Friday, February 26, 2016

makalah Harta Kedudukan Fungsi Dan Pembagian Serta Akibat Hukumnya

Harta Kedudukan Fungsi Dan Pembagian Serta Akibat Hukumnya

Disusun Guna memenuhi Tugas :
Fiqih II ( Muamalah )
Dosen Pengampu: Zaenal Arifin, M.Si.

 








Disusun oleh :
AinunNajib    : 112165
                                                                                                     
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang Masalah
Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata مَالَ - يَمِيْلُ - مَ يْلاَ yang berarti condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Dalam mua’malah tidak hanya membahas apa yang telah menjadi ketetapan dalam arti mu’amalah yang secara luas atau dengan kata lain yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat timbal balik. Tetapi dalam perkembagan yang ada terjadi suatu hal yan harus diketahui juga yang berhubungan mengenai mu’amalah yaitu adalah tentang ketarangn dan tata aturan tentang peredaran dan pemanfaatan harta.
Karena dalam hal ini harta adalah salah satu aspek terpenting yang dapat menunjang berlangsungnya kegiatan mu’amalah. Harta adalah sebuah kajian yang sangat penting karena juga melihat bahwa harta yang ada adalah sebagai landasan picu dalam berinteraksi. Dan segala hal yang dapat disimpan dan dapat bertahan lama dapat di sebut sebagai harta.
Maka dari sebuah hal yang mendasari dasar bagian ini maka kami akan membahas beberapa hal mengenai kedudukan harta, fungsi, dan pembagiaan harta beserta hal ikhwalnya, untuk lebih jelasnya kami akan membahasnya berikut ini dalam pembahasan.

2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Harta ?
2.      Bagaimana Kedudukan Harta ?
3.      Bagaimana Fungsi Harta ?
4.      Bagaimana Pembagian Harta Serta Akibat Hukumnya ?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Harta
Secara etimologi harta dalam bahasa Arab yaitu المال yang asal katanya مال- بميل- ميلا  yang berarti condong, cenderung, atau berpaling dari tengah kesalah satu sisi. Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat.
Sementara itu, Jumhur Ulama’; harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau yang melenyapkan.[1]
Berdasarkan terminologi ialah:
المال هو ما يميل اليه طبع الإنسان إدخاره الى وقة الحاجة
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi)
Golongan Hanafiyah mengaitkan definisi mal. Manfaat, menurut mereka masuk golongan milik, tidak masuk dengan golongan mal. Mereka membedakan antara mal dengan milik.
Milik adalah suatu yang dapat kita bertasarruf padanya secara ikthishash, tidak dicampuri orang lain. karenanya manfaat masuk ke dalam bagian milik. sedangkan mal, ialah segala yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan diwaktu diperlukan.
Harta adalah sesuatu yang dapat disimpan dan dapat digunakan ketika dibutuhkan, dan dalam hal ini harta sebagai suatu hal yang berwujud (a’yan). Sedangkan harta menurut sebagian ulama ialah :
sesutau yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memebrikannya atau akan menyimpannya.”
Dari hal ini diketahui bahwa suatu hal yang diinginkan oleh manusia berdasar naluri tabiat kemanusiaannya baik akan disimpan maupun akan dipergunakannya atau memberikannya. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian ulama berpandangan bahwa harta adalah sebagai suatu hal yang ingin dimiliki oleh manusia berdasarkan naluri tabiat kemanusiannya. Dan menurut sebagian ulama yang lain bahwa yang di maksud harta adalah :
segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar di antara manusia”.
Dengan pengertian ulama yang lain di atas dapat diambil sebuah ketetapan lain tentang pengertian harta adalah sebagai zat yang bersifat materi yang berputar dikalangan atau disekitar manusia dan dalam putarannya diiringi dengan sebuah interaksi. Materi yang dimaksud disini adalah sebagai materi yang bernilai dan mempunyia sifat yang dapat diputarkan diantara manusia.
Dari sekumpulan takrif yang telah dikemukakan oleh para fuqaha, dapatlah kita ambil kesimpulannya yaitu :
1)      Harta (mal) adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan dengan tasharruf dengan jalan ikhtiyar.
Demikian dikemukakan oleh kitab Al Bahrur Raiq.
2)      Benda yang dijadikan harta itu, dapat dijadikan harta oleh umum manusia atau oleh sebagian mereka.
Demikian diterangkan oleh kitab Raddul Muhtar.
3)      Sesuatu yang tidak dipandang harta, tidak sah kita menjualnya.
4)      Sesuatu yang dimubahkannya walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji beras, sebiji beras tidak dipandangi harta walaupun dia boleh dimiliki.
Demikian diterangkan oleh kitab Raddul Muhtar.
5)      Harta itu wajib mempunyai wujud. Karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta, karena tidak mempunyai wujud.
6)      Benda yang dapat dijadikan harta, dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu yang lama dan dipergunakan di waktu dia dibutuhkan
Dengan ringkas para fuqaha Hanafiyah menetapkan bahwa dipandang harta hanyalah sesuatu yang bersifat benda, yang dikatakan a’yan.[2]

2.      Kedudukan Harta
Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa dizaman yang sangat multikultural ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan. Dijelaskan dalam al-qur’an bahwa harta merupakan perhiasan hidup, hal ini seperti pada firman Allah
المالُ وَالبَنُوْنَ زِيْنَةُ الحَيَاةِ الدُنْيَا.
“Harta dan anak-anak itu merupakan perhiasan kehidupan dunia”. (QS. Al-Kahfi: 46)
Pada ayat itu diterangkan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi manusia adalah sebuah harta.
Berkenaan dengan harta didalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta[3]:
1.      Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia
2.      Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
3.      Penimbunan harta dengan jalan kikir
4.      Aktivitas yang merupakan pemborosan
5.      Memproduksi, memeperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang seperti narkotika dan minuman keras.





3.      Fungsi Harta
Diantara sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat dll.
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran, maka pemilik harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
3.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode keperiode berikutnya  (regenerasi). Karena sesuai dengan pesan Al-Qur’an, umat Islam hendaknya menciptakan generasi yang berkualitas (An-Nisa: 9).
4.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.      Untuk mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan sulit. Seseorang tidak akan dapat melanjutkan kejenjang perguruan tinggi bila dia tidak memiliki biaya.
6.      Harta merupakan sarana penggerak roda ekonomi. Ada orang kaya dan miskin yang keduanya saling membutuhkan dalam melangsungkan kehidupannya, sehingga akan tersusunlah kehidupan masyarakat yang seimbang dan harmonis.
7.      Untuk menumbuhkan interaksi antara individu karena adanya perbedaan dalam kebutuhan.[4]

4.      Pembagian serta akibat hukumnya
1)      Mal Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili al-mal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara’ untuk memanfaatkannya.Seperti; makanan, pakaian, kebun apel dll.
Al mal ghairu al-mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia.Seperti; mutiara di dasar lautan, minyak di perut bumi dll.[5]
2)      Mal Mitsli dan mal Qimy
Al-mal al-mitsli adalah harta yang jenisnya mudah didapat di pasaran (secara persis tanpa adanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya). Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi 4 bagian;
1.      Mauzunat (benda-benda yang dapat ditimbang). Seperti; kapas, besi, tembaga.
2.      Makilat (benda-benda yang dapat ditukar  atauditakar). Seperti; gandum, beras, terigu.
3.      Madzur’at( barang-barang yang diukur). Seperti; kain.
4.      Addiyat (benda-benda yang bisa dihitung).Seperti; pisang, telur, apel.
Al-mal al-qimy adalah harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasaran, atau bisa di dapati tapi jenisnya lain (tidak persis) kecuali dalam nilai harganya. Seperti; domba, tanah, kayu dll.
3)      Mal Istihlaki dan mal Isti’mali
Al-mal istihlaki adalah sesuatu yang tak dapat diambil manfaat dan kegunaannya secara biasa, melainkan dengan menghabiskannya.Dengan kata lain, benda yang dengan sekali kita memakainya, habislah dia. Seperti; makanan, minuman, kayu api, BBM dll.
Isti’maili adalah sesuatu yang dimanfaatkan dengan memakainya berulang-ulang kali dalam materinya tetap berpelihara.Dengan kata lain, tidaklah habis atau binasa dengan sekali pakai, tetapi dapat dipakai lama menurut tabiatnya masing-masing. Seperti; perkebunan, pakaian, rumah, tempat tidur dll.[6]
4)      Mal ManquldanMal Ghairu Manqul
Al-mal manqul adalah segala harta yang boleh diangkut (dipindahkan) dan dibawanya dari suatu tempat ketempat yang lain. Seperti; uang, harta perdagangan dll.
Al-mal ghairu manqul (‘iqar) adalah sebaliknya, sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari suatu tempat ketempat yang lain. Seperti; tanah, rumah dll.[7]
5)      ‘Ain dan Dain
Al-mal al-‘Ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, mobil, pakaian dll.Harta ‘ain dibagi atas 2:
1.      harta‘ain dzatiqimah, yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta, karena memiliki nilai yang dipandang sebagai harta
2.      harta‘ain ghoir dzatiqimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, seperti sebiji beras atau tepung.
Al-mal al-dain adalah sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.[8]
6)      Mal mamluk, mubah dan mahjur
Mal mamluk adalah sesuatu yang masuk dibawah kepemilikan, baik milik perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah atau yayasan.
Mal mubah adalah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air di mata air, binatang buruan di darat, di laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya.
Mal mahjur adalah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’ ahad akalanya benda tersebut berupa benda wakaf atau benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid, kuburan dll.[9]
7)      Mal khasdan mal ‘am
Mal khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan yang lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak atau seizing pemiliknya.
Mal’am adalah harta milik umum atau milik bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketepatan yang telah disepakati bersama oleh umum atau penguasa.[10]
Dalam pandangan syar’i keberadaan harta yang ada ditangan manusia tidak serta merta dapat dikonsumsi. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu dari berbagai aspek. Untuk itulah muncul teori tentang pembagian harta yang dilihat dari berbagai macam aspeknya. Pembagian ini berimplikasi pada halal dan haramnya manusia menguasai, mengkonsumsi dan mentasarufkannya. Dapat disebutkan bahwa pembagian harta dalam fiqh muamalah bukan hanya sebatas mengategorisasikannya, namun juga sebagai landasan bagi halal dan haramnya harta dikonsumsi, dikuasai dan ditasarufkan. lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:[11]
1.      Macam-macam harta berdasarkan kebolehan memanfaatkan:
a.       Mal Mutaqawwim yaitu harta yang memiliki manfaat/nilai baik secara ekonomis maupun syar’i.
مايباح الانتفاع به شرعا
“Yang dibolehkan kita memanfaatinya”
b.      Mal Ghairu Mutaqwwim yaitu harta yang tidak memiliki nilai secara syar’i meskipun mungkin secara ekonomis memiliki nilai.
ما لا يباح الانتفاع به شرعا
“Yang tidak dibolehkan kita memanfaatinya”[12]
Pembagian harta seperti diatas mengakibatkan:
a.       Tidak dibolehkan umat Islam menjadikan harta Ghairu Mutaqwwim sebagai obyek transaksi. Olehkarena itu, umat islam mengenal istilah haram mengonsumsi harta-harta tertentu yang tidak diizinkan oleh syara’ untuk dikonsumsi. Itulah harta ghairu Mutaqwwim.
b.      Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi (sanksi pidana) apabila mereka merusak atau melenyapkan harta ghairu Mutaqwwim. Alasan yang mendasari prinsip ini adalah bahwa harta ghairu Mutaqwwim dipandang bukan sebagai harta. sehingga keberadaannya tidak dianggap sebagai sesuatu yang ada. Ini berlaku harta ghairu Mutaqwwim berada ditangan orang muslim.
c.       Jika harta ghairu Mutaqwwim berada ditangan orang kafir, dan dilenyapkan oleh orang muslim, ulama’ berpendapat:
1.      Jumhur Ulama’; berpendapat bahwa ia tetap tidak bernilai harta (ghairu Mutaqwwim), sehingga umat Islam yang melenyapkan harta tersebut tidak dituntut ganti rugi, karena ia bukan harta.
2.      Ulama’ Madzhab hanafi; berpendapat bahwa harta tersebut Mutaqwwim bagi kafir dzimmi, sehingga umat Islam yang melenyapkan tetap dituntut ganti rugi.
2.      Berdasarkan ada dan tidaknya di pasaran:
a.       Harta al-mitsli; harta yang jenisnya mudah dipasar (secara persis).[13] harta ini bisa ditimbang, dihitung atau ditakar seperti gandum, kedelai, beras, dll.
Barang mitsli dapat dihinggakan.
Barang-barang Qimi yang dibatasi dalam beberapa macam, karena macamnya banyak. Adapun barang-barang mitsli, semuanya tunduk kepada beberapa keadaan:
1.      Ukuran
2.      Timbangan
3.      Jumlah untuk menentukan harganya.[14]
b.      Harta al-Qimi; harta yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau ada jenisnya tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan pepohonan, logam mulia, dan alat-alat rumah tangga.
Jenis harta di atas berimplikasi pada:
a.       Dalam harta yang bersifat al-Qimi, tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama. Namun, terhadap transaksi yang menjurus pada riba
b.      Dalam suatu perserikatan bersifat al-mitsli, seorang mitra berserikat boleh mengambil bagiannya ketika mitra daganya tidak di tempat. Akan tetapi, perserikatan dalam harta yang bersifat al-Qimi masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lainnya tidak berada di tempat.
Apabila harta yang bersifat al-mitsli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis. Apabila yang rusak adalah harta yang bersifat al-Qimi, maka ganti rugi yang harus dibayar adalah dengan memperhitungkan nilainya.
3.      Berdasarkan segi pemanfaatannya, harta dibagi atas:
a.       Harta Isti’mali
ما يتحقق الانتفاع باستعماله مرارا مع بقاء عينه
“Sesuatu yang dimanfaatkan dengan memakainya berulang-ulang kali dalam materi tetap berpelihara”[15]
 ialah harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut. manfaatnya dapat diambil dan bendanya masih tetap utuh. (contoh; rumah, lahan pertanian, buku, dll)[16]
b.      Harta Istihlaki
مايكون الانتفاع به بخصائصه بحسب المعتاد لايتحقق الا باستهلاكه
“Sesuatu yang tak dapat diambil manfaat dan kegunaannya secara biasa, melainkan dengan menghabiskan”
Dimaksudkan dengan istihlaki, ialah “benda yang dengan sekali kita memakainya, habislah dia” (contoh makanan, sabun, korek api, dll). Harta yang seperti ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :harta istihlaki haqiqi dan istihlaki huquqi. Harta istihlaki haqiqi adalah harta yang sudah dimanfaatkan kegunaannya dan sudah jelas habis wujudnya. Dengan artian bahwa harta yang seperti ini dalam pemanfaatannya habis langsung dan tidak membekas.
Sedangkan istihlaki huquqi adalah harta yang habis ketika digunakan tetapi wujud dari baarang itu masih atau dengan kata lain hanya berpindah kepemilikan. seperti mata uang kertas. keluarnya mata uang dari tangan, untuk membayar hutang umpamanya, dipandang istihlak, dari segi hukum walaupun bendanya masih utuh.[17]
4.      Pembagian Harta berdasarkan jenisnya:
a.       harta bergerak (al-mal al-manqul) ialah harta yang dapat dipindahkan pemiliknya dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya mobil, motor, uang, dll
b.      Harta tidak bergerak (al-mal ghairu manqul) ialah harta yang tidak bisa dipindahkan olehpemiliknya dari satu tempat ke tempat lain. misalnya tanah, bangunan, pabrik, dll
Pembagian harta dengan jenis diatas berimplikasi pada:
a.       Adanya hak syuf’ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya) bagi harta yang tidak bergerak.
b.      Harta yang buleh diwakafkan; menurut Hanafi, harta yang boleh diwakafkan hanyalah yang tidak bergerak atau harta bergerak yang sulit dipisahkan dengan harta yang tidak bergerak.
c.       Seorang yang diwasiyati untuk memelihara harta anak kecil, tidak boleh menjual harta tidak bergerak si anak, kecuali atas seizin hakim dalam hal yang amat mendesak (contoh untuk membayar hutang si anak). Sedangkan terhadap harta yang dapat bergerak boleh menjualnya untuk kebutuhan sehari-hari.
d.      menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ghasab tidak mungkin dilakukan pada harta tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan, sedangkan menurut mereka syarat ghasab adalah barang yang dighasab dapat dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang meng-ghasab, disamping itu sekedar memanfaatkan benda tidak bergerak dinamakan ghasab, sebab manfaat tidak termasuk harta, akan tetapi jumhur Ulama’ berpendapat ghasab bisa terjadi pada benda bergerak maupun benda tidak bergerak, sebab manfaat disebut juga harta. orang yang menempati rumah tanpa seizin pemiliknya termasuk ghasab.[18]

5.      ‘Ain dan Dain
‘Ain ialah: “sesuatu yang berbentuk benda, seperti: rumah, kuda, karung beras, dan sebagainya”. Semuanya ini dikatakan ‘ain. ‘Ain terbagi menjadi dua:
a.                 ‘Ain dzat qimatin dan sesuatu yang berbentuk benda yang dapat menjadi harta, dapat dipandang sebgai harta
b.                ‘Ain ghairu dzat qimatin, sesuatu yang berbentuk benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta. Seperti beras.
Dain adalah harta yang berada dalam tanggung jawab seseorang atau harta yang di hutang orang lain. Sehingga harta yang dipinjam itu beralih tanggung jawab kepada orang lain atau pihak penghutang. Dalam pandangan fiqh Islam pada asalnya, dipandang dari segi keharusan si multazim membayarnya. Yakni dipandang dari segi yang punya hutang. terkadang juga lafadz dain untuk menerangkan hak si multazim lahu. Yakni dipakai untuk kedua belah pihak.
6.      Mal ‘aini dan mal naf’i (manfaat)
a.       Mal al-‘ain ialah benda yang memiliki nilai dan berwujud. Hal yang ini mempunyai pengertian bahwa benda yang mempunyai nilai dan benda itu juga mempunyai wujud maka hal itu bisa disebut dengan harta.
b.      Harta nafi’ a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan ,masa, oleh karena itu mal al-na’I tidak berwujud dan tidak disimpan.[19]
7.      Berdasarkan status harta;
a.       Al-mal al-mamluk; adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hukum (seperti orgnanisasi, negara, dll).[20]
Al-mal al-mamluk terbagi menjadi dua macam:
·         Mal Mustaqil (mutamayyiz), tidak diperkongsiksn dan
·         Mal Musytarak (yang dikongsikan) antara dua pemilik.[21]
b.      Al-mal al-mubah; harta tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di hutan blantara, air, ikan dalam lautan dll. harta seperti ini boleh dimanfaatkan oleh seseorang dengan syarat memenuhi peraturan negara yang telah disepakati dan tidak merusak kelestarian lingkungan.
c.       Al-mal al mahjur adalah harta yang dilarang syara’ untuk dikuasai individu, baik karna harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum. seseorang tidak boleh menguasai harta tersebut meskipun diperbolehkan merasakan manfaatnya.
8.      Berdasarkan bisa dibagi atau tidaknya:
a.       Harta “bisa dibagi”, ialah harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak rusak atau manfaatnya tidak hilang.
b.      Harta “tidak bisa dibagi”, ialah apabila harta tersebut dibagi akan rusak atau hilang manfaatnya.
Berdasarkan pembagian di atas maka:
a.       terhadap harta yang bisa dibagi, bisa dilakukan eksekusi putusan hakim untuk membaginya. Adapun terhadap harta yang tidak bisa dibagi keputusan hakim tidak bisa memaksa untuk membagi harta tersebut, tetapi harus dilakukan eksekusi berdasarkan kerelaan masing-masing pihak.
b.      Apabila seseorang mengeluarkanbiaya untuk memelihara harta serikat tanpa seizin mitranya dan tanpa seizin hakim, sedangkan harta serikat itu termasuk harta yang bisa dibagi, maka ia tidakbisa nuntut ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan kepada mitranya, karena harta yang dikeluarkan tersebut dianggap sedekah. Namun apabila tntutan ganti rugi atas biaya pemeliharaan harta yang telah dikeluarkan satu pihak, dapat diajukan kepada pihak lain.
9.      Berdasarkan segi perkembangan tidaknya, harta dibagi menjadi:
a.       Al-mal al-ashl; jenis harta yang merupakan pokok bagi kemungkinan harta lain, seperti pohon yang menghasilkan buah, rumah yang dapat disewakan, tanah yang bisa menghasilkan jika ditanami, dll.
b.      Al-mal at-tsamr, ialah buah yang dihasilkan dari suatu harta hasil sewa rumah, buah-buahan dari pohon tertentu, hasil panenan, dll


Pembagian tersebut implikasi hukumnya adalah:
a.       asal harta wakaf tidak bisa dibagi-bagi kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasilnya dapat dibagikan kepada mereka.
b.      Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.
Dalam suatu transaksi yang obyeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang pekarangannya ada pohon buah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjualbelikannya kepada orang lain.[22]
10.   Harta pokok dan harta hasil (buah)
Harta pokok:
ما يمكن ان ينشاَ عنه مال اخر
 harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain, atau dengan kata lain harta modal. misalnya bulu domba di hasilkan dari domba maka domba asal bulu itu disebut modal.
ما نشاء عن مال اخر
Dan bulu domba itu disebut sebagai harta hasil (buah). Atau dengan kata lain modalnya disebut harta pokok dan hasilnya disebut sebagai tsamarah.
11.   Harta khas (khusus) dan harta ‘am (umum)
Harta khas adalah harta pribadi, yang mana dalam pemilikannya tidak ada bagian milik orang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
Sedangkan harta ‘am harta milik umum (bersama) ialah harta yang boleh diambil manfaat oleh umum atau dengan kata lain harta bersama. Dalam harta yang seperti ini bukan dalam maksud harta yang dimiliki oleh khalayak umum pada umumnya atau benda yang belum ada yang punya.[23]
5.      Analisis
Dengan apa yang dijelaskan diatas dapat diambil sebuah penalaran dan kesimpulan bahwa pengertian harta seperti apa yang dikemukakan oleh para ahli diatas masih terdapat sebuah perbedaan pendapat tentang pengertian yang pasti tentang harta. Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hak dan manfaat. Karena manfaat adalah sebagai milik.
Perbedaan yang terdapat dianatara para ulama diatas dikarenakan penglihatan meraka dari segi pandang yang berbeda-beda. Untuk hal itu bisa dikarenakan karena unsur yang membangun pengertian harta. Menurut para Fuqaha harta berdasar pada dua sendi yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur yang pertama adalah unsur ‘aniyah mempunyai maksud bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’ayan). Jadi manfaat dari suatu harta bukan termasuk harta seperti contoh bahwa sebuah rumah adalah harta tetapi manfaat yang ada dari rumah bukan sebuah harta tetapi termasuk milik atau hak.
Unsur yang kedua yang membangun suatu harta adalah unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.





BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.      Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang berasal dari kata مَالَ - يَمِيْلُ - مَ يْلاَ yang berarti condong, cenderung, dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Harta (mal) adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan dengan tasharruf dengan jalan ikhtiyar.
2.      Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa dizaman yang sangat multikultural ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan.
3.      Diantara sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat dll.
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran, maka pemilik harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
3.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode keperiode berikutnya  (regenerasi). Karena sesuai dengan pesan Al-Qur’an, umat Islam hendaknya menciptakan generasi yang berkualitas (An-Nisa: 9).
4.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.      Untuk mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan sulit. Seseorang tidak akan dapat melanjutkan kejenjang perguruan tinggi bila dia tidak memiliki biaya.
6.      Harta merupakan sarana penggerak roda ekonomi. Ada orang kaya dan miskin yang keduanya saling membutuhkan dalam melangsungkan kehidupannya, sehingga akan tersusunlah kehidupan masyarakat yang seimbang dan harmonis.
7.      Untuk menumbuhkan interaksi antara individu karena adanya perbedaan dalam kebutuhan.
4.      Pembagian harta sebagai berikut :
1.      Mal Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
2.      Mal Mitsli dan mal Qimy
3.      Mal Istihlaki dan mal Isti’mali
4.      Mal ManquldanMal Ghairu Manqul
5.      ‘Ain dan Dain
6.      Mal mamluk, mubah dan mahjur
7.      Mal khasdan mal ‘am










DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi, FiqhMuamalah, Raja Grafindo: Jakarta, 2002
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Logung Pustaka: Yogyakarta, 2009
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, Teras: Yogyakarta, 2011
Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, PT Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah Membahas Hukum Pokok Dalam Interaksi Sosial-Ekonomi, PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009






[1] M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Logung Pustaka: Yogyakarta, 2009, hal. 18
[2] Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, PT Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009,  hal. 137-138
[3] Ibid, hal. 137
[4]Hendi Suhendi, FiqhMuamalah, Raja Grafindo: Jakarta, 2002,  hal. 38-39
[5]Ibid.,hal. 25
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah Membahas Hukum Pokok Dalam Interaksi Sosial-Ekonomi, PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009, hal.143-147
[7]Op Cit, hal. 28
[8]Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, Teras: Yogyakarta, 2011, hal.15
[9]Ibid, hal.19-20
[10]Ibid, hal. 22
[11] M. Yazid Afandi, Op.Cit. hal.20
[12] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Op.Cit. hal. 141
[13] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Loc.Cit. hal. 144
[14] Ibid. hal. 146
[15] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Op.Cit. hal.147
[16] M. Yazid Afandi, Op.Cit. hal. 23
[17] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Loc.Cit. hal.146-147
[18] M. Yazid Afandi, Op.Cit. hal.21-22
[19] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Op.Cit. hal.152-153
[20] M. Yazid Afandi, Op.Cit. hal.24-25
[21] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Op.Cit. hal.157
[22] M. Yazid Afandi, Op.Cit. hal.25-27
[23] Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Op.Cit. hal. 162-166

No comments:

Post a Comment