Tuesday, March 29, 2016

makalah musaqah, muzara'ah dan mukhabarah


MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
  1. MUSAQAH
A.    Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dan hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan oleh para Ulama’ sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Al-Jaziri, sebagai berikut.
1)      Menurut Syafi’iyah, yang dimaksud dengan al-musaqah ialah:
“memberikan pekerjaan orang yang memilki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
2)      Menurut Hanabilah al-musaqah mencakup dua masalah, yaitu:
a.       Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, pohon anggur, kurma, dan lainnnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
b.      Seseoranng menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanamkan akan memperoleh bagian tertentu dari buah puhon yang ditanaminya, yang kedua ini disebut munasabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.[1]
Dengan demikian, musaqah dapat diartikan akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Atau dapat juga dimaknai bahwa musaqoh adalah yang punya kebun memberikan kebunnya pada tukang kebun agar dipeliharannya dan penghasilan yang dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu aqad.
‘Aqad ini diharuskan (dibolehkan) oleh agama, karena banyak yang berhajat kepadanya. Memang banyak orang yang mempunyai kebun, sedang ia tidak dapat memeliharannya, sedang yang lain tidak mempunyai kebun tetapi sungguh bekerja, maka dengan adanya peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, hasil negarapun bertambah banyak, masyarakat bertambah makmur.[2]
B.      Dasar Hukum Musaqah
1)      Al-Hadits
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Amr r.a. Rasulullah bersabda:
اعطى خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع وفى رواية دفع الى اليهود خيبر وارضها على ان يعملوها من اموالهم وان لرسول الله ص م شطرها
memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”.
2)      Ijma
Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW. Telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3, dan ¼. Semua telah dilakukan oleh khulfaurrasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma’sukuti (consensus) dari umat.[3]
C.    Rukun dan syarat Musaqah
Rukun-rukun musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada 5 yaitu:
1)      Sighat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah). Disyaratkan sighat dengan lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2)      Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang-orang yang beraqad dengan ahli (mampu) untuk mengelola aqad, seperti baligh, berakal, dan tidak  berada di bawah pengampunan.
3)      Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil) baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam setahun), maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti Padi, Jagung, dan yang lainnya.
4)      Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotong cabang-cabang pohon, yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
5)      Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lainnya.[4]
Syarat musaqah
1)      Baligh dan berakal. Cakap hukum
2)      Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah
3)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akan berlangsung untuk digarap tanpa campur tangan pemilik tanah.
4)      Hasil atau buah yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama mereka, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.
5)      Lamanya perjanjian itu jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa-menyewa, agar terhindar dari ketidak pastian. [5]
D.    Musaqah yang dibolehkan
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di-musaqah-kan hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara beangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut Imam Maliki musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-Mughni, Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.

  1. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
A.    Pengertian
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama ialah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[6]
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda pendapat tersebut dikemukakan oleh Al-Rafi’I dan Al-Nawawi. Sedangkan menurut Al-Qodhi Abu Thayid, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.
Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:
عقد على الزرع ببعض الخارج من الارض
Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah: [7]
ان يدفع صاحب الارض الصالحة المزارعة ارضه للعامل الذى يقوم بزرعها ويدفع له الحب
pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit”.
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah “sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”.
Dalam pendapat lain, mukhabarah, yaitu mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja [8]
Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah. Di antara keduannya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
Muzara’ah    : benih dari pemilik lahan.
Mukhabarah : benih dari penggarap.
B.     Dasar Hukum
a.    Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Rasulullah saw. Pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, ¼:3/4, ½,:1/2, maka Rasulullah pun bersabda, “ Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
b.    Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, S’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.
Demikian dikemukakan dasar hukum muzara’ah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang al-minhaj, ada yang mengharamkan muzara’ah saja, seperti al-Syafi’i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya, antara lain al-Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khatabi.

C.    Rukun-rukun dan syarat-syaratnya
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlahnya rukun-rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1.      Syarat yang bertalian dengan aqidain, yang harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu a) bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad, b) hasil adalah milik bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya sah, d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah tersebut dapat dipahami, b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah, a) waktunya telah ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam pada waktunya kurang lebiih 4 bulan (tergantung kebiasaan setempat, c) waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Menurut Hanabilah, rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan kabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul dan bahkan muzara’ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah. 
D.    Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah 
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti, kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya.  Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak  memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai tanah, sawah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk ditanami ( bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.
Muzara’ah dan mukhabarah diisyaratkan untuk menghindari adanya pemikiran hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing—masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Jaziri, Abdurrahman, 1969, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah.
Aslamah Ahmad Bin Husain As-Syuhair, Imam,  Fathul Qorib Al-Mujib, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah.
Hadi, Solikhul, 2011, Fiqh Muamalah, Kudus: Nora Media Enterprise.
Rasjid, Sulaiman , 1976, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah.
Suhendi, Hendi,  Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam.
Syafi’I Antonio, Muhammad , 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press.










SKEMA
KERJA SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN
 



                                                                                                                   
                                                                                                                   MUKHABARAH
        MUSAQAH                                                                                         benih dari pengg-
                                                                                                                                arap.
                                                                                                                                                                                          
                                                                                                                     
Si penggarap bertanggungjawab
Atas pemeliharaan dan penyiraman             MUZARA’AH
Dan berhak atas bagian dari panen            benih dari pemilik
                                                                               lahan.                    Rukun dan syarat:
                                                                                                                            
      Rukun dan Syarat                                                                      - ‘aqidain berakal
                                                                        Hikmah:                     -tanaman, tanah,
  • Akil baligh                                 si penggarap                     waktu diten-
  • Al-‘aqidani                                     dan pemilik la-                   tukan
  • Sighat                                          han saling mem-                 -  adanya alat
  • Obyek; buah dan                 butuhkan  dan                            alat muzara
Tanah                                 menguntungkan                                  -ah
  • Masa kerja                                                                                   -ijab kabul                                                                                            
                                                                                        


                                                                                            Dasar                                                       
    Musaqah yang dibolehkan                                             Hukum
        yakni dari salah satu madz-
     hab Imam Maliki adalah
        Pohon tadah hujan dan yang
                 perlu disiram                                              Hadits dan Ijma



[1] Solikhul Hadi, 2011, Fiqh Muamalah, Kudus: Nora Media Enterprise, Hlm. 116.
[2] Sulaiman Rasjid, 1976, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah. Hlm. 288.
[3] Muhammad Syafi’I Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, Hlm. 100.
[4] Solikhul Hadi, Op.Cit, Hlm. 119.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Hlm. 150.
[6] Abdurrahman Al-Jaziri, 1969, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘Arba’ah, Hlm, 1.
[7] Solikhul Hadi. Op.Cit, Hlm. 124.
[8] Imam Aslamah Ahmad Bin Husain As-Syuhair, Fathul Qorib Al-Mujib, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah, Hlm. 38

No comments:

Post a Comment