POLITIK
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAI TERSANGKA BERDASAR UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN
2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak
merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat
strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah
penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh
masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya
menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan
perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.[1]
Hak-hak
anak sebaiknya dipahami sebagai suatu perwujudan adanya keadilan. Keadilan
adalah suatu kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
secara seimbang, serta dapat mengembangkan mereka seutuhnya agar dapat berbudi
luhur. Hak-hak anak ini berhubungan erat dengan kewajibannya, tanggung
jawabnya, ini bergantung pada situasi, kondisi mental, fisik, dan sosialnya.[2]
Penjelasan
Undang Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang
Perlindungan Anak
(Lembar Negara No. 109 tahun 2002) (selanjutnya disebut undang-undang
perlindungan anak) Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan. Dengan demikian setiap masyarakat memiliki kewajiban untuk memberikan
perlindungan dalam rangka untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pada hakikatnya
anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,
mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam Pelaksanaan Peradilan Anak
yang asing bagi dirinya.[3]
Sistem
peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status
narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh
kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem
peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak
berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk
menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak
semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.[4]
Terminologi
internasional yang digunakan untuk menyebut anak yang melakukan pelanggaran
hukum adalah “Anak yang Berhadapan dengan Hukum.” Sejak disadari bahwa anak juga melakukan pelanggaran
hukum, perdebatan tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menghadapinya,
terus menerus berlangsung. Diversi adalah proses yang telah diakui secara
internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang
berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
sangat luas dan beragam, tetapi kebanyakan lebih menekankan pada penahanan dan
penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa
mudanya usia anak tersebut. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 80% dari
anak-anak yang diketahui Polisi melakukan pelanggaran hukum hanya akan
melakukannya satu kali itu saja, jadi penggunaan sumber-sumber sistem peradilan
yang ‘menakutkan’ untuk menangani anak-anak ini sesungguhnya sangat tidak
berdasar, kecuali benar-benar diperlukan.[5]
Ada
persamaan dari pengakuan para napi anak itu. Ketika menjalani pemeriksaan
sebelum diadili, mereka sama-sama mengalami interogasi diiringi kekerasan.
Misalnya yang dialami seorang napi anak dari Ciwidey, Kab. Bandung. Cerita
senada muncul dari dua anak lain, warga di kawasan Dipati Ukur, Bandung.
Keduanya pengamen jalanan.[6]
Di
kantor polisi, mereka juga dipaksa mengaku. Selain dipukuli, keduanya mengalami
tindak kekerasan lain. Ada beberapa kisah serupa dari narapidana anak di Lapas
Tangerang. Sebagian mereka dipaksa mengakui perbuatan kriminalnya melalui
tindak kekerasan. Semua anak yang diwawancarai di balik tembok penjara adalah
anak-anak dari keluarga yang lemah ekonomi, minim akses, lemah dalam pergaulan
sosial, juga lemah secara politik. Dari 24 anak yang di penjara di Rutan
Kebonwaru, sepuluh di antaranya tidak tamat SD, tiga anak lulus SD, sembilan
anak berpendidikan tidak tamat SMP. Hanya tiga anak berpendidikan SMA.
Di
Lapas Tangerang ada 215 anak. Saat ini ada 24 anak berusia antara 14-18
tahun yang meneruskan SD di dalam lapas. 31 anak melanjutkan SMP di dalam
lapas, dan 77 anak sedang melanjutkan pendidikan SMA. Selebihnya mengikuti
pendidikan kejuruan. Latar belakang pendidikan mereka setidaknya bisa dijadikan
sebagai gambaran, bagaimana dan dimana posisi mereka dalam kehidupan
sosial-ekonomi. Anak-anak ini tidak bisa protes tatkala ada perlakuan tak adil.
Suara mereka hanya terdengar oleh sesama napi, oleh aktivis LSM, atau oleh
mereka yang sedang melakukan penelitian di penjara.
Dari
sudut pandang psikologis, berbagai sikap dan tindakan sewenang-wenang terhadap
anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah sehingga mengganggu
proses pertumbuhan/perkembangan secara sehat. Hal ini tidak terlepas dari
semakin kompleksnya masalah yang dihadapi anak-anak zaman sekarang, ditambah
lagi faktor-faktor penunjang untuk terjadinya proses belajar secara tidak
langsung, seperti tayangan-tayangan kekerasan di layar kaca, sampai berita
kekerasan serius yang muncul akhir-akhir ini. Sementara pada diri seorang anak,
proses imitasilah (meniru) paling dominan memberikan pengaruh terhadap dirinya.
Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang
harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum tentu harus
ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak bangsa.
Pelaksanaan
diversi belum diatur dalam KUHAP, Undang-undang Perlindungan Anak, dan
Undang-undang Pengadilan Anak, maupun Undang-undang lain. Namun, hal ini
tertuang dalamConvention
on The Rights of The Child atau
Konvensi Hak-hak Anak (Indonesia meratifikasi Keppres Nomor 36 Tahun 1990) dan
POLRI dalam melaksanakan diversi selama ini berpedoman pada pasal 18
Undang-undang POLRI dan Telegram Rahasia (TR) Kabareskrim Polri
No.1124/XI/2006 (selanjutnya disebut TR KABARESKRIM) yang dikeluarkan pada
tanggal 16 November 2006. Pada TR KABARESKRIM pada butir FFF yang
berbunyi “dengan berpedoman pada arahan tersebut butir DDD dan EEE diatas
maka prinsip diversi harus diupayakan untuk diterapkan dalam menangani
permasalahan hukum anak yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.” Dari
uraian tersebut jelas bahwa TR KABARESKRIM menjadi pedoman sebagai pelaksanaan
diversi di tahap penyidikan. Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini
kelompok 2 akan membahas tentang: “PolitikHukum Perlindungan Anak Sebagai Tersangka Berdasar Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.”
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perlindungan anak sebagai tersangkadalam proses
penyidikan berdasar pada Undang
Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang
PerlindunganAnak
(Lembar Negara No. 109 Tahun
2002) jika dilihat dari segi politik hukum?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Politik Hukum
Secara
etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata yaitu, recht yang
artinya hukum dan politiek artinya kebijakan. Dengan kata lain, menurut
kesimpulan elaborasi ragam definisi politik hukum dari beberapa pakar hukum
dalam kutipan buku Imam Syaukani dan A. Ahsin,[7] politik
hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Politik hukum
dikatakan sebagai kebijakan mengenai hukum yang berarti rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana yang akan diberlakukannya dalam
hukum.Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait politik hukum
menurut Satjipto Rahardjo, yaitu:
1.
Tujuan apa yang hendak dicapai
melalui system itu;
2.
Cara-cara apa yang paling baik
untuk mencapai tujuan itu;
3.
Kapan dan bagaimana hukum itu
diubah;
4.
Dapatkah suatu pola baku
dirumuskan untuk membantu mencapai tujuan dan merumuskan cara.
B. Tinjauan Umum tentang Tugas dan Wewenang
POLRI Sebagai Penyidik Anak
1. Penyidikan
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat (2) Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan
suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan
pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti
permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana.Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan
pengertian opsporing.[8] Dapat
disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk
menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi
peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup
bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat
dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.
Penyidikan
sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya
kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang
wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum Acara Pidana yaitu
hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus
menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan
dibebankan padanya. Oleh karena itu sering kali proses penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan
mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian
penyidikan.
Penyidikan
mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi penyidik,di mana penyidik
tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak
pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas
dan wewenagnnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan
KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya
bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka
penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum.
Dalam
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berdasarkan undang-undang
pengadilan anak disebut dengan anak nakal penyidik yang melakukan penyidikan
adalah penyidik Polri (Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). Meskipun penyidiknya penyidik
Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan
tersebut, penyidik terhadap anak di angkat oleh Kapolri dengan surat keputusan
tersendiri dan disebut sebagai penyidik anak.
2. Tugas
dan Wewenang Penyidik
Berdasarkan
pengertian penyidikan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHAP maka tugas pokok dari
seorang penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite beleid: police disrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan
apa yang akan diambil dalam saat yang sangat singkat pada penaggapan pertama
suatu delik.[9]Berdasarkan
tugas utama penyidik agar dapat berjalan dengan lancar maka sesuai Pasal 7 ayat
(1) penyidik polisi negara Republik Indonesia mempunyai wewenang, antara lain:[10]
1) Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2) Melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3) Menyuruh
berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka;
4) Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5) Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat, dsb.
Sedangkan
kewajiban penyidik polisi yang sebagaimana ditetapkan pada Pasal 8 KUHAP antara
lain yaitu:
1) Membuat
berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakan penyidikan tersebut.
2) Menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan perkara dilakukan dengan
dua tahap yaitu penyidik hanya menyerahkan kasus perkara dan dalam hal
penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Tinjauan
Umum tentang Diversi1. Konsep Diversi
Anak
yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana sangat
dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan
perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana,
maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat
aturan formal tindakan mengeluarkan seorang anak yang melakukan pelanggaran
hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan
memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran
pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut
diversi atau pengalihan.
2. Dasar
Hukum Pelaksanaan Diversi
Beberapa acuan yang
dapat dipergunakan dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku adalah:
a. Peraturan
Internasional
1) Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)
Konvensi
Hak-hak Anak, menegaskan pada Pasal 40 bahwa: negara-negara peserta harus
berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga yang
secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau
dinyatakan melanggar hukum pidana dan khususnya:
(a) Menetapkan
usia dibawah 18 tahun, sehingga anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun
dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
(b) Bilamana
layak dan diinginkan, melakukan langkah untuk menangani anak-anak seperti itu
tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa hak asasi manusia dan
perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.
Sedangkan
untuk hak Anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Pasal 37 yang berisi:
(a) Tidak
seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam
yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati
ataupemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat
dikenakanuntuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah
umur delapan belas tahun;
(b) Tidak
seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak
harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya
jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
(c) Setiap
anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati
martabat manusia yang melekat dan dalam suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas
kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu
dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan
kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam
keadaankeadaan luar biasa;
(d) Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan
bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan
kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang,
mandiri dan adil dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.
2) The United Nations Standard Minimum Rules for
Administration of Juvenile Justice-The Beijing Rules(Peraturan
Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak -Peraturan Beijing)
Dalam peraturan
ini dijelaskan tentang kebebasan dalam membuat keputusan dalam hal diskresi
pada semua tahap dan tingkat peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari
administrasi peradilan bagi anak/remaja, termasuk pengusutan, penuntutan,
pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya. Namun dalam
pelaksanaannya dituntut agar dilaksanakan dengan pertanggungjawaban, dalam
membuat keputusan tersebut juga harus benar-benar berkualifikasi dan terlatih
secara khusus untuk melaksanakannya dengan bijaksana dan sesuai dengan
fungsi-fungsi dan tugasnya masing-masing.
Untuk
dapat memfasilitasi disposisi kebijakan kasus-kasus anak, harus dilakukan upaya
untuk mengadapan program-program dalam masyarakat seperti: pengawasan dan
panduan secara temporer, restitusi dan kompensasi pada korban. Prinsip-prinsip diversi
dalam The Beijing Rulesini adalah:[11]
(a) Anak
tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu
Tentunya jika ada pemikiran akan lebih mudah apabila tidak bertindak untuk kepentingan
terbaik bagi anak dengan memaksanya mengakui perbuatannya sehingga kasusnya
dapat ditangani secara formal. Hal ini tidak dapat dibenarkan;
(b) Program
diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan
suatu kesalahan. Tapi tidak boleh ada pemaksaan;
(c) Pemenjaraan
tidak dapat menjadi bagian dari Diversi. Mekanisme dan struktur diversi tidak
mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk karena hal ini melanggar
hak-hak dasar dalam proses hukum;
(d) Adanya
kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat dilimpahkan
kembali ke sistem peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil);
(e) Adanya
hak untuk memproleh persidangan atau peninjauan kembali. Anak harus tetap dapat
mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali.
b. Peraturan
Nasional
1) Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia
Secara
khusus, tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang menetapkan standar
tindakan diversi untuk pelaksanaan penanganan perkara terhadap anak pelaku
tindak pidana oleh aparat kepolisian. Namun demikian, berdasarkan kewenangan
diskresi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi: “Dalam
rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Dan ayat (2)
yang berbunyi: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
(1) Tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum;
(2) selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebutdilakukan;
(3) Harus
patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
(4) Pertimbangan
yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
(5) Menghormati
hak asasi manusia.
Merujuk
pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 UU POLRI, yang memberikan
kewenangan diskresi kepada aparat kepolisian, maka penanganan perkara tindak
pidana anak tidak seharusnya dilakukan dengan mengikuti sistem peradilan pidana
formal yang ada. Dengan kata lain bahwa, sesuai kewenangan yang dimilikinya,
maka dalam penanganan perkara tindak pidana anak, aparat kepolisian dapat lebih
leluasa mengambil tindakan berupa tindakan pengalihan (diversion) di
luar dari sistem peradilan pidana formal.
2) Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor 1124/XI/2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian
Telegram Rahasia (TR)
ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan diversi. Dalam TR
ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak
anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif
penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak.
TR Kabareskrim Polri No. 1124/XI/2006. Butir DDD Satu memberikan kewenangan
kepada penyidik untuk melakukan diskresi Kepolisian sesuai Pasal 16
Undang-Undang Kepolisian, selain itu pada butir DDD Tiga Pasal 16 Undang-Undang
Kepolisian juga sebagai dasar penerapan diversi. Pelaksanaan diversi ini harus
sesuai dengan asas keseimbangan dengan mempertimbangkan sifat perbuatan anak
dengan akibat yang ditimbulkannya.
Kepada pihak
Kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam
model restorative justice guna
memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun
pemahaman dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana
harus dipahami sebagai kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa
dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa sebagai mana disebutkan
dalam butir DDD Empat. Tindak pidana anak juga harus dipandang sebagai
pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia sehingga memunculkan
kewajiban dari semua pihak atau seluruh komponen masyarakat untuk terus
berusaha dan membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik melalui kelibatan
semua pihak untuk mengambil peran guna mancari solusi terbaik, baik bagi
kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban dan juga bagi kepentingan anak
sebagai pelaku di masa sekarang dan dimasa datang.
Dengan cara demikian
setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan pendekatanrestorative justice sehingga menjauhkan anak dari
proses hukum formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan
stigmasasi serta dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum. Penahanan
terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan
langkah terakhir (ultimum remidium),
dan pelaksanaanya harus dipisahkan dari tahanan dewasa (TR Kabareskrim Polri
No. 1124/XI/2006. Butir DDD Lima).
Dalam pelaksanaan
TR Kabareskrim Polri No. 1124/XI/2006 tidak
semua tindak pidana yang dilakukan anak dapat didiversi, namun ada beberapa
kategori yang menjadi prioritas dan diupayakan diversi, namun ada beberapa
pertimbangan yang harus di tempuh oleh penyidik, terutama dalam hal kebaikan
anak demi masa depan anak.
3) Kesepakatan
Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia,
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Pasal 2
ayat (1) Surat Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen
Pendidikan Nasional Republik
Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum menyebutkan tujuan
dibuatnya kesepakatan ini adalah untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi
sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif serta agar penanganannya lebih terintegrasi dan
terkoordinasi.
Dalam
Pasal 9 huruf f kesepakatan ini disebutkan salah satu tugas dan tanggung jawab
Kepolisian adalah mengupayakan diversi dan keadilan restoratif terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku, dengan mempertimbangkan
hasil penelitian kemasyarakatan demi kepentingan terbaik anak.
C. Tinjauan
Umum tentang Hak-Hak Anak Sebagai Tersangka
Seorang anak yang
melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana sangat membutuhkan adanya
perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa
di masa depan. Perlindungan hukum terhadap
anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena
anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan
secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dan
perawatan khusus.
Pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Januari 1990 telah
menandatangani Konvensi Hak Anak tersebut dan telah diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Keputusan Presiden ini mengintrodusir
kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak ke dalam hukum nasional.
Oleh sebab itu, terdapat kewajiban Pemerintah Indonesia untuk menjadikannya
sebagai sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional yang berkenaan dengan
pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak. Sebagai negara peserta (state party) yang telah meratifikasi konvensi
tersebut, maka konsekuensi hukumnya bahwa pemerintah mengakui
adanya hak-hak anak serta berkewajiban melak-sanakan dan menjamin terlaksananya
hak-hak anak.
Selanjutnya dalam
Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak ditegaskan pula bahwa negara-negara peserta
harus menjamin:
1) Tidak
seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hukuman
mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun;
2) Tidak
seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus
sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk
jangka waktu yang sesingkat-singkatnya;
3) Setiap
anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan
dihormati martabatnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya.
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang
dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak bersangkutan
menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan
hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan,
kecuali dalam keadaan-keadaan khusus;
4) Setiap
anak yang dirampas kemerdekaannya, berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan
hukum dan bantuan lain yang layak dan juga meng-gugat keabsahan perampasan
kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen
dan tidak memihak dan berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai
tindakan perampasan kemerdekaan tersebut.
Terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997 menggunakan istilah “anak nakal.” Sehubungan dengan
perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu
anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana
ditegaskan pada Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada anak nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang
tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau
organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No.
23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
1) Pasal
1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2) Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus
adalah per-lindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diper-dagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, pen-jualan, perdagangan,
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
3) Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan
anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
a) non
diskriminasi;
b) kepentingan
yang terbaik bagi anak;
c) hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
d) penghargaan
terhadap pendapat anak.
4) Pasal
3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanu-siaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera;
5) Pasal
16, menentukan bahwa:
a) Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
b) Setiap
anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
c) Penangkapan,
penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
6) Pasal
17, menentukan bahwa:
a) Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1. mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2. memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku;
3. membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
b) Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan.
7) Pasal
18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya;
8) Pasal
59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya ber-kewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
9) Pasal
64, menentukan bahwa:
(a)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban
tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat;
(b)
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
melalui:
·
perlakuan atas anak
secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
·
penyediaan petugas
pendamping khusus anak sejak dini.
·
penyediaan sarana dan
prasarana khusus.
·
penjatuhan sanksi yang
tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak.
·
pemantauan dan
pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum.
·
pemberian jaminan
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
·
perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal
59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban
tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dilaksanakan melalui:
a. Perlakuan
atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
b. Penyediaan
Petugas Pendamping sejak dini.
c. Penyediaan
sarana dan prasarana khusus.
d. Penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
e. Pemantauan
dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum.
f. Pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga.
g. Perlindungan
dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran umum
Polres/Polresta dan PPA
1. Polres/Polresta
Polres/Polresta
dalam menjalankan tugas dan fungsinya dipimpin oleh seorang Kapolres yang
berpangkat AKBPyang mempunyai kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat Kabupaten atau Kota Madya. Adapun satuan wilayah yang termasuk dalam
jajaran Polres adalah wilayah setingkat Kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten
atau Kota Madya yang di istilahkan dengan Kepolisisan Sektor (Polsek).
Struktur
organisasi Polres/Polresta diatur dalam keputusan KAPOLRI No. Pol: KEP/7/1/2005
tanggal 31 Januari 2005. Secara garis besar, struktur organisasi
Polres/Polresta dibagi ke dalam 4 (empat) unsur, yaitu:
1) Unsur
pimpinan terdiri dari:
a) Kapolres
Adalah
pimpinan Polres yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada KAPOLDA.
b) Wakapolres
Adalah
pembantu utama Kapolres yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Kapolres.
2) Unsur
pembantu pimpinan / Pelaksana Staf
a) Bagian
Operasional (Bag. Ops)
Adalah
unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf polres yang berada di bawah
Kapolres.
b) Bagian
Binamitra (Bag. Binamitra)
Adalah
unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah
Kapolres.
c) Bagian
Administrasi (Bag Min)
Adalah
unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah
Kapolres.
3) Unsur
Pelaksana Staf Khusus dan Pelayanan
a) Urusan
Telematika (UR Telematika)
Adalah
unsur pelaksana staf khusus Polres yang di bawah Kapolres.
b) Unit
Pelayanan Pengaduan dan Penegakan Disiplin (P3D)
Adalah
unsur pelaksana staf khusus Polres yang berada di bawah Kapolres.
c) Urusan
Kedokteran dan Kesehatan (UR DOKKES)
Adalah
unsur pelaksana staf khusus Polres tertentu yang berada di bawah Kapolres.
d) Tata
Usaha dan Urusan Dalam (TAUD)
Taud
Adalah unsur pelayanan Polres yang berada di bawah Kapolres.
4) Unsur
Pelaksana Utama
a) Sentra
Pelayanan Kepolisian (SPK)
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang terdiri dari 3 (tiga) unit dan disusun
berdasarkan pembagian waktu (shift) yang berada di bawah Kapolres.
b) Satuan
Intelejen Keamanan (SAT INTELKAM)
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres
c) Satuan
Reserse Kriminal (SAT RESKRIM)
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
d) Satuan
SAMAPTA (SAT SAMAPTA)
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
e) Satuan
NARKOBA
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
f) Satuan
Lalu Lintas (SAT LANTAS)
Adalah
unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
Pembahasan
penelitian ini akan difokuskan pada Satuan Reserse Kriminal Unit Perempuan dan
Anak Polres/Polresta, karena sesuai judul penelitian yang diangkat oleh
kelompok kami. Proses penyidikan perkara anak di tangani oleh Satuan
Reserse Kriminal dalam Unit Perempuan dan Anak Polres/Polresta.
B. Tujuan UU No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Perlindungan
anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap
anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan
anak tersebut secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut
adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Perlindungan
anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang
mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi
anak yang bersangkutan.
Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk
keseriusan pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun
1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga
RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan
tahun 2001.
Memperhatikan
pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang ini terbaca
dengan jelas bahwa bangsa Indonesia benar-benar berazam kuat untuk melahirkan
anak yang berkualitas. Dari keseluruhan pasal yang terdapat dalam UU
Perlindungan Anak tersebut, pasal 2 dan 3 dalam undang-undang tersebut
mecantumkan tentang asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya menjadi
jiwa dari pasal-pasal lain. Hal tersebut dikarenakan kedua pasal ini sangat
membantu untuk memahami keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang
dimaksud.
Secara
deklaratif kedua pasal tersebut menyatakan penghargaan terhadap pendapat anak,
menolak sikap diskriminasi terhadap anak; memprioritaskan kepentingan terbaik
bagi anak; menciptakan suasana nyaman bagi kehidupan dan perkembangan anak.
Terkait
dengan tujuan tersebut, UU tersebut juga mengatur lebih lanjut dalam
pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, UU tersebut mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal
4 (Hak dan Kewajiban Anak).
Selanjutnya
UU tersebut juga mengatur hak anak khusus dalam partisipasi mereka dalam proses
pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan
pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Dan pada pasal 24 yang
berbunyi “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya
dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Perlindungan
yang diberikan kepada seorang anak sebagaimana digambarkan di atas, sejatinya
merupakan implementasi dari perlindungan hak asasi anak yang tidak boleh
dikurangi oleh siapapun juga, baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan
pemerintah dan negara. Ruang lingkup perlindungan anak sangat luas tidak hanya
ditujukan pada pemenuhan kebutuhan jasmaniah anak tetapi juga meluas hingga
pemenuhan kebutuhan rohaniah. Seperti yang telah dipaparkan di atas,
perlindungan anak diberikan guna menghindarkan anak dari berbagai upaya yang
mengarah pada penghilangan identitas anak, diskriminasi, serta
perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya.
C. Pihak yang
Diuntungkan Dalam Tujuan Hukum Perlindungan Anak
Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan
dalam 2 sifat, yaitu:[12]
1. Perlindungan
yang bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam:
(a) Bidang
hukum publik;
(b) Bidang
hukum keperdataan.
2. Perlindungan
yang bersifat non yuridis meliputi:
(a) Bidang
social;
(b) Bidang
kesehatan dan;
(c) Bidang
pendidikan.
Sesuai
dengan yang diharapkan dalam makalah ini bahwa perlindungan anak bersifat
yuridis adalah menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai pengaruh atau
dampak langsung bagi kehidupan seorang anak dalam arti semua aturan hukum yang
mengatur kehidupan anak.
Sehingga titik berat tujuan perlindungan hukum yang
penulis utamakan dalam makalah ini adalah pada seorang anak yang berhadapan
dengan urusan hukum. Seorang
anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, anak memiliki
sifat dan psikologi yang terbilang labil. Kesalahan yang dibuat oleh seorang
anak tidak bisa semena-mena dikatakan sebagai niat kejahatan murni. Kadang yang
terja di dalam kenyataan adalah terjadinya suatu peristiwa kerugian atau
kecelakaan itu adalah suatu bentuk ketidaksengajaan yang disebabkan oleh si
anak.
Maka
hal yang sangat digaris bawahi dalam bahasan ini adalah ketika seorang anak
yang tersangkut dalam permasalahan hukum, kemudian diberlakukan suatu
sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi
terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Hal-hal itu hanya akan memicu
kerusakan pertumbuhan dan perkembangan moral serta pribadi seorang anak dalam
jangka waktu yang sangat panjang, bahkan akan sangat mempengaruhi bagaimana
masa depan serta interaksinya dalam segala bidang kehidupan.
Dengan
begitu menjadi jelas jika tujuan perlindungan anak ini diberlakukan, maka pihak
yang diuntungkan dalam pembahasan makalah ini adalah anak yang menghadapi
permasalahan hukum, khususnya anak-anak yang berposisi sebagai pelaku dalam
tindak pidana yang memiliki kriteria tersebut di atas.
D. Cara Mewujudkan
Tujuan dengan Metode Diversi (Berdasar Beijing’s Rules)
Dalam upaya melindungi anak-anak dari kekakuan hukum
formal yang ada khususnya di Indonesia, munculnya konvensi-konvensi
Internasional yang menjadi titik terang atas perlindungan anak. Seringkali
terjadi kekaburan hukum tentang bagaimana menyikapi, menanggulangi kasus yang
terjadi pada anak agar anak pada nantinya tidak menjadi seorang yang berkasus
seperti orang dewasa. Seiring dengan kompleksnya masalah anak di dunia ini
khususnya di Indonesia, maka terbentuknya konvensi-konvensi, salah satunya
adalah Beijing’ Rules. Pengertian umum diversi menurut Beijing’s Rules adalah
pengalihan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari
proses formal dengan atau tanpa syarat.
1. Untuk menghindari anak dari penahanan;
2. Untuk menghindari cap/label anak sebagai
penjahat;
3. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang
yang dilakukan oleh anak;
4. Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
5. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang
diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
6. Menghindari anak mengikuti proses sistem
peradilan;
7. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi
negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restorativejustice jika:
1. Mendorong anak untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya;
2. Memberikan kesempatan bagi anak untuk
mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
3. Memberikan kesempatan bagi si
korban untuk ikut serta dalam proses;
4. memberikan kesempatan bagi anak untuk
dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
5. memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi
dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Karena tidak terteranya dengan jelas tentang tindakan diskresi yang ada di
undang-undang Indonesia maka Polisi dan pihak yang
berwenang harusnya merujuk kepada Beijing’s rules. Pada butir 11.1
Beijing’s Rules mengiyakan kewenangan kepada polisi untuk melakukan
diskresi terhadap kasus anak dan pejabat yang berwenang memberikan pertimbangan
tanpa menggunakan pengadilan formal. Serta pada butir 11.2 polisi dan pihak
berwenang diminta memberikan kebijaksanaan pada kasus-kasus anak tanpa
menggunakan pemeriksaan awal yang formal.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik
hukum UU Perlindungan anak jika dilihat dari aspek tujuan dari adanya UU
tersebut adalah untuk memberikan penghargaan terhadap pendapat anak,
menolak sikap diskriminasi terhadap anak; memprioritaskan kepentingan terbaik
bagi anak; serta menciptakan suasana nyaman bagi kehidupan dan perkembangan
anak jika terkait dengan anak sebagai seorang tersangka.
Jika
tujuan perlindungan anak ini diberlakukan, maka pihak yang diuntungkan dalam
pembahasan makalah ini adalah anak yang menghadapi permasalahan hukum,
khususnya anak-anak yang berposisi sebagai pelaku dalam tindak pidana yang
memiliki kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya.
Terkait
dengan bagaimana cara untuk mewujudkan tujuan dari UU Perlindungan anak
tersebut salah satunya dengan penerapan metode diversi kepada anak yang
berstatus tersangka dalam kasus pidana.
B. Saran
Indonesia
sebagai negara hukum hendaknya segera membentuk peraturan perundang-undangan
yang memuat tentang ketentuan diversi secara eksplisit sebagai salah satu
metode restorative
justice untuk melindungi anak yang berstatus
tersangka dalam perkara pidana, karena anak merupakan aset bangsa, sebagai
bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagaisuccesor suatu
bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, Ruben. Upaya
Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang.Januari 2005. Simbur Cahaya:Nomor 27 Tahun X.
Anonymous, Dalam makalah: Praktek-praktek Penanganan
Anak Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak,
http://pemudapedulidhuafa.blogspot.com/2013/10/praktek-praktek-penanganan-anak.html
Astuti, Made Sadhi. 2003. Hukum
Pidana Anak dan Hukum Perlindungan Anak. Malang: Universitas Negeri Malang.
Dedi. Lapas Anak
antara Teks dan Konteks. Departemen Sosial.
http://www.depsos.go.id/modules.php?namen News&file=article&sid=256
Hamzah, Andi. 2002. Hukum
Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar
Grafika.
Joni, M. dan Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak.Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Kusumaningrum, Santi. 2009. Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan
Hukum. Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson,
http://Santi Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf
Muhammad, Rusli. 2007.Hukum
Acara Pidana Kontemporer. Citra
Aditia Bakti.
Oke Zone. Com. 2010.Kasus Kekerasan Anak Meroket.http://getsa.wordpress.com/2011/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
Safa’at, M. Ali. Dalam perkuliahan Politik Hukum Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 24
September 2013.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin
Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju.
[1]Ruben
Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik
dengan Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya, Nomor
27, Tahun X, Januari 2005, hal. 24
[2]Made
Sadhi Astuti, “Hukum Pidana Anak dan Hukum Perlindungan
Anak”, Malang, Universitas Negeri Malang, 2003, hal. 22-23
[4]M. Joni
dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak,Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia
1995, Jakarta 1995, hal. 1
[5]Santi
Kusumaningrum, 2009, Penggunaan
Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson, http://Santi
Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf, (28 Agustus
2014)
[6][6]Dedi, Lapas
Anak antara Teks dan Konteks.,
Departemen Sosial. Selasa,. http://www.depsos.
go.id/modules.php?namen News&file=article&sid=256. (2 Desember 2013)
go.id/modules.php?namen News&file=article&sid=256. (2 Desember 2013)
[7]Imam Syaukani dan A. Ahsin
Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 22
[11]Made
Sadhi Astuti, “Hukum Pidana Anak dan Hukum Perlindungan
Anak”, Malang, Universitas Negeri Malang, 2003, hal. 97
[12]http://pemudapedulidhuafa.blogspot.com/2013/10/praktek-praktek-penanganan-anak.html, dalam makalah:
Praktek-praktek Penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Sistem
Peradilan Pidana Anak (30
Agustus 2014)
No comments:
Post a Comment