BAB I
A. Pendahuluan
Semua hukum yang berbentuk perintah maupun
larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa dan
tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Allah
SWT menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan
tersebut. Oleh para ulama’ hal tersebut dinamakan maqasid al-syariah.
Konsep dari maqasid al-syariah sebenarnya dimulai
dari masa al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam
Al-Ghazali kemudian yang disusun secara sistematis oleh ahli ushul fiqh yang
bermadzhab Maliki dan Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (wafat 790M).
Konsep ini ditulis dalam kitabnya yabg terkenal al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
khusunya pada juz II, yang beliau namakan kitab Maqasid. Menurut
al-Syatibi, pada dasarnya syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba, (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Maqasid al-Syari’ah?
2. Bagaimana klasifikasi Maqasid al-Syari’ah?
3. Bagaimana tingkatan Maqasid al-Syari’ah?
4. Bagaimana tujuan persyari’atan Maqasid al-Syari'ah?
5. Bagaimana kehujjahan Maqasid al-Syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Maqasid al-Syari’ah
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata قَصَدَ yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan.[1]
Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti [2]المواضع تحدر الي الماء
artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan.[3]
Sebagian ulama’ mendefinisikan Maqasid Syari’ah
sebagaimana Abdullah ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A dalam konsep
Maqasid Syari’ah.
المقاصد العام للشارع فى
تشريعة الاحكام هومصالح الناس بكفلة وتوقيرضرورياتهم حاجياتهم وتحسناتهم.
Artinya: Maqshid
syari’ah secara umum adalah kemaslahatan bagi manusia dengan memelihara
kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan hajiat dan tahsiniat
mereka.[4]
2.
Klasifikasi Maqasid
al-Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
a)
Memelihara
segala sesuatu yang dharuriat bagi manusia dalam penghidupan mereka.
Urusan-urusan
yang dharuriat itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia,
yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang
kehidupan, timbulah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.[5]
Urusan-urusan yang dharuri itu ada lima :
v
Agama
v
Jiwa
v
Akal
v
Keturunan
v
Harta
b)
Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran
taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak
peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa
kesempitan dan kesukaran saja.
c)
Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
Yang
dikehendaki dengan urusan-urusan yang mengindahkan ialah segala yang diperlukan
oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian
ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang
sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan ini dalam
arti kembali kepadasoal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu
untuk mencapai keseragaman hidup memalui jalan-jalan yang utama.
3.
Tingkatan Maqasid
al-Syari’ah
Tingkatan
maqasid al-syari’ah dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Urusan dharuriyat
yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia.[6]
Urusan-urusan yang dharuri ada lima :
§
Agama
§
Jiwa
§
Akal
§
Keturunan
§
Harta
b.
Urusan hajiyat
yaitu keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan di akhirat
tanpanya kehidupan manusia akan mengalami kesulitan.
c.
Urusan tahsiniyat
yaitu pelengkap hidup manusia sehingga manusia merasakan kenyamanan hidup.[7]
4.
Tujuan
persyari’atan Maqasid al-Syari'ah
Tujuan
persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat
diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik
Alqur’an maupun sunnah. Tujuan hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukum ada
tiga. Terutama tujuan hukum taklify, yaitu hukum yang berupa keharusan
melakukan perbuatan karena ada atau tidaknya sesuatu yang mengharuskan
keberadaan hukum. Ketiga tujuan tersebut di atas juga dilihat dari segi
tingkat dan peringkat kepentingannya bagi manusia itu sendiri yaitu tujuan
primer (ad-dharuri), tujuan skunder (al-hajjiy), tujuan tersier
(at-tahsiniy).
a.
Tujuan
primer (ad-dharuri)
Tujuan primer
Islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan
manusia, apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan
kemaslahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang
primer ini hanya bias dicapai bila terpelihara lima tujuan hukum Islam
(al-dharuriyat, al-khams/ al-kulliyat al-khams/ maqasidus syari’at).
Tujuan persyari’atan (maqasidus syari’at) meliputi menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan menjaga harta benda. Tujuan hukum ibadah merujuk pada
pemeliharaan agama seperti iman, mengucapkan dua kalimah syahadat,
mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah puasa, dan bentuk-bentuk ibadah
lainnya. Tujuan muammalah merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta
keturunan dan harta. Tujuan hukum pidana (jinayah) meliputi al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar merujuk kembali kepada pemeliharaan
keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.
b.
Tujuan
skunder (al-hajiy)
Tujuan skunder
hukum islam adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang
tediri atas berbagai kebutuhan skunder hidup manusia. Kebutuhan skunder
bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang
mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Kebutuhan hidup jenis ini terdapat
dalam ibadah umpamanya ada hukum rukhsah yaitu menjama’ dan mengqasar
shalat bagi mereka yang dalam perjalanan dan sakit. Dalam adat, tujuan
hukum sekunder terlihat dalam kebolehan berburu dan menikmati segala yang baik-baik
selama hal itu halal. Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalah yaitu
adanya hukum musqah dan salam. Sementara dalam bidang jinayah dapat
tercapai dalam system sumpah (al-yamin)untuk proses pembuktian dan denda
(diyat) dalam pemberiam sanksi.
c.
Tujuan tersier (al-tahsiniyat)
Dalam
hukum Islam tujuan tersier adalah tujuan hukum yang ditujukan
untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang
baik dan paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang
tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tersiaer hukum islam ini
biasanya terdapat dalam budi pekerti yang mulia atau akhlakul kariamah,
budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum
ibadah, muamalah, adat, pidana.
·
Etika
hukum ibadah misalnya adanya ketetapan hukaum bersuci atau thaharah,
menutup aurat dan lain-lain.
·
Etika hukum ibadah dan hukum adat, misalnya
adanya hukum atau etika tentan bagaimana makan minum berlebihan (israf)
dan lain-lain.
·
Etika
hukum dalam hukum pidana, misalnya adanya ketentuan yang melarang membunuh
wanita dalam keadaan perang.[8]
·
Etika
hukum di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya
tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder.
5.
Kehujjahan
Maqasid al-Syariah (mashlahah)
Mashlahah
dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri
atas dalil-dalil syara' sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan
Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i)
dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang
universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang
diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian
mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak
mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i.
Hal ini disebabkan dua hal:
- Kalau akal mampu menangkap Maqasid
Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal
adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin
menurut mayoritas ulama.
- Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al
Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap
sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan
dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah
bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah
adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus
yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.[9]
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini,
menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum
tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan
hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir
keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah
karena faktor pengaruh teologi.[10]
BAB III
Kesimpulan
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata قَصَدَ yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan. Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء
artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan. Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah : Memelihara
segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka,
menyempurnakan segala yang dihayati manusia,
mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
Tingkatan Maqasid al-Syari’ah: Urusan dharuriyat, urusan hajiyat, urusan
tahsiniyat. Tujuan persyari’atan atau
hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat diketahui melalui
penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an maupun
sunnah. Mashlahah
dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri
atas dalil-dalil syara' sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.2012.Konsep
Maqasid Syari’ah.ttp
Dikutip oleh Asafri Jaya
dalam kitab al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar
al-Sadr.tth).VIII. Dalam Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
Qarib, Ahmad.1997.Ushul
Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet.II
Rahman, Fazrul.1990.Islam.alih
bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka
Umam, Chaerul.2001.Ushul
Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia
Muslihun muslim.Fiqh Ekonomi Dan Positivasinya Di Indonesia.
(mataram.LKIM.2006)
Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam.
Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
[2] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab
kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr.tth).VIII.hlm. 175. Dalam
Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
[8]
Muslihun muslim.Fiqh ekonomi dan positivasinya diindonesia
(mataram.LKIM.2006)
[9] Taufik
Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar
Baru Van Hoeve. Juz 3.hal.294
[10]
Ibid, hal.295
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete