Friday, March 18, 2016

makalah pembukuan hadits

                                                              PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Dalam pembukuan hadis,banyak permasalahan mengemuka yang memerlukan konfirmasi dan kejelasan mengingat urgensi hadis sebagai salah satu sumber hukum bagi umat islam,sehingga umat wajar jika studi hadis tetap diminati baik dari kalangan insider ataupun outsider. Khususnya, kajian kritik matan yang merupakan bagian penting dalam studi hadis,mengingat sebagai teks normatif setelah Al-Qur’an,hadis memuat beberapa ajaran,doktrin,tuntunan hidupdan sebagainya yang termasuk dalam fokus kajian kritik matan.
Metode dan langkah melakukan kritik matan sangat beragam. Namun permasalahannya adalah bahwa secara teoretis,pelaksanaan kritik matan tidak banyak ditemukan perbedaan pendapat. Sedangkan secara praktis sering kali ditemukan perbedaanhasil penilaian,terutama apabila hadis yang diteliti telah mendapatkan penilaian shahih ditinjau dari kualitas sanadnya.
Di antara cendekiawan yang intens mengkritisi problematika periwayatan dan kritik matan hadis adalah jamal al-Banna yang menawarkan metode memperhadapkan hadis dengan Al-Qur’an memperbandingkan bahasa,gaya bahasa teks matan hadis yang bersifat qawly dengan ukuran bahasa tutur Nabi Saw.dalam berkomunikasi sehari-hari yang dikenal amat fasih.Ulama hdis dengan spesialisasi pendalaman konsep,hadis memperbandingkannya dengan konsep kandungan sesama hadis (sunnah) dan dengan al-Qur’an. Ulama yang menaruh perhatian pada sektor istinbath (penyimpulan deduktif) terhadap kandungan materi hukum,hikmah dan nilai keteladanan dalam hadis,mengarahkan penelitiannya pada nisbah ungkapan pada narasumber hadis.penelitian serupa terarah pada uji keutuhan,keaslian dan kebenaran komposisi teks matan hadis.[1]


B.RUMUSAN MASALAH
     1. Bagaimana keadaan hadis pada masa Rasulullah dan sahabatnya?      
2. Bagaimana proses perjalanan pembukuan (tadwin) hadis?
                                                                




PEMBAHASAN

A.    Hadis pada masa Rasulullah saw dan sahabatnya
Membicarakan hadist pada masa Rasul saw berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Rasul saw membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadits.[2]
Allah menurunkan al Quran dan mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai utusanNya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan,dan apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu (QS. An Najm (53):3-4). Kedudukan Nabi yang demikian ini  otomatis menjadikan  semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Untuk itu, mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang masalah dunia dan akhirat yang belum mereka ketahui.[3]
Adapun cara rasulullah menyampaikan hadits, antara lain :
1.      Melalui para jama’ah pada pusat pembinaanya yang disebut majlis al ‘ilm. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluan mendapatkan hadits.
2.      Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
3.      Cara lain yang dilakukan Rasulullah adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makah.[4]
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan alQuran dan hadis, Rasulullah menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al Quran beliau secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedang terhadap hadis beliau hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini beliau bersabda :




janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim)
Maka segala hadis yang diterima dari rosul saw oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman rosulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.[5]
Meskipun ada nash-nash yang melarang penulisan hadis juga ada nash-nash lain yang menerangkan bahwa Rasul mengizinkan sebagian sahabat untuk menulis hadits.[6] Nash tersebut salah satu contohnya, adalah jawaban dari Rosulullah atas  kritikan orang Quraisy terhadap sikap Abdulah bin Amr Al-‘Ash yang selalu menulis apa yang datang dari Rasulullah yang disampaikan kepadanya, lalu Nabi menjawab :



[7]“tulislah! Demi zat yang diriku berada di tanganNya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar.” (HR Bukhari)[8]
Dan akhirnya ada dua golongan yang berbeda pendapat yaitu ada yang membolehkan ada yang melarang penulisan hadis.
Muhammad bin Abdirrahman al mubarakfuri berkata: “ ketahuilah bahwa riwayat-riwayat Nabi Muhammad saw itu ketika di zaman Nabi dan sahabat belum terbukukan dan belum tersusun karena dua alasan :
1.      Para sahabat dilarang menulis hadis oleh Nabi
2.      Kuatnya hafalan dan cerdasnya pikiran mereka, kebanyakan dari mereka tidak bisa menulis dan membaca. Baru di akhir masa tabi’in terjadi pembukuan riwayat-riwayat tersebut dan bab-babnya pun ditata[9].
Selain itu, alasan lain dikarenakan para sahabat cenderung lebih konsen  memperhatikan al Quran untuk dihafal dan ditulisnya pada papan , pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagainya. Sedangkan terhadap hadis Nabi sendiri, disamping menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya[10]. Sehingga khawatir akan tercampurnya al Quran dengan hadits.

B.     Proses perjalanan pembukuan (tadwin) hadits
Terjadinya pemalsuan hadits dalam sejarah di sinyalir muncul seteah konflik antar elit politik dan dua pendukung ali dan mu’awiyah, umat Islam menjadi pecah 3 kelompok yakni Syi’ah, Khowarij, dan Jumhur ulama’ (Sunni). Perpecahan kelompok ini turut berperan dalam mengembangkan berbagai pemalsuan hadis[11]. Hal itu dilakukan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Selain itu, pergolakan politik tersebut mengakibatkn lahirnya rencana pembukuan hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan[12].
Sampai dengan akhir abad ke-1 H, hadis walau belum diperintah penguasa untuk secara resmi ditulis telah memasyarakat dan banyak ditulis atas inisiatif  perorangan. Banyak  alasan disampaikan mengapa penguasa tidak secara resmi memerintahkan untuk menulis hadis,antara lain: 1)kesibukan penguasa dalam mengurus wilayah baru. 2)secara tekstual didapati hadis yang secara tegas Nabi melarang menulis hadis. 3)adanya kekhawatiran penguasa/sahabat jika hadis ditulis akan bercampur dengan Al-qur’an. 4)diantara sahabat hanya sedikit yang pandai menulis. 5)daya hafal luar biasa yang dimiliki oleh sahabat maupun tabiin[13].
Kemudian pada zaman khalifah umar bain Abdul ‘Aziz, beliau yang terkenal berpribadi saleh dan cinta kepada pengetahuan, sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Ketika dia masih menjabat sebagai gubernur di Madinah (86-93 H) pada zaman al Walid bin ‘Abd al Malik (memerintah 86-96 H = 705-715 M), keinginan itu telah timbul. Tetapi tampaknya ia menyadari, bahwa hanya berbekal kedudukan sebagai seorang gubernur saja, dia belum mampu mengatasi perbedaan pendapat ulama’ tentang kebolehan seseorang menulis hadis. Di samping itu,dengan berbekal kedudukan sebagai gubernur, dia belum mampu menjangkau seluruh ulama yang tersebar di berbagai wilayah Islam[14].
Keinginan beliau untuk menghimpunkan hadis dilakukan dengan memberikan instruksi (surat perintah) kepada para pejabat daerah agar memperhatikn dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Salah satu surat dikirim kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr bin Hazm (Gubernur Madinah). Surat tersebut berbunyi :



“perhatikanlah atau periksalah hadis- hadis Rasul saw kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadis Rasul saw.”
Khalifah menginstruksikan kepada abu Bakar ibn Hazm untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada di tangan Amrah binti ‘Abdurrahman Al Anshari dan Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Instruksi yang sama ia tujukan kepada Muhammad ibn Syihab Al Zuhri[15].
Sayang sekali, sebelum ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah telah meninggal dunia. Adapun ulama’ yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum Khalifah wafat adalah Muhammad ibn Syihab Al Zuhri (W 742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al Zuhry dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya[16]. Akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap, tidak sampai pada generasi sekarang.
Walaupun Khalifah Umar telah wafat, namun kegiatan penghimpunan hadis berjalan terus. Sekitar pertengahan abad 2 H, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ada ulama’ yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas (W 93-179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya al Muwaththa’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas permintaan khalifah al Manshur. Para ulama’ menilai kitab ini sebagai kitab tadwin pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddisin selanjutnya.
Para pentadwin berikutnya, ialah Muhammad bin Ishaq (W 151 H) dan Ibn Abi Zi’bin (158 H) di madinah: Ibn Juraij (W 150 H) di makkah Al Rabi’ ibn Sabih (w. 160 H) dan hammad ibn Salamah (w. 176 H) di Basrah: Sufyan Al Tsauri (w. 161 H) di kufah: Al Auza’i (w.157 H) di syam: Ma’mar ibn Rasyid (w. 153 H) di yaman: Ibn Al Mubarak (w. 181 H) di khurasan: Abdullah Ibn Al wahab (w.197 H) di Mesir dan Jarir Ibn Abd Al hamid (w.188 H) di Rei[17].
Ternyata, pada masa tadwin yang dijelaskan di atas tadi belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf, maqthu’, dari hadis marfu’. Begitu pula dari hadis yang dha’if dan hadis shahih. Kemudian, ketika pemerintahan dipegang Bani Abbas, khususnya sejak masa Al Makmun sampai dengan Al Muktadir (sekitar tahun 201-300 H) dilakukan upaya penyeleksian dan pengelompokan hadis-hadis.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama’ pada masa ini, maka bermunculanlah kitab-kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis yang shahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan kutub al sittah (kitab induk yang enam). Kitab tersebut disusun oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail ibn Al Mughiroh ibn Bardizbah Al Bukhari yang terkenal dengan “Imam Bukhari”, kemudian Abu Husain Muslim ibn Al Hajjaj Al kusairi Al Naisaburi (Imam Muslim)[18].
Usaha yang sama juga dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman ibn Al Asy’as ibn Ishaq Al Sijistani (W. 275 H), Abu Isa Muhammad Ibn Isa ibn Surah Al Tirmidzi (w. 279 H) dan Abu ‘Abdillah ibn Yazid ibn Majah(273 H). Hasil karya keempat ulama’ ini dikenal dengan kitab “sunan”, yang menurut para ulama, kualitasnya di bawah karya Bukhari dan  Muslim.
Setelah munculnya al Muwaththa’ dan Kutub Al Sittah serta Musnad, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab kitab jawami’, kitab syarah mukhtasar, mentakhrij, sertapenyusunan kitab haditsuntuk topik-topik tertentu. Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada[19].
Masa perkembangan hadits yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang dari mulai abad ke-4 H. terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam yakni, fase pertengahan dan fase modern[20].







                          KESIMPULAN

A.    Keadaan hadits pada masa Rasulullah masih dalam bentuk hafalan. Para sahabat tidak berani menulis hadis karena dilarang oleh Nabi untuk menulisnya. Namun, nabi juga tidak mengingkari ketika ada seorang sahabat yang menulis hadits. Dari sini muncul dua pendapat, ada yang memperboehkan menulis hadits dan ada yang tidak.
B.     Proses perjalanan pembukuan hadits dimulai dari usaha pengumpulan hadits yang dilakukan khalifah Umar dengan menginstruksikan kepada para pejabat daerah untuk mengumpulkan hadis-hadis. Hal tersebut dilakukan karena khawatir akan hilangnya hadis akibat meninggalnya para ulama’. Di samping itu, munculnya pergolakan politik antara ali dan muawiyah juga memunculkan dampak negatif yaitu merebaknya pemalsuan hadits. Atas berbagai alasan tersebut, inisiatif khalifah Umar mulai dijalankan para ulama’ hadis seperti Abu Bakar ibn Hazm dan Syihab Al Zuhry. Kemudian kegiatan tersebut mulai di intensifkan ulama-ulama’ selanjutnya dengan mengelompokkan hadits-hadits sesuai dengan kuitas matan dan sanadnya masing-masing. Dan di zaman kontemporer kita bisa melihat, sudah mulai banyak hadits-hadits yang dikaji dan dikritisi.

















DAFTAR PUSTAKA


Dailamy, Muhammad. tt. Hadis-hadis kitab bulug Al Maram. Fajar Pustaka.
Farida, Umma. Ilmu hadis.2009. ilmu hadis. STAIN Kudus.
Ismail, Syuhudi.1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. PT Bulan Bintang: Jakarta.
Salim, Fathi Muhammad. 2001. Hadis Ahad dalam Aqidah. Al Izzah: Bangil.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.



[1] .Umma Farida,Ilmu Hadis,STAIN Kudus,2009,hlm.24.
[2] Munzier Suparta. , Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Hlm.70
[3] Ibid. hlm. 71
[4] Ibid Hlm 72-73
[5] Ibid. hlm. 74-75.
[6] Fathi Muhammad salim.  Hadits Ahad dalam Aqidah. Bangil: Al-Izzah 2021 hlm. 102.

[8] Munzair suparta. Op.cit. hlm 76.
[9] Fathi Muhammad salim. Op.cit.  hlm 104.
[10] Umma Farida. Ilmu Hadis. STAIN Kudus. 2009. hlm.38
[11] Ibid. hlm.52.
[12] Munzier suparta. Op.cit. hlm.88.
[13] Muhammad Dailamy. Hadits-hadits Kitab Bulugh Al Maram. Fajar Pustaka. tt. hlm.28.
[14][14] Syuhudi Ismail. Kaedah keshahihan Sanad Hadis. Jakarta: PT Bulan Bintang: 1995. hlm.113.
[15] Munzier Suparta. Op.cit. hlm.89-90
[16] Syuhudi Ismail, op.cit. hlm. 114.
[17] Munzier Suparta.  Op.cit. hlm. 91
[18] Ibid. hlm. 92
[19] Ibid. hlm.93
[20] Ibid. hlm.94.

No comments:

Post a Comment