Thursday, March 31, 2016

Makalah epistimologi bayani


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah ini sehingga selesai pada waktunya.
Makalah yang berjudul “Epistimologi Bayani” ini disusun dan dibuat berdasarkan materi yang sudah ada. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar filsafat ilmu, pembuatan makalah ini bertujuan agar dapat menambah pengetahuan bagi para  pembaca. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.










DAFTAR ISI
     halaman
Kata Pengantar…………………………………………………………….. 1
Daftar Isi……………………………………………………………………2
BAB I Pendahuluan             Latar Belakang……………………………………………………... 3             Maksud dan Tujuan…………………………………………………4             Rumusan masalah…………………………………………………...4  BAB II Pembahasan              pengertian dan perkembangan epistimologi bayani……………….. 5              sumber-sumber epistimologi bayani……………………………… 11              metode dan pendekatan yang digunakan dalam bayani…………… 12  BAB III Penutup               Kesimpulan……………………………………………………….. 16
Daftar Pustaka………………………………………………………………18











BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.[1] Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban ilmiah.[2]
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[3] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di sini akan dibahas tentang salah satu epistemologi Islam, yaitu epistemologi bayani. Sebagai epistemologi paling awal dalam pemikiran Islam, epistemologi bayani tidak muncul secara tiba-tiba. Tetapi, epistemologi ini memiliki akar sejarah panjang dalam budaya dan tradisi pemikiran Arab. Epistemologi ini menjadikan wahyu (teks) sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran dalam Islam.



B.     Maksud dan Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap dapat membantu memberikan pengetahuan mengenai Epistimologi Bayani sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.

C.    Rumusan Masalah

Banyak persoalan yang perlu dibahas mengenai Epistimologi Bayani. Namun untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasan masalah, penulis hanya membatasi pada masalah : 1. Seperti apa pengertian dan perkembangan dari Epistimologi Bayani ?
2. Apa saja sumber acuan Epistimologi Bayani ?
3. Apa saja metode dan pendekatan yang digunakan dalam Epistimologi Bayani ?

















BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan perkembangan Epistimologi Bayani.
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka.[5] Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayani, ulama ilmu al-balagah misalnya, mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah.[6] Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.[7]
Sedangkan menurut Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-washal, al-fashl, azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin.
1)      Al-washal (sambungan, pertalian).[8] Keterangan tentang al-washal ini sebagaimana firman Allah SWT kepada kaum musyrikin dalam QS. Al-An’am, 6 : 94 :

2)   Al-fashl (pemisah). Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi kebahasaan yang berkaitan dengan lafazh al-fashl ini, dengan bentuk padanan kata yang bermacam-macam, diantaranya  al-bu’d (jauh),  al-firqah (kelompok), al-mubayinah / al-mufariqah (memisahkan), al-firaq (berpisah, cerai).
3)   Azh-zhuhur wa al-wudhuh (jelas, nyata).    Makna kata ini sama juga dengan makna yang sebelumnya, yaitu pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian bayan yang disamakan dengan pengertian azh-zhuhur wa al-wudhuh ini merupakan kesimpulan dari pengertian sebelumnya yang menunjukkan pada arti  pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian ini menunjukkan pada kedudukan sesuatu pada pengertian lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan pada pengertian selanjutnya (azh-zhuhur wa al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada suatu kondisi yang dinisbatkan bagi orang yang memandangnya dari aspek kemanusiaan. Dengan kata lain, pada pengertian awal berhubungan dengan wujud ontologi atas suatu materi, sedangkan pengertian selanjutnya adalah berhubungan dengan wujud epistemologi.
4)   Al-fashahah wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain).[9]
A. Dalam hal ini, Bayan diartikan sebagai kefasihan lisan dalam menyampaikan hal yang dimaksud, atau kemampuan yang membuat orang mau menerima atas apa-apa yang disampaikan hingga tingkatan yang menjadikan orang yang mendengar seolah-olah tersihir, meyakini yang benar menjadi salah, atau meyakini yang salah menjadi benar.
B. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda : Inna min al-bayan lasihran wa inna min asy-syii’r  lahikman (Sesungguhnya dari Bayan bisa menjadi sihir, dan dari sya’ir bisa memperoleh hikmah). Menurut Ibn ‘Abbas, Bayan adalah mengungkapkan maksud melalui kata-kata yang fasih.
5)    Al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). Ini adalah kemampuan untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan hanya dimiliki oleh manusia.

Dan Secara terminologi, Bayan mempunyai dua arti, yaitu :
1)   Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawânin at-tafsîr al-khithâbi)
2)   Syarat-syarat memproduksi wacana (syurûth intâj al-khithâb). Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi. Antara lain ditandai dengan lahirnya al-Asybah wa al-Nazhâir fî al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil ibn Sulaiman (wafat tahun 767 M) dan Ma`ânî al-Qur`ân karya Ibn Ziyad al-Farra’ (wafat tahun 823 M), yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur`an.[10]

Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa asy-Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`). Sedang dari segi metodologi, asy-Syafi’i membagi Bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu :
1)   Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2)   Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
3)   Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4)   Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5)   Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.[11]
Al-Jahizh (wafat tahun 868 M) mengkritik konsep Bayan asy-Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan asy-Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya, inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa Bayan adalah syarat-syarat untuk membuat wacana (syuruth intaj al-khithab) dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin at-tafsir al-khitabi). Dari sinilah, pendengar masuk sebagai unsur utama dalam proses bayani. Al-Jahizh menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai berikut :
1)    Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
Dalam hal ini, al-Jahizh bermaksud untuk menguatkan hubungan antara retorika dan kelancaran berbicara sebagaimana do’a Nabi Musa dalam al-Qur’an yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Fir’aun. Do’anya adalah :
Artinya : Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (QS. Thaha, 20 : 25-27))
2)      Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi Kata-Kata)
Sebagaimana Bayan berada pada kebenaran ucapan dan kefasihan lisan, sehingga apa yang disampaikan sesuai dengan keadaan dan terlepas dari kata-kata yang rancu.
3)    Al-Bayan wa Kasyf al-Ma’na (Retorika dan Menyingkap Makna)
Dalam hal ini. Al-Jahizh memulai dengan analisa proses bayani atas dasar kesetaraan, keterikatan dan saling mengisi antara huruf dan kata-kata. Makna harus bisa diungkap dengan kejelasan petunjuk, kebenaran isyarat, kesimpulan yang baik, dan kesesuaian pendekatan yang dapat mengungkapkan makna. Selanjutnya disandarkan pada teori : wa ad-dilalah azh-zhahirah ‘ala al-ma’na al-khafi huwa al-bayan (petunjuk yang jelas terhadap makna yang sembunyi adalah al-Bayan).
4)   Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)
Yang dimaksud dengan bayan dan balaghah di sini adalah adanya kesesuaian antara kata dan makna.
5)   Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan)
Dalam hal ini, Bayan ditinjau dari sudut fungsinya, yaitu adanya kemampuan memperlihatkan sesuatu yang samar dari kebenaran, dan  menggambarkan kebatilan dalam bentuk kebenaran.[12] Dengan kata lain, kekuatan kata-kata untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[13]

Sampai di sini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam al-Qur`an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahb, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ushul al-furu’. Caranya adalah dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[14] Paduan antara metode fiqh yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik sangat penting dalam rangka membangun epistemologi bayani, karena apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup empat hal, yaitu :
1)    Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi.
2)    Rahasia hati yang memberi keputusan pada saat terjadi proses perenungan.
3)    Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi.
4)    Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari empat macam objek tersebut di atas, Ibn Wahb menawarkan empat macam bayani, yaitu :
1)    Bayân al-i`tibâr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan materi.
2)    Bayân al-i`tiqâd , berhubungan dengan hati.
3)    Bayân al-`ibârah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
4)    Bayân al-khithâb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.[15]

Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun  1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi baru derajat dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani, istimbâth dan qiyâs, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.[16]
Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-istiqra’ dan maqâshid asy-syar’i’, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Al-Istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu` pada ashl, yang oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru.
Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut asy-Syâthibi, semua dalil syara` telah mengandung dua premis, nazhariyah (teoritis) dan naqliyah (transmisif). Nazhariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan penalaran, sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/ khabar). Nazhariyah merujuk pada tahqîq al-manâth al-hukm (uji empiris suatu sebab hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliyah merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedang naqliyah menjadi premis mayor. Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian di ambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan tematic induction; sedang maqâshid asy-syar`iyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam tiga        macam;  dharûriyah (primer), hâjiyah (sekunder) dan tahsîniyah (tersier).[17] Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sitematis, dimana proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu` pada ashl tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.

B.     Sumber Epistimologi Bayani.
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan Burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.[18]
Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan,  di dalam bayani, benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.[19] Bukhari, misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis adalah sebagai berikut :
1)    Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademis.
2)    Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits, dan sebagainya.[20]

Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dilâlah al-hukm), nash al-Qur`an bisa dibagi dua bagian, qath`i dan zhanni. Nash yang qath`i dilâlah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep asy-Syafi`i, ini yang disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang zhanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an, konsep qath’i dan zhanni hanya berkaitan dengan dilâlah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada riwayat dan dilâlah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad, shahîh, hasan, gharîb, dan sebagainya. Dari segi dilâlah berarti bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.

C.     Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani

a. Metode Qiyas.
1)   Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya adalah :
a)   Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf sebagai alat analisa.
b)  Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.[21]
2)   Dalam kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
a)   Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
b)   Al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas.
c)   Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d)   Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.[22]
3)  Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.[23]
4)   Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu  :
a)    Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun furû` (al-qiyâs bi i`tibâr madiy istihqâq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm). Bagian ini mencakup tiga hal, yaitu :
(1)   Qiyâs jalî, dimana far` mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl.
(2)   Qiyâs fî ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum yang sama.
(3)   Qiyâs al-khafî, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyâs jalî adalah seperti hukum memukul orang tua (far`). Masalah ini tidak ada hukumnya dalam nash, sedang yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl). Perbuatan memukul lebih berat hukumnya dibanding berkata “ah”.[24]
b)   Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far`, atau yang menunjukkan kearah situ (qiyâs bi i`tibâr binâ’ al-hukm alâ dzikr al-illah au bi i`tibâr dzikr mâ yadull `alaihâ). Bagian ini meliputi dua hal, yaitu :
(1)   Qiyâs al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashl kepada far`.
(2)   Qiyâs al-dilâlah, yaitu menetapkan petunjuk (dilâlah) yang ada pada ashl kepada far`, bukan illahnya.
c)    Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far` (qiyâs bi i`tibâr quwwah “al-jâmi`” bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang oleh al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat, yaitu :
(1)   Adanya perubahan hukum baru.
(2)   Keserasian.
(3)   Keserupaan (syibh).
(4)   Menjauhkan (thard).[25]

b. Metode Istinbath/Istidlal
Istinbath hukum-hukum dari an-nusush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya. Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks (nash). Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara al-ma’na dan al-lafzh. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi :
1)    Al-Ma’na al-Wadh’i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am dan musytaraq.
2)   Al-Ma’na al-Isti’mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi al-ma’na al-haqiqi (sharihah dan mu’niyah) dan al-ma’na al-majazi (sharih dan kinayah).
3)   Darajah al-wudhuh, sifat dan kualitas lafazh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhahir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4)    Thuruq ad-Dhalalah, penunjukan lafazh terhadap makna, meliputi dilalah al-’ibarah, dilalah al-isyarah, dilalah an-nash dan dilalah al-iqtida’ (menurut Khanafiyah), atau dilalah al-manzhum dan dilalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut asy-Syafi’iyyah).

c. Pendekatan Bayani
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pendekatan bayani adalah lingustik, karena dalam hal ini pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab an-nuzul, dan qiyas serta istinbath atau istidlal sebagai metodenya.


















BAB 3
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.A) Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al-bayani yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara termenologi bermakna sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah.
B)    Perkembangan
Di awali oleh Al-Jabiri yang mengemukakan pendapatnya tentang al-washal, al-fashl, azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin dan kemudian Asy-Syafi’I yang membagi tingkatan bayan menjadi 5 yaitu:
a)   Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b)   Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
c)   Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
d)   Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
e)   Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Jahizh yang awalnya mengkritik konsep Bayan asy-Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan asy-Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Akhirnya Al-Jahizh menetapkan syarat-syarat membuat wacana bayani adalah sebagai berikut:
a)    Al-Bayan wa Thalaqah al-Lisan (Retorika dan Kelancaran Berbicara)
b)      Al-Bayan wa Husn Ikhtiyar al-Alfazh (Retorika dan Kecerdasan dalam Menyeleksi Kata-Kata)
c)    Al-Bayan wa Kasyf al-Ma’na (Retorika dan Menyingkap Makna)
d)   Al-Bayan wa al-Balaghah (Rerorika dan Balaghah)
e)   Al-Bayan Sulthah (Retorika adalah Kekuasaan)
Di periode selanjutnya dilanjutkan oleh Ibn Wahb menurutnya wacana bayani yang ditetapkan oleh Al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis karena menurut Ibn Wahb, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ushul al-furu’. Dan akhirnya Ibn Wahb menawarkan empat macam bayani, yaitu :
1)    Bayân al-i`tibâr , untuk menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan materi.
2)    Bayân al-i`tiqâd , berhubungan dengan hati.
3)    Bayân al-`ibârah, berhubungan dengan teks dan bahasa.
4)    Bayân al-khithâb berkaitan dengan konsep-konsep tertulis
Dan Pada periode terakhir muncul asy-Syathibi (wafat tahun  1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya, bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qath`i) tapi baru derajat dugaan (zhan), sehingga tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara rasional, oleh Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, yakni al-istintaj, al-istiqra’ dan maqâshid asy-syar’i’, yang dieleminir dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm.
2. Sumber acuan pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah.
3. Metode Qiyas, Metode Istinbath/Istidlal, dan Pendekatan Bayani

DAFTAR PUSTAKA

1.        A. Khudori Soleh,  Epistemology Bayani, khudorisoleh.blogspot.com
2.       ‘Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, 1978, Kuwait, Dar al-Qalam.
3.      ‘Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Masdar Helmy, penerjemah, 1996,  Bandung, Gema Risalah Press, 1996.
4.         Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah, Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H./2002 M.
5.         Abu Hilal al-‘Askari, al-Furuq al-Lugawiyah, CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
6.     Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, 2007, Yogyakarta, Suka Press.
7.         Ibrahim Mustafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasit, CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
8.        M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, 2002 Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
9.      Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, 2009, Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah.
10.    Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-’Aql al-’Arabi, 1991, Beirut, al-Markaz ats-Tsaqafi al-’Arabi
11.      P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), 1994, Yogyakarta, Kanisius.

3 comments: