MUSAQAH, MUZARA’AH DAN
MUKHABARAH
- MUSAQAH
A. Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu
seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang
lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dan
hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut istilah, al-musaqah
didefinisikan oleh para Ulama’ sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman
Al-Jaziri, sebagai berikut.
1) Menurut Syafi’iyah, yang dimaksud dengan
al-musaqah ialah:
“memberikan
pekerjaan orang yang memilki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk
kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan pekerja
memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
2) Menurut Hanabilah al-musaqah mencakup
dua masalah, yaitu:
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah
ditanami, pohon anggur, kurma, dan lainnnya, baginya ada buahnya yang dimakan
sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau
setengahnya.
b. Seseoranng menyerahkan tanah dan pohon,
pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada
tanahnya, yang menanamkan akan memperoleh bagian tertentu dari buah puhon yang
ditanaminya, yang kedua ini disebut munasabah mugharasah karena pemilik
menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.[1]
Dengan demikian, musaqah dapat diartikan
akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah
buah dari pohon yang diurusnya. Atau dapat juga dimaknai bahwa musaqoh adalah
yang punya kebun memberikan kebunnya pada tukang kebun agar dipeliharannya dan
penghasilan yang dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut
perjanjian keduanya sewaktu aqad.
‘Aqad ini diharuskan (dibolehkan) oleh
agama, karena banyak yang berhajat kepadanya. Memang banyak orang yang
mempunyai kebun, sedang ia tidak dapat memeliharannya, sedang yang lain tidak
mempunyai kebun tetapi sungguh bekerja, maka dengan adanya peraturan ini
keduanya dapat hidup dengan baik, hasil negarapun bertambah banyak, masyarakat
bertambah makmur.[2]
B. Dasar
Hukum Musaqah
1) Al-Hadits
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Amr r.a. Rasulullah bersabda:
اعطى
خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع وفى رواية دفع الى اليهود خيبر وارضها على
ان يعملوها من اموالهم وان لرسول الله ص م شطرها
“memberikan
tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun
pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah
khaibar itu kepada Yahudi untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan
separohnya untuk Nabi”.
2) Ijma
Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain
bin Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW. Telah menjadikan penduduk
Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini
dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka sampai
hari ini dengan rasio 1/3, dan ¼. Semua telah dilakukan oleh khulfaurrasyidin
pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada
seorang pun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma’sukuti
(consensus) dari umat.[3]
C. Rukun dan syarat Musaqah
Rukun-rukun
musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada 5 yaitu:
1) Sighat, yang dilakukan kadang-kadang
dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah). Disyaratkan sighat dengan
lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2) Dua orang atau pihak yang berakad
(al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang-orang yang beraqad dengan ahli (mampu)
untuk mengelola aqad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampunan.
3) Kebun dan semua pohon yang berbuah,
semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil) baik yang berbuah
tahunan (satu kali dalam setahun), maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian
mati, seperti Padi, Jagung, dan yang lainnya.
4) Masa kerja, hendaklah ditentukan lama
waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut
kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga
yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun,
seperti menyiram, memotong cabang-cabang pohon, yang akan menghambat kesuburan
buah, atau mengawinkannya.
5) Buah, hendaklah ditentukan bagian
masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua,
sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lainnya.[4]
Syarat musaqah
1) Baligh dan berakal. Cakap hukum
2) Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas
pepohonan yang mempunyai buah
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada
petani penggarap setelah akan berlangsung untuk digarap tanpa campur tangan
pemilik tanah.
4) Hasil atau buah yang dihasilkan dari
kebun itu merupakan hak mereka bersama mereka, sesuai dengan kesepakatan yang
mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.
5) Lamanya perjanjian itu jelas, karena
transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa-menyewa, agar terhindar dari
ketidak pastian. [5]
D. Musaqah yang dibolehkan
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat
bahwa yang boleh di-musaqah-kan
hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang
mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqah-kan,
seperti tebu.
Apabila
waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku
jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk
pohon yang berbuah secara beangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut
Imam Maliki musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat,
seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan
dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka
dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut
madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat
dimakan. Dalam kitab al-Mughni, Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk
pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.
- MUZARA’AH
DAN MUKHABARAH
A. Pengertian
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki
dua arti, yang pertama al-muzara’’ah yang berarti tharh al-zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang
pertama ialah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[6]
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna
yang berbeda pendapat tersebut dikemukakan oleh Al-Rafi’I dan Al-Nawawi.
Sedangkan menurut Al-Qodhi Abu Thayid, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu
pengertian.
Menurut
Hanafiyah, muzara’ah ialah:
عقد
على الزرع ببعض الخارج من الارض
“Akad
untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah: [7]
ان
يدفع صاحب الارض الصالحة المزارعة ارضه للعامل الذى يقوم بزرعها ويدفع له الحب
“pemilik
tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit”.
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan
bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri
berpendapat bahwa mukhabarah ialah “sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan
tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”.
Dalam pendapat lain, mukhabarah, yaitu mengerjakan tanah (menggarap ladang atau
sawah) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja
[8]
Muzara’ah
seringkali diidentikkan dengan mukhabarah.
Di antara keduannya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
Muzara’ah : benih dari
pemilik lahan.
Mukhabarah
: benih dari penggarap.
B.
Dasar
Hukum
a.
Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar
Rasulullah saw. Pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu
mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan
dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari
Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara
muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, ¼:3/4, ½,:1/2, maka Rasulullah pun
bersabda, “ Hendaklah menanami atau
menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari
keduanya, tahanlah tanahnya.”
b.
Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah
berkata Abu Jafar, “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya
mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah
dilakukan oleh Sayyidina Ali, S’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul
Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.
Demikian dikemukakan dasar
hukum muzara’ah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang
mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang al-minhaj, ada yang mengharamkan
muzara’ah saja, seperti al-Syafi’i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya,
antara lain al-Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khatabi.
C.
Rukun-rukun dan syarat-syaratnya
Menurut Hanafiyah, rukun
muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Secara
rinci, jumlahnya rukun-rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu
tanah, perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya
ialah sebagai berikut.
1.
Syarat yang bertalian dengan aqidain, yang harus berakal.
2.
Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang akan ditanam.
3.
Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu a) bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad, b) hasil
adalah milik bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis
barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya sah, d) bagian
kedua belah pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah
satunya penambahan yang maklum.
4.
Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah
tersebut dapat dipahami, b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.
Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah, a) waktunya telah
ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti
menanam pada waktunya kurang lebiih 4 bulan (tergantung kebiasaan setempat, c)
waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.
Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Menurut
Hanabilah, rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan kabul, boleh dilakukan
dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul dan bahkan
muzara’ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.
D.
Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti,
kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya.
Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan
hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah.
Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai tanah, sawah, ladang, dan
lainnya, yang layak untuk ditanami ( bertani), tetapi ia tidak memiliki
binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak
sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan tidak dapat
menghasilkan suatu apapun.
Muzara’ah dan mukhabarah diisyaratkan untuk menghindari
adanya pemikiran hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada
tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak
diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya
yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam
upaya menyatukan potensi yang ada pada masing—masing pihak dengan tujuan bisa
saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman, 1969, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah.
Aslamah
Ahmad Bin Husain As-Syuhair, Imam, Fathul
Qorib Al-Mujib, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah.
Hadi, Solikhul, 2011, Fiqh Muamalah, Kudus: Nora Media
Enterprise.
Rasjid, Sulaiman , 1976, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah.
Suhendi, Hendi, Fiqh
Muamalah: Membahas Ekonomi Islam.
Syafi’I Antonio,
Muhammad , 2001,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik,
Jakarta: Gema Insani Press.
SKEMA
KERJA
SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN
MUKHABARAH
MUSAQAH benih
dari pengg-
arap.
Si
penggarap bertanggungjawab
Atas
pemeliharaan dan penyiraman MUZARA’AH
Dan berhak atas bagian dari panen
benih dari pemilik
lahan. Rukun dan syarat:
Rukun dan Syarat - ‘aqidain
berakal
Hikmah: -tanaman, tanah,
- Akil baligh si penggarap waktu
diten-
- Al-‘aqidani dan
pemilik la- tukan
- Sighat han
saling mem- - adanya
alat
- Obyek; buah dan butuhkan dan alat muzara
Tanah menguntungkan -ah
- Masa kerja -ijab kabul
Dasar
Musaqah yang dibolehkan Hukum
yakni dari salah satu madz-
hab
Imam Maliki adalah
Pohon tadah hujan dan yang
perlu disiram Hadits
dan Ijma
[1] Solikhul Hadi, 2011,
Fiqh Muamalah, Kudus: Nora Media
Enterprise, Hlm. 116.
[2] Sulaiman Rasjid,
1976, Fiqh Islam, Jakarta:
Attahiriyah. Hlm. 288.
[3] Muhammad Syafi’I
Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, Hlm. 100.
[4] Solikhul Hadi, Op.Cit, Hlm. 119.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam,
Hlm. 150.
[6] Abdurrahman Al-Jaziri,
1969, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah,
Hlm, 1.
[7] Solikhul Hadi. Op.Cit, Hlm. 124.
[8] Imam
Aslamah Ahmad Bin Husain As-Syuhair, Fathul Qorib Al-Mujib, Semarang:
Pustaka ‘Alawiyah, Hlm. 38
No comments:
Post a Comment