas dogma maka islam akan mengalami kemandegkan. Pemahaman islam sebagai dogma akan mudah melahirkan ketegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu islam juga harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan agar islam bisa menjawab  berbagai tantangan kehidupan masyarakat. Islam sebagi ilmu pengetahuan dapat juga diartikan islam secara sosilogis. Yaitu bagaimana mengurai atau menjelaskan islam dari berbagai aspek kedupan yang melingkupi pemeluknya.
Dalam konteks ini, Endang Komara dalam makalahnya pendidikan islam dan globalisasi, memjelaskan bahwa, pada dasarnya ada tida aliran besar dalam memandang islam
a.       Prespektif  mekanik holistik, yang memposisikan hubungan antara aganma dan persoalan kemasyarakatan sebagi sesuatu yang tak terpisahkan
b.      Pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara stu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan.
c.       Pandangan tengah yang mencoba mengintregasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antra agama dengan persoalan kemasyaraatan.
Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik holistik dan intitusioanal, didalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fack) bahwa antar keduannya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada dalam kadar dan intensitas yang tidak sam serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substansif.
Pendidikan islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memehami hakikat pendidikan islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut islam.
Lebih lanjut Endang Komara menjelaskan bahwa berpedonam ruang lingkup pendidikan islam yang ingin dicapai, maka kurukulum pendidikan islam itu beroriantasi kepada tiaga hal yaitu:
a.       Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
b.      Tercapainya tujuan hablum manannas(hubungan dengan manusia)
c.       Tercapainya tujuan hablum minal’lam(hubungan dengan alam).
Para ahli pendidikan islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al- jamali, as-syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan islam yang pada prinsipnya tetap beroriantasi kepada ketiga komponen tersebut.
Dalam Endang Komara, ketiga permaslahan pokok pendidikan islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kultural dan sumber daya manusia, probelm itu dapat diurai sebagai berikut:
Pertama, secara stuktural lembaga-lembaga pendidikan islam negeri berada langsung dibawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbula dalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatsnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost persiswa atau mahsiswa. Sehubungan dengan hal itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan islam terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggap segi lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhhi masyarakat muslim untuk memasukan anaknya kelembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan islam tersebut sebagai pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, saran dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan atau jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan islam seperti diatas.
Ketiganya, sumber daya manusia para pengelola dan pelaksana pendidikan dilembaga pendidikan islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingakatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan perofesional masih kurang. Guru bidang studi umum ( matematika, IPA, biologi, kimia, dll) masih belum memcukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap outpunya.
Berdasarkan beberapa kajian tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa peran pendidikan islam adalah sangat luas, kompleks dan komperhensif. Peran pendidikan Islam dapat diwujudkan dalam bentuk sebagi berkut:
a.       Peran akademik, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik khususnya dalam penegmbangan potensi atau kualitas akademis yang meliputi:
1.      Kemampuan untuk menegtahui
2.      Kemampuan untuk memahami
3.      Kemampuan untuk menerapkan teori
4.      Kemampuan untuk menganalisis
5.      Kemampuan untuk melakukan sintesa
6.      Kemanpuan untuk melakukan evaluasi.
b.      Peran moral, pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk membimbing, melatik kualitas moral peserta didik ynag meliputi affektif yaitu recaiving, responding, organiting, valuing dan value compleks.
c.       Peran teknologis, yaitu pendidikan islam harus memilki kemampuan untuk melahirkan peserta didik yang mampu menggunakan atau manfaat teknologi sabagai sarana untuk me;ahirkan ketenangan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat.
d.      Peran sosiologis yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan melatih, membibimbing peserta didik yang memiliki hubungan atau perilaku denga sesama manusia secara baik, toleran saling menghargai sesama manusia.
e.       Peran psikologis, yaitu pendidikan islam harus memiliki kemampuan untuk melahirkan sikap dan kepribadian yang utuh dan komprehensif sehingga terwujud personifikasi individu yang baik.[10]

Fungsi dan peranan pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan Islam Menduduki posisi strategis dan vitas. Pendidik yang terlibat secara fisik dan emosional dalam proses pengembangan fitrah manusia didik baik langsung ataupun tidak akan memberi warna tersendiri terhadap corak dan model sumber daya manusia yang dihasilkannya. Oleh karena itu, disamping sangat menghargai posisi strategi pendidik, Islam telah menggariskan fungsi, peranan dan criteria seorang pendidik.
Menurut Zuhairini, dkk dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan sebagai pendidik. Hal ini didasarkan pada surat Al-Mujadalah (58) ayat 11:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Sebagai pengembang fitrah kemanusiaan anak atau peserta didik, maka pendidik harus memiliki nilai lebih atau nilai plus di banding si terdidik. Tanpa memiliki nilai lebih, sulit bagi pendidik untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik, sebab itu akan kehilangan arah, tidak tahu arah kemana fitrah anak didik dikembangkan, serta daya dukung apa yang dapat digunakan. Nilai lebih yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam mencakup 3 hal pokok, yaitu pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang di dasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Agar dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kependidikan Islam dengan baik, Mohamad Athiyah al-Abrosyi (1980) menyebutkan 7 sifat dan /atau yang harus dimiliki oleh pendidik Islam, yaitu:
1.      Bersifat Zuhud, dalam arti tidak mengutamakan kepentingan materi dalam pelaksanaan tugasnya, namun lebih mementingkan perolehan keridlaan Allah.
2.      Berjiwa bersih dan terhindar dari sifat/akhlak buruk, dalam arti bersih secara fisik/jasmani dan bersih secara mental/rohani, sehingga dengan sendirinya terhindar dari sifat/perilaku buruk.
3.      Bersikap ikhlas dalam melaksanakan tugas mendidik. Hamper sama dengan zuhud, tetapi ikhlas dalam hal ini lebih diperluas. Makna ikhlas dalam kaitan ini termasuk pula sikap terbuka, mau menerima saran dan kritik tidak terkecuali dari peserta didik sehingga dalam pembelajaran tercipta interaksi antara guru dan murid bagaikan interaksi antar sesama subyek.
4.      Bersifat pemaaf, peserta didik sebagai manusia berpotensi tentu penuh dinamika.
5.      Bersifat kebapaan dan keibuan, dalam arti ia harus memposisikan diri sebagai pelindung yang mencintai muridnya serta selalu memikirkan masa depan mereka.
6.      Berkemampuan memahami bakat, tabiat dan watak peserta didik, khususnya pendidik Islam disini tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan psikologi. Agar mampumemahami tabiat, watak, pertumbuhan dan perkembanagn peserta didik sebagai landasan dasar pengembangan potensi mereka.
7.      Menguasai bidang studi/bidang pengetahuan yang akan dikembangkan atau diajarkan.
Sifat dan kemampuanyang dipersyaratkan kepada pendidik Islam sebagaimana dirumuskan diatas, hanyalah sebagian dari sekian banyak sifat dan kemampuan yang harus dimiliki  agar fungsi dan peranan pendidik Islam dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan tuntutan ajaran Islam serta perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dunia kependidikan Islam. Sifat dan kemampuan lain, misalnya pendidik Islam harus bersifat kreatif, keteladanan, bertanggung jawab dan sebagainya.
Pendidik seharusnya mempunyai kreatifitsnya, karena peserta didik dengan fitrahnya memiliki model kreatif yang siap berkembang, tanpa di imbangi dan di tuntun dengan sifat dan sikap kreatif tinggi dari pendidik/guru, maka modal kreatif anak didik tidak akan berkembang maksimal.
Pendidikan pada hakikatnya juga proses alih budaya, pemindahan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kepribadian/tingkah laku, dimana di dalamnya termuat proses peniruan anak didik terhadap orag-orang di sekitarnya, khususnya para pendidik mereka. Agar proses peniruan tersebut bermakna positif, maka guru sebagai objek sekaligus subjek tiruan anak harus memberikan keteladanan, baik keteladanan dalam perilaku pergaulan dan peribadatan/pengabdian maupun keteladanan dalam menghargai, mencintai dan berikhtiar menguasai pengetahuan dan keterampilan. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang guru/pendidik umat manusia telah memposisikan dirinya sebagai teladan. Al-Qur’an telah melegitimasinya sebagai teladan yang agung dalam rangka melaksanakan misi/tugasnya mendidik manusia ke jalan kebenaran. Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَ ةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW itu terdapat teladan yang baik bagimu…”
Oleh karena itu para pendidik Islam sebagai pelanjut tugas Rasulullah SAW, seharusnya juga memposisikan diri sebagai teladan.
Tugas membina dan mengembangkan fitrah peserta didik pada hakikatnya tugas membina dan mengembangkan diri manusia dengan segala potensinya, kebebasannya, kreativitas dan dinamikanya, sehingga bila tidak disertai dengan sikap tanggung jawab pendidik membawa mereka secara konsisten ke sasaran/tujuan yang telah ditentukan, kemungkinan terjadinya salah didik, salah arah dan penyimpangan sangat berat dan itu sangat berbahaya. Lain halnya dengan binatang yang bersifat pasif, tidak memiliki potensi dan sejenisnya, kalaupun terjadi salah arah, tidak akan melampaui batas yang sangat berlebihan.
Disisi lain, salah satu dari muatan materi pendidikan Islam itu adalah penanaman sifat dan sikap tanggung jawab peserta didik. Oleh karena itu, sangat mustahil sifat dan sikap tanggung jawab itu dapat di alihkan, diwariskan atau ditanamkan kepada peserta didik jika dilakukan oleh seorang pendidik yang tidak/kurang memiliki sikap tanggung jawab
Pendidikan Islam sebagai sebuah ikhtiar bermakna kumpulan aktivitas/perilaku, termasuk perilaku pendidik. Dalam Islam, setiap perilaku mengandung konsekuensi pertanggungjawaban kepada berbagai pihak, khususnya kepada Allah SWT. Perilaku mendidik yang diperankan oleh para pendidik Islam secara otomatis harus dipertanggungjawabkan. Karena itu dalam pelaksanaannya harus disertai sikap tanggung jawab.
Dengan terpenuhinya berbagai criteria teknis dan moral yang dipersyaratkan ajaran Islam, diharapkan para pendidik Islam mampu melaksanakan fungsi dan peranan kependidikannya, sehingga berhasil membawa peserta didik mencapai tujuan ideal/tujuan akhir pendidikan Islam, kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.[11]
Sebenarnya bila diteliti lebih lanjut bahwa masyarakat Indonesia sembilan puluh persen beragama islam yang lainnya beragama kristen, hindu, budha, dll. Kemudian sudah mengeyam pendidikan madrasah ataupun pendidikan yang lebih  tinggi yang berbasis agama islam tetapi dari diri mereka sendiri belum mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan, padahal bila pendidikan agama islam diterapkan pada kehidupan saat ini, mungkin negara akan menjadi tentram dan sesuai dengan apa yang telah diharapkan selama ini.
Indonesia mempunyai sumber hukum pancasila dan UUD 1945 tidak seperti di negara Saudi Arabia yang berlandaskan hukum alqur’an, sehingga negara Indonesia belum bisa dikatakan negara islami. Jadi, dapat dimaklumi apabila masyarakatnya masih banyak yang tidak sejalan dengan ajaran agama karena perbedaan agama ataupun orang yang beragama islam yang terpangaruh dan mengikuti kebiasaan buruk mereka seperti: perilaku, model baju,dll. Sehingga dapat menggoyahkan pendirian mereka seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman.[12]
Peran  pendidikan agama islam di era gobalisasi ini mempunyai beberapa bentuk yaitu:
1)      Sebagai penunjuk jalan yang benar.  Tanpa adanya agama manusia tidak mempunyai pendirian yang teguh,tidak mempunyai aturan. Karena agama merupakan sebuah kepercayaan yang harus dianut seseorang untuk menentukan arah tujuan hidup orang tersebut.
2)      Menciptakan budi pekerti yang luhur, dengan adanya akhlaqul karimah hubungan manusia satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik, berbudi pekerti yang luhur juga sudah di cuntohkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Karena saat ini sangat dibutuhkan agar agama islam tidak meniru kepribadian negara barat yang melenceng dari agama islam.
3)      Dapat memanfaatkan kekuatan teknologi sebagaimana mestinya, teknologi adalah segalanya bagi kita, dengan adanya teknologi  akan melepaskan diri dari bentuk penindasan oleh orang yang kuat terhadap orang yang lemah, membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan serta keterbelakangan.Tetapi bila terjadi kesalahan penggunaan teknologi maka dapat mencemarkan akhlaq, tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam menerima ilmu, waktu digunakan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
4)      Untuk menjadikan filter bagi kebudayaan asing malalui nilai-nilai dan norma yang ada. Semua pikiran, perilaku,budaya serta norma-norma kita tidak harus berkiblat kepada mereka walaupun perubahan-perubahan itu juga dari negara asing. Resiko bila tidak mengikuti trend, bisa dikatakan “ ndeso”, “kampungan”, tetapi kenyataannya tradisi dan kebudayaan yang berasal dari negara asing tidak sesuai  dengan ajaran agama islam. Seperti, berpakaian  yang mengundang syahwat, minum-minuman yang beralkohol,dll. Alanglkah baiknya bila kita meniru yang baik saja dan meninggalkan yang jelek.
5)      Menghormati dan mengakui agama lain yang biasa disebut dengan pluralisme agama, menghormati perbedaan pendapat harus kita terima, karena akan menjalin ikatan yang baik antar umat dan bila tidak terjalin  hubungan baik maka tujuan negara tidak akan tercapai yakni terciptanya perdamaian abadi antar Negara.  Oleh karena itu, agar tercapai tujuan dari negara kita dituntut untuk toleransi terhadap agam lain.[13]
 Dari kelima peran tadi, dapat dsimpulkan bahwa pendidikan agama islam bisa dijadikan tolak ukur untuk mengubah kesan negatif pada zaman modern yang mengorak-abrik moral bangsa dan apabila pendidikan agama islam ini benar-benar di pelajari lebih mendalam lagi dan diamalkannya  maka akan memberikan kesan positif bagi negara dan agama islam. Serta menjadikan anak -anak penerus bangsa yang  brintelektual tinggi dan berakhlaq mulia tanpa mencemaskan situasi dan kondisi yang memburuk. Selain itu, negara lain akan tertarik dengan bentuk- bentuk kita dalam menyikapi problem tantangan global, dan akan mengikiti apa yang telah dilakukan oleh negara kita.
Oleh karenanya, negara harus ditata sedemikian rupa agar tidak terkalahkan oleh tantangan zaman modern. kemudian tumbuhkanlah semangat anak-anak bangsa dan janganlah berputus asa untuk mendapatkan yang terbaik bagi negara.
Apabila kita simak masalah pendidikan Islam di dalam kerangka reformasi pendidikan nasional, maka perlu kita lihat makna pendidikan Islam di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Mencari paradigma baru pendidikan Islam perlu mengetahui eksistensi pendidikan Islam di dalam sejarah kehidupan berbangsa kita pada masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Dalam rangka inilah kita coba menggali nilai-nilai luhur yang di sandang oleh pendidikan Islam sehingga di dalam usaha untuk menentukan posisi dan fungsi pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia baru dapat ditentukan peranannya di dalam penyusunan suatu system pendidikan nasional yang baru.
Apabila kita lihat sejarah kehidupan bangsa Indonesia, pendidikan Islam telah berhasil survive di dalam berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa. Oleh sebab itu dia menyandang berbagai jenis nilai luhur sebagai berikut:
1.      Nilai Historis, Pendidikan Islam telah survive baik pada masa colonial, pada masa jepang, maupun di dalam kehidupan bangsa kita sejak proklamasi kemerdekaan. Pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai-nilai yang sangat besar di dalam kesinambungan hidup bangsa, di dalam kehidupan bermasyarakat, di dalam perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Di dalam invasi kebudayaan barat, pendidikan Islam telah menunjukkan ketahanujiannyasehingga tetap survive menghadapi terpaan kolonialisme.
2.      Nilai Religius, Pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya telah memberikan dan mengembangkan nilai-nilai Agama Islam sebagai salah satu  nilai budaya masyarakat Indonesia.
3.      Nilai Moral, Pendidikan Islam tidak dapat diragukan sebagai pusat-pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan Agama Islam. Sekolah-sekolah madrasah, pesantren-pesantren, bukan hanya berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tetapi juga sebagai pusat-pusat atau benteng moral dari kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.
Keseluruhan nilai-nilai tersebut diatas merupakan kekuatan budaya yang kokoh di dalam membangun ketahanan kehidupan bermasyarakat bahkan ketahanan kehidupan nasional bangsa Indonesia.[14]

IV.             REVIEW PRESENTASI
Season pertanyaan :
1.      Yeni Fahris Millati (112167) : dalam halaman 14, terdapat berbagai problem pendidikan. Bagaimana menurut pemakalah mengatasi problem tersebut?
2.      Innayatul Hidayah (112172) : menurut versi pemakalah, apa yang dimaksud dengan keberagamaan?
3.      Mustaghfirotun (112173) : pelajaran Pendidikan Agama Islam sudah diterapkan diberbagai sekolah tetapi sering dipandang sebelah mata dengan pendidikan umum. Bagaimana pemakalah menanggapi?
Jawaban :
1.       Menurut Endang Komara, tiga pokok permasalahan pendidikan Islam di Indonesia melahirkan beberapa problem seperti structural, cultural, dan sumber daya manusia. Menanggapi hal tersebut, pemakalah membahas yang pertama yakni structural. Dimana pendidikan  negeri berada langsung dibawah control dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan pendidikan Islam seakan di nomor duakan oleh pemerintah setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya pengkajian secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua cultural, dimana masyarakat lebih dominan pada pendidikan umum dibandingkan pendidikan agama. Menurut mereka pendidikan agama tidak terlalu member bekal kelak ketika anaknya lulus, tetapi apabila pada pendidikan umum pasti sudah berpengalaman kerja seperti adanya PPL, sehingga hal tersebut dianggap member bekal kelak ketika lulus sekolah langsung bisa bekerja. Hal ini karena adanya pemikiran yang pragmatis di kalangan orang-orang terdekat, tentunya masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu, setidaknya diadakan program sekolah parent day yaitu hari dimana di khususkan untuk pembinaan terhadap orang tua wali atau semacam seminar wali murid untuk memberi pengetahuan mereka tentang pentingnya pendidikan agama bagi anak sedini mungkin. Dengan menguatkannya di datangkanlah nara sumber yang ahli dalam bidang tersebut.
Ketiga adalah sumber daya manusia,  perlu adanya peningkatan dalam para pengelola dan pelaksana pendidikan di pendidikan islam yang terdiri dari guru, dan tenaga administrasi. Banyak manusia yang lebih memilih mengelola pada pendidikan negeri dari pada menjadi pengelola pendidik islam, seperti halnya guru TPQ dianggap rendah karena dilihat dari segi upahnya. Padahal di balik itu semuanya terdapat pahala yang sangat besar. Hal ini perlu kesadaran dari sumber daya manusia akan pengetahuan tentang pahala mengamalkan pengetahuan pada sesama manusia.
2.      Keberagamaan menurut pemakalah adalah ajaran-ajaran atau pedoman-pedoman yang terdapat dalam masing-masing agama di implikasikan dalam kehidupan bermasyarakat yang sifatnya heterogen, serta bagaimana kita menyikapi dan berinteraksi dengan baik yang sudah diatur dalam ajaran-ajaran agama.
3.      Jika dilihat pada pendidikan yang diutamakan adalah mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga yang diperdalam adalah mata pelajaran yang diujikan. Adapun tentang pelajaran agama juga diujikan tetapi tidak mendominasi pada nilai kelulusan, sehingga tidak sedalam pengetahuan umum yang dipelajari. Apabila pengetahuan pendidikan agama juga didalami sebagaimana pengetahuan umum, maka pendidikan agama tidak dipandang sebelah mata.

V.  KESIMPULAN
1.      Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar.  Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam itu sendiri.
2.      Peran Pendidikan Islam dapat di wujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a)      Peran Akademik
b)      Peran moral
c)      Peran teknologi
d)     Peran sosiologis
e)      Peran psikologis

VI.             PENUTUP
Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan. Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk memotifasi makalah kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.


DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Umum PAI di Sekolah Umum Tingkat Menengah dan Sekolah Luar Biasa, Departemen Agama, 2003
Dr. Abdul Mujib, M.Ag, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006
Drs. HM. Chabib Thoha, MA., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996
H. Ahmad Syar’I, M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005
Prof. Dr. H.AR. Tilaar, M.Sc. Ed.,Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, 2000
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997
Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004
M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros, Kudus, 2009
Prof. Dr. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung : 2000




[1] Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, hal.10
[2] Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), CV Pustaka Setia, Bandung, hal. 9
[3] HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996, hal. 59

[4] Abdul Mujib, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Kencana Predana Media, Jakarta, 2006, hal. 68
[5]Chabib Thoha, Op.Cit, hal.11
[6] . Dr. Zakiah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta: 13220. Hal 29
[7] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung : 2000, hal. 36
[8] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 30
[9]Pedoman Umum PAI di Sekolah Umum dan Tingkat Menengah dan Sekolah Luar Biasa, Departemen Agama, 2003, hal. 5
[10] M. Saekhan Muchith, Issu-Issu Kontemporer Dalam Pendidikan Islam, Buku Daros, Kudus, 2009, hal. 39-45
[11] Ahmad Syar’I, filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005, hal.35
[12] Muslimin, Ilmu Pendidikan, Institut Agama Islam Tribakti, Kediri: 2004, hal. 29
[13] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta: 1997, hal 32
[14] H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 77 

No comments:

Post a Comment