Monday, March 28, 2016

makalah proses keilmuan manusia

A.  Pendahuluan
Idealnya ilmu pengetahuan bebas asumsi. Ini dikarenakan ilmu pengetahuan sebenarnya berasal dari kritik terhadap filsafat idealisme yang selalu terjebak dalam asumsi. Ilmu pengetahuan ingin membuang asumsi-asumsi yang tak berdasar dan menggantikannya dengan sebuah pemikiran yang murni Induksi. Berasal dari pengamatan yang jelas tanpa terjebak dengan teori-teori lalu yang bisa salah. Semua pernyataan harus dibuktikan secara empiris. Sayangnya hal semacam ini sangat tidak mungkin. Ilmu pengetahuan akan selalu menyimpan asumsi di dalamnya. Dalam sebuah percobaan seorang ilmuan tidak bisa tidak terperangkap dalam sebuah kondisi sosio-historis-kultural.
Dalam mendapatkan pengetahuan seorang ilmuwan/peneliti harus membuat bermacam asumsi mengenai objek-objek empiris karena dalam menentukan asumsi hanya bisa dilakukan oleh si ilmuwan/peneliti sendiri sebelum melakukan kegiatan penelitian, apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari suatu ilmu yang akan ditelitinya. Semakin banyak asumsi akan semakin sempit ruang gerak penelitiannya. Asumsi diperlukan karena pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Suriasumantri menyatakan bahwa sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama bisa menerima asumsi yang dikemukakan.[1]Semua ilmu mempunyai asumsi-asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersirat maupun secara tersurat.
Dalam mengembangkan ilmu, kita harus bertolak dengan mempunyai asumsi/anggapan yang sama. Untuk itu, kami akan membahas makalah tentang asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia.

B.  Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan yang muncul mengenai asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia, diantaranya adalah:
1.    Apa pengertian asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia ?
2.    Bagaimana asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi rasionalisme dan empirisisme ?
3.    Bagaimana asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi kritisisme dan intuisionisme?

C.  Pembahasan
1.    Pengertian asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia
Dalam sebuah percobaan beberapa orang ilmuan mencoba mengetahui apa saja yang mempengaruhi titik didih sebuah benda. Dia kemudian meletakkan air di sebuah teko besi dan merebus benda itu dengan api. Kemudian berturut-turut mereka memakai teko perunggu, teko emas,  teko perak. Ini untuk menentukan apakah wadah mempengaruhi titik didih air. Salah seorang filsuf lewat sambil mengorek-orek hidungnya. “Eh, kenapa kalian merebus benda itu?”. Ilmuan-ilmuan itu kemudian menjawab “Eh, kami sedang mengadakan percobaan dengan merebus benda itu?” Sang filsuf kemudian bertanya “Tidakkah kalian pikir bahwa warna juga mempengaruhi, bagaimana kalau kalian coba wadah dengan berbagai warna”. Para ilmuan tertawa “Mana mungkin warna mempengaruhi titik didih”. Ini menunjukkan bahwa sebelum melakukan penelitian ilmuan sudah memiliki asumsi. Asumsi itu adalah bahwa beda jenis wadah akan mempengaruhi titik didih api, bukan warna. Mereka juga tidak memilih penelitian dalam berbagai bentuk wadah. Ini artinya sebelum penelitian dilakukan, mereka sudah memiliki asumsi sehingga akan berpengaruh dengan penelitian.
Dari cerita di atas, asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu ini merupakan anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa. Ernan McMullin seorang Professor Emeritus filsafat di Universitas of Notre Dame, USA (2002) pun menyatakan tentang pentingnya keberadaan asumsi dalam suatu ilmu pengetahuan, ia mengatakan bahwa hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu objek sebelum melakukan penelitian.[2]
Secara garis besar kita mengambil contoh dua bidang ilmu yang berbeda yaitu antara ilmu social dan sains.Petama, dalam ilmu ekonomi (salah satu cabang ilmu social), asumsi dikenal dengan istilah Cateris Paribus, istilah ini seringkali digunakan sebagai suatu asumsi yang menyederhanakan beragam formulasi dan deskripsi dari berbagai anggapan ekonomi[3],contohnya asumsi akan harga suatu barang, dinyatakan bahwa harga barang akan meningkat ketika permintaan terhadap barang tersebut meningkat. Kedua, dalam ilmu sains, asumsi disebut dengan istilah Kausalitas, yaitu suatu asumsi dasar yang dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat/dampak) yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama[4], contohnya asumsi tentang hujan, dinyatakan  bahwa adanya awan tebal dan langit gelap/mendung merupakan pertanda akan turun hujan, hal tersebut bukanlah suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian, kejadian tersebut akan terus berulang dengan pola yang sama.

2.    Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi rasionalisme dan empirisisme
A.  Rasionalisme
Rasionalisme merupakan salah satu paham  filsafat yang lahir pada abad ke-17. Yang memberi alas aliran ini adalah Rene Descartes, yang disebut juga bapak filsafat Modern, meskipun gagasan ini senyatanya sudah muncul saat Plato.[5]
Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio atau akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah dan akan sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, sejati dan tak pernah salah. Konsekuensinya menolak anggapan bahwa pengetahuan yang sebenarnya diperoleh melalui pengalaman atau panca indera. Bagi mereka, akal saja sudah cukup memberi pemahaman tentang sesuatu.[6]
Dalam rasio terdapat ide-ide, dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes. Pertama, masalah subtansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.[7]
Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Allah ada dua subtansi, pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah kaluasan. Bagi Descartes, satu-satunya alasan menerima adanya dunia material adalah bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai denganya. Nah, tidak mungkin bahwa wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, diluar saya sungguh- sungguh ada suatu dunia material.
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua subtansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya tubuh tidak lain dari pada mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap subtansi yang satu sama sekali terpisah dari subtansi yang lain, maka kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa, dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dengan jiwa berlangsung dalam grandula pincalis(sebuah kelenjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil). Tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.[8]
Metode yang diterapkan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti.[9] Metode penalaran deduksi, yaitu proses penalaran yang bertolak dari premis mayor, yang universal, yang sudah diyakini dan atau dibuktikan kebenarannya. Pengetahuan yang didapatkan dari penalaran deduksi ini pasti akan menghasilkan ilmu yang apriori. Dikatakan apriori karena manusia sebenarnya sudah mengetahui pengetahuan itu sebelum dan mendahului pengalaman. Apriori sendiri berarti dari yang dahulu atau sebelumnya. Jadi pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang bersal dari pernyataan atau proposisi awal yang sudah dibuktikan kebenarannya.[10]
Dengan metode “keragu-raguan”, pemikir Rene Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, maka tampaklah bahwa ia berfikir, dan juga tampak dengan segera adanya sebab pemikir itu. Oleh karena itu, dari metode keraguan ini muncul kepastian tentang adanya sendiri. Dirumuskan olehnya dengan istilah ogitoergosum, artinya: saya berfikir, saya ada”.[11]
B.  Empirisisme
Yang berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisisme. Paham ini idenya dari Aristoteles, yang kemudian dikonkretkan oleh John Locke dan di antara pengikutnya adalah David Hume dan Barkeley.
Bagaimana telah disinggung terdahulu bahwa empirisme telah memberi tekanan pada empiric atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Istilah ini berasal dari kata Yunani, emperia yang berarti pengalaman inderawi. Oleh sebab itu, empirisme dinisbatkan kepada paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan yang dimaksudkan denganya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.[12] Yang termasuk dalam pengalaman di sini adalah pengalaman yang terjadi dan berkat bantuan panca indera atau disebut pengalaman fisik dan pengalaman psichis.[13]
Penganut empirisisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Kaum rasionalisme berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai idea oleh Tuhan yang dinamakan ideainnatae (idea terang benderang atau idea bawaan), maka pendapat kaum empiris berlawanan. Mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan ideainnatae.[14]
Hasil pengetahuan yang diperoleh melalui induksi akan menghasilkan ilmu aposteriori. Aposteriori sendiri berarti dari apa yang sesudahnya. Jadi pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan hasil dari pengalaman atau pengamatan terlebih dahulu.[15]
John Locke (1632-1704), salah seorang penganut empirisisme, yang juga “Bapak Empirisisme” mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih ibarat kertas yang kosong yang belum bertuliskan apapun (tabularasa). Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Akal semacam tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua pengetahuan manusia –betapapun rumitnya- dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapi di dalam akal. Jika terdapat pengalaman yang tidak tergali oleh daya ingatan akal, itu berarti merupakan kelemahan akal, sehingga hasil pengindraan yang menjadi pengalaman manusia tidak lagi dapat diaktualisasikan. Dengan demikian, bukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang faktual.
Selain John Locke, pada era modern, muncul pula George Barkeley (1685-1753) yang berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman dan tidak ada jatah ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena itu, ide tidak bersifat independen. Pengalaman konkret adalah “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia, karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualitasnya dibutuhkan akal. Dengan demikian, fungsi akal tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata-mata, melainkan dalam konteks yang realistik.[16]
3.    Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi kritisisme dan intuisionisme
A.  Kritisisme
Harus diakui bahwa kedua aliran rasionalisme dan empirisisme sama-sama bersifat ekstrim dan eksklusif. Yang satu hanya mengakui akal atau rasio, sedangkan yang lainnya hanya mengakui pengalaman atau empiri. Keduanya sama-sama menafikan keberadaan yang lain.
Immanuel Kant adalah filosof yang paling berjasa mendamaikan dua kutub ekstrim ini. Bagi kant bahwa kendatipun pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun dalam rasio manusia sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma sebagai wadah setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi. Dengan demikian menurut Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman.
Adapun untuk mencapai pengetahuan yang sebenarnya menurut Kant adalah melalui daya pengenalan dari tingkat terendah yang berasal dari pengamatan inderawi sampai meningkat menuju yang lebih tinggi yaitu akal (verstand), untuk kemudian sampai pada intelek atau rasio (vernunft), Tahapannya adalah sebagai berikut:
1.      Benda-benda ada pada dirinya sendiri, an sich, tentu saja ada, tetapi tidak dapat diselidiki. Yang bisa diamati adalah benda-benda sejauh mereka menjadi obyek yang diselidiki
2.      Yang diamati oleh panca indera itu gejala-gejalanya saja. Keliru sekali bila ada yang mengira  bahwa antara gejala dan bendanya an sich adalah sama.
3.      Gejala dari benda yang diamati masuk ke dalam dua bentuk apriori ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini adanya mendahului pengalaman atau adanya sudah terpatri di akal.
4.      Dari pengamatan masuk ke dalam bidang akal (verstand). Di akal ada 12 kategori, yaitu: kuantitas (kesatuan, kebanyakan, keseluruhan), kualitas (realitas, negasi, limitasi), relasi (subtansi dan aksidensi, sebab an akibat, interaksi), modalitas (mungkin/tidak mungkin, ada/tiada, keperluan/ kebetulan).
5.      Di belakang akal, ada tiga ide, yaitu ide kosmologis yang mengtur penghayatan manusia tentang adanya jiwa, tempat pengalaman batin, dan ide teologis yang mewadahi pengalaman lahir dan batin. Tiga ide ini ada di bidang intelek atau rasio.
6.      Seluruh analisa ini mengandaikan suatu subyek, suatu “aku” yang sedang berfikir. Analisa ini mengandaikan seorang “pemilik” bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu, kategori-kategori, dan ide-ide.[17]
Sedangkan cara-cara mengompromisasikan anatara kedaulatan akal budi dengan pengalaman adalah sebagai berikut: “Bagaimana, fungsi akal adalah yang pertama dan utama, namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya. Pada waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana ketentuan-ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman tampil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan.[18]
Dalam kritik atas Rasio Murni, I. Kant membedakan tiga macam pengatahuan.[19]
a)    Pengetahuan analitis: predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat diketahui melalui suatu analisis subjek. Misal, lingkaran itu bulat.
b)   Pengetahuan sintesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”, merupakan suatu hasil observasi indrawi “sesudah” observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
c)    Pengetahuan sintesis apriori: akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis apriori.
B.  Intuisionisme
Menurut aliran ini bahwa intuisi merupakan salah satu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, disamping pengalaman oleh akal. Sumber pengetahuan adalah pengalaman pribadi.
Pelopor aliran ini adalah Henry Bergson. Bagi Bergson, pengetahuan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan pengetahuan tentang (knowlegde of). Pengetahuan yang pertama disebut pengetahuan diskursif atau simbolis dan pengetahuan kedua disebut pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif.
Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, dia tergantung pada pemikiran dari sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Dia mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu, menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi adalah naluri (instinc) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan batin. Jika intuisi dapat meluas maka dia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau dorongan yang vital dari dunia langsung, bukan melalui indera atau akal.
Harodl H. Titus menyatakan bahwa intuisi adalah suatu jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal, dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi pengetahuan kita yang diperoleh melalui indera dan akal.
Dalam tradisi Islam, pengetahuan intuitif dikenal dalam sufisme yang mana para sufi menyebut pengetahuan ini hasil dari perasaan yang mendalam atau dzauq yang berkaitan dengan persepsi batin. Pengetahuan ini di anugrahkan Tuhan kepada seseorang yang dipilih-Nya sehingga tersingkapkah olehnya sebagai rahasia dan tampak olehnya sebagai realitas yang tak bisa diketahui melalui rasio ataupun indera.
Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan rasional melainkan dengan kesalehan sehingga seseorang yang memiliki pengetahuan ini, memiliki juga kejernihan jiwa dan wawasan spiritual yang prima.[20]

D.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu merupakan anggapan/andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu.
Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi rasionalisme pelopor utamanya Rene Descartes,   bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio atau akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah dan akan sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, sejati dan tak pernah salah. Sedangkan Yang berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisisme. Paham ini idenya dari Aristoteles  yang kemudian dikonkretkan oleh John Locke,  bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi kritisisme dipelopori oleh Immanuel Kant bahwa kendatipun pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun dalam rasio manusia sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma sebagai wadah setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi. Dengan demikian menurut Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman. Sedangkan asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dari segi Intuisionisme dipelopor Henry Bergson, menurut aliran ini bahwa intuisi merupakan salah satu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika, disamping pengalaman oleh akal. Sumber pengetahuan adalah pengalaman pribadi.Dalam tradisi Islam, pengetahuan intuitif dikenal dalam sufisme yang mana para sufi menyebut pengetahuan ini hasil dari perasaan yang mendalam atau dzauq yang berkaitan dengan persepsi batin.
                                                         


DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani. 2009. Filsafat Ilmu (Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan).CV Pustaka Setia: Bandung
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Filsafat Barat. Yayasan Kanisius: Yogyakarta
Juhaya S. Praja. 2003. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Prenada Media: Bogor
Jujun S. Suriasumantri. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. PT Total Grafika Indonesia: Jakarta
K. Bertens. 1983. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yayasan Kanisius : Yogyakarta
Suparlan Suhartono. 2004.Dasar-Dasar Filsafat.Ar-Ruzz: Yogyakarta
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.PT Bumi Aksara: Jakarta
Ulya. 2009. Filsafat Ilmu Pengetahuan. STAIN Kudus: Kudus
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Cateris_paribus, diunduh  selasa, 25 Febuari 2014
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kausalitas, diunduh  selasa, 25 Febuari 2014






[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, PT Total Grafika Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.6
[3]http://id.m.wikipedia.org/wiki/Cateris_paribus, diunduh pada selasa, 25 Febuari 2014
[4]http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kausalitas, diunduh pada selasa, 25 Febuari 2014
[5]Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980, hlm.12
[6] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hlm.77
[7] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983, hlm.45.cf.Yusuf
[8] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Prenada Media, Bogor2003, hlm.99
[9] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm.66
[10] Ulya, Op.Cit, hlm.77-78
[11] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2004, hlm.139-140
[12] Surajiyo, Op.Cit, hlm.66
[13] Ulya, Op.Cit, hlm.78-80
[14] Suparlan Suhartono, Op.Cit, hlm.141
[15] Ulya, Op.Cit, hlm.78-80
[16] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu (Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk, sumber, dan tujuan ilmu pengetahuan), CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.94-95
[17] Ulya, Op.Cit, hlm.80-82
[18] Suparlan Suhartono,Op.Cit, hlm.141-142
[19] Surajiyo, Op.Cit, hlm.66
[20] Ulya, Op.Cit, hlm.77-83

No comments:

Post a Comment