BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran
Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS
17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk
tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan
penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan
sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia
untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian
yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi,
juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian
ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip pokok ajarannya. Oleh
karena itu tafsir adalah Urgensi untuk memahami dan mengaplikasikan hukum-hukum
yang ada di Alquran di dalam kehidupan dunia khususnya umat Islam. Di dalam
ilmu tafsir itu terdapat dua komponen yang pertama komponen internal dan
eksternal, akan tetapi disini kami akan menyangkut sdkit tentang ilmu tafsir
yang berkomponen internal ya’ni mengenahi tentang metode-metode khususnya
metode tahlili.
B.Rumusan Masalah
A.
Bagaimana pengertian tafsir?
B.
Bagaimana kedudukan Al-Qur’an?
C.
Bagaiman Urgensi tafsir?
D.
Bagaimana Metode penafsiran Al
Qur’an?
E.
Bagaimanakah
Status tafsir bil-ma’tsur?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir
Kata tafsir terambil
dari kata fassaro yufassiru tafsiron yang berarti keterangan atau
uraian, al jurzaqni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa
adalah alkasif wal izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan
melahirkan. Pada dasarnyab, pengertian
tafsir bersdasarka bhasa tidak akan lepas dari kandungan makna al idhoh
(menjelaskan), al bayan (menerangkan) , al kasyif (mengungkapkan),
al idzhar (menampakkan), al
ibanah ( menjelaskan).
Adapun mengenahi
pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama mengemukakan redaksi yang
berbeda-beda, menurut Imam Al-kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan Al-Quran,
menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa yang di kehendaki nash, isyarat, atau
tujuannya.[1] Dan
banyak lagi definisi yang tidak kami tulis disini.
B.
Kedudukan Al Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu
Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai
sumber hukum Islam, maka
Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam.[2]
Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan
akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Untuk memudahkan
dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang menjadi alat
untuk memahaminya, ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu tafsir akan
diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am
atau khas, tekstual atau kontekstual
serta pemahaman ayat lainnya.[3] Secara
sederhana tafsir adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan
mengambil hukum darinya.
Pada masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung
oleh beliau, sehingga setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat
maka langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau
yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana kalamNya yang mulia:
بِٱلْبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. Qs.
An-Nahl : 44.
Ayat ini menjadi dalil bagi tugas Rasulullah yaitu
menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Hadits-hadits yang menyebutkan
beliau memberikan penafsiran berbagai ayat Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh
para shahabat sangat banyak jumlahnya.
Selanjutnya setelah Rasulullah wafat
maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat Al-Qur’an segera ditanyakan
kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat lainnya.[4]
Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an, karena
ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ
بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya
:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya
yang terang benderang ( Al-Quran ).”( QS. An Nisa’: 174 )
C.
Urgensi Tafsir
Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya.
Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang
dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling
luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin
ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak.[5]
Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an,
kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.[6]
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui
tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak
salafus shalih.[7]
Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk
fardu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama
setelah hadis dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu
ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi
mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah
Kalamullah.[8]
D.
Metode penafsiran Al Qur’an
Setelah mengetahui betapa urgennya tafsir, maka sudah
seharusnya kita juga mengetahui metode penafsiran Al-Quran yang benar, agar
dalam menafsirkan Al-Quran tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang
menyimpang. Secara ringkas, dalam menafsirkan Al-Quran ada empat metode, yaitu
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Muqadimah tafsir beliau, “Metode paling tepat dalam menafsirkan
Al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, karena ayat yang
masih global akan dijelaskan di ayat lain, apabila kamu tidak mendapatkan
penjelasannya dalam Al-Quran, maka carilah penjelasan dari As- Sunnah, karena As-Sunnah
adalah penjelas Al-Quran, kemudian jika kita tidak mendapatkan penjelasan di
Al-Quran dan As Sunnah, maka kita meruju’ ke perkataan para sahabat, karena
mereka lebih mengetahui dan melihat langsung indikasi-indikasi yang
menjelaskan Al-Quran, dan juga mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu
yang benar serta amal solih, terlebih khusus para ulama dan pembesar mereka,
seperti empat khalifah dan para imam yang diikuti seperti Abdullah bin
Mas’ud.Dan apabila aku tidak mendapatkan penjelasan dalam Al-Quran, As Sunnah,
dan dari perkataan para sahabat, maka mayoritas para ulama meruju ke perkataan
para tabi’in”.
Di lain segi, sejarah
perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun
disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya
dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode
ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya
dalam mushhaf.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini
dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak
disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang
satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam
beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam
surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui
pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat
tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya
Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang
dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan
menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada tahun 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun
kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang
dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi
menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau
bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema
sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
E. Status
Tafsir bil-Ma’tsur
Dinamai dengan bil ma’tsur
(dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan)
karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau
peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW. Tafsir
bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi
sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat, karena merekalah
yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, dengan perkataan tokoh-tokoh besar
tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.Menurut Al
Faemawi, tafsir bil Ma’sur disebut pula bi arriwayah dan an naql merupakan
penafsiran al quran yanng mendasarkan pada penjelasan al quran sendiri
penjelasan nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan pendapat
(aqwal) tabiin. Ada 4 otoritas yang menjadi sumber tafsir bil ma’sur:
1.
Al quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al quran sendiri.
Umpamanya, penafsiran jkata muttaqin pada surat ali imron ayat 133, adalah
dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang
atau sempit, dan seterusnya.
2.
Otoritas hadis nabi yang memang
berfungsi, diantaranya, sebagai penjelas (mubayyin) Al Quran. Umpanya
penafsiran nibi terhadap kata Azlzhulmun pada surat Al An’am dengan pengertian
syirik
3.
Otoritas penjelasan sahabat yang
dipandan sebagai orang yang banyak mengetahui al quran. Umpamanya penafsiran
ibnu abbas terhadap kandungan surat an nash 110 dengan kedekatan waktu
wafatnya nabi.
4.
Otoritas penjelasan tabiin yang
dianggapsebagai orang yang bertemu langsung dengan sahaabat umpanya, penafsiran
tabiin terhadap surat As Shoffat ayat 65 dengan sair imri’ al qois[9]
Sesungguhnya tafsir bil ma’tsur ialah tafsir yang
berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shohih menurut urutan yang telah
disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan qur’an dengan
qur’an, dengan sunah karena ia perfungsi menjelaskan kitabbullah, dengan
perkataaan sahabat karena merakalah yang mengetahui kitabullah, atau dengan apa
yang diketakan tokoh-tokoh besar tabiin karena pada umumnya mereka menerimanya
dari parsahabat.
Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya
menelusuri lebih dahulu atsar-atsar yang ada mengenai makna ayat kemudian atsar
tersebut di kemukakan sebagai tafsir ayat yang bersangkutan. Dalam hal ini ia
tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan
hal-hal yang tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada
riwayat shohih mengenainya. [10]
Tafsir bil
ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan dibuat pedoman karena ia adalah
jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga
diri dari tergelincir dan kesesatan
dalam memahami kitabulloh. Diriwatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata tafsir itu
ada empat macam, pertama, tafsir yang merujjuk pada tutur kata mereka melalui
penjelasan bahasa. Kedua, tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti,
yaitu penafsiran nas-nas yanng mengandung hukum-hukum syariat dan dalil-dalil
tauhid secara tegas. Ketiga, tafsir yang merujuk pada ijtihad yang didasarkan
pada bukti-bukti dan dalil-dalil, tidak hanya pada ro’yi semata,seperti
penjelasa kata atau ayat yang mujmal, pengkhususan
ayat yang ‘am dan sebagainya. Keempat, tafsir yang berkisar pada hal ghoib,
seperti kapan terjadinya qiamat dan hakikat ruh[11].
Dari sekian
penjelsan yang telah di kemukakan tadi, di samping itu kita harus tahu tentang
perbedaan antara Tafsir Bil-Ma’tsur dan
Bil-ra’yi, di antaranya adalah ketika para mufasir menafsirkan sebuah ayat dari
sumber-suber semisal asbabunnuzul maka itu adalah taftsir bil-Ma’tsur dan juga bisa di sebut Tafsir Bil-Riwayah, dan
sebaliknya, yakni para mufasir mempunyai kebebasan untuk memberikan
pendapatnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata tafsir terambil dari kata fassaro
yufassiru tafsiron yang berarti keterangan atau uraian, al jurzaqni
berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah alkasif wal
izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. dan Al-Qur’an
adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang
diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh
seluruh umat Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa
karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Dinamai
dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah,
hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir
menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga
kepada Nabi SAW. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada
kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah,
dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah, dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada
umumnya menerimanya dari sahabat.Menurut Al Faemawi, tafsir bil Ma’sur disebut
pula bi arriwayah dan an naql merupakan penafsiran al quran yanng mendasarkan
pada penjelasan al quran sendiri penjelasan nabi, penjelasan para sahabat
melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabiin. Ada 4 otoritas yang menjadi
sumber tafsir bil ma’sur.
B.
PENUTUP
Sekian dari kami apabila ada salah penulisan dan
lain sebagainya saya minta maaf yang sebesar-besarnya.
Karena kami adalah sebatas manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, harapan
kami semoga sedikit dari uraian kami ini bisa menjadikan hal yang sedikit
bermanfaat untuk kita, kritik dan saran selalu kami tunggu yang Insya
Allah memberikan kemajuan bagi kami.
C.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad, al-Hajj, Yusuf, al-Qur’an Kitab Sains dan
Medis, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2003.
- al-Qardawi, Yusuf, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan
Peradaban, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001.
- Aly, Noer, Hery & Suparta Munzier, Pendidikan
Islam Kini dan Mendatang, CV. Triasco, Jakarta, 2003.
- Habib, Zainal, Islamisasi Sains, UIN-Malang
Press, Malang, 2007.
- Shihab, Quraish, M, Membumikan al-Qur’an,
Mizan, Bandung, 2004.
- Rozikun
anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000
[1] Rosihon
anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000, hlm:141
[4] Aly, Noer, Hery & Suparta Munzier. 2003. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang.
Jakarta. CV. Triasco. Hlm:32
[7] Ahmad, al-Hajj, Yusuf. 2003. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis.
Jakarta. Grafindo Khazanah Ilmu. Hlm:
17
[9] Rozikun
anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000, hal:141-144
[10]Opcit, hlm; 27
[11] Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung.
Mizan. Hlm:65
No comments:
Post a Comment