Tuesday, March 15, 2016

makalah politik hukum perlindungan anak

POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAI TERSANGKA BERDASAR UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.[1]
Hak-hak anak sebaiknya dipahami sebagai suatu perwujudan adanya keadilan. Keadilan adalah suatu kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang, serta dapat mengembangkan mereka seutuhnya agar dapat berbudi luhur. Hak-hak anak ini berhubungan erat dengan kewajibannya, tanggung jawabnya, ini bergantung pada situasi, kondisi mental, fisik, dan sosialnya.[2]
Penjelasan Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  (Lembar Negara No. 109 tahun 2002) (selanjutnya disebut undang-undang perlindungan anak)  Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Dengan demikian setiap masyarakat memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dalam rangka untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam Pelaksanaan Peradilan Anak yang asing bagi dirinya.[3]
Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.[4]
Terminologi internasional yang digunakan untuk menyebut anak yang melakukan pelanggaran hukum adalah “Anak yang Berhadapan dengan Hukum.” Sejak disadari bahwa anak juga melakukan pelanggaran hukum, perdebatan tentang bagaimana cara yang terbaik untuk menghadapinya, terus menerus berlangsung. Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragam, tetapi kebanyakan lebih menekankan pada penahanan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut. Penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar 80% dari anak-anak yang diketahui Polisi melakukan pelanggaran hukum hanya akan melakukannya satu kali itu saja, jadi penggunaan sumber-sumber sistem peradilan yang ‘menakutkan’ untuk menangani anak-anak ini sesungguhnya sangat tidak berdasar, kecuali benar-benar diperlukan.[5]
Ada persamaan dari pengakuan para napi anak itu. Ketika menjalani pemeriksaan sebelum diadili, mereka sama-sama mengalami interogasi diiringi kekerasan. Misalnya yang dialami seorang napi anak dari Ciwidey, Kab. Bandung. Cerita senada muncul dari dua anak lain, warga di kawasan Dipati Ukur, Bandung. Keduanya pengamen jalanan.[6]
Di kantor polisi, mereka juga dipaksa mengaku. Selain dipukuli, keduanya mengalami tindak kekerasan lain. Ada beberapa kisah serupa dari narapidana anak di Lapas Tangerang. Sebagian mereka dipaksa mengakui perbuatan kriminalnya melalui tindak kekerasan. Semua anak yang diwawancarai di balik tembok penjara adalah anak-anak dari keluarga yang lemah ekonomi, minim akses, lemah dalam pergaulan sosial, juga lemah secara politik. Dari 24 anak yang di penjara di Rutan Kebonwaru, sepuluh di antaranya tidak tamat SD, tiga anak lulus SD, sembilan anak berpendidikan tidak tamat SMP. Hanya tiga anak berpendidikan SMA.
Di Lapas Tangerang ada 215 anak.  Saat ini ada 24 anak berusia antara 14-18 tahun yang meneruskan SD di dalam lapas. 31 anak melanjutkan SMP di dalam lapas, dan 77 anak sedang melanjutkan pendidikan SMA. Selebihnya mengikuti pendidikan kejuruan. Latar belakang pendidikan mereka setidaknya bisa dijadikan sebagai gambaran, bagaimana dan dimana posisi mereka dalam kehidupan sosial-ekonomi. Anak-anak ini tidak bisa protes tatkala ada perlakuan tak adil. Suara mereka hanya terdengar oleh sesama napi, oleh aktivis LSM, atau oleh mereka yang sedang melakukan penelitian di penjara.

Dari sudut pandang psikologis, berbagai sikap dan tindakan sewenang-wenang terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah sehingga mengganggu proses pertumbuhan/perkembangan secara sehat. Hal ini tidak terlepas dari semakin kompleksnya masalah yang dihadapi anak-anak zaman sekarang, ditambah lagi faktor-faktor penunjang untuk terjadinya proses belajar secara tidak langsung, seperti tayangan-tayangan kekerasan di layar kaca, sampai berita kekerasan serius yang muncul akhir-akhir ini. Sementara pada diri seorang anak, proses imitasilah (meniru) paling dominan memberikan pengaruh terhadap dirinya. Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak bangsa.
Pelaksanaan diversi belum diatur dalam KUHAP, Undang-undang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Pengadilan Anak, maupun Undang-undang lain. Namun, hal ini tertuang dalamConvention on The Rights of The Child atau  Konvensi Hak-hak Anak (Indonesia meratifikasi Keppres Nomor 36 Tahun 1990) dan POLRI dalam melaksanakan diversi selama ini berpedoman pada pasal 18 Undang-undang POLRI dan Telegram Rahasia  (TR) Kabareskrim Polri No.1124/XI/2006 (selanjutnya disebut TR KABARESKRIM) yang dikeluarkan pada tanggal 16 November 2006. Pada TR KABARESKRIM pada butir FFF yang berbunyi  “dengan berpedoman pada arahan tersebut butir DDD dan EEE diatas maka prinsip diversi harus diupayakan untuk diterapkan dalam menangani permasalahan hukum anak yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.” Dari uraian tersebut jelas bahwa TR KABARESKRIM menjadi pedoman sebagai pelaksanaan diversi di tahap penyidikan. Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini kelompok 2 akan membahas tentang“PolitikHukum Perlindungan Anak Sebagai Tersangka Berdasar Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perlindungan anak sebagai tersangkadalam proses penyidikan berdasar pada Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang PerlindunganAnak  (Lembar Negara No. 109 Tahun 2002) jika dilihat dari segi politik hukum?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Tinjauan Umum tentang Politik Hukum
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata yaitu, recht yang artinya hukum dan politiek artinya kebijakan. Dengan kata lain, menurut kesimpulan elaborasi ragam definisi politik hukum dari beberapa pakar hukum dalam kutipan buku Imam Syaukani dan A. Ahsin,[7] politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara Negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Politik hukum dikatakan sebagai kebijakan mengenai hukum yang berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana yang akan diberlakukannya dalam hukum.Pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait politik hukum menurut Satjipto Rahardjo, yaitu:
1.        Tujuan apa yang hendak dicapai melalui system itu;
2.        Cara-cara apa yang paling baik untuk mencapai tujuan itu;
3.        Kapan dan bagaimana hukum itu diubah;
4.        Dapatkah suatu pola baku dirumuskan untuk membantu mencapai tujuan dan merumuskan cara.
B.  Tinjauan Umum tentang Tugas dan Wewenang POLRI Sebagai Penyidik Anak
1.    Penyidikan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat (2) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan  suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing.[8] Dapat disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena itu sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.
Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi penyidik,di mana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenagnnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berdasarkan undang-undang pengadilan anak disebut dengan anak nakal penyidik yang melakukan penyidikan adalah penyidik Polri (Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan tersebut, penyidik terhadap anak di angkat oleh Kapolri dengan surat keputusan tersendiri dan disebut sebagai penyidik anak.
2.    Tugas dan Wewenang Penyidik
Berdasarkan pengertian penyidikan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHAP maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite beleid: police disrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan apa yang akan diambil dalam saat yang sangat singkat pada penaggapan pertama suatu delik.[9]Berdasarkan tugas utama penyidik agar dapat berjalan dengan lancar maka sesuai Pasal 7 ayat (1) penyidik polisi negara Republik Indonesia mempunyai wewenang, antara lain:[10]
1)   Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2)   Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3)   Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka;
4)   Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5)   Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, dsb.
Sedangkan kewajiban penyidik polisi yang sebagaimana ditetapkan pada Pasal 8 KUHAP antara lain yaitu:
1)   Membuat berita acara tentang hasil pelaksanaan tindakan penyidikan tersebut.
2)   Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan perkara dilakukan dengan dua tahap yaitu penyidik hanya menyerahkan kasus perkara dan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Tinjauan Umum tentang Diversi1.    Konsep Diversi
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.

2.    Dasar Hukum Pelaksanaan Diversi 
Beberapa acuan yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku adalah:
a.    Peraturan Internasional
1)   Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)
Konvensi Hak-hak Anak, menegaskan pada Pasal 40 bahwa: negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana dan khususnya:
(a)      Menetapkan usia dibawah 18 tahun, sehingga anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
(b)      Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa hak asasi manusia dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.
Sedangkan untuk hak Anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Pasal 37 yang berisi:
(a)      Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati ataupemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakanuntuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;
(b)      Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak  harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
(c)      Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaankeadaan luar biasa;
(d)     Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.
2)   The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice-The Beijing Rules(Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak -Peraturan Beijing)
Dalam peraturan ini dijelaskan tentang kebebasan dalam membuat keputusan dalam hal diskresi pada semua tahap dan tingkat peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak/remaja, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya. Namun dalam pelaksanaannya dituntut agar dilaksanakan dengan pertanggungjawaban, dalam membuat keputusan tersebut juga harus benar-benar berkualifikasi dan terlatih secara khusus untuk melaksanakannya dengan bijaksana dan sesuai dengan fungsi-fungsi dan tugasnya masing-masing.

Untuk dapat memfasilitasi disposisi kebijakan kasus-kasus anak, harus dilakukan upaya untuk mengadapan program-program dalam masyarakat seperti: pengawasan dan panduan secara temporer, restitusi dan kompensasi pada korban. Prinsip-prinsip diversi dalam The Beijing Rulesini adalah:[11]
(a)      Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu Tentunya jika ada pemikiran akan lebih mudah apabila tidak bertindak untuk kepentingan terbaik bagi anak dengan memaksanya mengakui perbuatannya sehingga kasusnya dapat ditangani secara formal. Hal ini tidak dapat dibenarkan;
(b)     Program diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan. Tapi tidak boleh ada pemaksaan;
(c)      Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari Diversi. Mekanisme dan struktur diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk karena hal ini melanggar hak-hak dasar dalam proses hukum;
(d)     Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat dilimpahkan kembali ke sistem peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil);
(e)      Adanya hak untuk memproleh persidangan atau peninjauan kembali. Anak harus tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali.
b.   Peraturan Nasional
1)   Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia
Secara khusus, tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang menetapkan standar tindakan diversi untuk pelaksanaan penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh aparat kepolisian. Namun demikian, berdasarkan kewenangan diskresi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi: “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Dan ayat (2) yang berbunyi: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
(1)     Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
(2)     selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebutdilakukan;
(3)     Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
(4)     Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
(5)     Menghormati hak asasi manusia.

Merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 UU POLRI, yang memberikan kewenangan diskresi kepada aparat kepolisian, maka penanganan perkara tindak pidana anak tidak seharusnya dilakukan dengan mengikuti sistem peradilan pidana formal yang ada. Dengan kata lain bahwa, sesuai kewenangan yang dimilikinya, maka dalam penanganan perkara tindak pidana anak, aparat kepolisian dapat lebih leluasa mengambil tindakan berupa tindakan pengalihan (diversion) di luar dari sistem peradilan pidana formal.
2)   Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian
Telegram Rahasia (TR) ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan diversi. Dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. TR Kabareskrim Polri No. 1124/XI/2006. Butir DDD Satu memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan diskresi Kepolisian sesuai Pasal 16 Undang-Undang Kepolisian, selain itu pada butir DDD Tiga Pasal 16 Undang-Undang Kepolisian juga sebagai dasar penerapan diversi. Pelaksanaan diversi ini harus sesuai dengan asas keseimbangan dengan mempertimbangkan sifat perbuatan anak dengan akibat yang ditimbulkannya.

Kepada pihak Kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model restorative justice guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana harus dipahami sebagai kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa sebagai mana disebutkan dalam butir DDD Empat. Tindak pidana anak juga harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia sehingga memunculkan kewajiban dari semua pihak atau seluruh komponen masyarakat untuk terus berusaha dan membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik melalui kelibatan semua pihak untuk mengambil peran guna mancari solusi terbaik, baik bagi kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban dan juga bagi kepentingan anak sebagai pelaku di masa sekarang dan dimasa datang.
Dengan cara demikian setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan pendekatanrestorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi serta dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum. Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan langkah terakhir (ultimum remidium), dan pelaksanaanya harus dipisahkan dari tahanan dewasa (TR Kabareskrim Polri No. 1124/XI/2006. Butir DDD Lima).
Dalam pelaksanaan TR Kabareskrim Polri No. 1124/XI/2006 tidak semua tindak pidana yang dilakukan anak dapat didiversi, namun ada beberapa kategori yang menjadi prioritas dan diupayakan diversi, namun ada beberapa pertimbangan yang harus di tempuh oleh penyidik, terutama dalam hal kebaikan anak demi masa depan anak.
3)   Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Pasal 2 ayat (1) Surat Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum menyebutkan tujuan dibuatnya kesepakatan ini adalah untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif serta agar penanganannya lebih terintegrasi dan terkoordinasi.
Dalam Pasal 9 huruf f kesepakatan ini disebutkan salah satu tugas dan tanggung jawab Kepolisian adalah mengupayakan diversi dan keadilan restoratif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku, dengan mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan demi kepentingan terbaik anak.

C.  Tinjauan Umum tentang Hak-Hak Anak Sebagai Tersangka
Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Januari 1990 telah menandatangani Konvensi Hak Anak tersebut dan telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Keputusan Presiden ini mengintrodusir kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-hak Anak ke dalam hukum nasional. Oleh sebab itu, terdapat kewajiban Pemerintah Indonesia untuk menjadikannya sebagai sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional yang berkenaan dengan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak. Sebagai negara peserta (state party) yang telah meratifikasi konvensi tersebut, maka konsekuensi hukumnya bahwa pemerintah mengakui adanya hak-hak anak serta berkewajiban melak-sanakan dan menjamin terlaksananya hak-hak anak.

Selanjutnya dalam Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak ditegaskan pula bahwa negara-negara peserta harus menjamin:
1)   Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hukuman mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun;
2)   Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya;
3)   Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabatnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak bersangkutan menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus;
4)   Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya, berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga meng-gugat keabsahan perampasan kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen dan tidak memihak dan berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan kemerdekaan tersebut.

Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997 menggunakan istilah “anak nakal.” Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
1)   Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2)   Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah per-lindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diper-dagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, pen-jualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
3)   Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
a)    non diskriminasi;
b)   kepentingan yang terbaik bagi anak;
c)    hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
d)   penghargaan terhadap pendapat anak.
4)   Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanu-siaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera;
5)   Pasal 16, menentukan bahwa:
a)    Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
b)   Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;
c)    Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
6)   Pasal 17, menentukan bahwa:
a)    Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1.    mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2.    memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
3.    membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
b)   Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
7)   Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya;
8)   Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya ber-kewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
9)   Pasal 64, menentukan bahwa:
(a) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;
(b) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
·         perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
·         penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.
·         penyediaan sarana dan prasarana khusus.
·         penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak.
·         pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
·         pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
·         perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
a.    Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
b.    Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini.
c.    Penyediaan sarana dan prasarana khusus.
d.   Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
e.    Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
f.     Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga.
g.    Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi.


BAB III
PEMBAHASAN

A.  Gambaran umum Polres/Polresta dan PPA
1.    Polres/Polresta
Polres/Polresta dalam menjalankan tugas dan fungsinya dipimpin oleh seorang Kapolres yang berpangkat AKBPyang mempunyai kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Kabupaten atau Kota Madya. Adapun satuan wilayah yang termasuk dalam jajaran Polres adalah wilayah setingkat Kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota Madya yang di istilahkan dengan Kepolisisan Sektor (Polsek).

Struktur organisasi Polres/Polresta diatur dalam keputusan KAPOLRI No. Pol: KEP/7/1/2005 tanggal 31 Januari 2005. Secara garis besar, struktur organisasi Polres/Polresta dibagi ke dalam 4 (empat) unsur, yaitu:
1)   Unsur pimpinan terdiri dari:
a)    Kapolres
Adalah pimpinan Polres yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada KAPOLDA.
b)   Wakapolres
Adalah pembantu utama Kapolres yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kapolres.
2)   Unsur pembantu pimpinan / Pelaksana Staf
a)    Bagian Operasional (Bag. Ops)
Adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf polres yang berada di bawah Kapolres.
b)   Bagian Binamitra (Bag. Binamitra)
Adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres.
c)    Bagian Administrasi (Bag Min)
Adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres.
3)   Unsur Pelaksana Staf Khusus dan Pelayanan
a)    Urusan Telematika (UR Telematika)
Adalah unsur pelaksana staf khusus Polres yang di bawah Kapolres.
b)   Unit Pelayanan Pengaduan dan Penegakan Disiplin  (P3D)
Adalah unsur pelaksana staf khusus Polres yang berada di bawah Kapolres.
c)    Urusan Kedokteran dan Kesehatan (UR DOKKES)
Adalah unsur pelaksana staf khusus Polres tertentu yang berada di bawah Kapolres.
d)   Tata Usaha dan Urusan Dalam (TAUD)
Taud Adalah unsur pelayanan Polres yang berada di bawah Kapolres.
4)   Unsur Pelaksana Utama
a)    Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK)
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang terdiri dari 3 (tiga) unit dan disusun berdasarkan pembagian waktu (shift) yang berada di bawah Kapolres.
b)   Satuan Intelejen Keamanan (SAT INTELKAM)
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres
c)    Satuan Reserse Kriminal (SAT RESKRIM)
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
d)   Satuan SAMAPTA (SAT SAMAPTA)
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
e)    Satuan NARKOBA
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
f)    Satuan Lalu Lintas (SAT LANTAS)
Adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres.
Pembahasan penelitian ini akan difokuskan pada Satuan Reserse Kriminal Unit Perempuan dan Anak Polres/Polresta, karena sesuai judul penelitian yang diangkat oleh kelompok kami. Proses penyidikan perkara anak di tangani oleh  Satuan Reserse Kriminal dalam Unit Perempuan dan Anak Polres/Polresta.

B.  Tujuan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.

Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001.

Memperhatikan pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang ini terbaca dengan jelas bahwa bangsa Indonesia benar-benar berazam kuat untuk melahirkan anak yang berkualitas. Dari keseluruhan pasal yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak tersebut, pasal 2 dan 3 dalam undang-undang tersebut mecantumkan tentang asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya menjadi jiwa dari pasal-pasal lain. Hal tersebut dikarenakan kedua pasal ini sangat membantu untuk memahami keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang dimaksud.

Secara deklaratif kedua pasal tersebut menyatakan penghargaan terhadap pendapat anak, menolak sikap diskriminasi terhadap anak; memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak; menciptakan suasana nyaman bagi kehidupan dan perkembangan anak.

Terkait dengan tujuan tersebut, UU tersebut juga mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU tersebut mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak).

Selanjutnya UU tersebut juga mengatur hak anak khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Dan pada pasal 24 yang berbunyi “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Perlindungan yang diberikan kepada seorang anak sebagaimana digambarkan di atas, sejatinya merupakan implementasi dari perlindungan hak asasi anak yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun juga, baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah dan negara. Ruang lingkup perlindungan anak sangat luas tidak hanya ditujukan pada pemenuhan kebutuhan jasmaniah anak tetapi juga meluas hingga pemenuhan  kebutuhan rohaniah. Seperti yang telah dipaparkan di atas, perlindungan anak diberikan guna menghindarkan anak dari berbagai upaya yang mengarah pada penghilangan identitas anak, diskriminasi, serta perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya.
C.  Pihak yang Diuntungkan Dalam Tujuan Hukum Perlindungan Anak
Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 sifat, yaitu:[12]
1.    Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam:
(a)      Bidang hukum publik;
(b)     Bidang hukum keperdataan.
2.    Perlindungan yang bersifat non yuridis meliputi:
(a)      Bidang social;
(b)     Bidang kesehatan dan;
(c)      Bidang pendidikan.
Sesuai dengan yang diharapkan dalam makalah ini bahwa perlindungan anak bersifat yuridis adalah menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai pengaruh atau dampak langsung bagi kehidupan seorang anak dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak.
Sehingga titik berat tujuan perlindungan hukum yang penulis utamakan dalam makalah ini adalah pada seorang anak yang berhadapan dengan urusan hukum. Seorang anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, anak memiliki sifat dan psikologi yang terbilang labil. Kesalahan yang dibuat oleh seorang anak tidak bisa semena-mena dikatakan sebagai niat kejahatan murni. Kadang yang terja di dalam kenyataan adalah terjadinya suatu peristiwa kerugian atau kecelakaan itu adalah suatu bentuk ketidaksengajaan yang disebabkan oleh si anak.
Maka hal yang sangat digaris bawahi dalam bahasan ini adalah ketika seorang anak yang tersangkut dalam permasalahan hukum, kemudian diberlakukan suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Hal-hal itu hanya akan memicu kerusakan pertumbuhan dan perkembangan moral serta pribadi seorang anak dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan akan sangat mempengaruhi bagaimana masa depan serta interaksinya dalam segala bidang kehidupan.
Dengan begitu menjadi jelas jika tujuan perlindungan anak ini diberlakukan, maka pihak yang diuntungkan dalam pembahasan makalah ini adalah anak yang menghadapi permasalahan hukum, khususnya anak-anak yang berposisi sebagai pelaku dalam tindak pidana yang memiliki kriteria tersebut di atas.

D.  Cara Mewujudkan Tujuan dengan Metode Diversi (Berdasar Beijing’s Rules)
Dalam upaya melindungi anak-anak dari kekakuan hukum formal yang ada khususnya di Indonesia, munculnya konvensi-konvensi Internasional yang menjadi titik terang atas perlindungan anak. Seringkali terjadi kekaburan hukum tentang bagaimana menyikapi, menanggulangi kasus yang terjadi pada anak agar anak pada nantinya tidak menjadi seorang yang berkasus seperti orang dewasa. Seiring dengan kompleksnya masalah anak di dunia ini khususnya di Indonesia, maka terbentuknya konvensi-konvensi, salah satunya adalah Beijing’ Rules. Pengertian umum diversi menurut Beijing’s Rules adalah pengalihan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.
Adapun yang menjadi tumpuan untuk mewujudkan tujuan diversi adalah:[13]
1.    Untuk menghindari anak dari penahanan;
2.    Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
3.    Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
4.    Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
5.    Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
6.    Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
7.    Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restorativejustice jika:
1.      Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
2.      Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
3.      Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
4.      memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
5.      memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Karena tidak terteranya dengan jelas tentang tindakan diskresi yang ada di undang-undang Indonesia maka Polisi dan pihak yang berwenang harusnya merujuk kepada Beijing’s rules. Pada butir 11.1  Beijing’s Rules mengiyakan kewenangan kepada polisi untuk melakukan diskresi terhadap kasus anak dan pejabat yang berwenang memberikan pertimbangan tanpa menggunakan pengadilan formal. Serta pada butir 11.2 polisi dan pihak berwenang diminta memberikan kebijaksanaan pada kasus-kasus anak tanpa menggunakan pemeriksaan awal yang formal.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Politik hukum UU Perlindungan anak jika dilihat dari aspek tujuan dari adanya UU tersebut adalah untuk memberikan penghargaan terhadap pendapat anak, menolak sikap diskriminasi terhadap anak; memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak; serta menciptakan suasana nyaman bagi kehidupan dan perkembangan anak jika terkait dengan anak sebagai seorang tersangka.
Jika tujuan perlindungan anak ini diberlakukan, maka pihak yang diuntungkan dalam pembahasan makalah ini adalah anak yang menghadapi permasalahan hukum, khususnya anak-anak yang berposisi sebagai pelaku dalam tindak pidana yang memiliki kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya.
Terkait dengan bagaimana cara untuk mewujudkan tujuan dari UU Perlindungan anak tersebut salah satunya dengan penerapan metode diversi kepada anak yang berstatus tersangka dalam kasus pidana.
B.     Saran
Indonesia sebagai negara hukum hendaknya segera membentuk peraturan perundang-undangan yang memuat tentang ketentuan diversi secara eksplisit sebagai salah satu metode restorative justice untuk melindungi anak yang berstatus tersangka dalam perkara pidana, karena anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagaisuccesor suatu bangsa.



DAFTAR PUSTAKA
AchmadRuben. Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang.Januari 2005. Simbur Cahaya:Nomor 27 Tahun X.
Anonymous, Dalam makalah: Praktek-praktek Penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak, http://pemudapedulidhuafa.blogspot.com/2013/10/praktek-praktek-penanganan-anak.html
AstutiMade Sadhi2003. Hukum Pidana Anak dan Hukum Perlindungan Anak. Malang: Universitas Negeri Malang.
Dedi. Lapas Anak antara Teks dan Konteks. Departemen Sosial. http://www.depsos.go.id/modules.php?namen News&file=article&sid=256
HamzahAndi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.
Joni, M. dan Zulchaina Z. Tanamas1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak.Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kusumaningrum, Santi. 2009. Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson, http://Santi Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf
MuhammadRusli. 2007.Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditia Bakti.
Oke Zone. Com. 2010.Kasus Kekerasan Anak Meroket.http://getsa.wordpress.com/2011/12/24/kasus-kekerasan-anak-meroket
Safa’at, M. Ali. Dalam perkuliahan Politik Hukum Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 24 September 2013.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang  Perlindungan Anak.
Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju.



[1]Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya, Nomor 27, Tahun X, Januari 2005, hal24
[2]Made Sadhi Astuti, “Hukum Pidana Anak dan Hukum Perlindungan Anak”, Malang, Universitas Negeri Malang, 2003, hal. 22-23

[3]Ibid., hal. 2
[4]M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak,Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta 1995, hal. 1
[5]Santi Kusumaningrum, 2009,  Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris Graveson, http://Santi Kusumaningrum -diversion-guidelines_adopted-from-chris-report.pdf, (28 Agustus 2014)
[6][6]Dedi, Lapas Anak antara Teks dan Konteks., Departemen Sosial. Selasa,. http://www.depsos.
go.id/modules.php?namen News&file=article&sid=256. (2 Desember 2013)

[7]Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 22
[8]Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditia Bakti, 2007, hal. 52
[9]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, sinar grafika, 2002, hal. 118
[10]Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, bandung, 2009, hal. 48
[11]Made Sadhi Astuti, “Hukum Pidana Anak dan Hukum Perlindungan Anak”, Malang, Universitas Negeri Malang, 2003, hal. 97
[12]http://pemudapedulidhuafa.blogspot.com/2013/10/praktek-praktek-penanganan-anak.html, dalam makalah: Praktek-praktek Penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak (30 Agustus 2014)
[13]UU No. 23 Tahun 2002 Tentang  Perlindungan Anak

No comments:

Post a Comment