Wednesday, March 30, 2016

Pengertian tafsir dan ilmu tafsir

Pengertian tafsir dan ilmu tafsir  1. Pengertian tafsir
Secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan (الايضاح), menerangkan (التبيين), menampakan (الاظهار), menyibak (الكشف) dan merinci (التفصيل). Tafsir berasal dari isim masdar dari wajan (تفعيل). Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaituيفسّرتفسيرافسّر yang artinya menjelaskan. Pengertian inilah yang dimaksud di dalam lisan al arab dengan كشفالمغطلى ( membuka sesuatu yang tertutup ). Pengertian tafsir secara bahasa ditulis oleh Ibnu Mahdzur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafaz. Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama tafsir dengan ايضاحوالتبيين ( menjelaskan dan menerangkan ). Di dalam kamus bahasa indonesia kata “ tafsir” diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. 

Sedangkan tafsir secara istilah terdapat beberapa pendapat para ulama tafsir, antara lain :  1. Pendapat Abd al-Azhim al-Zarqani dalam Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an mengatakan:
علميبحثعنالقرانالكريممنحيثدلالتهعلىمراداللهتعالىبقدرالطاقةالبشرية
"ilmu yang membahas tentang al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"   2. Menurut Khalid bin Utsman al-Tsabt dalam Qowa'id al-Tafsir, tafsir adalah:
علميبحثفيهعنأحوالالقرانالعزيزمنحيثدلالتهعلىمراداللهتعالىبقدرالطاقةالبشرية
"Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"   Ada beberapa titik perhatian rumusan tafsir dari definisi yang diberikan al-Zarqani dan Khalid bin Utsman al-Tsabt, yaitu:
1. Membahas tentang al-Qur`an
Ilmu ini hanya membahas ilmu al-Qur`an. Maka tidak termasuk ke dalam kategori ini ilmu-ilmu lain.
2. Membahas maksud ayat
Berdasarkan definisi di atas, maka hal-hal di luar pembahasan yang berhubungan dengan maksud ayat tidak dikategorikan kepada tafsir seperti ilmu rasm, ilmu qira'at.
3. Sesuai dengan kemampuan manusia
Penafsiran yang dilakukan terhadap al-Qur’an adalah sebatas kemampuan manusia. Dengan kata lain, hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia bukanlah termasuk lapangan kajian tafsir. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengetahui tafsir al-Qur`an karena dapat menyeret mufasir kepada penafsiran-penafsiran yang menyimpang dan melewati batas.
4. Dalam al-Mu'jam al-Wasîth disebutkan bahwa tafsir al-Qur`an adalah:
توضيحمعانيالقران, وماانطوتعليهاياتهمنعقائدوأسراروحكموأحكام
"Penjelasan makna al-Qur`an dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum dari ayatnya." 
Fokus tafsir dari definisi di atas adalah dengan menjelaskan makna al-Qur`an akan diperoleh darinya kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum. Artinya, sasaran akhir tafsir adalah mengeluarkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum.

5. Sementara al-Zarkasiy merumuskan tafsir dengan:

علميعرفبهكتاباللهالمنزلعلىنبيهمحمدصلىاللهعليهوسلموبيانمعانيهواستخراجاحكامهوحكمه
"Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya"  6. Rumusan tafsir menurut al-Kilbi dalam al-Tashil:
شرحالقرانوبيانمعناهوالأفصاحبمايقتضيهبنصّهإوإشارتهأونجواه
"Menguraikan al-Qur`an dan menguraikan maknanya, memperjelas makna tersebut sesuai dengan tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah penjelasan tersebut atau dengan mengetahui rahasia terdalamnya."  Titik perhatian kedua definisi di atas adalah persoalan: 1. Pemahaman terhadap al-Qur`ân. 2. Menjelaskan makna ayat. 3. Mengeluarkan hukum-hukum. 4. Menggali hikmah-hikmah Titik fokus definisi ini adalah ilmu.
Makna tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangakan. Contohnya pada firman Allah SWT.

Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadami sesuatu yang paling benar dan paling baik penjelasannya”. QS : Al-furqon : 36. 

        Tafsir disini berarti penjelasan dan keterangan. Ia diambil dari kata Al-fasr yang bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna Al-fasru adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup.
        Dari sini jelaslah bahwa kata Tafsir digunakan dalam bahasa arab dalam arti membuka secara indrawi. Seperti dikatakan oleh Tsa’lah dan dengan arti secara maknawi dengan memperjelas arti-arti dari dzahir redaksional.
        Sedangkan Tafsir menurut istilah yang paling cocok adalah yang dikutip oleh As-Suyuthi dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum.
        Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hamper sama. Ia adalah ilmu yang membahas redaksi-redaksi Al-qur’an, dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan keadaan manusia[1]
     2. Macam-macam Tafsir ada Empat
        Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa ada empat macam tafsir. Pertama, Tafsir yang diketahui oleh orang arab dari kalamnya. Kedua, Tafsir yang tidak seorang pun dimaafkan atas ketidaktahuannya. Ketiga, Tafsir yang diketahui  oleh ulama keempat, tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
        Tafsir yang pertama adalah Al-qur’an diturunkan dengan bahasa arab, dai Ia dating dengan bahasa yang mereka pakai, dari hakikat, majaz, sharih, kinayah dan sebagainya.
        Tafsir yang kedua maksudnya adalah makna yang amat jelas, sehingga langsung difahami oleh akal manusia, tanpa perlu memusatkan pikiran dan memeras otak. Dapat juga dikatakan yang berkenaan dengan dasar-dasar agama. Sehingga tidak seorang pun dimaafkan akan ketidaktahuaanya.
        Tafsir yang ketiga adalah yang hanya diketahui oleh ulama, yang membutuhkan penyimpulan, pengkajian dan pengetahuan akan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga Ia menarikyang mutlak atas yang muqayyad, yang Aam dan Khas, dan memilih kemungkinan yang dikuatkan oleh penguat tertentu dan sebagainya.
        Tafsir yang keempat adalah tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Misalnya, tentang perkara-perkara yang ghaib, yang hakikatnya seperti alam barzah, masalah akhirat, malaikat arsy, dan terjadinya hari kiamat.

Pengertian ilmu tafsir
Ilmu tafsir secara Etimologi yaitu : Penjelasan, pengungkapan, dan penjabaran kata yang samar. Secara Termenologi : penjelasan terhadap kalamulloh, / lafadz-lafadz Alqur’an dan pemahamannya. Secara Umum Ilmu Tafsir Yaitu : ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al qur’an.
Tujuan dari mempelajari tafsir, ialah :memahamkan makna –makna Al- Qur’an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlaq-akhlaqnya, dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka dengan demikian nyatalah bahwa, faidah yang kita dapati dalam mempelajari tafsir ialah : “terpelihara dari salah dalam memahami Al-Qur’an”
            
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia, paling tinggi kedudukannya dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan ruang lingkup pembahasan ilmu tafsir berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang 

membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.

Ilmu Tafsir memiliki beberapa metode :

1. Metode Tahlili (analitik)

Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya.

2. Metode Ijmali (global)

Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili, namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh tiap lapisan dan tingkatan ilmu kaum muslimin.

3. Metode Muqarran

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhui (tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Kesimpulan

Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari deperlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.

Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simpel dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yg lainnya. 

Sedangkan istilah tafsir lebih luas ari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yg berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman 
isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.







Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah
Tafsir
Tafsir menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Adapun pengertian tafsir menurut para ulama yaitu sebagai berikut:[1]
Menurut Al-Kilabi tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
Menurut Syekh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.[2]
Menurut Az-Zakkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Sedangkan menurut Abu Hayyan tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna yang terkandung di dalamnya.[3]
Menurut Al-Jurjani tafsir pada asalnya , ialah membukadan melahirkan. Dalam istilah syara’, ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafazh yang menunjukannya secara terang.[4]
Takwil
Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّل – يؤوّل ), artinya kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang berarti mengatur. Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Secara Terminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut:
a.Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”
b.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”. Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.” Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu

Menurut lughat takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun pengertian takwil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
Menurut  Al-Jurzani takwil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.[5]
Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafazh.[6]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan takwil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
Apa bedanya antara tafsir dan takwil? Makna tafsir telah penulis uraikan di atas meskipun hanya sekilas. Sedangkan takwil adalah menjelaskan makna kandungan-kandungan Al-Qur’an yangmemiliki pengertian tersembunyi. Sebagaimana kita ketahui, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an terbagi menjadi dua:
ayat-ayat muhkamat, yakni maknanya jelas atau tegas. Disebut juga bermakna lahir yaitu jelas menunjukkan ke suatu pengertian tertentu dan tidak mengundang keraguan. Jadi tidak dibutuhkan takwil atau pun penafsiran untuk memahaminya, sebab sudah cukup jelas makna dan tujuannya.
ayat-ayat mutasyabihat, yakni maknanya samar atau tidak jelas. Disebut juga bermakna batin, ialah apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firmannya. Makna ayat mutasyabihat seringkah tidak dapat dipahami secara pasti oleh akal manusia, sehingga sering disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk mencari keuntungan pribadi. Bahkan oleh musuh-musuh Islam, ayat-ayat ini dipakai untuk memutar-balikkan atau merusak ajaran Islam yang sebenarnya.
Adanya kedua ayat tersebut, dijelaskan dalam Al-Qur’an. "Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya). Itulah pokok Kitab, dan yang lain mutasyabihat (samar maknanya). Maka orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya (menurut kemauannya), padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya menyatakan, ’Kami beriman dengannya (kepada ayat-ayat yang mutasyabihat). Semua itu berasal dari Tuhan kami’. Dam tidak dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang memiliki pikiran. (QS. 3/Ali Imron: 7) Hikmah diturunkannya ayat-ayat mutasyabihat (antara lain AlifLaam Miim) salah satu bukti bahwa Al-Qur’an ini bukan karya Nabi Muhammad saw. Dan ayat-ayat mutasyabihat ini memang sebagai tolok ukur kedalaman keimanan seseorang.

TARJAMAH
A. Definisi Tarjamah Untuk memberikan definisi tentang terjemah, kita dapat membedakannya dari dua sudut pengertian, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologis (istilah). Secara Etimologi (bahasa) Kata terjemahan berasal dari bahasa Arab “ ترجمة “ (tarjamah) kata tersebut kedudukannya sebagai masdar, yaitu dari Fîil Mâdhi Rubâ I al-Mujarrad “ ترجمة “ yang bentuknya terjadi sebagai berikut: ترجمة، يترجم، ترجمة، وترجاما، ومترجما، فهو مترجم، وذاك مترجم، ترجم لا تترجم، مترجم، مترجم. Lafadz terjemah di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, menunjukan salah satu dari empat makna berikut: 1. Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa lain. 2. Memindahkan suatu kalam (pembicraan) kepada bahasa yang mudah. 3. Menceritakan biografi seseorang. 4. Pendahuluan dari sebuah kitab Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Uşul fi al-Tafsir, mengatakan bahwa kata terjemah secara bahasa ialah: الترجمة لغة : تطلق على معان ترجع الى البيان والايضاح. “Terjemahan secara bahasa adalah menetapkan suatu ma’na yang mampu memberikan keterangan dan kejelasan.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijumpai arti terjemah, yaitu “menyalin (memindahkan) dari suatu bahasa kedalam bahasa lain atau mengalih bahasakan. Dari penjelasan etimologi terjemah diatas dapat dipahami bahwa substansi dari terjemah adalah memindahkan bahasa pokok kepada bahasa sasaran (dalam hal ini dari bahasa Arab kepada bahasa Indonesia).
Secara Terminologi (istilah) Kemudian kata terjemah yang dalam bahasa Arab-nya disebut “ ترجمة “ menurut Istilah pengertiannya sebagai berikut: Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Usul fi al-Tafsif, mengatakan: وفى الإصطلاح : التعبير عن الكلام بلغة أخرى. “Terjemah secara istilah yaitu, menerangkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa yang lain.”
Menurut Abu al-Yaqzan ‘Atiyyah al-Jaburi di dalam kitab Dirasat fi al-Tafsir wa Rijalihi: نقل الكلام من لغة إلى لغة أخرى بدون بيان معنى الأصل المترجم عنه. “Memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain dengan tidak menerangkan ma’na asal dari kalam yang diterjemahkan.” تفسير الكلام وبيان معناه فى لغة أخرى. “Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dan juga menerangkan ma’na kalam tersebut di dalam bahasa yang lain.”
Menurut Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani di dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an: تبليغ الكلام لمن لم يبلّغه “Menyampaikan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa orang yang belum pernah menerimanya.” تفسير الكلام بلغته التى جاء به “Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa kalam itu sendiri.” تفسير الكلام بلغته غير لغته “Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan memakai bahasa selain bahasa kalam itu.”
نقل الكلام من لغة إلى أخرى “Mengalihkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.”
Dari keempat pendapat tentang pengertian “terjemah” yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa kataترجمة ” “ dalam tuturan bahasa Arab meliputi berbagai makna bahkan pengertian kata “ ترجمة “ ini sering dikaitkan pada situasi dimana kata itu diucapkan. Namun secara ‘urf’ (umum) dapatlah kiranya diketahui bahwa terjemah, yaitu memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain dan mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi.
Selain pengertian di atas, juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli dibidang bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu “mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran” . Selain Catford Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi. Menurutnya terjemah yaitu “menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
B. Metode Penerjemahan Ustadz Al-hasan Azzayat mengatakan dikalangan bangsa Arab terdapat dua aliran sebagaimana yang disebut oleh as-Shafadi, Aliran pertama, ialah aliran yang dianut Johanes Patriarch, Ibnu Na’imah al-Himshiy dan lainnya. Aliran ini memusatkan pandangan untuk mencari padanan setiap kata Yunani beserta kandungan maknaknya dari kata-kata Arab. Cara ini kurang baik disebabkan dua hal: pertama, tidak semua kata-kata Yunani terdapat padanannya dalam kosa kata bahasa Arab. Kedua, adanya perbedaan ciri-ciri susunan sintaksis antara satu bahasa dengan bahasa lain.
Aliran kedua, adalah cara yang dianut oleh Hunain bin Ishaq, Al-Jauhari dan lain-lainnya. Aliran ini berpokok pangkal kepada penguasaan seorang penterjemah terhadap konsep yang dikandung kalimat, kemudian ia mengungkapkan konsep tersebut dengan kalimat yang seimbang.
Dari dua aliran yang di ungkapkan oleh Al-Hasan Azzayat di atas, akhirnya melahirkan dua metode penerjemahan secara garis besar, sebagaimana yang diungkap oleh beberapa ahli. Dua metode tersebut, yaitu terjemahan harfiah (الترجمة الجرفية ) dan terjemahan bebas (الترجمة المعنويى ). Dibawah ini, penulis akan mengutip beberapa pengertian tentang dua metode penerjemahan di atas yang didefinisikan oleh beberapa ahli.
Muhammad Mansur dan Kustiwan merumuskannya, sebagai berikut: الترجمة الحرفية : نقل الكلام من لغة إلى أخرى وتراعى فى ذلك محاكاة الأصل فى عدد كلماته ونظمها وترتيبها. فهى تشبه وضع المرادف مكان مرادفها. ((( “Terjemahan harfiah ialah terjemahan yang memperhatikan peniruan teks asli dalam jumlah kata, susunan dan urutannya. Jadi, terjemahan harfiah mirip dengan menyusun kata-kat di tempat padanannya.”
والترجمة المعنوية : شرح الكلام وبيان معناه بلغة أخرى مراعاة مكافأة ل ص فى المعانىوالأغراض، واستقلال صيغة الترجمة عن الأصل، بحيث يمكن أن يستغنى بها عنه، كأنه لا أصل هناك ولا فرع. “Terjemahan maknawiyah (bebas), yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain sambil memperhatikan kesepadanan makna dan maksud bahasa asal serta kenetralan redaksi, sekirannya cukup dengan terjemahan yang seolah-olah bukan terjemahan.”
Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan kedua metode itu, sebagai berikut: الترجمة : وهى نقل الألفاظ من لغة إلى نظائرها من اللغة الأخرى بحيث يكون النّظم موافقا للنظم، والترتيب موافقا للّترتيب. “Terjemahan harfiyah, yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari suatu bahasa ke dalam lafazh-lafazh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan tertib bahasa pertama.”
الترجمة التفسيرية والمعنوية : وهى بيان معنى الكلام بلغة أخرى من غير تقييد بترتيب الكلمات الأصل أمراعاة للنظم. “Terjemahan tafsiriyyah atau terjemahan maknawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnaya.”
Sedangkan Newmark (1988) juga mengajukan dua metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa). walaupun kemudian, Newmark menjelaskannya menjadi delapan metode penerjemahan, yaitu penerjemahan kata-demi-kata, Penerjemahn harfiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantik, penerjemahan adaptasi (saduran), Penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif.
Dari beberapa definisi tentang metode penerjemahan yang diungkapkan di atas, penulis merasa perlu untuk mejelaskan kedua metode tersebut, agar lebih jelas serta mudah dipahami.
Terjemahan harfiyah, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.
Metode terjemahan ini sangat populer dipraktekan di Eropa pada abad pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama sekali pada naskah yang dianggap sakral; kitab-kitab suci sebagai suara yang diwahyukan Tuhan. Terjemahan ini pula sampai sekarang masih dilakukan terhadap Kitab Suci, misalnya Injil dan Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan bebas (Tafsiriyyah), bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya, sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti seorang penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah yang berbahasa sumber. Ia boleh melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti secara jelas oleh pembacanya.
Disinilah seorang penerjemah hendaknya sadar bahwa dirinya bukanlah penulis naskah asli, dan naskah itu bukan miliknya. Ia hanya berkewajiban menjembatani pikiran penulis asli dengan masyarakat pembaca yang tidak mengerti bahasa yang dipergunakan penulis asli. Ia hanya membuka jalan sesuai dengan maksud yang terkandung dalam naskah bahasa aslinya. Karena orientasi penerjemah harus begitu, maka prioritas utama akan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat yang digunakan penulisnya.
Disinilah kesulitan yang selalu dihadapi oleh seorang penerjemah, berbeda dengan seorang pengarang yang bebas mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya langsung dengan pena dan bahasanya, sedangkan seorang penerjemah, ia tidak bebas dalam memilih kata-kata dan susunan kalimat. Selain itu pula, seorang penerjemah harus memindahkan suatu konsep dari suatu bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasanya, serta harus mengetahui gambaran alam dan lingkungan seorang pengarang.
Karena kesulitan itulah, seorang penerjemah sering terperosok dalam kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya atau kurangnya sikap hati-hati dalam memilih kata-kata, susunan kalimat dan makna, sehingga wajarlah jika penterjemah acap kali dituduh sebagai penghianat, seperti yang dikatakan pepatah Itali “ATRADUTTORE TRADITORE”, yang artinya “Penterjemah adalah penghianat”, karena si penterjemah sering tidak pas dalam memilih arti kata-kata sehingga menyimpang dari maksud yang dikehendaki pengarang teks asli.

Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.”
Pada dasarnya ada tiga corak penerjemahan, yaitu:
Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya (sinonim dengan tafsir)
Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya.
  














Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang aslinya bahasa Arab ke bahasa non Arab.
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir dan takwil:
–        Menurut Abu Ubaidah: “Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury
–        Menurut Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai  makna dan susunan kalimat.
–        Menurut setengah ulama : “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima selain dari satu arti. Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya.[7]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan  bahwa perbedaan tafsir dan takwil yaitu:
Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya, sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan takwil pda umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan takwilberdasarkan dirayah.[8]
      Metode Tafsir
Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama mencoba membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam yaitu:
Tahlili
Muqarran
Ijmali
Maudhu’i
   Corak Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin ilmu yang ditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai  berbagai corak pemikiran dan madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:[9]
1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori  atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam menjelaskan suatu ayat, mufassir merujuk pendapat filosof. Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih, diantara isi kandungan al-Qur’an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh ta’asub (fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqhi hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains  eksakta. Tafsir ini selalu mengutiip teori-teori ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang ditafsirkan.  Seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-karim karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-Thib Wa Al-Qur’an karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Corak Al-Adabi WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial. Dengan corak ini mufassir mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an yang meliputi aspek balagah, mukjizat, makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan sistem sosial yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.[10]
KESIMPULAN

Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir. Terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa tarjamah tafsiriyah itu pada hakekatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau tarjamah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari tafsir yang berbahasa Arab.
Antara keduanya jelas ada unsur persamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya sama secara mutlak.  Perbedaan-perbedaan keduanya, antara lain:
  Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemah, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahasa terjemahnya. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tasir selalu ada keterikatan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpeting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.

  Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan “                            “, yakni penguraian meluas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru uraian luas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat/Al-Qur’an yang dikehendaki baru dapat dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam terjemah (terutama harfiyah) makna yang diungkap sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa pertama, sehingga sekiranya terjadi kesalahan dalam bahasa pertama, niscaya kesalahan itu akan terjadi pula pada terjemahnya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dari padanya ialah meyampaikan penjelasan pesan dari bahasa asalnya. Terkadang penjelasan itu dapat dikembangkan kearah pendapat yang beraneka ragam, melalui uraian meluas tersebut di atas. Itulah rahasianya, mengapa kebanyakan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an memuat uraian luas yang beraneka macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul fiqih, asbabun nuzul, dan sebagainya.
   Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan di penuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu.
  Terjemah pada lazimnya megandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialih bahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa pertama dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirannya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.[11] 
















Syarat-syarat mufassir         
Melakukan penafsiran terhadap Kitabullah Ta’ala dan menyibukkan diri dengannya merupakan pekerjaan agung nilainya dan memerlukan kebersihan hari, kesucian pikiran, keikhlasan hati, dan kenormalan akal. Karena itu tidak seyogyanya yang melakukannya hanyalah orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria dan syarat-syaratnya. Ulama telah menjelaskan syarat-syarat dan adab-adab yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an. Mereka membaginya ke dalam sejumlah bagian, yang terpenting adalah :

I.          Pertama, syarat-syarat agama dan akhlak.
1.         Seyogyanya orang yang menafsirkan al-Qur’an memiliki akidah yang benar, iman yang kuat, berhias dengan akhlak al-Qur’an dan memegang teguh sunnah agama.
Orang yang tidak memenuhi syarat ini berarti tidak memenuhi syarat dasar. Imam al-Suyuthi, mengutip pendapat Abu Thalib al-Thabari, berkata : “Ketahuilah, bahwa syarat pertama seorang penafsir adalah akidah yang benar, memegang teguh sunnah agama. Orang yang cacat agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan dunia, apalagi dalam urusan agama. Di dunia, ia juga tidak dipercaya menyampaikan berita dari seorang ilmuwan, apalagi menyampaikan berita tentang rahasia-rahasia dari Allah Ta’ala.” [1]
Tidak samar lagi bahwa orang yang akidahnya salah akan sengaja melakukan perubahan nash atau memaksa diri untuk mentakwilkannya sampai sesuai dengan apa yang diyakininya, sehingga ia akan sesat dan menyesatkan orang lain (ضَالٌ مُضِلٌ).

2.      Menjauhkan diri dari hawa nafsu
Seyogyanya orang yang melakukan pembahasan apapun, lebih-lebih tentang tafsir Kitabullah Ta’ala memurnikan orientasinya, bersikap obyektif, melepaskan keinginan pribadi dan menjadikan kebenaran sebagai pemandunya.
Sebab memperturutkan hawa nafsu akan mendorong pelakunya untuk menyimpang dari kebenaran karena sikap fanatiknya terhadap pendapat dan madzhabnya. Ia akan jatuh ke dalam kesesatan yang nyata. Hal ini telah menimpa para pengikut aliran sesat dan kaum ekstrim.
Allah Ta’ala berfirman : وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu , karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [2]  Disamping itu, ia juga harus terbebas dari kesombongan , cinta dunia dan kemewah-mewahannya.

II.       Kedua, Syarat-Syarat Intelektual
Seyogyanya seorang mufassir adalah orang yang cerdas dan memiliki kemampuan-kemampuan intelektual lebih, sehingga membuatnya mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an, mampu menangkap target-targetnya, mampu memahami pola-polanya dan menyelami makna-maknanya. Ia juga harus mampu memiliki kemampuan argumentasi yang kuat, cermat, mampu menggali hukum denngan baik, mampu menguasai berbagai makna dan pendapat, mampu mentarjih bila terjadi keragaman dalil-dalil, mampu mengkompromikan berbagai pendapat dan membandingkannya.

III.     Ketiga, Syarat-Syarat Ilmiah
Seorang mufassir haruslah menguasai denngan baik ilmu-ilmu yang membuatnya mampu melakukan penafsiran. Yang terpenting adalah :
1.      Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
Sebab al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, sehingga pemahamannya sangat terkait dengan pengetahuan tentang kosa-kata bahasa Arab, makna-maknanya, wajah-wajah I’rab, konjugasi kata, pola susunan kalimat dan gaya-gaya bahasanya. Dengan demikian seseorang akan mampu menangkap hakikatkemukjizatan al-Qur’an. Mujahid berkata, tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang (menafsirkan) Kitabullah bila ia tidak mengetahui bahasa Arab.
Tegasnya seorang mufassir haruslah menguasai hal-hal berikut :
a.       Ilmu Bahasa dan Konjugasi, agar dapat memahami makna kata-kata dalam al-Qur’an sesuai dengan makna asalnya, mengenal maknanya ketika al-Qur’an turun, dan harus menelaah secara luas kamus-kamus agar dapat mengetahui sinonim , homonym dan yang sejenisnya.
b.      Ilmu Nahwu dan Sharaf. Karena makna bergantung pada pengetahuantentang I’rab dan penandaan kata-kata. Dan dengan sharaf diketahui bentuk dan susunan kata-kata.
c.       Adab dan Ilmu Balaghah, yakni bayan, ma’ani dan badi’. Karena al-Qur’an turun dengan gaya bahasa arab yang fasih dan menantang mereka dengan kemukjizatannya yang bersifat bayan dan balaghah. Sehingga merupakan suatu keniscayaan bagi mufassir untuk mengetahui pola-pola bayaniyah dan memahami aspek-aspek kemukjizatannya agar ia mampu menangkap kalimat-kalimat khusus dan aspek-aspek keindahannya, agar dapat memahami al-Qur’an dengan benar.
2.      Ilmu-Ilmu al-Qur’an.
Seyogyanya mufassir memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu-ilmu dasar yang berkaitan langsung dengan al-Qur’an dan menguasainya dengan baik, seperti ilmu qira‘at, ilmu asbab nuzul, pengetahuan tentang makki dan madani, muhkam dan mutasyabih,’am dan khash, nasikh dan mansukh dan lain-lain. Semua itu dapat membantunya memahami makna-makna al-Qur’an dan menjaganya dari terpeleset. Tidak samar lagi bahwa wajib bagi mufassir untuk menghafal seluruh teks al-Qur’an agar ia mampu memahaminya dengan sebenar-benarnya dan mencernanya dengan sempurna.
3.      Ilmu Ushuluddin dan Tauhid.
Ini dapat membuat mufassir mampu memahami dasar-dasar akidah Islam, seperti mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala dan hal-hal yang wajib bagi-Nya, yang boleh dan yang mustahil bagi-Nya. Ilmu ini juga membantunya dalam memahami yang muhkam dan yang mutasyabih dan menjauhkannya dari terpeleset.
4.      Ilmu Ushul Fiqh.
Ilmu ini merupakan keniscayaan bagi bagi mufassir, sebagaimana niscaya bagi seorang faqih agar terjaga dari kesalahan menggali hukum syara’ dari ayat-ayat al-Qur‘an dan menolongnya dalam mengetahui aspek-aspek argumentasi dari teks dan menentukan kaidah-kaidah dalam penggalian hukum. Ilmu Ushul mengharuskan seorang mufassir untuk memahami fiqih dan mengetahui hukum-hukum syara’ dan dalil-dalil agar ia mampu menguasai hukum-hukum dan mengetahui cara-cara penggalian hukum.
5.      Hadis dan ilmu-ilmunya.
Merupakan suatu kewajiban bagi mufassir untuk memahami sunnah Rasul saw. baik dari segi riwayat maupun dirayah agar ia mampu menguasai tafsir ma‘tsur, menngetahui sunnah yang merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sunnah yang menjelaskan ke-mubham-an al-Qur’an, lebih-lebih tentang nasikh dan mansukh, asbab nuzul, tarikh nuzul dan lain-lain yang semuanya dibahas di dalam ilmu hadis. Mufassir juga harus menelaah pendapat para sahabat dan tabi’in. karena mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmunya. Berkaitan dengan telaah terhadap hadis, mufassir juga harus mengkaji sirah nabawiyyah untuk mengetahui kondisi dan peristiwa-peristiwa dimana suatu turun, seperti peperangan dan hal-ihwal jihad.
6.      Kebudayaan Modern dan Hal-Ihwal Masyarakat.
Seorang mufassir juga harus memahami keadaan zamannya dan menguasai keadaan masyarakat, menganal segi-segi positif dan negatifnya, penyakit-penyakit dan obat-obatnya, agar ia mampu berbicara kepada masyarakat sesuai dengan kadar intelektualitas mereka dan mengontrol kondisi masyarakat. Sehingga ia menjadi pen-dakwah yang memiliki ketajaman dan mampu menangani penyakit masyarakat dengan al-Qur’an serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.

IV.    Ke-empat, termasuk syarat terpenting atau ilmu terpenting yang harus dikuasai oleh mufassir adalah ilmu Mauhibah.
Yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah Ta’ala bagi yang mengamalkan ilmunya dan ikhlas dalam mengamalkannya. Ilmu ini tidak akan diperoleh oleh orang yang dihatinya ada bid’ah, kesombongan, cinta dunia atau kecenderungan. Ilmu ini hanya diberikan kepada hati yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman : وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ   “dan bertakwalah kepada Allah dan Allah akan menngajarimu” [3] semua ilmu ini dan pengetahuan-pengetahuan tersebut harus dikuasai oleh mufassir dan menjadi senjata baginya sebelum menafsirkan Kitabullah agar ia mampu memahaminya dan menangkap maksudnya. Al-’Allamah al-Zarqani menuturkan bahwa syarat-syarat ini tidak lain untuk merealisasikan tingkat tafsir tertinggi. Adapun makna-makna umum yang membuat seseorang merasakan keagungan Tuhannya dan yang dipahami dengan mudah, maka itu adalah kadar hamper bisa dipahami oleh semua orang. Itulah yang diperintahkan untuk direnungi dan dihayati. Karena Allah telah memudahkannya. Ini adalah tingkat tafsir terendah.[4]
Baik yang dimaksud tafsir tertinggi maupun terendah, maka Kitabullah Ta’ala tetaplah agung derajatnya dan tinggi nilainya, yang seyogyanya tidaklah menafsirkannya kecuali orang yang telah memenuhi syarat dan kecakapan tertentu. Tingkat tafsir yang dihasilkan sebanding dengan pemahamannya terhadap lautan ilmu-ilmu al-Qur’an dan pengetahuannya tentang rahasia-rahasianya. Al-Zarkasyi berkata : “Kitabullah, lautannya dalam dan memahaminya memerlukan kecermatan yang tidak bisa dijangkau kecuali oleh orang yang menguasai ilmu-ilmu, bertakwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan dan menyerahkan kepada-Nya ketika menghadapi ayat-ayat mutasyabih, yang hakikatnya tidak bisa diketahui kecuali oleh orang yang mendapat bimbingan dari-Nya. Makna lahiriyah adalah untuk umum, yakni dengan pendengaran lahiriyah. Isyarat adalah untuk orang khusus, yakni dengan akal. Makna-makna terhalus adalah untuk para wali, yakni dengan mata hati. Dan hakikat adalah untuk para nabi, yakni dengan penyerahan diri secara total.”[5]

Sejarah perkembangan tafsir alquran I. TAFSIR ALQURAN PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT.  Disamping rasulullah adalah satu-satunya tokoh yang dapat memahami alquran secara kesluruhan, beliau juga mengemban tugas untuk menjelaskan tiap hal yang terkandung dalam alquran,   Demikian pula yan terjadi dalam dikalangan sahabat, mereka dapat memahami alquran sebagaimana rasulullah kecuali hal-hal yang sangat detail, Ibnu Khaldun mengungkapkan:” Alquran diturunkan dalam bahasa arab dan gaya bahasa orang arab, oleh karena itu seluruh sahabat nabi dapat memahaminya, hanya saja tingkat pemahaman mereka berbeda-beda”. Ibnu Qutaibah bekata: “orang-orang arab tidak sama tingkat pemahamannya pada lafadz-lafadz gharib dan mutasyabih yang terdapat dalam Al quran, sebagian dari mereka melebihi yang lain” .  Pada masa penafsiran Al quran yang pertama ini para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsiri Al quran: 1. Al quran. Memang dalam satu bagian Al quran terdapat ayat yang bersifat mujmal, akan tetapi pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu ayat diturunkan dalam bentuk mutlaq atau ‘am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau mukhassis, dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al quran tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain. Metode penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al quran dengan Al quran.  2. Rasulullah Ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat Al quran, maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan penjelasan dari beliau. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “ ketika diturunkannya ayat  الذين أمنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم....الأية “…yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampur aduk iman mereka dengan perbuatan dzalim…” , para sahabat merasa sangat terbebani dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keterangan yang ada dalam ayat tersebut, kemudian mereka bertanya kepada Nabi SAW: “siapakah daintara kami yang tidak mendzalimi dirinya sendiri?, Nabi menjawab: bukanlah pengertian dari ayat tersebut seperti yang kalian maksudkan, bukankah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (luqman as.):  ان الشرك لظلم عظيم sesunguhnya yang dimaksud الظلم adalah perbuatan syirik”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.   Adakalanya Rasulullah juga memberi penjelasan suatu ayat tanpa didahului oleh pertanyaan para sahabat, seperti yang diceritakan dari sahabat Uqbah bin ‘amir ra. سمعت رسول الله صتى الله عليه وسلم يقول وهو على المنبر: وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة, ألآ وان القوة الرمى. “ aku (Uqbah bin ‘amir) pernah mendengar Rasulullah bersabda diatas mimbar: persiapkanlah diri kalian (sahabat) untuk menghadapi mereka (orang-orang kafir) dengan kekuatan yang kalian mampu/kuasai, dan ingatlah bahwa kekuatan itu adalah memanah”   3. Ijtihad Apabila tidak ditemukan penjelasan tentang suatu ayat , baik dalam Al quran maupun dari keterangan Nabi, maka para sahabat dengan kemampuan mereka sebagai orang arab yang dapat dipastikan mengerti serta memahami bahasa arab dari segala sisinya, berijtihaduntuk memahami maksud dari ayat tersebut. Beberapa sahabat yang dikenal sebagai mufassir adalah: Abu Bakar as Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asyari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Umar bin Ash dan Sayyidah Aisyah. Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir bil ma’tsur oleh sahabat ini mencapai derajat marfu’ apabila mempunyai tendensi asbabun nuzul atau penafsiran tersebut termasuk dalam liangkup bahasan hal-hal yang tidak tidak bisa ditelusuri secara rasio. Dan apabila penafsiran tersebut tentang hal-hal yang bisa dinalar dan tidak disandarkan kepada Nabi, maka hukum tafsiran sahabat tersebut adalah mauquf.  Akan tetapi sebagian ulama’ berpendapat “ meskipun tafsir sahabat termasuk dalam peringkat mauquf, penafsiran tersebut harus kita terima, karena para sahabaat adalah orang-orang yang ahli dalam bahasa arab sehingga sangat menunjang terhadap terbentuknya pemahaman yang benar pada Al quran, dan mereka mengetahui dengan pasti situasi serta kondisi yang berhubungan dengan suatu ayat ketika diturunkan”. Dalam kitab Al Burhan, Az Zarkasyi berkata: “ketahuilah bahwa penafsiran Al quran terbagi menjadi dua macam, adakalanya berdasarkan riwayat hadist Nabi atau sahabat dan adakalanya tidak berdasarkan riwayat hadist. Pada macam tafsir yang pertama bisa jadi penafsiran tersebut datang dari penjelasan Rasulullah atau dari keterangan yang diberikan oleh sahabat atau para pembesar tabiin, untuk penafsiran yang datangnya dari Nabi SAW, kita tinggal memeriksa kesahihan sanadnya, sedangkan untuk penafsiran yang datang dari sahabat, kita harus memeriksa ulang penafsiran tersebut dalam kitab-kitab yang memuat penfsiran-penafsiran sahabat. Jika mereka menafsiri Al quran dari segi bahasa, maka tidak diragukan lagi kemampuan mereka dalam hal itu, dan selanjutnya kita bisa menggunakannya sebagai pegangan, begitu pula tentang penafsiran suatu ayat yang asbabun nuzul dan qarinah-qarinah yang berhubungan dengan ayat tersebut diketahui oleh para sahabat”. Ibnu Katsir dalam pembukaan tafsirnya mengatakan: “Pada saat ini, jika kita tidak menemukan penafsiran oleh Alquran atau sunnah Rasullullah, maka kita harus kembali kepada aqwal sahabat ,karena mereka menyaksikan secara langsung situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat diturunkannya suatu ayat, serta mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, juga ilmu dan amal yang shalih, apalagi para pembesar mereka seperti, Khulafaurrasyidin, Imam Arba’ah dan Ibnu Mas’ud”. Dalam masa yang pertama ini belum ada sama sekali pembukuan terhadap tafsir, dan tafsir masih menjadi salah satu bagian dari bahasan hadits, oleh karena itu tafsir-tafsir ayat Al quran yang sudah ada masih tersebar dalam beberapa hadits dan belum mencakup seluruh ayat Al quran.


Kedudukan Tafsir Sahabat
Kedudukan tafsir shahabat dalam pandangan ulama adalah sebagai berikut:
Imam Al-Hakim dalam kitabnya –Al Mustadrak- mengatakan bahwa tafsir oleh shahabat yang menyaksikan turunnya wahyu hukumnya marfu’. Karena mereka meriwayatkannya dari nabi.
Asy-Syaikhani menguatkan pendapat Al-Hakim tersebut bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan turunnya wahyu haditnya musnad.
Menurut Ibnu Sholah, Nawawii, dan yang lainnya, tafsir shahabat itu Ithlaq. Karena jika dikembalikan ke asbabun nuzulnya tidak ada celah untuk ra’yi.
Tafsir shahabat yang tidak mengambil keterangan dari nabi hukumnya mauquf. Ulama berbeda pendapat tentang hadits mauquf ini. Sebagian mengatakan hadits mauquf tidak boleh diambil, sebagian lain mengatakan boleh dengan alasan bahwa shahabat mengambil hadits tersebut karena mendengar dari nabi. Terlebih jika yang membawakan hadits tersebut empat shahabat yang ahli tafsir. Tafsir yang ini menjadi marfu’ hukman.
Termasuk tafsir ma’tsur
Termasuk tafsir mu’tamad (dapat dijadikan pegangan)
 
Para ulama sepakat bahwa tafsir shahabat dapat diterima. Karena mereka pernah berkumpul dan bertemu dengan rasulullah s.a.w, mendapatkan keterangan dari sumber pertama, menyaksikan turunnya wahyu, dan mengetahui asbabun nuzul, selain penguasaan mereka terhadap bahasa dan budaya Arab.
2.     Keistimewaan Tafsir pada Masa Sahabat
Tidak menyeluruh. Karena mereka paham bahasa Arab.
Jarangnya perselisihan dalam memahami makna.
Sering merasa cukup dengan makna global, jadi tidak perlu diperinci lagi.
Menerangkan dengan bahasa yang sepadan.
Jarang mengambil kesimpulan dari fiqih.(???)
Belum ada kitab tafsir yang dibukukan. Sebaliknya, penafsiran ayat-ayat Al-Quran terdapat dalam hadits.


PENGERTIAN ISRAILIYAT
Secara etimologis, israiliyat adalah bentuk jamak dari kata tunggal israiliyah, yakni bentuk kata yang dinisbatkan pada kata israil yang berasal dari bahasa Ibrani, isra yang berarti hamba dan il yang bermakna Tuhan. Dalam perspektif histories, Israil berkaitan dengan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s, di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu di sebut Bani Israil. . (Ibn Qayyim Al-Jauziyah: -Sukardi KD,Ed:, Belajar Mudah ‘Ulum Al Quran;277)  Ibn Katsir dan lainnya menyebutkan dalil Bahwa Ya’qub adalah Israil melalui hadis riwayat Abu Dawud At-Thayalisi dalam Musnadnya dari Ibnu Abbas bahwa sebagian orang Yahudi mendatangi Nabi s.a.w. Lalu beliau bersabda (kepada mereka)”apakah kalian mengetahui bahwa Israil adlah Ya’qub?” mereka menjawab,”Ya”, dan Nabi bersabda, saksikanlah” ( Cerita-cerita Populer Tapi Palsu, Izzuddin AlKarimi/penerj; h.27) Secara terminologis, -Ibn Qayyum juga menjelaskan, bahwa- israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadis di mana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak Dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang di bawa orang-orang Yahudi..(2002:277) Bahkan sebagian Ulama Tafsir dan hadis telah memperluas makna israiliyat dengan cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang datang dari Yahudi maupun dari sumber-sumber lainnya. Hal demikian itu lalu dimasukkan kedalam tafsir dan hadis, walaupun cerita itu bukan cerita lama dan memang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang sengaja akan menrusak akidah kaum Muslimin.(selengkapnya; Ahmad Sadzali, Ulumul Quran I , h.240) Dan ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam AlQuran terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Adalah para sahabat menaruh atensi terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan, sesuai pesan Rasulullah: “ولا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبو هم, وقولوا آمنا بالله وما انزل الينا..”(رواه البخارى) “Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, ‘ Kami beriman kepada Alloh dan kepada apa yang diturunkan kepada kami..” (Hadist Bukhori)  Dan dalam hadist lain Nabi memperingatkan para penyampai berita maupun kisah-kisah itu agar tidak menyimpang dalam menceritakannya. "بلغوا عنى ولو آية, وحدثوا عن بنى اسرائل ولا حرج, ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار". (أخرجه البخارى) “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak di larang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka (HR Bukhori).  Dua hadist tersebut tidak bertentangan karena yang pertama menyiratkan kemungkinan benar dan salahnya sebuah cerita, sedang hadist berikutnya menunjukkan kebolehan menerima cerita dari Bani israil,meskipun harus dengan aturan yang ‘sangat ketat’, diantaranya adalah kejelasan Sanad nya.  2. TIMBULNYA ISRAILIYAT DALAM PENAFSIRAN ALQURAN 3. TOKOH-TOKOH PERIWAYAT ISRAILIYAT
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kecenderungan para mufassir mengambil israiliyat makin besar di masa Tabi’in, tentu saja peran Ahli Kitab dalam memberikan kontribusi israiliyat makin tak terbendung. Disinilah kemudian terjadi bercampuraduknya israiliyat yang benar atau yang autentik sanad nya dan yang salah atau yang tidak ada dasar yang jelas. Dari mayoritas sumber maupun ‘kebanyakan riwayat’ (istilah AlQaththan), israiliyat selalu dikaitkan dengan empat tokohnya yang ternama, yaitu; Abdullah Ibn Salam, Ka’ab al Akhbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik Ibn Abdul ‘Aziz Ibn Juraij. 1. Abdullah Ibn Salam; Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdullah Ibn Salam Ibn Harist Al-Israil Al-Anshari. Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah..,dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk Mujahid di perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait al Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar Ibn Khattab.. Dari segi ‘adalah-nya’ kalangan ahli hadis dan tafsir tak ada yang meragukan .Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling’ alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam.. Kitab-kitab tafsir banyak memuat Riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya;diantaranya Tafsir Ath Thabari. 2. Ka’ab Al Akhbar; Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani AlHimyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab al Akhbar karena kedalaman ilmunya. Dia berasal dari Yahudi Yaman dari keluarga Zi Ra’in.. 3. Wahab Ibn Munabbih; Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Wahab Ibn AlMunabbih Ibn Sij Zinas Al Yamani Al Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negri Yaman, dan meninggal tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah. 4. Abd Al Malik Ibn Abd Al ‘Aziz ibn Juraij; Nama lengkapnya adalah Abu Al Walissd (Abu Al Khalid) Abd Malik Ibn abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dari bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada tahun 150 H (Rachmad Syafe’i ;110-114)  Para Ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan memepercayai Ahli Kitab tersebut; ada yang mencela (mencacat, menolak) dan ada pula yang mempercayai (menerima). Perbedaan pendapat paling besar ialah mengenai Ka’ab AlAkhbar. Sedangkan Abdullah Ibn Salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Karena itu Bukhori dan Ahli Hadis lainnya memegangi dan mempercayainya. Di samping itu kepadanya tidak dituduhkan hal-hal buruk seperti yang dituduhkan pada Ka’ab Al Akhbar dan Wahab ibn Munabih ( Manna’ Khalil Al Qattan/terj. Studi Ilmu-Ilmu AlQuran, 493 )   4. PEMBAGIAN ISRAILIYAT DI TINJAU DARI BERBAGAI ASPEK Dalam Kitab Aara’ Khathiah wa Riwayat Bathilah Fi Siyaril Anbiya’ Wal Mursalin ‘Alaihumussholatu was Salam karangan Abdul Aziz bi Muhammad bin Abdullah As-Sadahan, dijelaskan, Israiliyat di bagi menjadi tiga bagian pokok: 1.Macam-macam Israiliyat di lihat dari segi keshahihan Sanad, 2. Dari segi kesesuaiannya dengan Syara’, 3. Dari sisi kandungan isinya  I. Israiliyat dilihat dari sisi keshahihan Sanad terbagi menjadi dua: yaitu Israiliyat yang Shahih dan Israiliyat yang lemah ( Contoh Israiliyat yang shahih disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Ibnu Jarir; Telah berkata kepada kami AlMutsanna,telah berkata kepada kami Usman bin Umar,telah berkata kepada kami Fulaih dari hilal bi Ali dari Ali bin Yasar berkata,’Saya telah bertemu dengan Abdullah bin Amru, saya bertanya,”Beritahukan kepadaku sifat Rasulullah s.a.w di dalam Taurat, beliau berkata,” Ya, demi Alloh, Nabi s.a.w sifat-sifatnya termaktub di dalam Taurat seperti termaktub di dalam AlQuran, "ياايّها النبي إنّا ارسلناك شاهدا ومبشّرا ونذيرا وحرزا للاميّين انت عبدى ورسولى اسمك المتوكل ليس بفظّ ولا غليظ ولن يقبضه الله حتّى يقيم به الملة العوجاء بان يقول لااله الا الله به قلو با غلفا واذانا صمّا واعينا عميا".  " Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi berita gembira, pemberi peringatan, pelindung bagi orang-orang ummi (tidak kenal baca tulis), engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku, namamu Al Mutawakkil, bukan berarti keras dan bersikap kasar, Allah tidak akan mewafatkannya sehingga Allah meluruskan dengannya agama yang bengkok, dia berkata La Ilaha Illa Allah dengan Allah membuka hati yang tertutup,telinga yang tuli dan mata yang buta" (Terj. Izzudin h.34)   Contoh Israiliyat yang dloif (lemah)( adalah seperti yang diriwayatkan dari ibnu Abbas dalam tafsir surat Qaaf. Qaaf adalah gunung besar yang mengelilingi dunia. Penafsiran ini adalah bathil tanpa diragukan sedikitpun dan penyandarannya kepada Ibnu abbas adalah dusta. Demikian seperti yang dinyatakan oleh beberapa Ulama’.  II. Israiliyat dilihat dari sisi kesesuaiannya dengan Syara’ terbagi menjadi tiga: 1. Bagian yang dibenarkan 2. Bagian yang didustakan 3. Bagian di alam Barzakh,tidak diterima,tidak ditolak,disebut hanya untuk Faedah Beberapa contoh Israiliyat dibawah ini adalah sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh AlUtsmani dalam bukunya Ushul Fi At-Tafsir, -terj Ummu Ismail, hal 130-133;  Contoh Israiliyat yang dikuatkan oleh( Islam dan diakui kebenarannya adalah riwayat Bukhari dan lainnya dari ibnu mas’ud Radliyallahu Anhu, dia berkata: “Telah dating seorang pendeta kepada Rasulullah s.a.w, kemudia diaberkata: ‘Ya Muhammad sesungguhnya kami mendapati bahwa Alloh menjadikan langit dengan satu jari, menjadikan pohon dengan satu jari dan kekayaan dengan satu jari dan menjadikan seluruh makhluk dengan satu jari, kemudian dia berkata” Aku adlah penguasa(Raja)”. Maka Rasulullah s.a.w tertawa sampai terlihat gigi graham beliau membenarkan perkataan pendeta itu kemudian Rasulullah s.a.w membaca,      “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya[1316]. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. AzZumar:67)   Contoh( israiliyat yang diingkari Islam dan diakui kedustaannnya, maka berita itu bathil, adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir Radliyallahu Anhu, dia berkata: “ Seorang Yahudi berkata:” Apabila menggaulinya (wanita) dari belakangnya,maka akan melahirkan anak yang juling matanya,” maka turunlah ayat:  "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" (QS. AlBaqarah:233)   Adapun yang tidak diterima dan tidak di tolak( adalah yang tidak diterima dan di tolak -sebagaimana di sebut dalam karya Abdul Aziz, terj .Izzuddin,37-39- Seperti kisah korban pembunuhan yang secara global Allah menceritakannya dalam surat Al Baqarah( Ayat 67-68) 67." Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil." 68. Mereka menjawab: " Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu."  Sebagian riwayat menyatakan latar belakang pembunuhan dimana korban hidup kembali setelah diambilkan sebagian anggota sapi yang disembelih dan dipukulkan kepadanya…, kita tidak membenarkan,tidak juga mendustakan,bisa benar bisa pula salah, ilmunya di sisi Allah.  III. Israiliyat dilihat dari sisi Kandungan isinya terbagi menjadi tiga: 1 Dalam masalah Akidah, misalnya ucapan alim Yahudi di atas bahwa Allah meletakkan bumi da satu jariNya dan langit-langit da satu jariNya. Riwayat ini termasuk masalah Akidah 2. Dalam hukum, misalnya riwayat dua orang Yahudi yang berzina dan seorang Yahudi menutupkan tangannya di atas ayat rajam. Ketika ia mengangkatnya terbacalah bahwa Taurat memerintahkan rajam kepada orang yang berzina. Riwayat ini termasuk dalam urusan hukum 3.Dalam masalah nasihat-nasihat, sirah dan tarikh, misalnya keterangan tentang sifat perahu Nuh a.s dan hewan-hewan serta burung-burung yang menaikinya atau keterangan tentang tongkat Musa a.s ,atau semut Sulaiman a.s, dan sebagainya. Keterangan-keterangan tersebut tidak termasuk pada bagian pertama, tidak pula pada bagian kedua, melainkan dikategorikan dalam bagian ketiga.   5. IDENTIFIKASI ISRAILIYAT DALAM BEBERAPA KITAB TAFSIR ( Adz-Dzahabi, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah –Ed.Sukardi KD-dalam bukunya Belajar mudah Ulum Al-Quran, mengklasifikasi beberapa kitab tafsir yang ‘memunculkan’ kisah-kisah israiliyat, sebagai berikut: 1. Kitab yang meriwayatkan kitab israiliyah lengkap dengan sanad, tapi ada sedikit kritikan terhadapnya. Kitab yang termasuk dalm klasifikasi ini adlah tafsir ath-Thabari (w.310H) yang berjudul Jami’ Al bayan Fi Tafsir Al Quran 2. Kitab yang meriwayatkan israiliyat lengkap dengan sanad, tapi kemudian menjelaskan kebathilan yang ada dalam sanad tersebut. Termasuk dalam klasifikasi ini adlah tafsir Ibn Katsir (w.774) yang bernama Tafsir AlQuran al Adzhim 3. Kitab yang meriwayatkan israiliiyah dengan menghidangkannya begitu saja, tanpa menyebut sanad atau memberi komentar(tidak mengkritiknya), atau tidak menjelaskan mana riwayat yang benar dan mana yang salah. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Tafsir Muqatil ibnu Sulaiman (w.150 H). 4. Kitab yang meriwayatkan israiliyyah dengan tanpa sanad, dan kadang-kadang menunjukkan kelemahannya atau menyatakan dengan tegas ketidakshahihannya tapi dalam meriwayatkan terkadang tidak memberikan kritik sama sekali,kendati riwayat yang dibawannya itu bertentangan dengan syariat Islam. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi Ini adalah Tafsir al-Khazin (w. 741.H) yang berjudul Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil. 5. Kitab yang meriwayatkan israiliyyah tanpa sanad dan bertujuan menjelaskan kepalsuan atau kebathilannya. tafsir ini sangat pedas mengkritik israiliyyah. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Tafsir al-Alusi (w.1270.H) yang bernama Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al Qur an wa Sab’u al-Matsani. 6. Kitab tafsir yang menyerang dengan pedas para mufassir yang “menghidangkan” israiliyyah dalam Tafsirnya.dari pedasnya serangan mereka. Pengarang kitab ini berani melontarkan tuduhan yang tidak selayaknya pada pembawa kisah israiliyyah ini, walau mereka terdiri dari sahabat-sahabat terpilih dan para tabi’in. Meskipun demikian pengarang ini juga terperangkap dalam situasi serupa dalam artian bahwa tanpa disadari dia menampilkan israiliyyah dalam tafsirnya. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir susunan Rasyid Ridha (w.1354 H) yang bernama Tafsir al-Manar. (Belajar Mudah Ulum AlQuran:281-282)   6. BEBERAPA CONTOH ISRAILIYAT PADA NABI DAN RASUL  ( Abi Al Fida’ Al Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsir Quran Al ‘Adhim nya, menjabarkan beberapa pendapat mufassir tentang Surat Yusuf ayat 24:    24." Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih".  Mengenai” tanda dari Alloh” yang dilihat oleh Yusuf, terdapat bayak cerita dan pendapat; ( Ibnu Abbas, Mujahid, Al Hasan, Qatadah dan banyak lainnya berkata, bahwa Yusuf melihat bayangan ayahnya seakan-akan memandangnya sambil menggigit jarinya.   Al Aufi dan Muhammad bin Ishaq berkata bahwa Yusuf melihat bayangan majikannya, suami Zulaikhah didepannya saat itu.( ( Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muhammad alQuradli bahwa Yusuf tatkala melihat keatas pad saat itu melihat tulisan “ Janganlah kamu mendekati zina karena itu adalah perbuatan yang keji”  Pendapat-pendapat tersebut tidak ada yang didukung oleh suatu dalil atau hujjah yang meyakinkan. Maka yang benar hendaklah dipahami sebgaimana difirmankan Alloh, “Demikianlah Kami memperlihatkan kepadanya (Yusuf) sesuatu tanda yang memalingkannya dari perbuatan keji dn kemungkaran, karena dia adalh termasuk hamba-hambaKu yang mukhlish, suci dan terpilih “   Al Quran Surat Hud ayat 46:(   46. Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya[722] perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."  Para ahli tafsir mnenyebutkan riwayat yang intinya bahwa Nuh menangis dalam waktu yang lama. Sebagian ahli tafsir tanpa meneliti- menambahkan, bahwa Nuh menangis selama 300 tahun (sebagaimana dalam riwayat israiliyat tersebut). Dan rumput-rumput tumbuh karena tersiram air matanya. Berita semacam ini, seperti yang diucapakan oleh Imam Adz Dzahabi “ malu menceritakannya”, akan tetapi ia tertulis di buku-buku sejarah dan sebagian buku tafsir.   Ada juga cerita Nabi Nuh yang memukul( pantat kambing yang sulit masuk ke perahu, sehingga kelaminnya terlihat (karena bulunya rontok) lalu domba bisa masuk ke perahu dengan tenang maka auratnya tertutup. Cerita tersebut ditolak oleh akal, tetapi tetap diceritakan, maka tanggungjawab dipundak orang yang menukilnya. (Abdul Aziz bin Muh. Assadahan;Cerita-Cerita Populer Tapi palsu/terj.-; 107-108)   BERBAGAI PANDANGAN DAN PENDAPAT TENTANG ISRAILIYAT  ( Pendapat Ibn Katsir (w.774H) dalam tafsir AlQuran Al’Adziim, ia membagi Israiliyat kepada tiga golongan, pertama yang diketahui kebenarannya,karena ada konfirmasinya dalam syariat,maka dapat diterima. Kedua,yang diketahui kebohongannya,karena ada pertentangannya dengan syariat,maka harus di tolak. Ketiga,yang tidak masuk kedalam bagian pertama dan kedua tersebut,maka terhadap golongan ini tidak boleh mendengarkannya dan mendustakannya ,tetapi boleh meriwayatkannya (Ibn katsir Ibn alQuraisyi, Tafsir AlQuran AlAdziim; Mesir: Isa Albabi Aql Al Halaby As-Syuraakahu,juz I hlm 4)  Ibn Al Arabi dalam Kitabnya, Ahkaam Alquran, ia sangat berhati-hati terhadap israailiyat( ( Ibnu Taimiyah sama sekali bersikap tawaqquf terhadap kebenaran segala riwayat yang datang dari tokoh-tokoh israiliyat yang sifatnya tidak ada bukti yang tegas atas kebathilannya.. Sikap tawaqquf juga ditujukan kepada isi kitab suci Ahli Kitab (Taurat dan Injil), karena ada kemungkinan isinya itu termasuk yang mereka ubah, atau yang masih asli. ( AlQasimi dalam tafsirnya,Mahasin At-Ta’wil ia mengemukakan pendapatnya sekaligus mengakhiri pembahsannya tentang konfirmasi cerita-cerita nabi-nabi terdahulu dengan israiliyat, bahwa kitab suci Ahli Kiitab (Taurat dan Injil) dan segala riwayat yang bersumber dari mereka,sama-sama dapat dipegangi,karena adanya kebohongan dan pertentangan didalamnya sampai sekarang  Adz Dzahabi dalam kitabnya,( At tafsir wa Al Mufassirun, ia membagi israiliyat pada tiga jenis: Pertama, yang diketahui keshahihannya,karena adanya konfirnasi dari sabda Nabi s.a.w atau dikuatkan oleh syariat. Bentuk ini dapat diterima. Kedua, diketahui kebohongannya, karena pertentangannya dengan syariat atau tidak sesuai dengan akal sehat. Bentuk ini tidak boleh diterima dan tidak boleh meriwayatkannya. Ketiga, yang tidak termasuk kedua jenis tersebut di atas, harus bersikap tawaqquf terhadapnya ( tidak membenarkan dan tidak mendustakan)..  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis israiliyat yang di tolak adalah ;  Yang jelas bertentangan dengan syariat dan akal(  Diriwayatkan oleh orang yang tidak maqbul riwayat;( Dan israiliyat yang dapat diterima adalah:  Sejalan dengan atau mendapatkan konfirmasi dari AlQuran( Dan yang ditawaqqufkan adalah:  Yang tidak mendapat konfirmasi dari AlQuran( Sedangkan criteria penolakan dan penerimaan menurut M Quraisy Syihab, antara lain:  AlQuran ; Taurat menyebutkan sab’ah ayyam, sedangkan AlQuran dinyatakan sittah ayyam, maka keterangan dari Taurat itu tertolak( ( Akal dan Ilmu, yakni pemikiran yang sudah disepakati, buakan yang berdasarkan subyektifitas masing-massing golongan, misalnya, soal kelahiran iz sebagai kembaran dari Ya’qub. (Rachmad Syafe’i ; 117-123) Mengenai pengaruh negative israiliyat, jika memang bertentangan dengan Islam,AlJauzi menyebut beberapa dampak, diantaranya: 1. merusak akidah umat Islam, 2. memberi kesan bahwa Islam itu agama khurafat, takhayul dan menyesatkan, 3. riwayat-riwayat tersebut hamper-hampir menghilangkan rasa kepercayaan padas ebagian Ulama Salaf, baik dari kalangan sahabat maupu tabi'in seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Salam dan Wahb bin Munabbih, 4 memalingkan perhatian umat Islam dalam megkaji soal-soal keilmuan Islam karena larutnya umat ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyat.   Menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip Mana’ al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, dalam sejarah diketahui bahwa  orang-orang Arab telah berinteraksi dengan orang Yahudi jauh sebelum Rasulallah Muhammad datang membawa Islam. Orang-orang Arab adakalanya menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta, rahasia-rahsia yang terkandung dalam penciptaan alam, sejarah masa lalu, tokoh-tokoh tertentu, atau tentang suatu peristiwa yang pernah terjadi pada suatu masa, kepada orang-orang Yahudi karena mereka memiliki pengetahuan yang didapat dari kitab Taurat atau kitab-kitab agama mereka lainnya.[5]
            Setelah Islam datang, ada sebagian kecil orang Yahudi yang menerima ajaran Islam dan menjadi muslim, seperti Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar (masuk Islam pada masa pemerintahan Umar). Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas pernah bertanya kepada orang orang-orang Yahudi yang  telah muslim ini tentang beberapa peristiwa masa lalu, namun terbatas pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan akidah dan ibadah. Ini artinya bahwa israiliyyat merupakan salah satu rujukan dalam menafsirkan al-Qur’an pada masa sahabat, hanya saja mereka menganggap itu sebagai suatu kebolehan saja, bukan keharusan. Setelah Rasulallah wafat, para sahabat tidak lagi bisa mendapatkan orang yang bisa memberi penjelasan terhadap suatu ayat yang ingin mereka pahami, sehingga dalam hal-hal yang terkait dengan peristiwa umat terdahulu, mereka menanyakan kepada sahabat yang dulunya ahli kitab.[6]
 Barangkali para sahabat yang menyampaikan berita israiliyyat ini tidak bermaksud menyampaikan berita bohong. Sebab selama mereka memeluk agama lamanya, kisah-kisah itulah yang mereka punya. Dan ketika ayat al-Qur’an menyinggung kisah yang sama, merekapun memberi komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya. Kalaupun ada kebohongan atau dusta, bukan terletak pada sahabat itu, melainkan dusta itu sudah sejak lama ada dalam agama mereka sebelumnya.
            Rasulallah sendiri dalam menyikapi berita dari kalangan sahabat yang dulunya ahli kitab sangatlah bijaksana. Beliau tidak menggeneralisir bahwa semua yang bersumber dari Yahudi pasti salah dan demikian juga tidak langsung membenarkannya. Beliau hanya mengingatkan untuk berhati-hati dalam menerimanya, dengan sabdanya:
ولا تصدقوا اهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وما انزل الينا (البخارى)                                                     
 “Dan  janganlah kalian membenarkan ahli kitab  dan jangan pula mendustakan mereka, katakanlah kami telah beriman kepada Allah dan segala yang Ia turunkan kepada kami”                Namun setelah masa tabiin, proses periwayatan israiliyat ini semakin aktif disebabkan kecendrungan masyarakat untuk mendengarkan cerita-cerita yang agak luar biasa. Di masa ini penafsiran al-Quran dengan israiliyyat menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena, di satu sisi, semakin banyak ahli kitab yang memeluk ajaran Islam dan di sisi yang lain, kecendrungan manusia untuk mengetahui segala sesuatu (termasuk tentang umat terdahulu), terpenuhi dengan keberadaan kisah-kisah israiliyyat ini. Sehingga pada masa tabiin ini muncul kelompok yang disebut al-qashshash, yaitu para penyampai berita yang tidak bertanggung jawab.
 Cerita-cerita israiliyat pada masa tabiin banyak bersumber dari Wahab ibn Munabbih, seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam, Muhammad ibn Sa’ib al-Kalbi, Muqatil ibn Sulaiman, Muhammad ibn Marwan al-Suddi dan Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Juraij seorang Nasrani berbangsa Romawi yang kemudian masuk Islam.[7]
Lambat laun pengaruh israliyyat ini sangat besar dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga hampir semua kitab tafsir memuatnya. Para mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka kepada segala pembawa berita. Mereka beranggapan bahwa orang yang sudah masuk Islam, tentu tidak akan berdusta. Itulah sebabnya para mufassir ketika itu tidak mengoreksi dan memeriksa lagi kabar-kabar yang mereka terima. Lagi pula para mufassir ketika memuat israiliyyat, sifatnya hanya menghimpun data, tanpa meneliti mana yang shohih dan yang tidak shohih. Seperti Al-Thabari yang lebih menekankan kepada pencatatan semua hal yang berkaitan dengan suatu ayat.
            Suatu hal yang cukup menarik, manurut Dr.Yusuf Qaradhawi, bahwa  kisah-kisah yang diistilahkan dengan israiliyyat itu ternyata tidak atau jarang terdapat dalam kitab-kitab induk kalangan ahli kitab itu sendiri. Kisah-kisah tersebut hanya berkembang dari mulut ke mulut dikalangan masyarakat awam Yahudi dan Nasrani, yang kemudian disampaikan  kepada kaum muslimin. Menurut analisa Al-Qaradhawi, penyampaian riwayat israiliyyat ini disamping sebagai hasil interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat Arab dan kaum Yahudi, juga ada unsur kesengajaan dari kalangan Yahudi untuk menyebarkannya.
            Sebagaimana telah diketahui, bahwa kaum muslimin telah berinteraksi dengan orang-orang Yahudi sejak hijrahnya Rasulallah ke Madinah, dimana penduduknya terdiri dari komunitas Arab dan Yahudi yang telah menetap di sana cukup lama. Kekalahan Yahudi dalam perang Khaibar, meninggalkan dendam pada hati kaum Yahudi, untuk bisa mengalahkan kaum muslimin dengan cara lain. Maka senjata budaya menjadi pilihan yang paling mungkin, sebab tidak memerlukan biaya, tenaga dan pasukan yang banyak. Mereka mulai menyusupkan berita-berita israiliyyat agar tercampur dengan berita-berita yang datangnya dari Allah dan Rasulnya.[8]
Kalangan Yahudi sangat mengetahui bahwa Rasulallah begitu perduli terhadap kemurnian ajaran Islam, sehingga disebutkan dalam satu hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulallah pernah melihat Umar ibn al-Khattab memegang suatu lembaran Taurat di tangannya, maka Rasulallah SAW. dengan nada tidak senang bersabda:
اومتهوكون بها يا بن الخطاب؟ لقد جئتكم بها بيضاء نقية. والذى نفسى بيده, لو كان موسى حيا ما وسعه الا ان يتبعنى   
“Apakah engkau masih meragukan agamamu, wahai Ibnu al-Khattab? Padahal aku telah membawa agama ini kepada kalian dengan terang dan sejelas-jelasnya. Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, seandainya Musa hidup pasti dia akan mengikutiku”(HR. Ahmad, Abu Ya’la, dan al-Bazzar)
           
Bentuk Informasi Israiliyyat
            Sebagaimana telah disinggung dimuka, bahwa riwayat israiliyyat sebagian besar dibawa oleh orang Yahudi yang telah masuk Islam. Pada umumnya riwayat-riwayat ini bersifat berhenti (mauquf) sampai  sahabat, bukan marfu’ kepada Rasulallah. Informasi israiliyyat pada masa sahabat dan tabi’in pada umumnya dimanfaatkan untuk memberi gambaran yang lebih detil tentang; tafsir al-Qur’an, syarah hadits-hadits, fakta-fakta sejarah, kisah nabi-nabi dan umat terdahulu, dan kejadian alam.
Bentuk dongeng atau kisah israiliyyat itu sendiri dapat dicirikan dengan salah satu dari beberapa ciri berikut:
Persoalan yang biasa dibahas adalah tentang asal-usul dan rahasia kejadian alam semesta. Seperti penjelasan tentang Qaf (nama sebuah surat dalam al-Qur’an), menurut sebuah riwayat israiliyyat, Qaf adalah nama sebuah gunung yang mengelilingi bumi. 
Kisah-kisah nabi-nabi terdahulu yang sangat berlebihan, seperti kisah yang menceritakan kesabaran nabi Daud ketika tertimpa musibah penyakit, di mana digambarkan nabi Daud mengutip kembali ulat-ulat yang berjatuhan dari luka penyakitnya dan meletakkan  kembali ke tempatnya semula.
Perincian terhadap sesuatu yang tidak dijelaskan secara detil oleh al-Qur’an. Seperti tentang jenis pohon di surga yang Allah larang nabi Adam mendekatinya.
Pelanggaran terhadap kesucian nabi-nabi. Seperti kisah nabi Daud yang membunuh seorang tentaranya yang bernama Oraya untuk mendapatkan istri Oraya yang cantik padahal nabi Daud sendiri telah memiliki 99 orang istri.
Kisah-kisah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Seperti kisah bahwa istri nabi Nuh termasuk orang yang selamat dari azab banjir.
Ada keterangan yang menyebutkan bahwa riwayat tersebut diambil dari ahli kitab.
Ada keterangan yang menyebutkan bahwa riwayat tersebut ada kelemahan.
Adanya kisah-kisah yang sama tapi bertentangan isinya. Seperti tentang penentuan anggota badan lembu betina, ada yang menyebut bagian paha, lidah, ekor, dsb.
Isi ceritanya aneh dan pelik. Seperti bahwa jumlah alam ada sekitar 18.000 atau 14.000.
Kisah-kisah yang mengandung khurafat. Seperti kisah gergaji ‘Aaj ibn Unuq.
Kisah-kisah tentang masa lampau atau kaum-kaum terdahulu. Seperti kisah tentang kerusakan Bani Israil.[9]

Sikap Ulama tentang Adanya Israiliyyat dalam Tafsir
 Para ulama tidak dapat menetapkan hukum secara mutlaq atau general terhadap kisah-kisah israiliyyat. Hal ini disebabkan ada dalil yang membolehkan untuk mengambil informasi dari kalangan Ahli Kitab, yaitu sabda Rasulallah:
وحدثوا عن بنى اسرائيل ولا حرج و من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار( البخارى)              بلغوا عنى ولو اية,
“Sampaikannlah dariku walau hanya satu ayat. Dan ambillah riwayat dari Bani Israil, tanpa halangan, dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah untuk mengambil tempatnya di neraka” (HR. Bukhari)
Namun ada juga hadits Rasulallah yang seolah-olah melarang hal tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut ini:
كيف تسألون أهل الكتاب عن شىء وكتابكم الذى أنزل على رسول الله أحدث, تقرؤون محضا لم يشب؟!, وقد حدثكم أن أهل الكتاب بدلوا كتاب الله وغيروه , وكتبوا بأيديهم الكتاب. وقالوا هو من عند الله ليشتروا به ثمنا قليلا, ألا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم, لا و الله ما رأينا منهم رجلا يسألكم عن الذى أنزل عليكم                                                      
“Bagaimana kalian bertanya kepada ahli kitab, sedangkan kitab kalian diturunkan kepada Nabi kalian yang beritanya lebih baru dari Allah, kalian membacanya dan tidak mencela?!. Allah memberitahukan kapada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan merubahnya dengan tangan-tangan mereka, kemudian mereka mengatakan bahwa ia berasal dari Allah untuk menjualnya dengan harga yang murah. Tidakkah Ia telah melarang kalian untuk bertanya kepada mereka. Demi Allah, mereka tidak menanyakan sesuatupun kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.”(HR. Al-Bukhari)
Menyikapi kedua dalil diatas yang seolah bertentangan ini, para ulama mendudukkannya sebagai berikut; bahwa yang dimaksud Rasulallah untuk mengambil riwayat dari ahli kitab sesungguhnya  tidaklah mutlaq, namun terikat hanya kepada riwayat yang baik dan cerita yang tidak jelas status benar atau dustanya namun tidak ada indikasi tentang kebatilannya.  
Ibnu Katsir menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa riwayat israiliyyat dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
Kisah israiliyyat yang diketahui kebenarannya karena sesuai atau tidak bertentangan dengan informasi al-Qur,an dan Sunnah shahihah, maka kisah itu benar dan bisa diterima. Diperbolehkan menggunakannya sebagai pembanding, bukan sebagai rujukan utama atau sebagai sumber hukum. Seperti kisah yang menceritakan bahwa nama teman seperjalanan   nabi Musa adalah Khidir. Nama Khidir pernah disebutkan oleh Rasulallah, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari.
Kisah israiliyyat yang diketahui kebohongannya karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah shahihah atau tidak sejalan dengan akal sehat Kisah seperti ini harus dibuang dan tidak boleh digunakan. Seperti cerita malaikat Harut dan Marut yang terlibat perbuatan dosa besar, yaitu mabuk, berzina dan membunuh.
Kisah israiliyyat yang didiamkan karena tidak dapat dipastikan statusnya benar atau dusta. Kisah seperti ini tidak boleh dibenarkan ataupun didustakan, namun boleh menceritakannya.  Seperti kisah tentang bagian sapi betina yang diambil untuk dipukulkan kepada orang mati dari Bani Israil.[10]
Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa meskipun sebagian ulama salaf merekomendasikan kebolehan meriwayatkan israiliyyat  tanpa  mengamalkannya, namun sesungguhnya riwayat-riwayat ini tetap tidak ada gunanya dan tidak bermanfaat dalam masalah agama. Kalaupun ada yang beranggapan israiliyyat ini  bermanfaat untuk kesempurnaaan informasi yang terdapat dalam agama, maka manfaat itu sangat kecil dan tidak signifikan.
Para ulama, semisal Anas ibn Malik sangat berhati-hati terhadap periwayatan israiliyyat ini, sehingga untuk itu ia menyeleksi dengan ketat para perowi yang akan ia ambil hadits darinya. Qatadah adalah salah satu rawi tabiin yang ditolak riwayatnya oleh Anas ibn Malik karena ia banyak meriwayatkan israiliyyat.[11]
Keberadaan israiliyyat yang telah dinyatakan tidak memberi manfaat bagi agama ini, dikomentari oleh Yusuf Al-Qaradhawi secara tegas  bahwa mengutip israiliyyat di dalam kitab tafsir, seolah-olah  seperti memenuhi berlembar-lembar halaman dan membuang-buang waktu bagi sesuatu yang tidak didukung ilmu, yang tidak dapat dijadikan petunjuk dan keterangan.[12]
Namun karena israiliyyat ini telah tersebar di sebagian kitab-kitab tafsir, maka diperlukan kejelian dan kehati-hatian, bagi siapa saja yang mendapati berita-berita yang bernuansa israiliyyat, yaitu dengan  mengikuti kaidah-kaidah dalam periwayatan israiliyyat, sebagai berikut:
Melakukan penelitian terhadap rawi-rawi sanadnya
Melakukan pengamatan terhadap matan atau kandungan riwayat tersebut
Merujuk kepada para ulama yang mendalami persoalan ini, seperti:
-          Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fi al-Milal wa Ahwal al-Nihal
-          Al-Thabari dalam kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk
-          Al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa’ bi Ta’rif Huquq al-Musthafa
-          Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Nubuwwah dan al-Jawabu al-shahih li man Baddala Diin al-Masih
-          Ibn Al-Qayyim dalam kitab Hidayah al-Hiyar fi Ajwibat al-Yahud wa al-Nashara
-          Ibn al-Katsir dalam kitab tafsirnya dan kitab al-Bidayah wa al-Nihayah
-          Al-Hindi dalam kitab Izhar al-Haq
-          Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Mahasin al-Ta’wil
-          Muhammad Husin al-Zahabi dalam kitab al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits dan Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun
-          Dll.

TAFSIR PADA MASA TABI’IN  Seiring berjalannya waktu kebutuhan umat dalam memahami isi Al quran semakin meningkat, dengan adanya penafsiran terhadap Al quran yang terbatas pada hal-hal yang tidak dimengerti pada suatu kurun waktu, maka pada masa penafsiran ini masih terdapat banyak sekali ayat-ayat yang belum mempunyai penafsiran. Dengan adanya tuntutan jaman yang semacam ini maka muncullah ulama-ulama tafsir dari kalangan tabi’in. Al ustadz Muhammad Husain ad Dzahabi mengatakan bahwa dalam menafsiri Al quran, ulama tabi’in berpegang pada hal-hal berikut secara berurutan: pemahaman mereka terhadap apa yang ada dalam Al quran dengan keterangan-keterangan yang sudah ada di dalamnya, penjelasan yang ada dalam hadits-hadits Nabi, penafsiran- penafsiran sahabat, keterangan dari para ahli kitab tentang apa yang ada dalam kitab mereka, dan pemahaman yang mereka dapat dari hasil ijtihad mereka.  Selanjutnya dengan adanya perluasan daerah Islam, banyak ulama dari kalangan sahabat yang berpindah tempat dengan tujuan memperluas dakwah, dengan begitu banyak sekali ulama dari golongan tabi’in yang berguru pada mereka an banyak pula madrasah-madrasah yang didirikan. Di Makkah didirikan Madrasah Ibnu Abbas dan diantara murid yang terkenal adalah: Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah budak Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al Yamani, dan Atha’ bin Abi Rabbah. Di Madinah sahabat Ubay bin Ka’ab adalah tokoh yang paling dikenal sebagai mufassir, beberapa tokoh tabi’in yang berguru pada beliau adalah: Zaid bin Aslam, Abu al Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al Quradhi. Di Irak muncul Madrasah Ibnu Mas’ud yang dianggap sebagai pelopor madrasah Ahli Ra’yi, tokoh-tokoh tabi’in yang belajar disana adalah: Alqamah bin Qais, Masruq, Al aswad bin Yazid, Murrah al Hamdani, Amir al Sya’bi, Hasan al Basri, dan Qatadah bin Da’amah al Sadusi.  Akan tetapi setelah tafsir menjadi kajian yang menarik pada masa ini dan banyak tokoh kafir ahli kitab yang masuk Islam, para tabi’in banyak meriwayatkan kisah-kisah Israiliyyat dalam tafsir mereka , seperti yang diceritakan dari Ka’ab bin Akhbar, Abdullah bin Salam, Wahab bin Munabbah, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Jarih.
KUALITAS TAFSIR TABI’IN
Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in tidak diambil, karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya. Sehingga mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehandaki oleh Al-Qur’an. Di samping itu keadilan (al-adalah, kualitas pribadi) tidak di nash, berbeda dengan sahabat.
Ibn Taimiyyah berkata, Syu’bah ibn al-Hajjaj dan yang lain mengatakan bahwa pendapat tabi’in bukanlah hujjah, bagaiman mungkin bisa menjadi hujjah di bidang tafsir? Yakni, pendapat mereka tidak bisa menjadi hujjah bagi yang lain yang memiliki pendapat yang berbeda. Ini benar. Adapun bila mereka sepakat mengenai sesuatu maka tidak diragukan lagi kehujjahannya. Sehingga pendapat sebagian bukanlah menjadi hujjah sebagian lain dan orang sesudah mereka. Hal itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, sunnah, bahasa Arab atau pendapat sahabat.[2]
Sebagian mufassir berpendapat bahwa pendapat tabi’in di bidang tafsir di akui dan diambil, karena mereka menerimanya umumnya dari sahabat dan status mereka adalah adil.
Pendapat yang seyogyanya dipegang berkenaan dengan tafsir tabi’in ini adalah tidak harus diambil, kecuali dengan dua syarat, yakni :
Yang diriwayatkan dari mereka bukanlah masalah yang merupakan wilayah ijtihad.
Tabi’i yang bersangkutan tidak dikenal mengambil riwayat dari ahli kitab. Bila kedua syarat ini terpenuhi, maka bisa diambil dan bila tidak maka juga tidak bisa di ambil.[3]
  TAFSIR PADA MASA PEMBUKUANNYA  Pembukuan tafsir berawal pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah dan pada awal pemerintahan bani Abbasiyah. Pada masa ini hadist mendapatkan perhatian yang sangat besar dan kajian tafsir menjadi salah satu cabang pembahasan dalam hadits. Dengan adanya semangat yang besar dalam mengumpulkan hadits, para ulama pada masa ini tertarik untuk mengumpulkan tafsiran-tafsiran yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabiin. Tokoh-tokoh yang berperan besar pada masa ini adalah: Yazid bin Harun as Sulami (wafat pada tahun 117 Hijriyah), Syu’bah bin al Hajjaj (wafat pada tahun 160 H.), Waqi’ bin al Jarrah (wafat pada tahun 197 H.), dan lain-lain. Hanya saja tidak ada satupun penafsiran mereka yang sampai kepada kita sebagai satu kitab, kita hanya bisa menjumpai penafsiran mereka dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur. Kemudian muncul setelah mereka tokoh-tokoh yang menjadikan tafsir sebagai kajian yang independen, bukan lagi menjadi bagian dari bahasan hadits, diantara mereka adalah: Ibnu Majah (wafat tahun 273 H.), Ibnu Jarir at Thabari (wafat pada 310 H.), Ibnu Abi Hatim (wafat pada 327 H.), Abu Bakar bin Mundzir an Naisaburi (wafat pada 318 H.), Abu Syaikh bin Hibban (wafat pada 369 H.), Al Hakim (wafat tahun 405 H.), dan Abu Bakar bin Murdawaih (wafat pada 410 H.).  Pada kurun waktu selanjutnya, muncullah beberapa mufassir yang tidak lagi berpegang pada tafsir bil ma’tsur, mereka hanya meringkas pada sanad-sanad dan mereka memasukkan pendapat-pendapat yang muncul tanpa mencantumkan siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut. Sehingga pada masa ini mulai muncul penafsiran-penafsiran yang berbau kesukuan, pembelaan terhadap madzhab dan para mufassir cenderung berpegang pada pemahaman individual dalam rangka menafsiri Al quran.tiap pakar disiplin ilmu saling memunculkan disiplin ilmu mereka dalam tafsir yang mereka susun, seperti Ibnu Arabi sebagai tokoh tasawwuf yang makna-makna isyarah dalam tafsirnya, Al Tsa’labi dan Alkhazin yang memunculkan kisah-kisah karena mereka adalah sejarawan, Al Jasshas dan Al Qurthubi yang menjelaskan tentang masalah-masalah furu’ disebabkan mereka adalah ulama fiqh. 
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:
Periode Pertama
: Pada zaman dinasti Bani Umayyah dan permulaan zaman dinasti Abbasiyah yang masih memasukkan tafsir ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua:
 Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Al-Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran
sampai kepada Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
 
Periode Ketiga:
 Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan
 
antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut.
Periode Keempat:
 Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly (dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-
Qur’an dari segi hukum seperti Al
-Qurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-
Tsa’laby dan Al
-Khozin dan seterusnya.
Periode Kelima:
 Tafsir maudhu’i 
 yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan, seperti yang ditulis oleh Ibnul Qoyyim dalam bukunya
 At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’a, Abu Ja’far An-Nahhas dengan  An-Nasikh wal Mansukh, Al Wahidi dengan  Asbabun Nuzul  dan Al-Jasshash dengan  Ahkamul Qur’an-nyan
 
SIMPULAN  Dapat disimpulkan bahwa perjalanan tafsir Al quran dimulai dari proses turunnya Al quran yaitu pada masa Rasulullah dan sahabat kemudian berlanjut ke masa tabi’in dimana wahyu sudah sempurna diturunkan, lalu penafsiran Al quran terus berlanjut seiring berjalannya jaman dan semakin besarnya kebutuhan umat tehadap penjaelasan tentang kandungan ayat-ayat Al quran yang berlanjut hingga saat ini. Akan tetapi tafsir baru dibukukan ketika memasuki masa yang ketiga, yaitu pada awal masa pemerintahan Abbasiyah.



Pembagian tafsir
sumber penafsiran
Tafsir bil ma’tsur
a. pengertian tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan , bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an[2].
Yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur atau taksir riwayat adalah taksir yang terbatas pada riwayat Rsdulullah SAW. Dan dari sahabat atau murid-murid mereka dan kalangan tabi’in, dan dapat juga dari tabi’in-tabi’in.
Kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua kitab shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, kitab tafsir an-Nasa’I Ia menyediakan satu Juz dari sunan al-Kubra khusus untuk tafsir shahih Ibnu Khuzaiman, shahih Ibnu Hibban dan Mustadrak al-Hakim. Dan sebelum itu adalah al-Mushannaf Abdurrozzaq selain itu juga kitab taksir yang terkenal adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Guran yaitu kalangan Syaikh Mufassirin Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang masuk didalamnya tafsir riwayat dan dirayah sekaligus. Selain itu juga adalah taksir Ibnu Katsir yang dinamakan tafsir al-Qur’an Azim[3].
2.      Pembagian tafsir bil ma’tsur atau bi riwayah
a.       Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِۙ) .الطّارق  (1 :
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1

النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ ‏(
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷﴾
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.


Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ) الدّخان:٣(
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.

Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
b.      Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال: ٦٠(
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah ( القٌُُوَّةُ ) dengan Ar-Ramnya          ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.

c.       Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.

Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
3. kelemahan-kelemahan tafsir bil ma’tsur diantaranya :
a.    Adanya riwayat dhoif, dan mungkar dari riwayat yang didapat dari Rasulullah, sahabat dan tabi’in
b.    Pertentangan riwayat satu sama lain. Misalnya, kita mendapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah SWT.
     “ …… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali  yang (biasa) tampak darinya ……” (an-Nur : 31).
     Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan kedua telapak tangan. Kemusian darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat al-Ahzam.    “ …. Hai…,Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).
c.    Diantara riwayat adalah pendapat seseorang yang tidak terjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, kita mendapati para sahabat dan tabi’in kadang-kadang berbeda satu sana lain. Dalam banyak kesempatan itu adalah perselisian benturan. Ini menunjukan bahwa mereka menafsirkan dengan rasio mereka[4].
d.   Tafsir bil ma’tsur, seperti diriwayatkan kepada kita bukan tafsir yang mengkaji surat persurat, dan dalam satu surat mengkaji ayat perayat, dan dalam satu ayat dikaji kalimat perkalimat.
e.    Riwayat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita Israiliyah yang memuat banyak Khurafat yang bertentangan dengan akidah islam.
f.     Sebagian ulama madzhab memuratbalikan beberapa pendapat. Mereka berbuat kebatilan, lalu menyandarkan kepada sebagian para sahabat seperti para ulama madzhab Syi’ah.
g.    Sesungguhnya musuh islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang para sahabat dan para tabi’ain sebagaimana mereka bersembunyi dibelakang Rasulullah SAW. Dalam rangka menjalankan misinya, merobohkan agama denagan cara “ bersembunyi dan menyusup “. Maka dari segi ii, perlu adanya penelitian yang sungguh-sumgguh terhadap pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in[5].

Tafsir bi Ra’yi
Yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah piker serta penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-qur’an dari perangkat syarat dan akhlak[6].
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal (tafsir bi ra’yi), sekalipun memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash hadits shahih. Sebab ar-ra’yu adalah ijtihad, sedangkan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash hadits. Lain halnya kalau tafsir bi Ra’yi tidak bertenangan dengan tafsir bil ma’tsyur, dalam hal demikian itu maka, keduanya saling mendukung dan saling memperkuat[7].
a.     Hukum menggunakan tafsir bi ra’yi
Mengenai tafsir bi ra’yi para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan ada pula yang membolehkan. Adapun yang mengharamkan memiliki dasar sebagai berikut, yakni hadits dari Ibnu Abbas :
 …وَمَنْ قَلَ فِي اْلقُرْاََنِ بِرَاْيِهِ فَلْيَتَبَوَّاْ مَقْعَدَهُ مِنَالنّارِ
Artinya : “…. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menikmati tempat di neraka”.
Jawaban tentang hadits itu yang telah disebutkan tadi. Jika shahih sekalipun ia mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan Ar-ra’yu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Kedua, maka hadits itu mencela orang yang berani menafsirkan Al-qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dibutuhkan dalam menafsirkan Al-qur’an.
Adapun yang memperbolehkan adalah dengan dasar hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan, diantaranya :
مَنْ سُنِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ,اُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامةِ بِلِجَامٍِ مِنْ نَارٍ
Artinya : “Siapa yang ditanya tentang sesuatu yang ia kuasai keilmuanya, kemudian ia menyembuyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikendalikan mulutnya dengan api neraka”.
Tetapi juga ada yang mengambil tafshil dalam masalah ini yakni boleh dengan Ro’yi (rasio) asalkan dengan menggunakan syarat-syarat Mufasyir yang ada tanpa disertai hawa nafsu. Dan tidak boleh menggunakan Ro’yi bila diladeni hawa nafsu[8].

b. Syarat-syarat mufasyir bi-ro`yi ( penafsir al-quran )
Yakni yang terkait dengan ilmu bahasa arab adalah nahwu, sharaf, isyriqaq lughah, balaqhah, qira’at, ushuludin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Selain itu As-Suyuthi mengutip pendpat dari Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat pokok, yaitu :
1.    Bepegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah SAW. Dengan ketentua ia harus waspada terhadap riwayat yang dhoif (lemah) mandhu’ (palsu).
2.    Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakana, menurut peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’, (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabul nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (Ar-Ra’yu).
3.    Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa arab, dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang arab.
4.    Berpegang teguh pada maksud, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hokum syara’. Itullah yang dimaksud Rasulullah dalam do’a beliau untuk Ibnu Abbas, yaitu :
اَلَْلهُمَّ فَقِهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمهُ التَّاءْوِيْلَ
     Artinya : “ya Allah limpahkanlah kedalaman ilmu agama padanya dan ajaran ta’wil padanya”[9].

c.    Kelemahan tafsir bi Ra’yi
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan tafsir bi ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bisa dinilai dengan mutlak akan kebenarannya. Karena pada tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi Cuma menangkap dengan akal. Selain itu juga tidak ada sanad sebagaimana hadits
d.   Contoh Tafsir Bi ra`yi
      Pada al-qur`an surat al ahzab ayat ke 59

يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ  وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا ) الاٴحزَاب : ٥٩ (
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.

1. Pengertian Metodologi Tafsir
Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan tafsir. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodohos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris disebut method, sedang bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan kata logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga pembentukan dari kata-kata tersebut berarti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk mencapai tujuan (ilmu pengetahuan).
Adapun Term tafsir, mempunyai dua pengertian, yaitu:
• Pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan (berhubungan)  dengan kandungan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya.
• Kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hukum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka isitilah metodologi tafsir berarti kerangka, kaidah, atau cara yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, aspek sumber-sumber penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Metodologi tafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang mendasarinya.  Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, metodologi tafsir terbagi menjadi dua, yaitu:
• Sistematika tartib mushafiy, yaitu sistematika penyusunan tafsir al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan surat dan ayat dalam mushaf.
• Sistematika tartib nuzuliy, yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan kronologis turunnya surat-surat al-Qur’an. Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika penyusunan penyusunan al-Qur’an dengan berdasarkan tema atau topik permasalahan yang akan dibahas.
2. Jenis atau Macam Penafsiran
Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y (pemikiran).
1. 1.      Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir semisal Tafsir at-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah metode tafsir riwayat. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari Nabi Muhammad SAW, atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran ayat Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepakatan tentang batasan metode tafsir riwayat. Sebagai contoh Al-Zarqani, ia membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan para sahabat.
Ulama lain, seperti Adz-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dalam kenyataanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.
Sedang As-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan perkataan sahabat. Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan bukan pada metodenya.
Ulama’ Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dikutib dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.
1. 2.       Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka.
Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Inilah masa dimana berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y atau bentuk penafsiran melalui pemikiran atau ijtihad. Meskipun tafsir Bi al-ra’y  berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menjadi dua, yaitu ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya.
Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi atau redaksional. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku.
Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarah (diakui sah secara bersama). Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu Bi al-ma’tsur yaitu melalui riwayat, dan  Bi al-ra’y yaitu melalui pemikiran atau ijtihad.
3. Pembagian Metodologi Tafsir
Istilah tafsir merujuk kepada Al-Qur’an Surat  Al-Furqan 33:
Artinya: “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu Sesuatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik ”. (QS. Alfurqan: 33)
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tafsir diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi tafsir Al-qur’an ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir.  Ada empat macam metode tafsir, yaitu:
1. Metode Ijmali (global)
Yang dimaksud dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti sususnan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembaca mudah memahaminya.
a)      Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam metode analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al-tafsir Al-Wasith terbitan Majma’ Al-Buhus Al-islamiyyat, dan Tafsir Al-Jalain serta Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Ustman al-Mirgani, masuk kedalam kelompok ini.
b)     Kelebihan Metode Ijmali
1. Praktis dan mudah dipahami, tidak berbelit-belit, pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya.
2. Relatif lebih murni, dengan metode ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang- kadang tidak sejalan dengan martabat Al-Qur’an.
3. Akrab dengan bahasa Al-qur’an,. Uraian yang dibuat dalam tafsir ijmali terasa amat singkat dan padat, hal ini dikarenakan mufasir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
c)      Kekurangan Metode Ijmali
1)      Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, Al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah. Dengan menggabungkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
2)      Tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Tafsir yamg memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat.
2. Metode Tahlili (analitis)
Yang dimaksud dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu sertamenerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Perbedaan yang mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan wawasan yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis.
Karma itu, didalam tafsir tahlili si mufasir relative punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pemahaman ayat. Yang menjadi ciri dalam metode analitis ini bukan menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama pembahasan tidak mengikuti pula perbandingan.
a)      Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan mufasir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
b)     Kelebihan Metode Tahlili
1. Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa, mendapat peluang yang luas untuk menafsikan Al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti tafsir Al-Nasafi karangan karangan Abu Al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat, sains dan teknologi.
2. Memuat berbagai ide. Tafsir ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
c)      Kekurangan Metode Tahlili
1. Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Karena seakan-akan Al-Quran memberi pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
2. Melahirkan penafsiran subjektif, karena bebas mengeluarkan ide dalam penafsiran ini. Para mufasir terkadang tidak sadar telah menafsirkan Al-Qur’an secara subjektif, bahkan bisa jadi ada mereka yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemauan hawa nafsunya.
3. Metode Muqarin (komparative)
Yang dimaksud dengan metode komparative adalah:
a)      Membandingkan teks ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan dalam dua kasus atau lebih.
b)      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Al-Hadits yang pada lahirnya bersifat bertentangan.
c)      Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir M. Qurois Sihab yang mengatakan:
“ Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat, dan ayat dengan hadits biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksut oleh masing-masing ayat atau perbedaan masalah itu sendiri ”.
Dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga objek kajian tafsir, yang meliputi:
1)      Membandingkan Ayat Al-Qur’an Dengan Ayat Al-Qur’an Yang Lain
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
a)      Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)
b)      Perbedaan dan penambahan huruf, seperti:
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
c)      Pengawalan dan pengakhiran, seperti:
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“…yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“…yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
d)      Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti:
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
e)      Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti:
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
f)       Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti:
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanla. (QS. Al-Baqarah: 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah. (QS. Al-A’raf : 161)
g)      Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
h)     Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti:
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah :
• Mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda,
• Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya,
• Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan
• Melakukan perbandingan.
2)      Membandingkan Ayat Dengan Hadits
Mufasir membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya.  Contoh perbedaan antara ayat Al-Qur’an surat An-Nahl: 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi:
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara:
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
3)      Membandingkan Pendapat Para Mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (Al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (Al-tafsir al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah:
• Membuktikan ketelitian al-Qur’an,
• Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif,
• Memperjelas makna ayat, dan
• Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
a)      Kelebihan Metode Muqarin
1. Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.
3. Tafsir dan metode komfaratif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahuiberbagai pendapat tentang suatu ayat.
4. Dengan metode ini mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat para mufasir yang lain.
b)     Kekurangan Metode Muqarin
1. Penafsiran dengan metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah kebawah.
2. Kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh ditengah masyarakat.
3. Terkesan banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
4. Metode Maudhu’i ( tematik )
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya. Seperti Asbab Al-Nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari hadits, Al-Qur’an atau pemikiran rasional.
a)      Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya (asbab al-nuzul).
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
b)     Kelebihan Metode Maudhu’i
1.      Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, tidak dapat ditamgani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik.
2.      Praktis dan sistematis. Tafsir ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Dengan adanya tematik mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efesien.
3.     Dinamis. Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntunan zaman.
4.       Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap secara utuh.

c)      Kekurangan Metode Maudhu’i
1.      Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
2.     Membatasi pemahaman ayat. Dengan penetapan judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas

No comments:

Post a Comment