A.
Latar Belakang Masalah
Setiap umat
Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada
setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut
adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua
sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat
kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap
bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang
penggali hukum (mujtahid). Akibatnya,tidak semua manusia mendapatkan ketentuan
hukum dari sumber aslinyatetapi melalui para mujtahid yang sanggup
mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang
tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan
sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi
mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam
makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang “Taqlid, Ittiba, dan Talfiq”, yang meliputi pengertian dan
hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian,
hukum, syarat dan problematika taqlid ?
2.
Apa pengertian,
hukum, tujuan dan problematika ittiba’ ?
3.
Apa pengertian,
hokum dan problematika talfiq ?
C.
Pembahasan
1.
Taqlid
a.
Pengertian
Taqlid
Hakekat taqlid
menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan
seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]
Taqlid artinya
mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama
yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum
agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang
yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]
b.
Hukum – hukum
Taqlid
Mengenai hukum
taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid
yang dilarang atau haram.[3]
1)
Taqlid yang
diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum
sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.
Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut
beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun
meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya
dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan
untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam
sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari
al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
2)
Taqlid yang
dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai
tingakatan an-nazhr atau yang sanggup
mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain
:
Taqlid
buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa
memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau
masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan
Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?".
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap
orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan
membabi tuli atau buta.
Taqlid
terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak
tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
Taqlid
terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang
yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya
dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu
pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang
betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
c.
Syarat – syarat
Taqlid
Tentang
syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang
bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[4]
Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
1)
Syarat-syarat
orang yang bertaqlid
Syarat orang
yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti
hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup
menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau
baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka
menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2)
Syarat-syarat
yang ditaqlid
Syarat yang
ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum
akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang
menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena
jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai
akal.
d.
Problematika
Taqlid
Taqlid ialah mengikuti
pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya.
Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya
atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Hukum-hukum amaliyyah
dapat kita bagikan kepada dua :
1.
Hukum-hukum yang dapat
diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia
disebut sebagai al-ma’lum minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang
kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat
dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam.
Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap
dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid,
karena semua orang dapat mengetahuinya.
2. Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang
berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang hukum
menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang
termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari
Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui
apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini,
sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang
seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang
tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau
fatwa dari para mujtahid.
Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam,
tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah,
mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka
beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid
dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid
dengan madzhab ini dalam semua masalah.
Dibenarkan mengamalkan
pendapat dari madzhab-madzhab lain.
Taqlid yang diharamkan
ialah :
1.
Bertaqlid kepada seseorang
tnpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah.
2. Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad.[5]
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia
ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid
yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala
perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai
madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan
dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada
yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan
pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang
seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan
sebagainya.[6]
Taqlid ada dua
jenis : umum dan khusus.
1.
Taqlid yang
umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab
tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1
dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan
agamanya.
Dan para ‘ulama
telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat
wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang
muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara
mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya
dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi
wa sallam.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat
kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi
ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga
berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan
yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya
fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur
syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah
orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i,
dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang
mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan
dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah
seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah
tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa
kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu
pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan
al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
2.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil
pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak
mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki
atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.[7]
2.
Ittiba’
a.
Pengetian
Ittiba
Ittiba artinya
menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau
perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu
al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[8]
Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang
datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[9]
Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain
dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba
disebut muttabi yang jamaknya disebut
muttabiun.[10]
Antara taqlid
dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya.
Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada
unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar
dari sebuah pemikiran hukum.[11]
b.
Dasar Hukum dan
Hukum Ittiba
Bagi orang yang
mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan
mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang
memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan
argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid
bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[12]
Tujuan
Ittiba`
Dengan adanya ittiba`
diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat
mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan
penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan
kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
c.
Problematika
Ittiba’
Allah swt melarang manusia
melakukan suatu tindakan tanpa dasar pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa
pengetahuan wahyu, bisa juga pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan
pengetahuan wahyu akan tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabaikan
pengetahuan realitas bisa celaka di dunia.Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi
untuk membersihkan komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan
dicuci sebagaimana mencuci pakaian maka tentu akan mengalami kerusakan yang
fatal.
Yang
lebih penting dari ini, adalah kewajiban mensyukuri nikmat agama dilakukan
dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama Tetapi hal itu tidak
cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan. Dalam menjalankan
ajaran agama, manusia akan bisa melakukannya dengan baik apabila dia memiliki pengetahuan
agama. Jika tidak, bisa jadi bukan ajaran agama tetapi dia aku sebagai ajaran
agama.
Ø Imam Hanafi berkata,” tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami
selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”
Ø Imam Maliki berkata, “ Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan
keliru, lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka
ambillah, dan yang tidak sesuai tinggalkanlah”.
Ø Imam Syafi’i berkata, “ jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah, ittiba’lah
kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”. Sedangkan Imam
Hanbali berkata, “ Janganlah engkau taqlid dalam agamamukepada seorangpun ari
mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah.[13]
Masalah ittiba’ adalah
masalah yang prinsip, mengingat bahwa ketetapan Allah terhadap agama adalah
bersih dari segala bentuk campur tangan
al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan) yang
berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.[14]
Ittiba’ dapat dibagi
menjadi beberapa macam, antara lain :
1.Ittiba`
kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib
mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
2. Ittiba` kepada selain
Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang
tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu
hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada
yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang
dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
Dengan adanya ittiba`
diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat
mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan
penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan
kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.[15]
3.
Talfiq
a.
Pengertian Talfiq
Talfiq menurut
arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti tindakan manambal
sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau
seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun
untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah
ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari
seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang
berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai
pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[16]
Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum
yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[17]
Apabila
dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat
sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya
dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua
persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.
Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan
sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu
persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai
mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari
berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada
beberapa pendapat.[18]
b.
Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli
Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah
mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga
pendapat.[19]
Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
Pendapat
pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki
(memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah
dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara
keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang
itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka
ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah
dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah
dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu
menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya
kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan
ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal
Syasyi.
Pendapat
kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih
salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari
keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang
menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah).
Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam
Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.
Pendapat
ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih
salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke
mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan
mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang,
dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara
beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam
salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan
umatnya, juga ada hadis yang mengatakan bahwa agama itu mudah. (penulis tidak
menemukan teks hadis ini).
Maka menurut
pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh).
Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau
berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena
seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan
untuk itu”.
Menurut M. Ali
Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana
pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
Ø Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus
terikat kepada salah satu mazhab.
Ø Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada
masalah fiqhiyah.
Ø Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu
mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum
Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
Ø Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah
dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
Ø Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat,
bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun
ada sahabat yang lebih senior.[20]
c.
Problematika Talfiq
Talfiq ialah mengikuti
pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaqlid kepada imam lain
dalam masalah lain. Contoh: mengambil wudlu mengikuti Imam Hanafi dan shalat
mengikuti Imam Syafi’i.
Kebanyakan ulama’ membagi
talfiq menjadi dua, yaitu :
1. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam
beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut
Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia
mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq
seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan
rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2.
Mengambil pendapat yang
paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam satu masalah. Talfiq seperti ini
tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia
juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.[21]
Talfiq tidak dibenarkan
jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita di lingkungan madzhab
Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain karena kita tak
mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah
dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang
masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk
bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya
bermadzhab maliki.
Memang tak ada perintah
wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah
syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang
mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib
hukumnya.
Misalnya kita membeli air,
apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air
tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka
apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena
perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam
syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui
samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul
saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di
imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak
bisa beribadah hal-hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu
madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Dan berpindah-pindah
madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah
malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafiinya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu
keduanya ke pasar, dan masing-masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya
menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak
berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah
kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki,
maka Zeyd berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah
pula dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus
menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu
dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil
madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula
dalam madzhab Syafii.
Demikian contoh kecil jika
kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita pindah ke wilayah lain, karena kita
bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan minta petunjuk pada guru guru di wilayah
itu.
D.
Penutup
KESIMPULAN
1.
Taqlid
Hakekat taqlid
menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu
yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh
penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid artinya
mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama
yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum
agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang
yang menerima cara tersebut disebut muqallid.
Taqlid ada dua
macam yiatu taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang
belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum
syariat. dan taqlid yang tidak diperbolehkan (dilarang/ haram), yaitu
bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum
syariat.Syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang
bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.
2.
Ittiba
Ittiba artinya
menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau
perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu
al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan
pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan
kebajikan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti
perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang
yang melakukan ittiba disebut muttabi
yang jamaknya disebut muttabiun.
Ittiba memang dan bahkan disuruh dalam agama. Firman Allah dalam
surah An-Nahl ayat 43 merupakan suatu perintah untuk bertanya kepada
orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan
demikian, jelaslah bahwa ittiba itu tidak dilarang.
3.
Talfiq
Talfiq yaitu
menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan
(gabungan) dua mazhab atau lebih. Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq
ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara
keseluruhan mauun sebagian mereka terbagi keada tiga pendapat yaitu :
Pendapat
pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki
(memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah
dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Pendapat
kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab
boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan
ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab
pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini
maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat
ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab
tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun
didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari
tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah
sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling
mudah selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumnya
mubah.
Sedangkan Ulama
Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu pertama, Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan
diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang
berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan
hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang
diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama
membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu
mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Kedua, Talfiq yang tidak dibolehkan,
yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam
suatu masalah. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah
kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah
dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
Talfiq
merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang
telah melanda umat yang cuku lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan
kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di
kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam
lapangan fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
(Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995).
Dede Rosyada, Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999).
Khairul Umam
dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,
(Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001).
M
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002).
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal
Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan
Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997).
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul
Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003).
Tsani
Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003).
Yusuf
Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi
Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi
Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003).
pertanyaan dari penanya :
1.
Nidaul ummah 112158
Ada
seseorang yang mengikuti lomba tahfidh tetapi tiba- tiba pada hari H nya
berhalangan apakah boleh berganti madhab atau tidak?
Jawab: kalau menurut saya boleh dengan diniati berdzikir dan
mengingat hafalannya jadi boleh berpindah madzhab terlebih dahulu.seseorang
yang telah memilih salah satu madhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya
untuk berpindah madzhab lain, walaupun didorong
untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap
mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri
kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah
selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumya mubah.
2.
Duroh nafisah 112151
Banyak orang yang bermadhab dan tetap memegang teguh al-qur’an dan hadist
dalam memecahkan suatu masalah , tetapi ada juga sebagian orang yang hanya
berpegang teguh dan hanya menghidupkan al- qur’an dan sunnah, tanpa mau
bermadzhab . bagaimana tanggagapan pemakalah? Dan disertai argumentasi.
Jawab:
Bermazhab
sering disebut bertaklid. Namun bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh
saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli
hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab
Syafi’i. Jadi, ada tingkatan bermadzhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan
seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya,
dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Paham Anti Mazhab di dalam
bahasa Arab sering diistilahkan dengan sebutan al la mazhabiyah ().
Sebuah istilah yang disematkan kepada kalangan yang bukan sekedar tidak mau
merujuk kepada mazhab-mazhab fiqih yang ada, tetapi lebih jauh dari itu, paham
ini secara terbuka memerangi mazhab dan para ulamanya,
3.
Khirirotus sa’idah 112168
Bagaimana
keterkaitan antara ittiba’, taqlid dan talfiq?
Jawab:
Keterkaitan
antara ketiganya yaitu sama- sama bertujuan untuk bermadzhab dengan alasan taqlid adalah melaksanakan pendapat orang
lain tanpa disertai hujjah yang kuat, misalnya orang awam yang mengambil
pendapat seoarang mujtahid , atau seorang mijtahid yang mengambil pendapaat
dari mujtahi lain.
Ittiba’
adalah mengikuti pendapat seseorang baik ulama atau yang lainnya denagn
didasari pengetahuan dalil yang dipakai
oleh ulama tersebut.
Talfiq
adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli
fiqih.
Kesimpulnnya
taqlid, talfiq, dan ittiba’ saling berkaitan denganalasan sama mengambil
pendapat atau bermadzhab
[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman
dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 87.
[2]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 61.
[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.
[4] Ibid., hal. 156.
[8]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 60.
[9] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 163.
[10] Ibid.,
[11]
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan
Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999), hal. 25.
[12]
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul
Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997),
hal. 164.
[16] M Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002), hal. 89.
[17]
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul
Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 164.
[18] Ahmad Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995), hal. 177.
[19] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 165.
[20] M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 91.
[21] Ibid,
No comments:
Post a Comment