I.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama samawi terakhir yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad saw.
sebagai penutup para nabi dan rasul. Hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai
agama paripurna yang menyempurnakan segala konsep dan aturan dari agama-agama
samawi sebelumnya.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak
normatif dan historis tidak selamanya akur dan seirama.Hubungan antara keduanya
sering kali diwarnai dengan tension, atau ketegangan, baik yang bersifat
kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama, lantaran ia berangkat dari
teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama sampai
batas-batas tertentu adalah bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan corak ini tidak
sepenuhnya menyetujui untuk tidak mengatakan menolak alternasi pemahaman yang
dikemukakan oleh pendekatan kedua.[1]
Disini kami akan memaparkan sedikit tentang islam historis dan normatif? Bagaimana pengelompokan islam
normatif dan historis?dan bagaimana cara membangun universalitas dalam islam?
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian Islam Historis
Kultural?
B.
Apa pengertian Islam Normatif?
C. Bagaimana pengelompokan
Islam Normatif dan Islam Historis?
III. PEMBAHASAN
A. . Pengertian Islam Historis dan kultural
Historis berasal dari bahasa inggris History
yang bernakna sejarah, yang berarti pengalaman masa lampau daripada umat
manusia.[2]
Kata sejarah secara terminologis berarti
suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan
unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Pokok persoalan sejarah senantiasa akan berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan
masyarakat. Objek sejarah pendidikan islam sangat erat hubungannya dengan
nilai-nilai agamawi, filosofi, psikologi, dan sosiologi. Maka dari itu, objek
sasarannya itu secara menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat dan sikap
itu, maka metode yang harus ditempuh yaitu: deskriptif, komparatif,
analisis-sintesis.
Pertama, dengan
cara deskriptif, diwujudkan bahwa ajaran-ajaran islam sebagai agama yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. dalam Al-Qur’an dan Hadits, terutama yang berhubungan dengan
pengertian pendidikan, harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk
memahami makna yang terkandung dalam makna tersebut.
Kedua, dengan cara komparatif dimaksudkan bahwa
ajaran-ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan
berkembang dalam kurun-kurun serta di tempat-tempat tertentu untuk mengetahui
adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga diketahui
pula adanya garis yang tertentu yang menghubungkan ajaran Islam dengan ajaran
yang dibandingkan.
Ketiga, dengan pendekatan analisis-sintesis. Pendekatan analisis artinya secara
kritis membahas, meneliti istilah-istilah, pengertian-pengertian yang diberikan
oleh Islam, sehingga diketahui adanya kelebihan dan kekhasan Islam. Dan
sintesis dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang diambil guna memperoleh
satu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat
penulisan sejarah.[3]
Islam historis merupakan domain yang oleh
Lakotos disebut dengan “protective belt”, yakni domain utama dari apa yang disebut
sebuah ilmu, sistem pengetahuan yang secara langsung dapat dinilai, di uji
ulang, diteliti, dipertanyakan, diformulasi ulang dan dibangun
kembali. Dan hal itu akan berhasil bila dilakukan transparasi metodologi,
teori dan tradisi riset yang sangat teliti dibangun oleh para ilmuan yang
bergerak dibidang humaniora, sosial dan studi agama.
M.Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan
Historitas. Islam historis dan kultural adalah Islam yang ditelaah
lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik
lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun
antropologis.
Islam
historis dan kultural berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Sunah
serta berbagai sumber ajaran islam lainnya. Namun dalam waktu bersamaan ia juga
menghargai warisan sejarah dan budaya islam di masa lalu untuk selanjutnya
digunakan guna memahami ajaran agama. Dengan Islam historis dam kultural, maka
Islam tidak hanya diyakini sebagai sebuah ajaran atau norma yang unggul dan
pasti benar saja, melainkan juga diupayakan agar keunggulan dan kebenaran
tersebut menjadi sesuatu yang dapat berperan dalam sejarah dan kebudayaan.
Dengan kata
lain, Islam historis dan kultural adalah Islam yang membumi atau Islam yang
dipahami, dihayati dan diamalkan oleh masyarakat, yang didalamnya sudah masuk
berbagai unsur atau pengaruh yang bukan berasal dari Islam. Dengan demikian,
dalam praktiknya Islam historis dan kultural ini bisa berbeda dengan Islam normatif sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah. Dalam Islam historis dan
kultural tersebut, adanya perbedaan dalam penghayatan dan pengamalan, ajaran Islam harus dihargai sebagai hasil kreativitas dan inovasi manusia
dalam rangka memahami pesan ajaran Islam. Namun demikian, perbedaan yang dapat
ditoleransi tersebut sebatas perbedaan yang bukan wilayah yang prinsip seperti
akidah, ibadah, dan akhlak. Perbedaan tersebut hanya
pada wilayah teknis dan ijtihadiyah. Missal, ajaran Islam tentang wajib menutup
aurat yang dapat diterjemahkan dalam sejarah dan budaya dalam bentuk
keanekaragamaan busana muslim yang menutup aurat.
Kehadiran
Islam historis dan kultural ini diperlukan untuk menyadarkan umat Islam tentang
perlunya menghargai warisan sejarah dan budaya masa lalu, dan menggunakannya
sebagai bahan inspirasi untuk membangun sejarah dan budaya masa depan yang
lebih gemilang. Melalui Islam historis dan kultural ini, memungkinkan Islam
dapat beradaptasi, berkolaburasi dan diterima oleh keragaman sejarah dan budaya
masyarakat.Dengan demikian Islam akan terasa lebih dekat, fleksibel,
akomodatif, dan ramah dengan lingkungan sosial budaya.[4]
- Pengertian
Islam Normatif
Kata
normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang secara harfiah
berarti norma, ajaran, aturan, hukum, ketentuan yang pasti. Selanjutnya, kata
normatif digunakan untuk memberikan sifat atau corak terhadap ajaran Islam.[5]
Ajaran yang bersifat normatif adalah ajaran yang bersumber dari agama-agama di
dunia, termasuk agama Islam yang merupakan ajaran yang dapat menyelamatkan
manusia dari keterpurukan hidup dan kesesatan.
Studi islam yang bercorak normativitas
merupakan pendekatan yang berangkat dari teks yang telah tertulis dalam kitab
suci, dan sampai batas-batas tertentu ia bercorak literalis, tekstualis atau
skriptualis. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan, corak ini tidak
sepenuhnya menyetujui untuk tidak mengatakan menolak sama dengan alternatif
pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan historis. Corak keislaman yang
bersifat normatif ini dituduh oleh corak keislaman historis, sebagai pemahaman
keislaman yang cenderung mengapsolutkan teks yang telah tertulis, tanpa
berusaha memahami lebih dahulu apa yang sesungguhnya yang melatar belakangi
berbagai teks keagamaan yang ada. Pada era Skolastik, ilmu-ilmu teologi yang
dirancang dan dibangun semata-mata di atas kebenaran wahyu, pernah disebut-sebut
sebagai “The Queen of Sciences”, tetapi setelah berkembangnya
berbagai macam pendekatan dan pemahaman yang bercorak historis empiris terhadap
fenomena keberagamaan manusia, ia tidak lagi dapat mengeklaim demikian.
Dalam praktiknya,
Islam normativitas memiliki keyakinan dan klaim yang kuat bahwa Islam
sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci adalah mutlak benar, ideal, unggul,
berlaku sepanjang zaman, tidak dapat dibantah.Berbagai ajaran yang terdapat di
dalam Al-Qur’an baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, sejarah,
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya pasti benar dan sangat
ideal.Setiap masalah yang muncul dalam berbagai bidang tersebut langsung
dihadapkan kepada Al-Qur’an. Terhadap pendekatan yang demikian itu semua orang Islam pasti setuju.
Namun, corak Islam yang demikian itu kaya dengan ajaran, namun miskin dalam
praktik dan pengalaman.Corak Islam ini cenderung tidak mau menerima berbagai
pemikiran yang berasal dari hasil pemikiran atau praktik dalam sejarah.Islam
yang bercorak normatif ini pada akhirnya cenderung kaku, dan tidak realistis.Islam yang
bercorak normatif ini tidak mau peduli dengan kenyataan, bahwa untuk dapat mengamalkan ajaran
Islam dengan baik perlu pengalaman Islam dalam sejarah.Selain itu, Islam
normatif hanya mementingkan keunggulan ajaran yang ada di dalam wahyu saja,
sedangkan keadaan penganut Islam yang dalam kenyataan tertinggal dalam berbagai
bidang kehidupan tampak tidak dipedulikan.
Islam yang bercorak normativitas tersebut tentu saja sangat berguna dalam
rangka memelihara dan menjaga kemurnian ajaran Islam sebagaimana terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta dalam rangka membangun keyakinan yang kuat
bahwa ajaran Islam yang terdapat di dalam wahyu Al-Qur’an itu tinggi, dan tidak
ada yang lebih dari padanya (al-islam ya’lu wa laa yu’la alaih).[6]
- PENGELOMPOKAN
ISLAM NORMATIF DAN ISLAM HISTORIS
Sejalan dengan penggelompokkan Islam
Normatif dan Islam Historis, ada pula ilmuwan yang membuat pengelompokkan lain.
Diantaranya:
1. Nasr
Hamid Abu Zaid, mengelompokkan menjadi tiga:
a.
Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam)
Yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang otentik.
b. Pemikiran
Islam yang merupakan ragam penafsiran terhadap teks asli Islam (Al-Qur’an dan
sunnah Nabi Muhammad SAW.). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli
Islam, seperti tafsir dan fikih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat
pokok cabang, yaitu:
1. Hukum
atau fiqih
2. Teologi
3. Filsafat
4. Tasawuf
atau mistik
Hasil ijtihad dalam bidang hukum atau fiqih muncul
dalam bentuk:
a.
Fiqih
b. Fatwa
c.
Yurisprudensi (kumpulan putusan hakim)
d.
Kodifikasi yang muncul dalam bentuk UU (undang-undang) dan kompilasi
c.
Praktek yang dilakukan kaum Muslim
Praktek ini muncul dalam berbagai macam
dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya: praktek
sholat Muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara
muslim Indonesia meletakkan tangan di dada.
2. Abdullah
Saeed, menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang berbeda
sebagai berikut:
a.
Nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan institusi- institusi.
Ada persetujuan yang besar diantara
Muslim, seperti keesaan Allah, bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah, bahwa
Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bahwa wajib shalat lima waktu sehari semalam,
puasa di bulan Ramadhan, bahwa hukum meminum minuman yang memabukkan adalah dilarang,
bahwa berbuat zina adalah dilarang.
b.
Penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat
dilaksanakan atau dipraktekan.
Ada perbedaan pendapat di kalangan Muslim.
Misalnya sentuhan membatalkan wudlu. Ada ulama yang berpendapat sentuhan yang
membatalkan wudlu adalah semua sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang
sudah dewasa tetapi bukan tua bangka. Sementara ulama lain berpendapat bahwa
sentuhan yang membatalkan wudlu adalah kumpul suami dan istri.
c. Praktek
berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara
dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan
terjadi karena penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
Contohnya: warna dan model pakaian muslim
yang digunakan untuk shalat, dimana warna-warni dan model pakaian shalat
demikian beragam di kalangan muslim belahan dunia.
3. Ibrahim
M. Abu Rabi’ membaginya menjadi empat tingkatan, yaitu:
a.
Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi (the ideological/philosophical
base)
Maksud islam pada dataran ideologi adalah
landasan gerakan sekelompok orang, sekelompok komunitas dengan mengatasnamakan
Islam. Maka pada tingkatan ini Islam identik dengan sosialis, ideologi
kapitalis, dan ideologi-ideologi sejenis lainnya.
b. Islam
sebagai dasar teologi (the theological base)
Secara sederhana berarti berserah kepada
satu Tuhan. Dalam kamus disebutkan: “theology is a formal study of
natural of God and of the foundation of religious belief”. Prinsipnya pada
tingkatan inilah agama yang didefinisikan sebagai pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi, pengakuan terhadap
adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, pengakuan pada satu sumber yang
berada di luar diri manusia, kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu, sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan
ghaib, pemujaan kekuatan ghaib.
Semua agama mempunyai kepercayaan ini,
bahwa semua agama mempunyai kepercayan adanya kekuatan ghaib (mah) diluar
kekuatan dan kemampuan manusia. Sehingga muncullah istilah bahwa semua agama
adalah sama. Kesamaan dimaksud adalah sama-sama mengakui adanya kekuatan super
natural tersebut.
c.
Islam pada level teks (the level of the text)
Teks asli sumber ajaran Islam berupa Al
Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
d. Islam
pada level praktek (the level of anthropological reality)
Praktek yang dilakukan kaum Muslim
sepanjang sejarah Muslim dalam berbagai macam latar belakang sosial, budaya,
dan tradisi.[7]
Sebagian dari syariat Islam (teks nash)
adalah ajaran yang berlaku sepanjang masa (nash prinsip atau normatif
universal), dan ada sebagian lain yang merupakan aplikasi dari respon terhadap
fenomena sosial Arab di masa pewahyuan.
Adapun Islam sebagai (pada level) praktek,
dan boleh jadi disebut juga fenomena sosial, adalah Islam yang dipraktekkan
muslim sebagai jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam kesehariannya
sebagai penganut agama Islam. Maka pada level ini terjadi akulturasi antara
pemahaman (konsep/teori) dengan adat yang berlaku dalam masyarakat.
Syariah sebagai the original text
mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqih
sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi
atau relatif atau zhanni, dan berubah sesuai dengan perubahan konteks:
konteks zaman, konteks sosial, konteks tempat, dan konteks-konteks lain.
Konsep (sesuatu yang dikategorikan) dalam
kitab-kitab fiqih tersebut belum tentu sejalan dengan praktek (apa yang dilakukan
Muslim) di lapangan. Dapat ditegaskan bahwa fiqih berada pada level pemikiran
sama dengan produk pemikiran lain seperti fatwa, undang-undang, kodifikasi, dan
kompilasi. Sebagai hasil pemikiran, fiqih pun masih dalam bentuk teori/konsep,
yang boleh jadi masih berbeda dengan apa yang dipraktekkan masyarakat Muslim.
Kepercayaan sama dengan ajaran, sementara praktek sama dengan keberagamaan.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas disimpulkan
bahwa Islam Historis adalah Islam sebagai produk sejarah. Sedangkan Islam
Normatif adalah Islam sebagai wahyu.
Pengelompokan Islam Normatif dan
Islam Historis dikemukakan oleh beberapa ilmuwan, yakni:
1.
Nasr Hamid Abu Zaid, mengelompokkan menjadi tiga:
a.
Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam)
b.
Pemikiran Islam yang merupakan ragam penafsiran terhadap teks asli Islam
(Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.)
c.
Praktek yang dilakukan kaum Muslim
2.
Abdullah Saeed, mengelompokkan menjadi tiga:
a.
Nilai pokok atau dasar atau asas, kepercayaan, ideal dan institusi-
institusi.
b.
Penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut
dapat dilaksanakan atau dipraktekkan.
c.
Praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara
satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Perbedaan terjadi karena penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.
3.
Ibrahim M. Abu Rabi’, mengelompokkan menjadi empat:
a.
Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi (the
ideological/philosophical base)
b.
Islam sebagai dasar teologi (the theological base)
c.
Islam pada level teks (the level of the text)
d.
Islam pada level praktek (the level of anthropological reality)
Berdasarkan prinsip ajaran Islam
serta visi misi dan tujuan ajaran Islam, untuk membangun Universalisme Islam
itu dimulai dari pembangunan individu yang memahami kedudukannya sebagai hamba
Allah dan sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka tiap
individu harus memahami prinsip ajaran Islam dengan baik dan benar agar visi,
misi, dan tujuan ajaran Islam dapat tercapai.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami sajikan perihal tentang Islam Normatif dan Islam Historis.
Semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita tentang Islam Normatif
dan Islam Historis Kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat
kami harapkan demi perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Amin abdullah, studi agama normativitas atau historitas?,(yogyakarta:
pustaka pelajar, 2002),
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2010,
Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, Studi
Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009.
.
No comments:
Post a Comment