Tuesday, March 15, 2016

makalah islam historis dan islam normatif


I.                   PENDAHULUAN
Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi dan rasul. Hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai agama paripurna yang menyempurnakan segala konsep dan aturan dari agama-agama samawi sebelumnya.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan seirama.Hubungan antara keduanya sering kali diwarnai dengan tension, atau ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama, lantaran ia berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama sampai batas-batas tertentu adalah bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan corak ini tidak sepenuhnya menyetujui untuk tidak mengatakan menolak alternasi pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan kedua.[1]
Disini kami akan memaparkan sedikit tentang  islam historis dan normatif? Bagaimana pengelompokan islam normatif dan historis?dan bagaimana cara membangun universalitas dalam islam?
II. RUMUSAN MASALAH  
A.    Apa pengertian Islam Historis Kultural?
B.     Apa pengertian Islam Normatif?
C.   Bagaimana pengelompokan Islam Normatif dan Islam Historis?
III. PEMBAHASAN
A. .   Pengertian Islam Historis dan kultural    
Historis berasal dari bahasa inggris History yang bernakna sejarah, yang berarti pengalaman masa lampau daripada umat manusia.[2]
Kata sejarah secara terminologis berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Pokok persoalan sejarah senantiasa akan berhubungan dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Objek sejarah pendidikan islam sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai agamawi, filosofi, psikologi, dan sosiologi. Maka dari itu, objek sasarannya itu secara menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat dan sikap itu, maka metode yang harus ditempuh yaitu: deskriptif, komparatif, analisis-sintesis.
Pertama, dengan cara deskriptif, diwujudkan bahwa ajaran-ajaran islam sebagai agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dalam Al-Qur’an dan Hadits, terutama yang berhubungan dengan pengertian pendidikan, harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk memahami makna yang terkandung dalam makna tersebut.
Kedua, dengan cara komparatif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam kurun-kurun serta di tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga diketahui pula adanya garis yang tertentu yang menghubungkan ajaran Islam dengan ajaran yang dibandingkan.
Ketiga, dengan pendekatan analisis-sintesis. Pendekatan analisis artinya secara kritis membahas, meneliti istilah-istilah, pengertian-pengertian yang diberikan oleh Islam, sehingga diketahui adanya kelebihan dan kekhasan Islam. Dan sintesis dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang diambil guna memperoleh satu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat penulisan sejarah.[3]
Islam historis merupakan domain yang oleh Lakotos disebut dengan “protective belt”, yakni domain utama dari apa yang disebut sebuah ilmu, sistem pengetahuan yang secara langsung dapat dinilai, di uji ulang, diteliti, dipertanyakan, diformulasi ulang dan dibangun kembali. Dan hal itu akan berhasil bila dilakukan transparasi metodologi, teori dan tradisi riset yang sangat teliti dibangun oleh para ilmuan yang bergerak dibidang humaniora, sosial dan studi agama.
 M.Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan Historitas. Islam historis dan kultural adalah Islam yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.
                 Islam historis dan kultural berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Sunah serta berbagai sumber ajaran islam lainnya. Namun dalam waktu bersamaan ia juga menghargai warisan sejarah dan budaya islam di masa lalu untuk selanjutnya digunakan guna memahami ajaran agama. Dengan Islam historis dam kultural, maka Islam tidak hanya diyakini sebagai sebuah ajaran atau norma yang unggul dan pasti benar saja, melainkan juga diupayakan agar keunggulan dan kebenaran tersebut menjadi sesuatu yang dapat berperan dalam sejarah dan kebudayaan.
                 Dengan kata lain, Islam historis dan kultural adalah Islam yang membumi atau Islam yang dipahami, dihayati dan diamalkan oleh masyarakat, yang didalamnya sudah masuk berbagai unsur atau pengaruh yang bukan berasal dari Islam. Dengan demikian, dalam praktiknya Islam historis dan kultural ini bisa berbeda dengan Islam normatif sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah. Dalam Islam  historis dan kultural tersebut, adanya perbedaan dalam penghayatan dan pengamalan, ajaran Islam harus dihargai sebagai hasil kreativitas dan inovasi manusia dalam rangka memahami pesan ajaran Islam. Namun demikian, perbedaan yang dapat ditoleransi tersebut sebatas perbedaan yang bukan wilayah yang prinsip seperti akidah, ibadah, dan akhlak. Perbedaan tersebut hanya pada wilayah teknis dan ijtihadiyah. Missal, ajaran Islam tentang wajib menutup aurat yang dapat diterjemahkan dalam sejarah dan budaya dalam bentuk keanekaragamaan busana muslim yang menutup aurat.
                 Kehadiran Islam historis dan kultural ini diperlukan untuk menyadarkan umat Islam tentang perlunya menghargai warisan sejarah dan budaya masa lalu, dan menggunakannya sebagai bahan inspirasi untuk membangun sejarah dan budaya masa depan yang lebih gemilang. Melalui Islam historis dan kultural ini, memungkinkan Islam dapat beradaptasi, berkolaburasi dan diterima oleh keragaman sejarah dan budaya masyarakat.Dengan demikian Islam akan terasa lebih dekat, fleksibel, akomodatif, dan ramah dengan lingkungan sosial budaya.[4]
  1. Pengertian Islam Normatif
                 Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang secara harfiah berarti norma, ajaran, aturan, hukum, ketentuan yang pasti. Selanjutnya, kata normatif digunakan untuk memberikan sifat atau corak terhadap ajaran Islam.[5]
               Ajaran yang bersifat normatif adalah ajaran yang bersumber dari agama-agama di dunia, termasuk agama Islam yang merupakan ajaran yang dapat menyelamatkan manusia dari keterpurukan hidup dan kesesatan.
Studi islam yang bercorak normativitas merupakan pendekatan yang berangkat dari teks yang telah tertulis dalam kitab suci, dan sampai batas-batas tertentu ia bercorak literalis, tekstualis atau skriptualis. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan, corak ini tidak sepenuhnya menyetujui untuk tidak mengatakan menolak sama dengan alternatif pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan historis. Corak keislaman yang bersifat normatif ini dituduh oleh corak keislaman historis, sebagai pemahaman keislaman yang cenderung mengapsolutkan teks yang telah tertulis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa yang sesungguhnya yang melatar belakangi berbagai teks keagamaan yang ada. Pada era Skolastik, ilmu-ilmu teologi yang dirancang dan dibangun semata-mata di atas kebenaran wahyu, pernah disebut-sebut sebagai “The Queen of Sciences”, tetapi setelah berkembangnya berbagai macam pendekatan dan pemahaman yang bercorak historis empiris terhadap fenomena keberagamaan manusia, ia tidak lagi dapat mengeklaim demikian.
     Dalam praktiknya, Islam normativitas memiliki keyakinan dan klaim yang kuat bahwa Islam sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci adalah mutlak benar, ideal, unggul, berlaku sepanjang zaman, tidak dapat dibantah.Berbagai ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, sejarah, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya pasti benar dan sangat ideal.Setiap masalah yang muncul dalam berbagai bidang tersebut langsung dihadapkan kepada Al-Qur’an. Terhadap pendekatan yang demikian itu semua orang Islam pasti setuju. Namun, corak Islam yang demikian itu kaya dengan ajaran, namun miskin dalam praktik dan pengalaman.Corak Islam ini cenderung tidak mau menerima berbagai pemikiran yang berasal dari hasil pemikiran atau praktik dalam sejarah.Islam yang bercorak normatif ini pada akhirnya cenderung kaku, dan tidak realistis.Islam yang bercorak normatif ini tidak mau peduli dengan kenyataan, bahwa untuk dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik perlu pengalaman Islam dalam sejarah.Selain itu, Islam normatif hanya mementingkan keunggulan ajaran yang ada di dalam wahyu saja, sedangkan keadaan penganut Islam yang dalam kenyataan tertinggal dalam berbagai bidang kehidupan tampak tidak dipedulikan.
        Islam yang bercorak normativitas tersebut tentu saja sangat berguna dalam rangka memelihara dan menjaga kemurnian ajaran Islam sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta dalam rangka membangun keyakinan yang kuat bahwa ajaran Islam yang terdapat di dalam wahyu Al-Qur’an itu tinggi, dan tidak ada yang lebih dari padanya (al-islam ya’lu wa laa yu’la alaih).[6]
  1. PENGELOMPOKAN ISLAM NORMATIF DAN ISLAM HISTORIS
Sejalan dengan penggelompokkan Islam Normatif dan Islam Historis, ada pula ilmuwan yang membuat pengelompokkan lain. Diantaranya:
1.      Nasr Hamid Abu Zaid, mengelompokkan menjadi tiga:
a.       Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam)
Yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
b.      Pemikiran Islam yang merupakan ragam penafsiran terhadap teks asli Islam (Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti tafsir dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu:
1.      Hukum atau fiqih
2.      Teologi
3.      Filsafat
4.      Tasawuf atau mistik
Hasil ijtihad dalam bidang hukum atau fiqih muncul dalam bentuk:
a.       Fiqih
b.      Fatwa
c.       Yurisprudensi (kumpulan putusan hakim)
d.      Kodifikasi yang muncul dalam bentuk UU (undang-undang) dan kompilasi
c.       Praktek yang dilakukan kaum Muslim
Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya: praktek sholat Muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada.
2.      Abdullah Saeed, menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang berbeda sebagai berikut:
a.       Nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan institusi- institusi.
Ada persetujuan yang besar diantara Muslim, seperti keesaan Allah, bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah, bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bahwa wajib shalat lima waktu sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan, bahwa hukum meminum minuman yang memabukkan adalah dilarang, bahwa berbuat zina adalah dilarang.
b.      Penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan atau dipraktekan.
Ada perbedaan pendapat di kalangan Muslim. Misalnya sentuhan membatalkan wudlu. Ada ulama yang berpendapat sentuhan yang membatalkan wudlu adalah semua sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa tetapi bukan tua bangka. Sementara ulama lain berpendapat bahwa sentuhan yang membatalkan wudlu adalah kumpul suami dan istri.
c.       Praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan terjadi karena penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
Contohnya: warna dan model pakaian muslim yang digunakan untuk shalat, dimana warna-warni dan model pakaian shalat demikian beragam di kalangan muslim belahan dunia.
3.      Ibrahim M. Abu Rabi’ membaginya menjadi empat tingkatan, yaitu:
a.       Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi (the ideological/philosophical base)
Maksud islam pada dataran ideologi adalah landasan gerakan sekelompok orang, sekelompok komunitas dengan mengatasnamakan Islam. Maka pada tingkatan ini Islam identik dengan sosialis, ideologi kapitalis, dan ideologi-ideologi sejenis lainnya.
b.      Islam sebagai dasar teologi (the theological base)
Secara sederhana berarti berserah kepada satu Tuhan. Dalam kamus disebutkan: “theology is a formal study of natural of God and of the foundation of religious belief”. Prinsipnya pada tingkatan inilah agama yang didefinisikan sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, pengakuan pada satu sumber yang berada di luar diri manusia, kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu, sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib, pemujaan kekuatan ghaib.
Semua agama mempunyai kepercayaan ini, bahwa semua agama mempunyai kepercayan adanya kekuatan ghaib (mah) diluar kekuatan dan kemampuan manusia. Sehingga muncullah istilah bahwa semua agama adalah sama. Kesamaan dimaksud adalah sama-sama mengakui adanya kekuatan super natural tersebut.
c.       Islam pada level teks (the level of the text)
Teks asli sumber ajaran Islam berupa Al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
d.      Islam pada level praktek (the level of anthropological reality)
Praktek yang dilakukan kaum Muslim sepanjang sejarah Muslim dalam berbagai macam latar belakang sosial, budaya, dan tradisi.[7]
Sebagian dari syariat Islam (teks nash) adalah ajaran yang berlaku sepanjang masa (nash prinsip atau normatif universal), dan ada sebagian lain yang merupakan aplikasi dari respon terhadap fenomena sosial Arab di masa pewahyuan.
Adapun Islam sebagai (pada level) praktek, dan boleh jadi disebut juga fenomena sosial, adalah Islam yang dipraktekkan muslim sebagai jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam kesehariannya sebagai penganut agama Islam. Maka pada level ini terjadi akulturasi antara pemahaman (konsep/teori) dengan adat yang berlaku dalam masyarakat.
Syariah sebagai the original text mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqih sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi atau relatif atau zhanni, dan berubah sesuai dengan perubahan konteks: konteks zaman, konteks sosial, konteks tempat, dan konteks-konteks lain.
Konsep (sesuatu yang dikategorikan) dalam kitab-kitab fiqih tersebut belum tentu sejalan dengan praktek (apa yang dilakukan Muslim) di lapangan. Dapat ditegaskan bahwa fiqih berada pada level pemikiran sama dengan produk pemikiran lain seperti fatwa, undang-undang, kodifikasi, dan kompilasi. Sebagai hasil pemikiran, fiqih pun masih dalam bentuk teori/konsep, yang boleh jadi masih berbeda dengan apa yang dipraktekkan masyarakat Muslim. Kepercayaan sama dengan ajaran, sementara praktek sama dengan keberagamaan.
                      IV.     KESIMPULAN
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa Islam Historis adalah Islam sebagai produk sejarah. Sedangkan Islam Normatif adalah Islam sebagai wahyu.
Pengelompokan Islam Normatif dan Islam Historis dikemukakan oleh beberapa ilmuwan, yakni:
1.      Nasr Hamid Abu Zaid, mengelompokkan menjadi tiga:
a.       Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam)
b.      Pemikiran Islam yang merupakan ragam penafsiran terhadap teks asli Islam (Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.)
c.       Praktek yang dilakukan kaum Muslim
2.      Abdullah Saeed, mengelompokkan menjadi tiga:
a.       Nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan institusi- institusi.
b.      Penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan atau dipraktekkan.
c.       Praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan terjadi karena penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
3.      Ibrahim M. Abu Rabi’, mengelompokkan menjadi empat:
a.       Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi (the ideological/philosophical base)
b.      Islam sebagai dasar teologi (the theological base)
c.       Islam pada level teks (the level of the text)
d.      Islam pada level praktek (the level of anthropological reality)
Berdasarkan prinsip ajaran Islam serta visi misi dan tujuan ajaran Islam, untuk membangun Universalisme Islam itu dimulai dari pembangunan individu yang memahami kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka tiap individu harus memahami prinsip ajaran Islam dengan baik dan benar agar visi, misi, dan tujuan ajaran Islam dapat tercapai.

                V.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami sajikan perihal tentang Islam Normatif dan Islam Historis. Semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang Islam Normatif dan Islam Historis Kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Amin abdullah, studi agama normativitas atau historitas?,(yogyakarta: pustaka pelajar, 2002),
Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010,
Prof. DR. H.  Abuddin Nata, M.A, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
.





[1] . Dr. M. Amin abdullah, studi agama normativitas atau historitas?,(yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), hlm. VI

[2] . Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 1
[3] . ibid. Hlm:4
[4] . Prof. DR. H.  Abuddin Nata, M.A, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),hlm.  508-509
[5] . ibid,  hlm :490

[6] . ibid, hlm. 491-492

[7] . Op. cit., Sejarah Pendidikan  Islam, hlm. 15-18.

No comments:

Post a Comment