Tuesday, March 15, 2016

makalah tafsir bil matsur

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).
Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya. Oleh karena itu tafsir adalah Urgensi untuk memahami dan mengaplikasikan hukum-hukum yang ada di Alquran di dalam kehidupan dunia khususnya umat Islam. Di dalam ilmu tafsir itu terdapat dua komponen yang pertama komponen internal dan eksternal, akan tetapi disini kami akan menyangkut sdkit tentang ilmu tafsir yang berkomponen internal ya’ni mengenahi tentang metode-metode khususnya metode tahlili.

B.Rumusan Masalah

A.                Bagaimana pengertian tafsir?
B.                 Bagaimana kedudukan Al-Qur’an?
C.                 Bagaiman Urgensi tafsir?
D.                Bagaimana Metode penafsiran Al Qur’an?
E.                 Bagaimanakah Status  tafsir bil-ma’tsur?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir
Kata tafsir terambil dari kata fassaro yufassiru tafsiron yang berarti keterangan atau uraian, al jurzaqni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah alkasif wal izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.  Pada dasarnyab, pengertian tafsir bersdasarka bhasa tidak akan lepas dari kandungan makna al idhoh (menjelaskan), al bayan (menerangkan) , al kasyif (mengungkapkan), al  idzhar (menampakkan), al ibanah ( menjelaskan).
Adapun mengenahi pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama mengemukakan redaksi yang berbeda-beda, menurut Imam Al-kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa yang di kehendaki nash, isyarat, atau tujuannya.[1] Dan banyak lagi definisi yang tidak kami tulis disini.

B.     Kedudukan Al Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam.[2] Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.

 Untuk memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang menjadi alat untuk memahaminya, ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas, tekstual atau kontekstual serta  pemahaman ayat lainnya.[3] Secara sederhana tafsir adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
           

Pada masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung oleh beliau, sehingga setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat maka langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana kalamNya yang mulia:

بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
     Artinya:
keterangan-keterangan  (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa  yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. Qs.  An-Nahl : 44.  
           
Ayat ini menjadi dalil bagi tugas Rasulullah yaitu menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia. Hadits-hadits yang menyebutkan beliau memberikan penafsiran berbagai ayat Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat banyak jumlahnya.

            Selanjutnya setelah Rasulullah wafat maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat Al-Qur’an segera ditanyakan kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat lainnya.[4] Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an, karena ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya.

                   Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya :
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-Mu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang ( Al-Quran ).”( QS. An Nisa’: 174 )


C.     Urgensi Tafsir        

     Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak.[5] Di samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an, kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.[6]

     Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih.[7]

     Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih.  Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamullah.[8]

D.    Metode penafsiran Al Qur’an
Setelah mengetahui betapa urgennya tafsir, maka sudah seharusnya kita juga mengetahui metode penafsiran Al-Quran yang benar, agar dalam menafsirkan Al-Quran tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Secara ringkas, dalam menafsirkan Al-Quran ada empat metode, yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Muqadimah tafsir beliau, “Metode paling tepat dalam menafsirkan Al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, karena ayat yang masih global akan dijelaskan di ayat lain, apabila kamu tidak mendapatkan penjelasannya dalam Al-Quran, maka carilah penjelasan dari As- Sunnah, karena As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran, kemudian jika kita tidak mendapatkan penjelasan di Al-Quran dan As Sunnah, maka kita meruju’ ke perkataan para sahabat, karena mereka lebih mengetahui dan melihat langsung indikasi-indikasi yang menjelaskan Al-Quran, dan juga mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar serta amal solih, terlebih khusus para ulama dan pembesar mereka, seperti empat khalifah dan para imam yang diikuti seperti Abdullah bin Mas’ud.Dan apabila aku tidak mendapatkan penjelasan dalam Al-Quran, As Sunnah, dan dari perkataan para sahabat, maka mayoritas para ulama meruju ke perkataan para tabi’in”.
 Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada tahun 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.

E.  Status  Tafsir bil-Ma’tsur
Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.Menurut Al Faemawi, tafsir bil Ma’sur disebut pula bi arriwayah dan an naql merupakan penafsiran al quran yanng mendasarkan pada penjelasan al quran sendiri penjelasan nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabiin. Ada 4 otoritas yang menjadi sumber tafsir bil ma’sur:

1.      Al quran yang dipandang sebagai  penafsir terbaik terhadap al quran sendiri. Umpamanya, penafsiran jkata muttaqin pada surat ali imron ayat 133, adalah dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang atau sempit, dan seterusnya.
2.      Otoritas hadis nabi yang memang berfungsi, diantaranya, sebagai penjelas (mubayyin) Al Quran. Umpanya penafsiran nibi terhadap kata Azlzhulmun pada surat Al An’am dengan pengertian syirik
3.      Otoritas penjelasan sahabat yang dipandan sebagai orang yang banyak mengetahui al quran. Umpamanya penafsiran ibnu abbas terhadap kandungan surat an nash 110 dengan kedekatan waktu wafatnya nabi.
4.      Otoritas penjelasan tabiin yang dianggapsebagai orang yang bertemu langsung dengan sahaabat umpanya, penafsiran tabiin terhadap surat As Shoffat ayat 65 dengan sair imri’ al  qois[9]
Sesungguhnya tafsir bil ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shohih menurut urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan qur’an dengan qur’an, dengan sunah karena ia perfungsi menjelaskan kitabbullah, dengan perkataaan sahabat karena merakalah yang mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang diketakan tokoh-tokoh besar tabiin karena pada umumnya mereka menerimanya dari parsahabat.
Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu atsar-atsar yang ada mengenai makna ayat kemudian atsar tersebut di kemukakan sebagai tafsir ayat yang bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa  ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat shohih mengenainya. [10]

Tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan dibuat pedoman karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga diri dari tergelincir dan  kesesatan dalam memahami kitabulloh. Diriwatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata tafsir itu ada empat macam, pertama, tafsir yang merujjuk pada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa. Kedua, tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, yaitu penafsiran nas-nas yanng mengandung hukum-hukum syariat dan dalil-dalil tauhid secara tegas. Ketiga, tafsir yang merujuk pada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil, tidak hanya pada ro’yi semata,seperti penjelasa kata atau  ayat yang mujmal, pengkhususan ayat yang ‘am dan sebagainya. Keempat, tafsir yang berkisar pada hal ghoib, seperti kapan terjadinya qiamat dan hakikat ruh[11].
Dari sekian penjelsan yang telah di kemukakan tadi, di samping itu kita harus tahu tentang perbedaan  antara Tafsir Bil-Ma’tsur dan Bil-ra’yi, di antaranya adalah ketika para mufasir menafsirkan sebuah ayat dari sumber-suber semisal asbabunnuzul maka itu adalah taftsir bil-Ma’tsur dan  juga bisa di sebut Tafsir Bil-Riwayah, dan sebaliknya, yakni para mufasir mempunyai kebebasan untuk memberikan pendapatnya.

BAB III

PENUTUP

A.          Kesimpulan
Kata tafsir terambil dari kata fassaro yufassiru tafsiron yang berarti keterangan atau uraian, al jurzaqni berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah alkasif wal izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. dan Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam. Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Dinamai dengan bil ma’tsur (dari kata “atsar” yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, hingga kepada Nabi SAW. Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir berdasar pada kutipan-kutipan yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat, karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari sahabat.Menurut Al Faemawi, tafsir bil Ma’sur disebut pula bi arriwayah dan an naql merupakan penafsiran al quran yanng mendasarkan pada penjelasan al quran sendiri penjelasan nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal) tabiin. Ada 4 otoritas yang menjadi sumber tafsir bil ma’sur.



B.           PENUTUP
Sekian dari kami apabila ada salah penulisan dan lain sebagainya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Karena kami adalah sebatas manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, harapan kami semoga sedikit dari uraian kami ini bisa menjadikan hal yang sedikit bermanfaat untuk kita, kritik dan saran selalu kami tunggu yang Insya Allah memberikan kemajuan bagi kami.



C.          DAFTAR PUSTAKA
  1. Ahmad, al-Hajj, Yusuf, al-Qur’an Kitab Sains dan Medis, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2003.
  2. al-Qardawi, Yusuf, Sunnah Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001.
  3. Aly, Noer, Hery & Suparta Munzier, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, CV. Triasco, Jakarta, 2003.
  4. Habib, Zainal, Islamisasi Sains, UIN-Malang Press, Malang, 2007.
  5. Shihab, Quraish, M, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004.
  6. Rozikun anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000



[1] Rosihon anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000, hlm:141
[2] Habib, Zainal. 2007. Islamisasi Sains. Malang.  UIN-Malang Press, hlm: 32
[3] Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan. Hlm:21
[4] Aly, Noer, Hery & Suparta Munzier. 2003. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. Jakarta. CV. Triasco. Hlm:32
[5] Loccit. Hlm: 34
[6] Ibid. hlm 35
[7] Ahmad, al-Hajj, Yusuf. 2003. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Jakarta. Grafindo Khazanah Ilmu. Hlm: 17
[8] Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan. Hlm:25
[9] Rozikun anwar, ilmu tafsir, cv pustaka setia, 2000, hal:141-144
[10]Opcit, hlm;  27
[11] Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan. Hlm:65

No comments:

Post a Comment