Saturday, February 27, 2016

makalah taqlid, ittiba', talfiq


A.    Latar Belakang Masalah
Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya,tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinyatetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang “Taqlid, Ittiba, dan Talfiq”, yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian, hukum, syarat dan problematika taqlid ?
2.      Apa pengertian, hukum, tujuan dan problematika ittiba’ ?
3.      Apa pengertian, hokum dan problematika  talfiq ?

C.    Pembahasan
1.      Taqlid
a.      Pengertian Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]
Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]

b.      Hukum – hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.[3]
1)      Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
2)      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
  Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
 “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.
  Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
  Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

c.       Syarat – syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[4] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
1)                  Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2)                  Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

d.      Problematika Taqlid
Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
                        Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :
1.      Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
2.      Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
            Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid.
            Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua masalah.
            Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab lain.
            Taqlid yang diharamkan ialah :
1.      Bertaqlid kepada seseorang tnpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah.
2.      Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad.[5]
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
 Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.[6]
Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.
1.      Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.
Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
2.      Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.[7]

2.      Ittiba’
a.      Pengetian Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[8] Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[9]
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.[10]
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[11]

b.      Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[12]
Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

c.       Problematika Ittiba’
Allah swt melarang manusia melakukan suatu tindakan tanpa dasar pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan wahyu, bisa juga pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan pengetahuan wahyu akan tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabaikan pengetahuan realitas bisa celaka di dunia.Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi untuk membersihkan komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan dicuci sebagaimana mencuci pakaian maka tentu akan mengalami kerusakan yang fatal.
            Yang lebih penting dari ini, adalah kewajiban mensyukuri nikmat agama dilakukan dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama Tetapi hal itu tidak cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan. Dalam menjalankan ajaran agama, manusia akan bisa melakukannya dengan baik apabila dia memiliki pengetahuan agama. Jika tidak, bisa jadi bukan ajaran agama tetapi dia aku sebagai ajaran agama.
Ø  Imam Hanafi berkata,” tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”
Ø  Imam Maliki berkata, “ Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru, lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambillah, dan yang tidak sesuai tinggalkanlah”.
Ø  Imam Syafi’i berkata, “ jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”. Sedangkan Imam Hanbali berkata, “ Janganlah engkau taqlid dalam agamamukepada seorangpun ari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah.[13]
Masalah ittiba’ adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa ketetapan Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur tangan  al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan) yang berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.[14]
Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
1.Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
2. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
            Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.[15]
  
3.      Talfiq
a.      Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[16] Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[17]
Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[18]

b.      Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[19] Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.
Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang mengatakan bahwa agama itu mudah. (penulis tidak menemukan teks hadis ini).
Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat  Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
Ø  Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
Ø  Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
Ø  Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
Ø  Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
Ø  Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[20]

c.       Problematika Talfiq
Talfiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil wudlu mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam Syafi’i.
Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :
1.      Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2.      Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.[21]
Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafii.
Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.


D.    Penutup
KESIMPULAN
1.      Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.
Taqlid ada dua macam yiatu taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.  dan taqlid yang tidak diperbolehkan (dilarang/ haram), yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.Syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.
2.      Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun. Ittiba memang dan bahkan disuruh dalam agama.  Firman Allah dalam  surah An-Nahl ayat 43 merupakan suatu perintah untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa ittiba itu tidak dilarang.
3.      Talfiq
Talfiq yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih. Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan mauun sebagian mereka terbagi keada tiga pendapat yaitu :
Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumnya mubah.
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu pertama, Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Kedua, Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cuku lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995).
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999).
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001).
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002).
            Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997).
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003).
Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003).
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003).


            pertanyaan dari penanya :
1.      Nidaul ummah 112158
Ada seseorang yang mengikuti lomba tahfidh tetapi tiba- tiba pada hari H nya berhalangan apakah boleh berganti madhab atau tidak?
Jawab: kalau menurut saya boleh dengan diniati berdzikir dan mengingat hafalannya jadi boleh berpindah madzhab terlebih dahulu.seseorang yang telah memilih salah satu madhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk berpindah madzhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumya mubah.
2.      Duroh nafisah 112151
Banyak orang yang bermadhab dan tetap memegang teguh al-qur’an dan hadist dalam memecahkan suatu masalah , tetapi ada juga sebagian orang yang hanya berpegang teguh dan hanya menghidupkan al- qur’an dan sunnah, tanpa mau bermadzhab . bagaimana tanggagapan pemakalah? Dan disertai argumentasi.
Jawab:
Bermazhab sering disebut bertaklid. Namun bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi’i. Jadi, ada tingkatan bermadzhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Paham Anti Mazhab di dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan sebutan al la mazhabiyah (). Sebuah istilah yang disematkan kepada kalangan yang bukan sekedar tidak mau merujuk kepada mazhab-mazhab fiqih yang ada, tetapi lebih jauh dari itu, paham ini secara terbuka memerangi mazhab dan para ulamanya,
3.      Khirirotus sa’idah 112168
Bagaimana keterkaitan antara ittiba’, taqlid dan talfiq?
Jawab:
Keterkaitan antara ketiganya yaitu sama- sama bertujuan untuk bermadzhab dengan alasan  taqlid adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat, misalnya orang awam yang mengambil pendapat seoarang mujtahid , atau seorang mijtahid yang mengambil pendapaat dari mujtahi lain.
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik ulama atau yang lainnya denagn didasari pengetahuan dalil yang dipakai  oleh ulama tersebut.
Talfiq adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqih.
Kesimpulnnya taqlid, talfiq, dan ittiba’ saling berkaitan denganalasan sama mengambil pendapat atau bermadzhab




[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 87.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 61.
[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.

[4] Ibid., hal. 156.
[5] HTTP://syedelee.tripod.com/keunggulanislam/id50.html
[6] Loc.cit.
[8] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 60.
[9] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 163.
[10] Ibid.,

[11] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999), hal. 25.
[12] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hal. 164.
[13] http://abahzacky.wordpress.com/2010/02/08/antara-ittiba’-dan-taqlid/
[14] http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/tafseer/24-ber-ittiba’-kepada-rasul-html
[15] http://deriaadlis.blogspot.com/2010/01/ushul-fiqhfiqh-ijtihad-taqlid-ittiba_14.html
[16] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002), hal. 89.
[17] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 164.
[18] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995), hal. 177.
[19] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 165.

[20] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 91.
[21] Ibid,

No comments:

Post a Comment