BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Islam
dengan sumbernya yaitu Al-Qur’an dan as-sunah haruslah menjadi sumber asasi
bagi ilmu islam dimana ditegakkan suatu teori. Posisi Al-Qur’an terhadap ilmu
dan teknologi juga dapat dijelaskan dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber
cara mengembangkan ilmu menjadi teknologi. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu
memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat diolah manusia
menjadi ilmu dan teknologi yang tak terhingga ragamnya dan tak terhingga arah
(level) pencapaiannya. Selain itu Al-Qur’an akan menjamin kebenaran ilmu yang
bersumber darinya, kebenaran arah pengembangannya,karena sumuanya bersumber
pada sunahnya Allah dan jika ketakwaanserta keimanan dari manusia sebagai subyek
yang melakukannya.
Dasar
ilmu islam adalah islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada
Al-Qur’an, sunnah Rasulullah (As Sunnah)dan ra’yu (hasil pikir manusia).
Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus di dahulukan.
Apabila suatu ajaran atau penjelesannya tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an maka
harus dicari di dalam sunnah. Apabila tidak juga ditemukan di dalam sunnah,
barulah digunakan ra’yu. Sunnah tudak akan bertentangan dengan Al-Qur’an
dani ra’yu tidak boleh bertengtangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Sumber
otentik bagi sistem hidup Islam ialah Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
Al-Qur’an sebagai sumber darisegala
sumber hukum Islam hanyalah memuat prinsip-prinsip dasar ajaran islam. Adapun
sebagian ayatnya yng menguraikan prinsip-prinsip dasar tersebut secara rinci merupakan contoh dan petunjuk
bahwa seluruh isi kandungan Al-Qur’an masih perlu penjelasan.[1]
- RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber Ilmu Pengetahuan menurut Burhanuddin Salam dalam
bukunya pengantar filsafat, sumber ilmu pengetahuan islam,ada 4 yaitu:
A. Wahyu
(Al-Qur’an)
Wahyu
adalah sumber ilmu islam yang pertama dan utama, memuat keyakinan umat islam
yang diakui kebenarannya oleh penelitian Ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab suci
yang memuat firman-firman ataupun petunjuk bagi umat manusia dalam hidup agar
kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Seperti tergambar
dalam konsep wahyu tersebut di atas, pewahyuan mengandung pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dengan manusia yang bersifat
materi. Menurut Ibnu Sina manusia yang telah memiliki akal musstafad dapat
melakukan hubungan dengan Akal Kesepuluh yang dijelaskannya sebagai Jibril.
Filosof memiliki akal perolehan yang lebih rendah dari para nabi sehingga filosof
tidak bisa menjadi nabi. Menurut kaum sufi, komunikasi dengan Tuhan dapat
dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau
filosof mendapatkan akal perolehan dengan mempertajam daya pikir atau akalnya,
sedangkan kaum sufi dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat
murni abstrak, mereka mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup
kematerian dan memusatkan perhatian pada usaha pensucian jiwa.[2]
B. Intuisi
Manusia
Kalau
pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris yang merupakan produk
dari sesuatu rangkaian pengalaman maka, intuisi merupakan pengeahuan yang
diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban dari permasalahan yang
sedang dipikirkan muncul dibenak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar
walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana cara untuk sampai ke situ.
Pengetahuan
intuitif itu dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam
menetapkan benar tindaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif
dan analitik saling bekerja sama dalam menemukan menemukan kebenaran. Bagi
tokoh Nietzshche intuisi merupakan “intelegensi” yang paling tinggi dan bagi
tokoh maslow merupakan “pengalaman puncak”.[3]
Menurut Ibnu Sina,
dalam kehidupan ini terdapat tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa
binatang, dan jiwa manusia. Masing-masing jiwa tersebut memiliki daya-daya.
Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya
membiak. Sdangkan jiwa binatang memiliki daya penggerak dan daya pencerap. Jiwa
manusia hanya memiliki satu daya yaitu akal.
Akal manusia ini
terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Akal Praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui
indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2.
Akal Teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak ada pada
materi seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis
memusatkan pada alam materi, sedangkan akal teoritis mencurahkan perhatiannya
pada dunia immateri dan bersifat metafisis.
Akal toeritis ini pun
terbagi lagi menjadi empat, yaitu :
1.
Akal materil
2.
Akal bakat
3.
Akal aktuil
4.
Akal perolehan / akal mustafad.[4]
C. Pengalaman
(empiris)
Aliran
empirisme yang dipelopori oleh tokoh John Lokce berpendapat bahwa manusia
dilahirkan sebagai kertas putih atau meja putih. Pengalaman yang akan
memberikan lukisan kepadanya, dunia empiri merupakan sumber pengetahuan utama dalam dunia pendidikan terkenal dengan
teori “tabularasa” (teori kertas putih).[5]
Kebalikan dari kaum
rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersumber
pada pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah merupakan sesuatu yang
bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia.
Melalui gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang berulang-ulang dan
menunjukkan pola yang teratur, memungkinkan manusia untuk melakukan
generalisasi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun
pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala
fisik yang bersifat individual.
Kaum empiris
menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang dapat
tertangkap oleh pancaindera, sedangka panca indera manusia sangat terbatas
kemampuannya dan terlebih penting lagi bahwa pancaindera manusia bias melakukan
kesalahan. Misalnya bagaimana mata kita melihat sebatang pensil yang dimasukkan
ke dalam gelas bagian yang terendam air terlihat bengkok.[6]
D. Rasio
(akal pikiran)
Paham
rasionalisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia
adalah rasionya, pelopornya adalah Rene Dercartes. Aliran ini sangat mendewakan
akal budi manusia rang melahirkan paham “intelektualisme” dalam dunia
pendidikan.
Islam
bukan hanya terdiri dari satu dua aspek, tetapi memiliki berbagai aspek.
Agamaini mempunyai aspek teologi, ibadah, moral,mistisme, filsafat, sejarah,
kebudayaan dan lain sebagainya. Semua aspek ini ditulis dan dibahas oleh para
ahli sehingga melahirkan barbagai ilmu yang kemudian dikenalkan dengan
ilmu-ilmu keislaman.[7]
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir
rasional adalah kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide dimana
menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya namun belum tentu bagi orang
lain. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari
kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif, Karena
premis-premisnya semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat
abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat
dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan
bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu
consensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran
rasional cenderung untuk bersifat solipsistic dan subyektif.
Para tokoh
rasionalisme diantaranya adalah Plato dan Rene Descartes. Plato menyatakan
bahwa manusia tidak mempelajari apapun; dia hanya “teringat apa yang telah dia
ketahui”.Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum telah ada dalam pikiran
manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan
membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam
pikiran.[8]
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Fathul, Buku Daros Filsafat Ilmu
Islam
Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta,
1986
Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan
tentang hakekat ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997
[6] Suriasumantri, Jujun S, Ilmu
Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Yayasan
Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997, hal. 53
[8] Suriasumantri, Jujun S, Ilmu
Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Yayasan
Obor Indonesia, Cet. XIII, Jakarta, 1997, hal. 51
No comments:
Post a Comment