BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nash/teks Al-Qur’an dan
Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash.
Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah,
Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah
ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka
barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis
ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan
sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya
dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan
kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia
berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti
ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini
dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah
yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman
zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara
pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu,
dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
1. Apabila seseorang
menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’
(hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena
pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’.
(Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu,
wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila
masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan,
seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir,
tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya
perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah
fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi
tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang
yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut
orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.
B.
Rumusan Masalah
Apa yang di maksud Dalalah yang jelas dan ada berapa
tingkatannya?
BAB II
PEMBAHASAN
Ada dua kelompok pendapat
tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan
Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu
sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh.
Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai
dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas
(nash),sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
Dalalah(الدلالة)
adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau memahami sesuatu
atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul مدلول-
yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah
hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya disebut dalil (دَلِيلٌ)- yang
menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum.
Di dalam Al-Mishbah
Al-Munir, dijelaskan bahwa :
لَا لَةُ مَا يَقْتَضِيْهِ الْلَفْظُ عِنْدَ الْإِ طْلَاقِاَلدَّ
Dalalah adalah apa yang
dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara muthlaq.[1]
Dalalah yang jelas dari
nash adalah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa
membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin di takwil, tetapi yang di maksud
bukan tujuan asal dati susunan katanya maka disebut zhahir. Jika mungkin di
takwil, sedangkan yang dimaksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka di
sebut nash. Jika nash itu tidak mungkin ditakwil tetapi hukumnya dapat dinasakh
maka disebut mufassar. Dan jika tidak mungkin di takwil dan hukumnya tidak
dapat dinasakh maka disebut muhakkam.
Setiap nash yang jelas
petunjuknya, maka harus diamalkan sesuai dengan makna petunjuk yang jelas itu,
dan tidak boleh mentakwil nash itu, meskipun mungkin, kecuali ada dalil.
Kaidah ketiga dan keempat
ini khusus menerangkan nash syara’ yang jelas petunjuknya, yang tidak jelas
petunjuknya, tingkat kejelasan nash yang jelas dan tingkat kesamaran nash yang
tidak jelas, serta hal-hal yang dapat menghilangkan ketidakjelasan itu.
Selisih tingkat
kejelasannya adalah pada kemungkinan atau tidaknya menerima takwil. Makna yang
dipahami dari bentuk nash itu sendiri dengan tidak mungkin dipahami dengan
makna lain lebih jelas petunjuknya dari pada makna yang dipahami dari bentuk
nash tapi mungkin dipahami dengan makna lain.
Sedangkan selisih tingkat
kesamarannya adalah mampu atau tidaknya menghilangkan kesamaran itu. Nash yang
memiliki kesamaran dan tidak mungkinmenghilangkan kesamara itu kecuali
dikembalikan kepembuatnya, yaitu syar’i adalah lebih samar daripada nash yang
memiliki kesamaran tetapi ada metode untuk menghilangkan kesamaran itu dengan
penelitian dan ijtihad.[1][2]
1.
Az Zhahir
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ
يُسَقْ لَهُ وَاحْتَمَلَ غَيْرَهُ اِحْتِمأَ لاً مَرْجُوْحاً
Lafal yang nyata
petunjuknya kepada pengertian yang dimaksudkan, tetapi mungkin menerima makna
yang lain. (Menurut Ulama Hanafiyah)[2][3]
“Suatu
nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk
lafazh itu sendiri.” (
Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu
yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk
memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari
rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain,
sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu
lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai
kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I :
143)[3][4]
Sepanjang
maksudnya dapat dipaami dari kalimat itu tanpa membutuhkan suatu qarinah
(tanda), namun maksud tersebut bukanlah yang dikehendaki dengan sebenarnya dari
susunan kalimatnya maka kalimat itu disebut dengan Zhahir.
Contohnya.....
وَأَحَلَ اللهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا ...
....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Firman tersebut adalah
zhahir dalam menghalalkan segala macam jual-beli dan mengharamkan segala macam
riba, karena itu adalah makna yang segera dapat dipahami dari kedua lafal (أَحَلَdanحَرَّمَ) menghalalkan dan mengharamkan
tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun, pengertian tersebut tidaklah yang
sebenarnya secara asli dari susunan ayat, karena ayat tersebut sebagaimana
sebagaimana kami kemukakan disusun dengan maksud yang sebenarnya untuk mengadakan
persaman antara jual beli dan riba, untuk menolak terhadap orang-orang yang
mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا .....
.....yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama
dengan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan kedua hukumnya.
Hukum zhahir wajib diamalkan menurut arti yang ditunjukkan lafal itu
kecuali ada dalil yang men-takwil-kannya. Jika zhahir berupa lafal muthlaq[4][5] maka harus diamalkan
menurut muthlaq-nya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi)
kemuthlakannya, dan jika lafadz zhahir itu berupa lafal ‘amm[5][6] maka harus diamalkan
menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan berlakunya keumuman
tersebut atau diamalkan menurut arti yang di tunjukkan lafal itu sampai dengan
ada dalil yang me-mansukh-kan.
Contoh lain :
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja. (QS. An Nisaa’ : 3)
Bermakna jelas dalam
memperbolehkan kawin dengan wanita yang halal. Karena makna inilah yang
langsung difahami dari kata (فَا نْكِحُوْامَا طَا
بَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء)
dengan tidak membutuhkan alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan
ayat, karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau
hanya satu, sebagaimana yang telah kami jelaskan dimuka.[6][7]
2.
An Nash
Menurut Ulama Hanafiyah
وَهُوَ اللَّفْظُ الَّذِى ظَهَرَتْ دَلَا لَةٌ عَلىَ الْمَعْنَى الَّذِى لَمْ
يُسَقْ لَهُ مَعَ احْتِمَا لِ ألأتَّخْصِيْصِ
Lafal yang tegas petunjuknya kepada makna yang dimaksudkan. Tetpai menerima
takhsish, kalau dia ‘amm dam menerima takwil kalau dia khash.[7][8]
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan
kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari
pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai
atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat,
menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada
zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna
lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu
sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang
dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum
yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai
kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada
kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh
pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya
tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil
dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi
kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena
maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.[8][9]
Kedudukan hukum
lafazh Nashsama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, men-takhsis atau me-nasakh-nya. Perbedaan
antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil[9][10], takhsis,
atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat
pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara
lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih
didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
3.
Al Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum
dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak
mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa
dinasakh. (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
Menururt istilah ahli ushul fiqh al Mufassar adalah nash yang yang dengan
sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya
takwil. Antara lain arena bentuk nash itu dengan sendirinya telah menunjukkan
makna secra jelas dan rinciyang didalamnya tidak ada lagi kemungkinan diberi
makna lain.
“
Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan
jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan
definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk
zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan
ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut
sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
وَقَا تِلُوالْمُشْرِكِيْنَ كَا فَّةً
“Dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
( QS. At-Taubah : 36 )
Karena
kata Kaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali
materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu. Juga
materi undang-undang perdata yang membatasi macam-macam tindakan, seperti
hutang, hak, atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidak mungkin untuk
ditakwil.
Antara
lain karena bentuk nash itu datang secara global, tidak terinci, kemudian
disusul oleh syar’i dengan penjelasan rinci, pasti, meniadakan keglobalannya,
dan merincinya sehingga nash yang global itu menjadi rinci dan tidak mungkin
untuk di takwil.
Seperti
firman Allah Swt :
أَقِيْمُوالصَّلَوةَ وَاَتُوا الزَّكَوةَ
Dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat.....(QS. Al Baqarah : 43)
وَلِلهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ
Mengerjakan
haji kebaitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS. Ali Imron : 97)
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Kata salat, zakat, haji dan riba adalah kata yang
global yang mempunyai arti syara’ yang tidak di jelaskanoleh bentuk nash ayat.
Tetapi Rasulullah Saw. menjelaskan arti kata-kata itu dengan perbuatan dan
ucapannya. Maka kemudian Rasulullah bersabda :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْ نِي أُصَلِّى
Salatlah
kalian sebagaimana kalian melihatku salat,
Atau
خُذُوا عَنَّي مَنَا سِكَكُم
Ambilah
daripadaku ibadah hajimu.
Demikian
juga setiap kata yang mujmal (global) dalam al qur’an, yang dijelaskan
oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar
(jelas/rinci). Sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah
sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qat’i. Inilah yang dalam
ilmu musthalalul Hadist disebut Tafsir Tasyri’i, yaitu tafsir yang
sumbernya syar’i sendiri. Karena Allah telah memberi kekuasaan kepada
Rasulullah untuk memberi penjelasan dan perincian.
Dilalah
mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang
me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan
dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh
mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak
mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah
apabila ada dalil yang mengubahnya.
4.
Al Muhakkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama,
yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut
As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan
makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai
kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi,
lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya
firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala
sesuatu.”
وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَا دَةً أَبَدًا
Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka
selama-lamanya.
(QS. An Nuur : 4)
Dan
Sabda Rasulullah :
أَلْجِهَا دُ مَا ضٍ إشلَى يَوْمِ الْقِيَا مَةِ
Jihad itu berlangsung sampai hari kiamat.
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil
dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan
makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda
Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka
muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat.
Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak
boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam
lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus
didahulukan adalah dilalah muhkam.
Menurut Ulama Mutakallimin (Syafi'iyah)
Menurut ulama
mutakallimin, kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara
zhahir dengan nash. Baginya, lafazh zhahhir dan lafazh nash ini adalah dua nama
(lafazh) untuk satu arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash
menurut batasan Imam al-Syafi'I adalah suatu khitab (firman) yang dapat
diketahui hukum yang dimaksud baik diketahuinya itu dengn sendirinya atau
melalui yang lain. Tetpai dalam perkembangan selanjutnya, setelah Imam
al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir ini dibedakan pengertiannya yaitu
"nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil,
sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil".
Lafazh Yang
Tidak Terang Artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi
ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi, musykil,
mujmal dan mutasyabih.Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin) membaginya
menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
Menurut Ulama
Hanafiyah
1.
Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau
tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafazh yang petunjuknya tidak
jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafazh yang
membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan
tersebut.
Contoh lafazh khafi ini adalah lafazh السارق(pencuri) dalam firman
Allah, surat al-maidah (5) : 4
السارق
والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafazh السارقitu cukup jelas
yaitu orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat
penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi". Namun lafazh "pencuri"
itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok,
pencuri barang kuburan dan lain sebagainya.
2.
Musykil
Musykil adalah suatu lafazh nash yang bentuknya
tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya ialah harus
dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari luar yang
terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafazh quru' yang
terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228.
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء
Perempuan-perempuan yang
bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
lafazh quru' disini termasuk lafazh musytarak,
yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan haidh. Akibatnya, petunjunya
menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki dari dua arti tersebut.Oleh
karena itu, dalam pengamalan lafazh musykil harus dikaji secara menyeluruh
dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan pegangan.
3.
Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak
dirinci.Menurut istilah adalah lafazh yang tidak dapat dipahami maksudnya.
Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I (al-Sarakhsi, 1372 H,
1 : 168)
Contohnya : lafazh sholat, secara bahasa
berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibdaha khusus yang segala
sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas
tangan mereka”.
4. Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa
adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah,
berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh yang maknanya tidak
jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah,
sehingga tidak dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang
mendalam ilmu pengetahuannya. (al-Syarakhsi, 1372 H, 1 : 169)
Mutasyabih itu ada dua
bentuk :
1. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang
terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam al-Qur'an seperti يس, كهيعص, الر,الم
dan
sebagainya.
2.
Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan
makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena
Allah SWT Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh :
ويبغى وجه ربك ذو الجلال والا كرام
“Dan
akan tetap kekal muka Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia”.
Menurut Ulama
Mutakallimin
Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak memiliki
pernyataan yang tegas dalam membagi lafazh ditinjau dari segi
ketidakjelasannya.Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu
kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan
makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1)
Dalalah(الدلالة) adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di makksudkan tau
memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut
madlul مدلولٌ- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut
madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang kedua adalah kalinya
disebut dalil (دَلِيلٌ)-
yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut
dalil hukum.
2)
Zhahir adalah Lafal yang nyata petunjuknya kepada pengertian yang
dimaksudkan, tetapi mungkin menerima makna yang lain.
Contohnya.....
....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Firman tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual-beli dan
mengharamkan segala macam riba, karena itu adalah makna yang segera dapat
dipahami dari kedua lafal (أَحَلَdanحَرَّمَ) menghalalkan dan mengharamkan
tanpa membutuhkan suatu qarinah. Namun, pengertian tersebut tidaklah yang
sebenarnya secara asli dari susunan ayat, karena ayat tersebut sebagaimana sebagaimana
kami kemukakan disusun dengan maksud yang sebenarnya untuk mengadakan persaman
antara jual beli dan riba, untuk menolak terhadap orang-orang yang mengatakan :
..... إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبوا ..... .....yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba....(QS. Al-Baqarah (2): 275)
Bukan untuk menjelaskan kedua hukumnya.
3)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas
dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis,
namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. (As-Sarakhsi,372 H. I:165)
4) Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama,
yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut
As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
5)
Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat
orang saja (Nash).Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah
yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah
zhahir.
6) Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan
menikahi wanita dengan dibatasi empat orang (Nash).
Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah
dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……”
(QS. Al- Ahzab : 53)(Muhkam)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja
termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab
ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah.Dengan demikian maka harus
diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
7) Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy
datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan
mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan
shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid.
Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap
shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I
: 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah
setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu
untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu
seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama
waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash,
sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus
mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
8) “..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil diantara kamu” (
QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat
selama-lamanya”
Ayat
pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan
tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia
bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
PERTANYAAN dan JAWABAN
1.
Pertanyaan oleh
: Ifid Fadliyah (112
Bagaimana cara
orang awam memahami ayat mutasyabih?
Jawaban oleh : Nur Sa’idah (112149)
Jawaban oleh : Nur Sa’idah (112149)
Yaitu dengan
cara belajar kepada Ulama’ ahli tafsir yang memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara memahami dan mempelajari ayat-ayat tersebut dengan baik dan benar sehingga
dapat pemahaman yang sempurna untuk diterapkan di dalamkehidupan sehari-hari.
Kita bertaqlid
terhadap Ulama’ salaf yang terdahulu untuk mendapatkan penjelasan yang
sempurna.
2.
Pertanyaan oleh
: Lukluil Maknun (112178)
Siapa yang
mentakwilkan tangan Allah?
Jawaban oleh : Nuur Laila Nihayatus Suroya
Yang
mentakwilkan adalah para Ulama’, para Mujtahid, dan para Ulama’ Khalaf.Adapun
lafadz Yad (tangan) di takwilkan dengan kekuasaan, lafal yang
menggambarkan Allah beserta manusia di takwilkan dengan
pengetahuan-pengetahuan-Nya yang Maha Meliputi.
3.
Pertanyaan oleh
: Fatikhatul Laili (112153)
Sebutkan contoh
lafadz mujmal lagi selain lafal tentang sholat?
apakah semua lafadz yang tidak jelas maknanya, di takwilkan semua?
apakah semua lafadz yang tidak jelas maknanya, di takwilkan semua?
Jawaban oleh : Duroh Nafisah (112151)
Nash-nash yang tidak jelas dalalahnya adalah sesuatu yang tidak menunjukkan dengan sighatnya sendiri akan tetapi penalaran maksudnya tergantung pada sesuatau yang khariji (bersifat eksternal). Jadi jika kesamarannya dapat dihilangkan dengan pembahasan dan itjihad maka ia adalah khafi dan musykil, jika kesamarannya itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penafsiran dari pembuat hokum sendiri, maka ia adalah mujmal, dan jika tidak ada jalan untuk menghilangkan kesamarannya sama sekali maka ia adalah mutasyabih dan ditakwilkan oleh Ulama; Khalaf.
Nash-nash yang tidak jelas dalalahnya adalah sesuatu yang tidak menunjukkan dengan sighatnya sendiri akan tetapi penalaran maksudnya tergantung pada sesuatau yang khariji (bersifat eksternal). Jadi jika kesamarannya dapat dihilangkan dengan pembahasan dan itjihad maka ia adalah khafi dan musykil, jika kesamarannya itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penafsiran dari pembuat hokum sendiri, maka ia adalah mujmal, dan jika tidak ada jalan untuk menghilangkan kesamarannya sama sekali maka ia adalah mutasyabih dan ditakwilkan oleh Ulama; Khalaf.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan
: STAIN Press
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1997. Pengantar
Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
[4][5]Mutlaq adalah suatu
lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan
artinya
[5][6]Amm“Setiap lafazh yang mencakup
banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu lafazh yang
dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh
yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata”
(Al-Bazdawi).
[9][10]Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari
lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair.” (Imam Ghozali)Memalingkan
lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil (Wahab Khalaf).
No comments:
Post a Comment