Friday, March 18, 2016

makalah sumber ilmu pengetahuan

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Islam dengan sumbernya yaitu Al-Qur’an dan as-sunah haruslah menjadi sumber asasi bagi ilmu islam dimana ditegakkan suatu teori. Posisi Al-Qur’an terhadap ilmu dan teknologi juga dapat dijelaskan dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber cara mengembangkan ilmu menjadi teknologi. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat diolah manusia menjadi ilmu dan teknologi yang tak terhingga ragamnya dan tak terhingga arah (level) pencapaiannya. Selain itu Al-Qur’an akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya, kebenaran arah pengembangannya,karena sumuanya bersumber pada sunahnya Allah dan jika ketakwaanserta keimanan dari manusia sebagai subyek yang melakukannya.
Dasar ilmu islam adalah islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada Al-Qur’an, sunnah Rasulullah (As Sunnah)dan ra’yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus di dahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelesannya tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an maka harus dicari di dalam sunnah. Apabila tidak juga ditemukan di dalam sunnah, barulah digunakan ra’yu. Sunnah tudak akan bertentangan dengan Al-Qur’an dani ra’yu tidak boleh bertengtangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Sumber otentik bagi sistem hidup Islam ialah Al-Qur’an dan Sunnah Rosul. Al-Qur’an   sebagai sumber darisegala sumber hukum Islam hanyalah memuat prinsip-prinsip dasar ajaran islam. Adapun sebagian ayatnya yng menguraikan prinsip-prinsip dasar tersebut  secara rinci merupakan contoh dan petunjuk bahwa seluruh isi kandungan Al-Qur’an masih perlu penjelasan.[1]
  1. RUMUSAN MASALAH



BAB II
PEMBAHASAN

Sumber Ilmu Pengetahuan menurut Burhanuddin Salam dalam bukunya pengantar filsafat, sumber ilmu pengetahuan islam,ada 4 yaitu:
A.      Wahyu (Al-Qur’an)
Wahyu adalah sumber ilmu islam yang pertama dan utama, memuat keyakinan umat islam yang diakui kebenarannya oleh penelitian Ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman ataupun petunjuk bagi umat manusia dalam hidup agar kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Seperti tergambar dalam konsep wahyu tersebut di atas, pewahyuan mengandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dengan manusia yang bersifat materi. Menurut Ibnu Sina manusia yang telah memiliki akal musstafad dapat melakukan hubungan dengan Akal Kesepuluh yang dijelaskannya sebagai Jibril. Filosof memiliki akal perolehan yang lebih rendah dari para nabi sehingga filosof tidak bisa menjadi nabi. Menurut kaum sufi, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof mendapatkan akal perolehan dengan mempertajam daya pikir atau akalnya, sedangkan kaum sufi dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, mereka mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian pada usaha pensucian jiwa.[2]
B.       Intuisi Manusia
Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian pengalaman maka, intuisi merupakan pengeahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban dari permasalahan yang sedang dipikirkan muncul dibenak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana cara untuk sampai ke situ.
Pengetahuan intuitif itu dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapkan benar tindaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerja sama dalam menemukan menemukan kebenaran. Bagi tokoh Nietzshche intuisi merupakan “intelegensi” yang paling tinggi dan bagi tokoh maslow merupakan “pengalaman puncak”.[3]
Menurut Ibnu Sina, dalam kehidupan ini terdapat tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia. Masing-masing jiwa tersebut memiliki daya-daya. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Sdangkan jiwa binatang memiliki daya penggerak dan daya pencerap. Jiwa manusia hanya memiliki satu daya yaitu akal.
Akal manusia ini terbagi menjadi dua, yaitu :
1.        Akal Praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2.        Akal Teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak ada pada materi seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis memusatkan pada alam materi, sedangkan akal teoritis mencurahkan perhatiannya pada dunia immateri dan bersifat metafisis.
Akal toeritis ini pun terbagi lagi menjadi empat, yaitu :
1.        Akal materil
2.        Akal bakat
3.        Akal aktuil
4.        Akal perolehan / akal mustafad.[4]
C.      Pengalaman (empiris)
Aliran empirisme yang dipelopori oleh tokoh John Lokce berpendapat bahwa manusia dilahirkan sebagai kertas putih atau meja putih. Pengalaman yang akan memberikan lukisan kepadanya, dunia empiri merupakan sumber pengetahuan  utama dalam dunia pendidikan terkenal dengan teori “tabularasa” (teori kertas putih).[5]
Kebalikan dari kaum rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersumber pada pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah merupakan sesuatu yang bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Melalui gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang berulang-ulang dan menunjukkan pola yang teratur, memungkinkan manusia untuk melakukan generalisasi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang dapat tertangkap oleh pancaindera, sedangka panca indera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi bahwa pancaindera manusia bias melakukan kesalahan. Misalnya bagaimana mata kita melihat sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam gelas bagian yang terendam air terlihat bengkok.[6]
D.      Rasio (akal pikiran)
Paham rasionalisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya, pelopornya adalah Rene Dercartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia rang melahirkan paham “intelektualisme” dalam dunia pendidikan.
Islam bukan hanya terdiri dari satu dua aspek, tetapi memiliki berbagai aspek. Agamaini mempunyai aspek teologi, ibadah, moral,mistisme, filsafat, sejarah, kebudayaan dan lain sebagainya. Semua aspek ini ditulis dan dibahas oleh para ahli sehingga melahirkan barbagai ilmu yang kemudian dikenalkan dengan ilmu-ilmu keislaman.[7]
 Masalah utama yang timbul dari cara berpikir rasional adalah kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide dimana menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya namun belum tentu bagi orang lain. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif, Karena premis-premisnya semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu consensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistic dan subyektif.
Para tokoh rasionalisme diantaranya adalah Plato dan Rene Descartes. Plato menyatakan bahwa manusia tidak mempelajari apapun; dia hanya “teringat apa yang telah dia ketahui”.Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum telah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran.[8]



BAB III
KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu Islam
Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986
Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997




[1] Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu Islam, hal. 49-50
[2] Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986, hal 18
[3] Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu Islam, hal. 51
[4] Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 11
[5] Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu Islam, hal. 51
[6] Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997, hal. 53
[7] Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu Islam, hal. 52
[8] Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997, hal. 51

No comments:

Post a Comment