A. PENDAHULUAN
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga.
Karena itu setiap orang yang beriman, setiap orang islam yang mukallaf wajib
melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah
Allah adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat takwa, karena takwalah dasar
keheningan jiwa dan keluruhan budi dan akhlak.
Adapun Puasa tidak hanya menaha diri
dari makan dan minum tapi harus menahan diri dari hal-hal yang akan merusak
pahala puasa bitu sendiri ibadah puasa yang pokok adalah “menahan makan,minum,dan
hawa nafsu mulai terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari” akan tetapi
kita juga harus menahan nafas,bibir,mata, dan semua anggota badan kita dari
hal-hal yang akan mebatalkan puasa, Jika menurut mata sesuatu itu enak dilihat
,tetapi akan merusak amalan puasa maka tundukanlah.
Agama islam tidak pernah memberatkan
untuk hambanya apabila hambanya tidak mampu islampun member keringanan Untuknya
dan maka dari ini semua, perlu diketahui segala sesuatu yang berkenaan dengan
puasa, Makalah ini kami sajikan sebagai suatu sumbangan kecil kepada para
pembaca untuk maksud tersebut di atas dengan harapan ada faedahnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang sudah kami tulis. Kami
merumuskan masalah sebagai berikut.
1.apakah
hukum dari puasa hari syak ?
2.kapankah
di mulainya niat berpuasa?
3.bagaimanakah
hukumnya berbuka ketika safar?
C.
PEMBAHASAN
Hadist
ke-1 (Puasa hari syak)
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ
يَاسِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ
فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم ) وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا,
وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Artinya
: Ammar Ibnu Yasir Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa shaum pada hari
yang meragukan, maka ia telah durhaka kepada Abdul Qasim (Muhammad)
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Hadits mu'allaq riwayat Bukhari, Imam Lima
menilainya maushul, sedang Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya hadits
shahih
Hadist
ke-2 (Ikhtilaf matlak)
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُولُ: ( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ ) . وَلِلْبُخَارِيِّ: (
فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ) وَلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه ( فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ )
Artinya: Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau sekalian
melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka
perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan
menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari." Menurut riwayat
Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari." Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah:
"Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari."
Hadist
ke-3 (Niat puasa)
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ
اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ )
رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ
وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.
وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: ( لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ )
Artinya: Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak berniat puasa
sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Riwayat Imam Lima. Tirmidzi
dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban menilainya shahih secara marfu'. Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak
ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa wajib semenjak malam."
Hadist
ke-4 (Berbuka ketika safar)
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
خَرَجَ عَامَ اَلْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ, فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ
كُرَاعَ الْغَمِيمِ, فَصَامَ اَلنَّاسُ, ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ,
حَتَّى نَظَرَ اَلنَّاسُ إِلَيْهِ, ثُمَّ شَرِبَ, فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ:
إِنَّ بَعْضَ اَلنَّاسِ قَدْ صَامَ. قَالَ: أُولَئِكَ اَلْعُصَاةُ, أُولَئِكَ
اَلْعُصَاةُ ) وَفِي لَفْظٍ: ( فَقِيلَ
لَهُ: إِنَّ اَلنَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ اَلصِّيَامُ, وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ
فِيمَا فَعَلْتَ، فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ اَلْعَصْرِ، فَشَرِبَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam keluar pada tahun
penaklukan kota Mekah di bulan Ramadhan. Beliau shaum, hingga ketika sampai di
kampung Kura' al-Ghomam orang-orang ikut shaum. Kemudian beliau meminta sekendi
air, lalu mengangkatnya, sehingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya.
Kemudian seseorang bertanya kepada beliau bahwa sebagian orang telah shaum.
Beliau bersabda: "Mereka itu durhaka, mereka itu durhaka." Dalam suatu lafadz hadits shahih ada
seseorang berkata pada beliau: Orang-orang merasa berat shaum dan sesungguhnya
mereka menunggu apa yang baginda perbuat. Lalu setelah Ashar beliau meminta
sekendi air dan meminumnya. Riwayat Muslim.
- Apakah Hukum
dari Puasa Hari Syak .
Hari syak (ragu-ragu) adalah hari ketiga
puluh bulan Sya’ban, jika upaya melihat bulan tsabit (hilal) pada malam tiga
puluh (Sya'ban) terhalang mendung, debu atau semisalnya. Dinamakan hari yang
meragukan, karena diraguakn apakah hari itu, hari terakhir Sya’ban atau hari
pertama Ramadhan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا
رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا
فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah
mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika
seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (Hadith Riwayat
Muslim r.a.)
Tiga
Jenis Puasa Akhir Sya’ban.
Imam
Ibn Rajab al-Hanbali berkata, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga jenis:
1) Jika berniat sebagai suatu langkah
berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih
dahulu, maka seperti ini jelas dilarang.
2) Jika berniat untuk berpuasa nazar atau
mengqadha puasa Ramadhan yang belum dilakukan atau bagi membayar kafarah
(tebusan), maka kebanyakan ulama membolehkannya.
3) Jika berniat berpuasa sunnah semata2, ulama
seperti Imam Hasan al-Basri mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban
dan Ramadhan, maka dilarang hal ini walaupun itu bertepatan kebiasaan dia
berpuasa.
Namun yang tepat dilihat apakah puasa
tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan atau sebaliknya. Ini berdasarkan
teks hadis di atas. Jadi jika satu atau
dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa seperti puasa hari
senin dan kamis, maka itu dibolehkan. Akan tetapi jika tidak kebiasaanya maka
itulah yang dilarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i, Imam
Ahmad dan Al-Auza’i.
Pengecualian Dalam pada itu ada pengecualian,
yaitu kalau seorang pada hari itu mengerjakan puasa qadha atau puasa
nazar, maka hal yang demikian tidak
dilarang. Begitu juga kalau ia biasa mengerjakan puasa sunat yang tertentu
seperti puasa hari senin dan kebetulan jatuhnya pada “Hari Syak”maka hal yang
tersebut maka tidak dilarang.
- Kapankah di
Mulainya Niat Berpuasa.
Bagian dari niat kita Perlu ketahui
bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud
niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati Imam An
Nawawi rahimahullah ulama besar dalam Syafi’iyah yang mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ
إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ
خِلَافٍ
Artinya:
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam
hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat
perselisihan di antara para ulama.”
Niat (Berpuasa) merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah
ibadah, sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah
yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya.”
Adapun
ketentuan niat dalam (brepuasa) apabila puasa tersebut dalam kategori wajib
maka niat puasa tersebut harus dalam malam hari dan jika puasa tersebut dalam
sunah maka boleh di siang hari (waktu
dzuhur) قبل طلع الشمس
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ
لَهُ
Artinya:
“Barangsiapa
yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.”
Orang tersebut berpuasa
wajib seperti Romadhan, Orang yang berpuasa romadhan tanpa berniat di malam
harinya maka puasanya tidak sah berdasarkan sabda Rasululla diatas, dan
Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.
Akan
tetapi puasa sunnah seperti senin dan kamis atau yang lainnya. Para ulama
memandang tidak wajibnya berniat di malam hari dalam puasa sunnah, sehingga
diperbolehkan berniat setelah terbit fajar sampai sebelum tergelincirnya
matahari (waktu Dzuhur) dengan syarat ia belum makan/minum sedikitpun sejak
Subuh. Bahkan ulama mazhab Hambali, untuk puasa sunat, membolehkan berniat
setelah waktu Dzuhur. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا،
قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاتَ يَوْمٍ
«يَا عَائِشَةُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ،
مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ»
Dari ‘Aisyah ummul mukminin
–Radhiyallahu anha- berliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepadaku di satu hari: Wahai ‘Aisyah apakah kamu memiliki sesuatu
(makanan)? Aku menjawab: Wahai Rasulullah ! Kita tidak memiliki apa-apa. Maka
beliau berkata: Saya berpuasa (HR-Muslim).
Jadi
hadist diatas menerangkan tentang Puasa orang yang tidak berniat di malam hari
dan tidak makan sahur hukumnya sah apabila belum makan dan minum serta
melakukan pembatal puasa sebelum berniat puasa sunnah tersebut.
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ
اَلْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ )
رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَمَالَ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ إِلَى تَرْجِيحِ
وَقْفِهِ, وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.
وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ: ( لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اَللَّيْلِ )
Artinya: Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak berniat puasa
sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Riwayat Imam Lima. Tirmidzi
dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban menilainya shahih secara marfu'. Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak
ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa wajib semenjak malam." hadits ini menunjukkan
tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari, yaitu dengan
meniatkan puasa di salah satu bagian malam.
3.Bagaimanakah
Hukumnya Berbuka Ketika Safar.
Kewajiban berpuasa adalah orang yang beriman (muslim) baik
laki-laki maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal,
baligh (dewasa), tidak dalam musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Bagi seorang musafir, dia boleh memilih
antara berbuka dan melanjutkan puasa, tetapi jika puasa tidak memberatkannya,
maka itu lebih baik. Jika dia merasa
keberatan untuk berpuasa, maka sebaiknya dia tidak berpuasa. Tidak baik
berpuasa di perjalanan dalam keadaan seperti ini, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang lemas dan orang-orang
berkerumun di sekitarnya. Nabi bertanya, “Mengapa dia?” Mereka menjawab,
“Berpuasa.” Beliau bersabda, “Tidak baik puasa dalam perjalanan.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini berlaku umum bagi siapa saja yang mengalami
kesulitan untuk berpuasa di perjalanan.
Berbuka ketika safar(berpergian) itu
boleh berpuasa dan boleh juga berbuka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman;
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ
وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya; “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185).
Ayat tersebut sudah turun, tetapi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam masih berpuasa ketika safar dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam adalah orang yang paling mengerti makna ayat tersebut,
sehingga pendalilan yang dipakai oleh pendapat pertama terhadap ayat ini adalah
kurang tepat. Juga maksud ayat tersebut adalah orang yang dalam perjalanan atau
sakit dan mereka berbuka, maka wajib mengganti, adapun yang tetap puasa maka
tidak wajib mengganti di hari yang lain.
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
خَرَجَ عَامَ اَلْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ, فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ
كُرَاعَ الْغَمِيمِ, فَصَامَ اَلنَّاسُ, ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ
فَرَفَعَهُ, حَتَّى نَظَرَ اَلنَّاسُ إِلَيْهِ, ثُمَّ شَرِبَ, فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ
ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ اَلنَّاسِ قَدْ صَامَ. قَالَ: أُولَئِكَ اَلْعُصَاةُ,
أُولَئِكَ اَلْعُصَاةُ ) وَفِي لَفْظٍ:
( فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ اَلنَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ اَلصِّيَامُ, وَإِنَّمَا
يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ، فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ اَلْعَصْرِ،
فَشَرِبَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam keluar pada tahun penaklukan
kota Mekah di bulan Ramadhan. Beliau shaum, hingga ketika sampai di kampung
Kura' al-Ghomam orang-orang ikut shaum. Kemudian beliau meminta sekendi air,
lalu mengangkatnya, sehingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya.
Kemudian seseorang bertanya kepada beliau bahwa sebagian orang telah shaum.
Beliau bersabda: "Mereka itu durhaka, mereka itu durhaka." Dalam suatu lafadz hadits shahih ada
seseorang berkata pada beliau: Orang-orang merasa berat shaum dan sesungguhnya
mereka menunggu apa yang baginda perbuat. Lalu setelah Ashar beliau meminta
sekendi air dan meminumnya. Riwayat Muslim.
Hadist diatas dalam keterangan terdapat
bagi orang yang musasir atau orang dalam berpergian yang dimana sudah menempuh
kira-kira 80km, maka di perbolehkan baginya untuk tetap berpuasa atau membatalkanya
(merasa keberatan). Akan tetapi jika dia
membatalkanya maka wajib baginya mengqhodo’.
D.
KESIMPULAN
Hari syak (ragu-ragu) adalah hari ketiga
puluh bulan Sya’ban, jika upaya melihat bulan tsabit (hilal) pada malam tiga
puluh (Sya'ban) terhalang mendung, debu atau semisalnya. Dinamakan hari yang
meragukan, karena diraguakn apakah hari itu, hari terakhir Sya’ban atau hari
pertama Ramadhan.
Tiga
Jenis Puasa Akhir Sya’ban.
Imam
Ibn Rajab al-Hanbali berkata, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga jenis:
1) Jika berniat sebagai suatu langkah
berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih
dahulu, maka seperti ini jelas dilarang.
2) Jika berniat untuk berpuasa nazar atau
mengqadha puasa Ramadhan yang belum dilakukan atau bagi membayar kafarah
(tebusan), maka kebanyakan ulama membolehkannya.
3) Jika berniat berpuasa sunnah semata2, ulama
seperti Imam Hasan al-Basri mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban
dan Ramadhan, maka dilarang hal ini walaupun itu bertepatan kebiasaan dia
berpuasa.
Niat (Berpuasa) merupakan syarat sah puasa karena puasa
adalah ibadah, sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana
ibadah yang lain, Adapun ketentuan niat dalam (brepuasa) apabila puasa tersebut
dalam kategori wajib maka niat puasa tersebut harus dalam malam hari dan jika
puasa tersebut dalam sunah maka boleh di siang hari (قبل طلع الشمس) .
Bagi seorang musafir, dia boleh
memilih antara berbuka dan melanjutkan puasa, tetapi jika puasa tidak
memberatkannya, maka itu lebih baik.
Jika dia merasa keberatan untuk berpuasa, maka sebaiknya dia tidak
berpuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Latif, M. Djamil., 2001. Puasa dan
Ibadah Bulan Ramadhan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifa’i, Moh., 1978. Ilmu Fiqih Islam
Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Bahreisj, Hussein., 1980. Pedoman
Fiqih Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Rasjid, Sulaiman., 2012. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
iya amiin, selahkan sering-sering berkunjung ya :)
ReplyDelete