Harta
Kedudukan Fungsi Dan Pembagian Serta Akibat Hukumnya
Disusun
Guna memenuhi Tugas :
Fiqih
II ( Muamalah )
Dosen
Pengampu: Zaenal Arifin, M.Si.
Disusun
oleh :
AinunNajib : 112165
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH (PAI)
TAHUN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Harta dalam bahasa Arab
disebut al-amaal yang berasal dari kata مَالَ - يَمِيْلُ - مَ يْلاَ yang berarti condong, cenderung,
dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki,
dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Dalam mua’malah
tidak hanya membahas apa yang telah menjadi ketetapan dalam arti mu’amalah yang
secara luas atau dengan kata lain yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
timbal balik. Tetapi dalam perkembagan yang ada terjadi suatu hal yan harus
diketahui juga yang berhubungan mengenai mu’amalah yaitu adalah tentang ketarangn
dan tata aturan tentang peredaran dan pemanfaatan harta.
Karena dalam
hal ini harta adalah salah satu aspek terpenting yang dapat menunjang
berlangsungnya kegiatan mu’amalah. Harta adalah sebuah kajian yang sangat
penting karena juga melihat bahwa harta yang ada adalah sebagai landasan picu
dalam berinteraksi. Dan segala hal yang dapat disimpan dan dapat bertahan lama
dapat di sebut sebagai harta.
Maka dari
sebuah hal yang mendasari dasar bagian ini maka kami akan membahas beberapa hal
mengenai kedudukan harta, fungsi, dan pembagiaan harta beserta hal ikhwalnya,
untuk lebih jelasnya kami akan membahasnya berikut ini dalam pembahasan.
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa Pengertian Harta ?
2.
Bagaimana Kedudukan Harta ?
3.
Bagaimana Fungsi Harta ?
4.
Bagaimana Pembagian Harta Serta Akibat Hukumnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Harta
Secara etimologi harta dalam bahasa Arab yaitu المال yang asal katanya مال- بميل- ميلا yang berarti
condong, cenderung, atau berpaling dari tengah kesalah satu sisi. Harta
diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara,
baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat.
Sementara itu, Jumhur Ulama’; harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan
dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau yang melenyapkan.[1]
Berdasarkan
terminologi ialah:
المال هو ما
يميل اليه طبع الإنسان إدخاره الى وقة الحاجة
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia
dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari
golongan Hanafi)
Golongan Hanafiyah
mengaitkan definisi mal. Manfaat, menurut mereka masuk golongan milik, tidak
masuk dengan golongan mal. Mereka membedakan antara mal dengan milik.
Milik adalah suatu yang dapat kita bertasarruf padanya secara ikthishash, tidak
dicampuri orang lain. karenanya manfaat masuk ke dalam bagian milik. sedangkan mal,
ialah segala yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan diwaktu diperlukan.
Harta adalah sesuatu yang dapat disimpan dan
dapat digunakan ketika dibutuhkan, dan dalam hal ini harta sebagai suatu hal
yang berwujud (a’yan). Sedangkan harta menurut sebagian ulama ialah :
“sesutau yang diinginkan manusia berdasarkan
tabiatnya, baik manusia itu akan memebrikannya atau akan menyimpannya.”
Dari hal ini diketahui
bahwa suatu hal yang diinginkan oleh manusia berdasar naluri tabiat
kemanusiaannya baik akan disimpan maupun akan dipergunakannya atau
memberikannya. Sehingga dapat diketahui bahwa sebagian ulama
berpandangan bahwa harta adalah sebagai suatu hal yang ingin dimiliki oleh
manusia berdasarkan naluri tabiat kemanusiannya. Dan menurut sebagian
ulama yang lain bahwa yang di maksud harta adalah :
“segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat
materi yang berputar di antara manusia”.
Dengan pengertian ulama yang lain di atas dapat
diambil sebuah ketetapan lain tentang pengertian harta adalah sebagai zat yang
bersifat materi yang berputar dikalangan atau disekitar manusia dan dalam
putarannya diiringi dengan sebuah interaksi. Materi yang dimaksud disini adalah
sebagai materi yang bernilai dan mempunyia sifat yang dapat diputarkan diantara
manusia.
Dari sekumpulan takrif
yang telah dikemukakan oleh para fuqaha, dapatlah kita ambil kesimpulannya yaitu :
1)
Harta (mal) adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk
kemaslahatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan
dengan tasharruf dengan jalan ikhtiyar.
Demikian dikemukakan oleh kitab Al Bahrur Raiq.
2)
Benda yang dijadikan harta itu, dapat dijadikan harta oleh umum manusia atau
oleh sebagian mereka.
Demikian diterangkan oleh kitab Raddul Muhtar.
3)
Sesuatu yang tidak dipandang harta, tidak sah kita menjualnya.
4)
Sesuatu yang dimubahkannya walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji
beras, sebiji beras tidak dipandangi harta walaupun dia boleh dimiliki.
Demikian diterangkan oleh kitab Raddul Muhtar.
5)
Harta itu wajib mempunyai wujud. Karenanya manfaat tidak masuk ke dalam
bagian harta, karena tidak mempunyai wujud.
6)
Benda yang dapat dijadikan harta, dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau
untuk waktu yang lama dan dipergunakan di waktu dia dibutuhkan
Dengan ringkas para fuqaha
Hanafiyah menetapkan bahwa dipandang harta hanyalah sesuatu yang bersifat
benda, yang dikatakan a’yan.[2]
2.
Kedudukan Harta
Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui
dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat
penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta.
Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti
bahwa dizaman yang sangat multikultural ini sebuah harta mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan. Dijelaskan dalam
al-qur’an bahwa harta merupakan perhiasan hidup, hal ini seperti pada firman
Allah
المالُ وَالبَنُوْنَ زِيْنَةُ الحَيَاةِ
الدُنْيَا.
“Harta dan
anak-anak itu merupakan perhiasan kehidupan dunia”. (QS. Al-Kahfi:
46)
Pada ayat itu
diterangkan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama
dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi salah satu
kebutuhan yang mendasar bagi manusia adalah sebuah harta.
Berkenaan dengan harta didalam
al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas
ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta[3]:
1.
Perkara-perkara yang merendahkan
martabat dan akhlak manusia
2.
Perkara-perkara yang merugikan hak
perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa
perdagangan yang memakai bunga.
3.
Penimbunan harta dengan jalan kikir
4.
Aktivitas yang merupakan pemborosan
5.
Memproduksi, memeperdagangkan, dan
mengkonsumsi barang-barang terlarang seperti narkotika dan minuman keras.
3.
Fungsi Harta
Diantara
sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
1. Berfungsi untuk
menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk
ibadah memerlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan
shalat dll.
2. Untuk
meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung
mendekatkan diri kepada kekufuran, maka pemilik harta dimaksudkan untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
3. Untuk
meneruskan kehidupan dari satu periode keperiode berikutnya (regenerasi). Karena sesuai dengan pesan
Al-Qur’an, umat Islam hendaknya menciptakan generasi yang berkualitas (An-Nisa:
9).
4. Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5. Untuk
mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan sulit. Seseorang
tidak akan dapat melanjutkan kejenjang perguruan tinggi bila dia tidak memiliki
biaya.
6. Harta merupakan
sarana penggerak roda ekonomi. Ada orang kaya dan miskin yang keduanya saling membutuhkan
dalam melangsungkan kehidupannya, sehingga akan tersusunlah kehidupan masyarakat
yang seimbang dan harmonis.
4.
Pembagian serta
akibat hukumnya
1)
Mal Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
Menurut Wahbah
Zuhaili al-mal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh
manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara’ untuk
memanfaatkannya.Seperti; makanan, pakaian, kebun apel dll.
Al mal ghairu
al-mutaqawwim adalah harta
yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut
belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia.Seperti; mutiara di
dasar lautan, minyak di perut bumi dll.[5]
2)
Mal Mitsli dan mal Qimy
Al-mal
al-mitsli adalah harta
yang jenisnya mudah didapat di pasaran (secara persis tanpa adanya perbedaan
atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya). Harta mitsli dapat
dikategorikan menjadi 4 bagian;
1. Mauzunat (benda-benda yang dapat ditimbang). Seperti; kapas, besi, tembaga.
2. Makilat (benda-benda yang dapat ditukar
atauditakar). Seperti; gandum, beras, terigu.
3. Madzur’at( barang-barang yang diukur). Seperti; kain.
4. Addiyat (benda-benda yang bisa dihitung).Seperti; pisang, telur, apel.
Al-mal al-qimy adalah
harta yang jenisnya sulit di dapatkan di pasaran, atau bisa di dapati tapi jenisnya
lain (tidak persis) kecuali dalam nilai harganya. Seperti; domba, tanah, kayu dll.
3)
Mal Istihlaki dan
mal Isti’mali
Al-mal
istihlaki adalah sesuatu
yang tak dapat diambil manfaat dan kegunaannya secara biasa, melainkan dengan menghabiskannya.Dengan
kata lain, benda yang dengan sekali kita memakainya, habislah dia. Seperti;
makanan, minuman, kayu api, BBM dll.
Isti’maili adalah sesuatu yang dimanfaatkan dengan memakainya berulang-ulang
kali dalam materinya tetap berpelihara.Dengan kata lain, tidaklah habis atau binasa
dengan sekali pakai, tetapi dapat dipakai lama menurut tabiatnya masing-masing.
Seperti; perkebunan, pakaian, rumah, tempat tidur dll.[6]
4)
Mal ManquldanMal
Ghairu Manqul
Al-mal manqul adalah segala harta yang boleh diangkut (dipindahkan) dan dibawanya
dari suatu tempat ketempat yang lain. Seperti; uang, harta perdagangan dll.
Al-mal ghairu manqul
(‘iqar) adalah sebaliknya,
sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari suatu tempat ketempat yang
lain. Seperti; tanah, rumah dll.[7]
5)
‘Ain dan Dain
Al-mal al-‘Ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, mobil, pakaian dll.Harta
‘ain dibagi atas 2:
1.
harta‘ain dzatiqimah, yaitu benda yang memiliki bentuk yang
dipandang sebagai harta, karena memiliki nilai yang dipandang sebagai harta
2.
harta‘ain ghoir dzatiqimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang
sebagai harta, seperti sebiji beras atau tepung.
Al-mal al-dain adalah
sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.[8]
6)
Mal mamluk, mubah dan mahjur
Mal mamluk adalah sesuatu yang masuk dibawah kepemilikan, baik milik perorangan
maupun milik badan hukum, seperti pemerintah atau yayasan.
Mal mubah adalah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air
di mata air, binatang buruan di darat, di laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya.
Mal mahjur adalah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada
orang lain menurut syari’ ahad akalanya benda tersebut berupa benda wakaf atau benda
yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid, kuburan dll.[9]
7)
Mal khasdan mal ‘am
Mal khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan yang lain. Harta ini
tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak atau
seizing pemiliknya.
Mal’am adalah harta milik umum atau milik bersama, semua orang boleh mengambil
manfaatnya sesuai dengan ketepatan yang telah disepakati bersama oleh umum atau
penguasa.[10]
Dalam pandangan syar’i keberadaan harta yang ada ditangan manusia tidak
serta merta dapat dikonsumsi. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu dari
berbagai aspek. Untuk itulah muncul teori tentang pembagian harta yang dilihat
dari berbagai macam aspeknya. Pembagian ini berimplikasi pada halal dan
haramnya manusia menguasai, mengkonsumsi dan mentasarufkannya. Dapat disebutkan
bahwa pembagian harta dalam fiqh muamalah bukan hanya sebatas
mengategorisasikannya, namun juga sebagai landasan bagi halal dan haramnya
harta dikonsumsi, dikuasai dan ditasarufkan. lebih jelasnya dapat dilihat
sebagai berikut:[11]
1. Macam-macam harta berdasarkan kebolehan memanfaatkan:
a. Mal Mutaqawwim yaitu
harta yang memiliki manfaat/nilai baik secara ekonomis maupun syar’i.
مايباح الانتفاع به شرعا
“Yang dibolehkan kita memanfaatinya”
b. Mal Ghairu Mutaqwwim yaitu harta yang tidak
memiliki nilai secara syar’i meskipun mungkin secara ekonomis memiliki nilai.
ما لا يباح الانتفاع به شرعا
“Yang tidak dibolehkan kita memanfaatinya”[12]
Pembagian harta seperti
diatas mengakibatkan:
a. Tidak dibolehkan umat Islam menjadikan harta Ghairu Mutaqwwim sebagai
obyek transaksi. Olehkarena itu, umat islam mengenal istilah haram mengonsumsi
harta-harta tertentu yang tidak diizinkan oleh syara’ untuk dikonsumsi. Itulah
harta ghairu Mutaqwwim.
b. Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi (sanksi pidana) apabila mereka
merusak atau melenyapkan harta ghairu Mutaqwwim. Alasan yang mendasari
prinsip ini adalah bahwa harta ghairu Mutaqwwim dipandang bukan sebagai
harta. sehingga keberadaannya tidak dianggap sebagai sesuatu yang ada. Ini
berlaku harta ghairu Mutaqwwim berada ditangan orang muslim.
c. Jika harta ghairu Mutaqwwim berada ditangan orang kafir, dan
dilenyapkan oleh orang muslim, ulama’ berpendapat:
1.
Jumhur Ulama’; berpendapat
bahwa ia tetap tidak bernilai harta (ghairu Mutaqwwim), sehingga umat Islam
yang melenyapkan harta tersebut tidak dituntut ganti rugi, karena ia bukan
harta.
2.
Ulama’ Madzhab hanafi;
berpendapat bahwa harta tersebut Mutaqwwim bagi kafir dzimmi, sehingga umat
Islam yang melenyapkan tetap dituntut ganti rugi.
2.
Berdasarkan ada dan tidaknya di pasaran:
a.
Harta al-mitsli; harta
yang jenisnya mudah dipasar (secara persis).[13] harta
ini bisa ditimbang, dihitung atau ditakar seperti gandum, kedelai, beras, dll.
Barang mitsli dapat dihinggakan.
Barang-barang Qimi yang
dibatasi dalam beberapa macam, karena macamnya banyak. Adapun barang-barang
mitsli, semuanya tunduk kepada beberapa keadaan:
1.
Ukuran
2.
Timbangan
3.
Jumlah untuk menentukan
harganya.[14]
b.
Harta al-Qimi; harta
yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau ada jenisnya tetapi pada setiap
satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan pepohonan, logam mulia, dan
alat-alat rumah tangga.
Jenis harta di atas
berimplikasi pada:
a.
Dalam harta yang bersifat al-Qimi,
tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama. Namun,
terhadap transaksi yang menjurus pada riba
b.
Dalam suatu perserikatan
bersifat al-mitsli, seorang mitra berserikat boleh mengambil bagiannya
ketika mitra daganya tidak di tempat. Akan tetapi, perserikatan dalam harta
yang bersifat al-Qimi masing-masing pihak tidak boleh mengambil
bagiannya selama pihak lainnya tidak berada di tempat.
Apabila harta yang bersifat al-mitsli dirusak seseorang dengan
sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis. Apabila yang rusak adalah
harta yang bersifat al-Qimi, maka ganti rugi yang harus dibayar adalah
dengan memperhitungkan nilainya.
3.
Berdasarkan segi pemanfaatannya, harta dibagi atas:
a.
Harta Isti’mali
ما يتحقق الانتفاع باستعماله مرارا مع بقاء عينه
“Sesuatu yang dimanfaatkan dengan memakainya
berulang-ulang kali dalam materi tetap berpelihara”[15]
ialah harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut.
manfaatnya dapat diambil dan bendanya masih tetap utuh. (contoh; rumah, lahan
pertanian, buku, dll)[16]
b.
Harta Istihlaki
مايكون الانتفاع به بخصائصه بحسب المعتاد لايتحقق الا باستهلاكه
“Sesuatu
yang tak dapat diambil manfaat dan kegunaannya secara biasa, melainkan dengan
menghabiskan”
Dimaksudkan dengan istihlaki,
ialah “benda yang dengan sekali kita memakainya, habislah dia” (contoh
makanan, sabun, korek api, dll). Harta yang seperti ini dibagi menjadi dua
bagian yaitu :harta istihlaki haqiqi dan istihlaki huquqi. Harta istihlaki
haqiqi adalah harta yang sudah dimanfaatkan kegunaannya dan sudah jelas
habis wujudnya. Dengan artian bahwa harta yang seperti ini
dalam pemanfaatannya habis langsung dan tidak membekas.
Sedangkan istihlaki huquqi adalah harta yang habis ketika digunakan
tetapi wujud dari baarang itu masih atau dengan kata lain hanya berpindah
kepemilikan. seperti mata uang kertas. keluarnya mata uang dari tangan, untuk
membayar hutang umpamanya, dipandang istihlak, dari segi hukum walaupun
bendanya masih utuh.[17]
4.
Pembagian Harta berdasarkan jenisnya:
a.
harta bergerak (al-mal
al-manqul) ialah harta yang dapat dipindahkan pemiliknya dari satu tempat
ke tempat lain. Misalnya mobil, motor, uang, dll
b.
Harta tidak bergerak (al-mal
ghairu manqul) ialah harta yang tidak bisa dipindahkan olehpemiliknya dari
satu tempat ke tempat lain. misalnya tanah, bangunan, pabrik, dll
Pembagian harta dengan jenis diatas berimplikasi pada:
a.
Adanya hak syuf’ah (hak
istimewa yang dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual,
agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya) bagi harta yang tidak
bergerak.
b.
Harta yang buleh
diwakafkan; menurut Hanafi, harta yang boleh diwakafkan hanyalah yang tidak
bergerak atau harta bergerak yang sulit dipisahkan dengan harta yang tidak
bergerak.
c.
Seorang yang diwasiyati
untuk memelihara harta anak kecil, tidak boleh menjual harta tidak bergerak si
anak, kecuali atas seizin hakim dalam hal yang amat mendesak (contoh untuk
membayar hutang si anak). Sedangkan terhadap harta yang dapat bergerak boleh
menjualnya untuk kebutuhan sehari-hari.
d.
menurut Imam Abu Hanifah
dan Abu Yusuf, ghasab tidak mungkin dilakukan pada harta tidak bergerak,
karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan, sedangkan menurut mereka syarat
ghasab adalah barang yang dighasab dapat dikuasai dan dipindahkan oleh orang
yang meng-ghasab, disamping itu sekedar memanfaatkan benda tidak bergerak
dinamakan ghasab, sebab manfaat tidak termasuk harta, akan tetapi jumhur Ulama’
berpendapat ghasab bisa terjadi pada benda bergerak maupun benda tidak
bergerak, sebab manfaat disebut juga harta. orang yang menempati rumah tanpa
seizin pemiliknya termasuk ghasab.[18]
5.
‘Ain dan Dain
‘Ain ialah: “sesuatu yang berbentuk benda, seperti: rumah,
kuda, karung beras, dan sebagainya”. Semuanya ini dikatakan ‘ain. ‘Ain terbagi
menjadi dua:
a.
‘Ain dzat qimatin dan sesuatu yang berbentuk benda yang dapat menjadi harta, dapat dipandang
sebgai harta
b.
‘Ain ghairu dzat qimatin, sesuatu yang berbentuk benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta.
Seperti beras.
Dain adalah harta yang berada dalam tanggung jawab
seseorang atau harta yang di hutang orang lain. Sehingga harta yang dipinjam
itu beralih tanggung jawab kepada orang lain atau pihak penghutang. Dalam pandangan fiqh Islam pada asalnya, dipandang dari segi keharusan si
multazim membayarnya. Yakni dipandang dari segi yang punya hutang. terkadang
juga lafadz dain untuk menerangkan hak si multazim lahu. Yakni dipakai untuk
kedua belah pihak.
6.
Mal ‘aini dan mal naf’i (manfaat)
a.
Mal al-‘ain
ialah benda yang memiliki nilai dan berwujud. Hal yang ini mempunyai pengertian
bahwa benda yang mempunyai nilai dan benda itu juga mempunyai wujud maka hal
itu bisa disebut dengan harta.
b.
Harta nafi’ a’radl
yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan ,masa, oleh karena itu
mal al-na’I tidak berwujud dan tidak disimpan.[19]
7.
Berdasarkan status harta;
a.
Al-mal al-mamluk; adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hukum
(seperti orgnanisasi, negara, dll).[20]
Al-mal al-mamluk terbagi
menjadi dua macam:
·
Mal Mustaqil (mutamayyiz), tidak diperkongsiksn dan
b.
Al-mal al-mubah; harta tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di hutan
blantara, air, ikan dalam lautan dll. harta seperti ini boleh dimanfaatkan oleh
seseorang dengan syarat memenuhi peraturan negara yang telah disepakati dan
tidak merusak kelestarian lingkungan.
c.
Al-mal al mahjur adalah harta yang dilarang syara’ untuk dikuasai individu, baik karna harta
itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum. seseorang tidak boleh
menguasai harta tersebut meskipun diperbolehkan merasakan manfaatnya.
8.
Berdasarkan bisa dibagi atau tidaknya:
a.
Harta “bisa dibagi”, ialah
harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak rusak atau manfaatnya
tidak hilang.
b.
Harta “tidak bisa dibagi”,
ialah apabila harta tersebut dibagi akan rusak atau hilang manfaatnya.
Berdasarkan pembagian di
atas maka:
a.
terhadap harta yang bisa
dibagi, bisa dilakukan eksekusi putusan hakim untuk membaginya. Adapun terhadap
harta yang tidak bisa dibagi keputusan hakim tidak bisa memaksa untuk membagi
harta tersebut, tetapi harus dilakukan eksekusi berdasarkan kerelaan
masing-masing pihak.
b.
Apabila seseorang
mengeluarkanbiaya untuk memelihara harta serikat tanpa seizin mitranya dan
tanpa seizin hakim, sedangkan harta serikat itu termasuk harta yang bisa
dibagi, maka ia tidakbisa nuntut ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan kepada
mitranya, karena harta yang dikeluarkan tersebut dianggap sedekah. Namun apabila
tntutan ganti rugi atas biaya pemeliharaan harta yang telah dikeluarkan satu
pihak, dapat diajukan kepada pihak lain.
9.
Berdasarkan segi perkembangan tidaknya, harta dibagi menjadi:
a.
Al-mal al-ashl; jenis harta yang merupakan pokok bagi kemungkinan harta lain, seperti pohon
yang menghasilkan buah, rumah yang dapat disewakan, tanah yang bisa
menghasilkan jika ditanami, dll.
b.
Al-mal at-tsamr, ialah buah yang dihasilkan dari suatu harta hasil sewa rumah, buah-buahan
dari pohon tertentu, hasil panenan, dll
Pembagian tersebut implikasi hukumnya adalah:
a.
asal harta wakaf tidak
bisa dibagi-bagi kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasilnya
dapat dibagikan kepada mereka.
b.
Harta yang diperuntukkan
bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa
dimiliki siapapun.
Dalam suatu transaksi yang
obyeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya.
Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang pekarangannya ada pohon
buah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh
memperjualbelikannya kepada orang lain.[22]
10.
Harta pokok dan
harta hasil (buah)
Harta pokok:
ما يمكن ان ينشاَ عنه مال
اخر
harta yang mungkin darinya terjadi harta yang
lain, atau dengan kata lain harta modal. misalnya bulu domba di hasilkan dari
domba maka domba asal bulu itu disebut modal.
ما نشاء عن مال اخر
Dan bulu domba itu disebut
sebagai harta hasil (buah). Atau dengan kata lain modalnya disebut harta pokok
dan hasilnya disebut sebagai tsamarah.
11.
Harta khas (khusus) dan harta ‘am (umum)
Harta khas adalah harta
pribadi, yang mana dalam pemilikannya tidak ada bagian milik orang lain, tidak
boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
Sedangkan harta ‘am harta milik umum (bersama)
ialah harta yang boleh diambil manfaat oleh umum atau dengan kata lain harta
bersama. Dalam harta yang seperti ini bukan dalam maksud harta yang dimiliki
oleh khalayak umum pada umumnya atau benda yang belum ada yang punya.[23]
5. Analisis
Dengan apa yang dijelaskan diatas dapat diambil sebuah
penalaran dan kesimpulan bahwa pengertian harta seperti apa
yang dikemukakan oleh para ahli diatas masih terdapat sebuah perbedaan pendapat
tentang pengertian yang pasti tentang harta. Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa
harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan sehingga sesuatu yang
tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hak dan
manfaat. Karena manfaat adalah sebagai milik.
Perbedaan yang terdapat dianatara para ulama
diatas dikarenakan penglihatan meraka dari segi pandang yang berbeda-beda.
Untuk hal itu bisa dikarenakan karena unsur yang membangun pengertian harta.
Menurut para Fuqaha harta berdasar pada dua sendi yaitu unsur ‘aniyah dan
unsur ‘urf. Unsur yang pertama adalah unsur ‘aniyah mempunyai
maksud bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’ayan). Jadi
manfaat dari suatu harta bukan termasuk harta seperti contoh bahwa sebuah rumah
adalah harta tetapi manfaat yang ada dari rumah bukan sebuah harta tetapi
termasuk milik atau hak.
Unsur yang kedua yang membangun suatu harta adalah unsur ‘urf
ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau
sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan
manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1. Harta dalam bahasa Arab disebut al-amaal yang
berasal dari kata مَالَ - يَمِيْلُ - مَ يْلاَ yang berarti condong, cenderung,
dan miring.Harta menurut syariat: segala sesuatu yang bernilai, bisa dimiliki,
dikuasai, dimanfaatkan yang menurut syariat yang berupa (benda dan manfaatnya).
Harta (mal) adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk
kemaslahatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan
dengan tasharruf dengan jalan ikhtiyar.
2. Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui
dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting
sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena
harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa
dizaman yang sangat multikultural ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang
sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan.
3. Diantara sekian
banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
1.
Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah),
sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam
pelaksanaan shalat dll.
2.
Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah, sebab
kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran, maka pemilik harta
dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
3.
Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode keperiode
berikutnya (regenerasi). Karena sesuai
dengan pesan Al-Qur’an, umat Islam hendaknya menciptakan generasi yang
berkualitas (An-Nisa: 9).
4.
Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan
akhirat.
5.
Untuk mengembangkan ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan
sulit. Seseorang tidak akan dapat melanjutkan kejenjang perguruan tinggi bila
dia tidak memiliki biaya.
6.
Harta merupakan sarana penggerak roda ekonomi. Ada orang kaya dan
miskin yang keduanya saling membutuhkan dalam melangsungkan kehidupannya,
sehingga akan tersusunlah kehidupan masyarakat yang seimbang dan harmonis.
7.
Untuk menumbuhkan interaksi antara individu karena adanya perbedaan
dalam kebutuhan.
4.
Pembagian harta sebagai berikut :
1.
Mal Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
2.
Mal Mitsli dan mal Qimy
3.
Mal Istihlaki dan
mal Isti’mali
4.
Mal ManquldanMal
Ghairu Manqul
5.
‘Ain dan Dain
6.
Mal mamluk, mubah dan mahjur
7.
Mal khasdan mal ‘am
DAFTAR PUSTAKA
Hendi
Suhendi, FiqhMuamalah, Raja Grafindo: Jakarta, 2002
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Logung Pustaka:
Yogyakarta, 2009
Qomarul
Huda, Fiqh Muamalah, Teras: Yogyakarta, 2011
Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Muamalah, PT Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah Membahas Hukum Pokok Dalam Interaksi Sosial-Ekonomi, PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009
[2] Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, PT
Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009,
hal. 137-138
[3] Ibid,
hal. 137
[4]Hendi
Suhendi, FiqhMuamalah, Raja Grafindo: Jakarta, 2002, hal. 38-39
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah Membahas Hukum Pokok Dalam Interaksi Sosial-Ekonomi, PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2009, hal.143-147
[8]Qomarul
Huda, Fiqh Muamalah, Teras: Yogyakarta, 2011, hal.15
No comments:
Post a Comment