Saturday, February 27, 2016

makalah maqasid al-syariah


BAB I
A.    Pendahuluan
Semua hukum yang berbentuk perintah maupun larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Allah SWT menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama’ hal tersebut dinamakan maqasid al-syariah.
Konsep dari maqasid al-syariah sebenarnya dimulai dari masa al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam Al-Ghazali kemudian yang disusun secara sistematis oleh ahli ushul fiqh yang bermadzhab Maliki dan Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (wafat 790M). Konsep ini ditulis dalam kitabnya yabg terkenal al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khusunya pada juz II, yang beliau namakan kitab Maqasid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba, (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Maqasid al-Syari’ah?
2.      Bagaimana klasifikasi Maqasid al-Syari’ah?
3.      Bagaimana tingkatan Maqasid al-Syari’ah?
4.      Bagaimana tujuan persyari’atan Maqasid al-Syari'ah?
5.      Bagaimana kehujjahan Maqasid al-Syariah?










BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Maqasid al-Syari’ah
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata قَصَدَ yang berarti menghendaki atau memaksudkan.  Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[1] Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti  [2]المواضع تحدر الي الماء artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[3]
Sebagian ulama’ mendefinisikan Maqasid Syari’ah sebagaimana Abdullah ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A dalam konsep Maqasid Syari’ah.
المقاصد العام للشارع فى تشريعة الاحكام هومصالح الناس بكفلة وتوقيرضرورياتهم حاجياتهم وتحسناتهم.
Artinya: Maqshid syari’ah secara umum adalah kemaslahatan bagi manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan hajiat dan tahsiniat mereka.[4]
2.      Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
a)      Memelihara segala sesuatu yang dharuriat bagi manusia dalam penghidupan mereka.
Urusan-urusan yang dharuriat itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbulah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.[5]
Urusan-urusan yang dharuri itu ada lima :
v  Agama
v  Jiwa
v  Akal
v  Keturunan
v  Harta
b)      Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
c)      Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
Yang dikehendaki dengan urusan-urusan yang mengindahkan ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan ini dalam arti kembali kepadasoal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup memalui jalan-jalan yang utama.
3.      Tingkatan Maqasid al-Syari’ah
Tingkatan maqasid al-syari’ah dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Urusan dharuriyat yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia.[6]
Urusan-urusan yang dharuri ada lima :
§  Agama
§  Jiwa
§  Akal
§  Keturunan
§  Harta
b.      Urusan hajiyat yaitu keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan di akhirat tanpanya kehidupan manusia akan mengalami kesulitan.
c.       Urusan tahsiniyat yaitu pelengkap hidup manusia sehingga manusia merasakan kenyamanan hidup.[7]
4.      Tujuan persyari’atan Maqasid al-Syari'ah
Tujuan persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an maupun sunnah. Tujuan hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukum ada tiga. Terutama tujuan hukum taklify, yaitu hukum yang berupa keharusan melakukan perbuatan karena ada atau tidaknya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum. Ketiga tujuan tersebut di atas juga dilihat dari segi tingkat dan peringkat kepentingannya bagi manusia itu sendiri yaitu tujuan primer (ad-dharuri), tujuan skunder (al-hajjiy), tujuan tersier (at-tahsiniy).
a.       Tujuan primer (ad-dharuri)
Tujuan primer Islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia, apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan kemaslahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bias dicapai bila terpelihara lima tujuan hukum Islam (al-dharuriyat, al-khams/ al-kulliyat al-khams/ maqasidus syari’at). Tujuan persyari’atan (maqasidus syari’at) meliputi menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan menjaga harta benda. Tujuan hukum ibadah merujuk pada pemeliharaan agama seperti iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah puasa, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan muammalah merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan dan harta. Tujuan hukum pidana (jinayah) meliputi al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar merujuk kembali kepada pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.
b.      Tujuan skunder (al-hajiy)
Tujuan skunder hukum islam adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang tediri atas berbagai kebutuhan skunder hidup manusia. Kebutuhan skunder bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Kebutuhan hidup jenis ini terdapat dalam ibadah umpamanya ada hukum rukhsah yaitu menjama’ dan mengqasar shalat bagi mereka yang dalam perjalanan dan sakit. Dalam adat, tujuan hukum sekunder terlihat dalam kebolehan berburu dan menikmati segala yang baik-baik selama hal itu halal. Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalah yaitu adanya hukum musqah dan salam. Sementara dalam bidang jinayah dapat tercapai dalam system sumpah (al-yamin)untuk proses pembuktian dan denda (diyat) dalam pemberiam sanksi.
c.        Tujuan tersier (al-tahsiniyat)
Dalam hukum Islam tujuan tersier adalah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tersiaer hukum islam ini biasanya terdapat dalam budi pekerti yang mulia atau akhlakul kariamah, budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah, adat, pidana.
·         Etika hukum ibadah misalnya adanya ketetapan hukaum bersuci atau thaharah, menutup aurat dan lain-lain.
·          Etika hukum ibadah dan hukum adat, misalnya adanya hukum atau etika tentan bagaimana makan minum berlebihan (israf) dan lain-lain.
·         Etika hukum dalam hukum pidana, misalnya adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam keadaan perang.[8]
·         Etika hukum di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder.
5.      Kehujjahan Maqasid al-Syariah (mashlahah)
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:
  • Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
  • Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.[9]
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.[10]


















BAB III
Kesimpulan
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata قَصَدَ yang berarti  menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti  المواضع تحدر الي الماء artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah : Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka, menyempurnakan segala yang dihayati manusia, mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Tingkatan Maqasid al-Syari’ah: Urusan dharuriyat, urusan hajiyat, urusan tahsiniyat. Tujuan persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an maupun sunnah. Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas.










DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’ah.ttp
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr.tth).VIII. Dalam Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
Qarib, Ahmad.1997.Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet.II
Rahman, Fazrul.1990.Islam.alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka
Umam, Chaerul.2001.Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia
Muslihun muslim.Fiqh Ekonomi Dan Positivasinya Di Indonesia. (mataram.LKIM.2006)
Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.





[1] Ahmad Qarib.1997.Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet. II. hlm. 170
[2] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr.tth).VIII.hlm. 175. Dalam Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
[3] Fazrul Rahman.1990.Islam.alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. hlm. 140
[4] Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’ah.
[5] Drs. Chaerul Umam.2001.Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia.hlm. 128
[6] Ibid, hlm.129
[7]  Ibid, 129

[8] Muslihun muslim.Fiqh ekonomi dan positivasinya diindonesia (mataram.LKIM.2006)
[9] Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Juz 3.hal.294
[10] Ibid, hal.295

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete