A. PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang
sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun
pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak
diperbolahkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai di buka kembali. Karena tidak bisa di pungkiri, adalah suatu keharusan untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang banyak ditemui perbedaa-perbedaan madzhab dalam hokum Islam
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti
Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas
dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya utuk
menemukan hokum yang terbaik. Justru dengan ijtihad Islam, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat mengambil permasalahan
sebagai berikut yaitu:
1. Bagaimana definisi, ruang lingkup dan dasar hukum Ijtihad
?
2. Berapa macam-macam
Ijtihad dan syarat Ijtihad ?
3. Bagaimana tingkat
kekuatan Ijtihad dan tingkatan-tingkatan dalam Ijtihad?
4. Bagaimana
perkembangan Ijtihad ?
C. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN DASAR HUKUM IJTIHAD
a. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti:
بَدْلُ الْوُسْعِ فِيْمَا فِيْهِ كُلْفَةٌ
“ Mengerahkan kemampuan
untuk sesuatu yang sulit”
Sedangkan Ijtihad menurut istilah mempunyai
pengertian:
بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْمُجْتَهِدِ مَجْهُوْدَهُ فِى نَيْلِ الْغَرَضِ
الْمَقْصُوْدِ مِنَ الْعِلْمِ
“Mengerahkan
segenap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
yang ahli fiqh, untuk memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.[1]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual
untuk memperoleh hukum syara’ dari dalilnya.
Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk
mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan)
adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan
dengan teks undang-undang maupun dengan mengistinbatkan hukum yang wajib
ditetapkan ketika ada nash.[2]
Pelestarian “pohon”
fiqih dengan akar syari’at tidaklah mungkin dapat dilakukan selama disana tidak
ada ijtihad yang sistematis dan terus menerus, yakni sebuah ijtihad yang mampu
mengendalikan berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr.
Wahbah al-Zuhayli (syria), ijtihad itu menghidupkan syariat. Syariat tidak akan
bisa bertahan selama fiqih ijtihad tidak hidup dan elastis, memiliki daya kerja
dan daya gerak.[3]
b.
Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam memberi
batasan-batasan bagi ruang lingkup ijtihad, Al-Amidi mengatakan: “…bidang yang
dapat diijtihadi adalah hokum-hukum syara’ yang dalilnya zhanni…
وأمّا ما فيه الاءجتهاد فما كان من الأحكام
الشّرعيّة دليله ظنّى
Ungkapan
“hokum-hukum syara’ “kami maksudkan untuk membedakannya dari hokum-hukm yang
dalilnya bersifat qath’I (pasti), seperti ibadat yang lima seumpamanya. Ibadat
yang lima ini bukanlah merupakan bidang berijtihad, karena orang yang keliru
dalam bidang ini dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu
adalah masalah di mana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa.
Masalah ke-dua:
peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam
nash. berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan
panggilan hokum-hukum bagi peristiwa-peristiwa hokum baru pada saat tidak
terdapatnya nash. hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda
yang telah dipancangkan sebagai petunjuk bagi hokum, seperti qiyas atau
istihlah.[4]
Dalam buku
“Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof.Abdul Wahhab Khallaf” ada dua lapangan ijtihad
yaitu:
1. Sesuatu yang
tidak ada nashnya sama sekali.
2.
Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada
nashnya yang bersifat qath’i.[5]
Ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1.
Bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak
menggambarkan adanya orang alim sebagai mujtahid, dalam hokum talak, dan
mujtahid yang lain dalam hokum jual beli. Atau mujtahid dalam hokum menjatuhkan
sanksi hukuman. Mujtahid adalah seorang yang ahli dan teguh pendirian.
2.
Mujtahid itu mendapat pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad
itu mendapat dua pahala. Satu, pahala untuk ijtihadnya, dan satu lagi kalau
ijtihadnya itu benar. Kalau ijtihadnya itu salah, masih mendapat satu pahala.
3.
Ijtihad itu tidak boleh dibatalkan. Kalau mujtahid itu berijtihad
untuk suatu masalah dan di dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman dengan hokum
yang dijalankan kea arah itu oleh ijtihadnya. Sudah itu dikemukakan pula
kepadanya gambaran dari peristiwa ini lantas dia melakukan ijtihad kepada hokum
lain, di sini dia tidak diperbolehkan membatalkan hukumnya yang lalu.[6]
c.
Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu
masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran.[7]
Ulama membagi hukum Ijtihad menjadi
tiga macam:
1. Wajib Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu
peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa
tersebut dialami sendiri oleh seseorang
dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu
peristiwa yang hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3. Sunnah, ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum
terjadi, baik ditanya maupun tidak.
4. Haram, ijtihad haram pada
perkara yang telah ditunjukkan oleh nash atau yang telah ditetapkan oleh ijma’
sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh berijtihad didalam masalah-masalah itu
seperti di dalam masalah akidah dan ibadah yang telah dinashkan dan disepakati oleh
umat.[8]
2.
Macam-Macam dan Syarat Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu
ijtihad fardi dan ijtihad jam’i.
1. Ijtihad fardi:
اَلْاجْتِهَادُ الْفَرْدِيُّ هُوَ كُلُّ اجْتِهَادٍ وَلَمْ
يَثْبُتْ اِتّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ فِيْهِ عَلَى رَأْيٍ فِى الْمَسْئَلَةِ.
Artinya:
“Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan
atau beberapa orang namun tak ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain
menyetujuinya dalam suatu perkara”.
2. Ijtihad Jami’i:
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibedakan
menjadi 4 macam:
1. Mujtahid
Mutlak: Seorang
mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan seluruh waktunya untuk meneliti
secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan dhonn
atau dugaan hukum.[10]
Orang-orang yang melakukan ijtihad langsung
secara keseluruhan dari Al-Quran dan Hadits, dan sering kali mendirikan madzhab
sendiri seperti halnya para sahabat dan imam yang empat, yaitu Syafi’i,
Hambali, Hanafi, dan Maliki.[11]
2. Mujtahid
Madzhab: orang yang
mempunyai kemampuan mengetahui kaidah-kaidahnya imam madzhab, kemudian ia bisa
menggali pendapat yang melebihi pendapat imamnya dari sebuah dalil. Seperti
Imam Buwaithi.[12]
Para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan
tidak membentuk madzhab tersendiri, tetapi dalam beberapa hal, dalam berijtihad
mereka berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya, Imam Syafi’i tidak mengikuti
pendapat gurunya Imam Malik dalam beberapa masalah.[13]
3. Mujtahid Fatwa:
orang yang sangat mendalam pengetahuannya
tentang madzhab Imam-nya, sehingga bisa mentarjih salah satu diantara dua qoul,
ketika dua qoul tersebut dimutlak-kan oleh Sang Imam.
Para ulama yang sudah mencapai derajat sebagai
mujtahid fatwa ihi, seperti; Imam Ar-Rofi’i dan Imam An-Nawawi.mereka ini
mempunyai otoritas (sewenang) untuk menyeleksi mana yang lebih kuat diantara
qoul-qoulnya Asy-Syafi’i, sebab Imam As-Syafi’i sendiri sering kali
mengeluarkan beberapa qoul yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lainya.
Para mujtahid
diatas, baik mujtahid mutlak, Mujtahid madzhab maupun mujtahid fatwa, apabila
hasil ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah akan
mendapatkan satu pahala.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah saw bersabda:
منِ اجتهدَ واصابَ فلهُ اجرانِ ومن اجتهدَ واخْطأَ فلهُ اجرٌ واحدٌ .
“Barang
siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya benar maka akan memperoleh dua
pahala. Dan barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya keliru maka
akan mendapatkan satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Para mujtahid
yang mendapatkan pahala adalah mereka yang benar-benar punya keahlian
dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Untuk mereka yang tidak
punya keahlian untuk melakukan ijtihad, maka harus taqlid atau mengikuti
pendapat yang telah ditetapkan oleh para Imam Madzhab. Dan apabila mereka
memaksakan diri untuk melakukan ijtihad, maka sama sekali tidak mendapatkan
pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan kecerobohannya. [14]
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad
adalah sebagai berikut:
1. Benar-benar Muslim, beriman kepada Allah dan
sifat-sifat-Nya; beriman kepada Rasul-Nya dan manaatinya.[15]
2. Menguasai bahasa Arab, cara-cara dalalah,
susunan kalimatnya dan satuan-satuan katanya
3. Mempunyai pengetahuan
mengenai Al-Qur’an. Haruslah mengetahui hokum-hukum syar’iyyah yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan ayat-ayat yang menyebutkan hokum-hukum tersebut, serta
cara-cara mengambil, memetik hokum itu dari ayat-ayatnya
4. Mengetahui tentang sunnah. Yaitu, ia harus mengetahui
hokum-hukum syara’ yang disebut sunnah Nabi., sekiranya ia mampu menghadiran
sunnah yang menyebutkan hokum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf,
mengetahui peringkat sanad sunnah tersebut, dari segi kesahihannya, atau
kedhaifannya dalam periwayatan.
5. Mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya ia
megetahui tentang illat, dan hikmahpembentukan hokum yang karenanya hokum
disyari’atkan, menegnai jalur-jalur yang dipersiapkan oleh syari’ untuk
mengetahui illat hukumnya. Ia juga harus mengetahui berbagai hal ihwal manusia
dan muamalah mereka, sehingga ia dapat mengetahui sesuatu kasus yang tidak ada
nashnya yang terbukti illat hukumnya.[16]
6. Mengetahui
kesepakatan-kesepakatan para ulama, baik di dalam masalah pokok-pokok syariat
seperti ijma’ tentang wajibnya shalat, dll.
7. Memahami istinbath
hukum dari dalil-dalil yang ada melalui metode yang tercakup dalam ilmu
ushul fiqih.
8. Memahami tujuan-tujuan syariat. Ini merupakan
salah satu syarat yang terpenting bagi
seorang mujtahid. Sebab syariat datang sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah.[17]
3.
Tingkat Kekuatan Ijtihad dan
Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.
a.
Tingkat Kekuatan Ijtihad
Seorang
ahli fiqih yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan
kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’. Ijtihad ada dua
tingkatan:
1. Ijtihad Darakil
Ahkam (menghasilkan
hukum yang belum ada)
b.
Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Ijtihad itu terdiri
dari beberapa tingkatan:
1.
Ijtihad mutlaq
2.
Ijtihad dalam satu madzhab
3.
Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4.
Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam
ilmu.
Para mujtahid demikian
pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkat ijtihadnya.
a.
Ijtihad yang berdiri sendiri.
b.
Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.
Mujtahid yang
berdiri sendiri ialah orang yang mandiri dalam mengetahui ketentuan-ketentuan
hokum syari’at yang bersifat furu’, dari dalildalil tanpa bertaqlid atau
terikat dengan madzhab tertentu. Diantar mujtahid-mujtahid mutlaq tersebut
adalah ahli-ahli fiqih dari sahabta dan tabi’in serta imam-imam yang empat.
Adapun mujtahid yang
tidak mandiri, atau disebut Al-Muntashib, ialah mujtahid yang membangun
pendapat-pendapatnya di atas madzhab seorang imam tertentu dalam berhujjah
dengan sebagian dalil saja, seperti istihsan dan maslahah mursalah, di saat
mujtahid lain tidak mau menerimanya, karena dia sendiri mengikuti imam tertentu
seperti sahabat-sahabat imam empat atau yang sejalan dengan mereka dalam hal
mengkuti madzhab tertentu, padahal ia sendiri mampu mandiri dalam menetapkan
hokum-hukum yang bersifat furu’.
Adapun ijtihad yang
terikat pada madzhab, tercakup di dalamnya mujtahid yang menggali berbagai
hokum dari dalil-dalilnya, berdasarkan pada kaidah-kaidah imam madzhabnya dan
dapat menampilkan berbagai kemungkinan pendapat dari beberapa riwayat yang
diterima dalam bentuk nash dan imamnya.
Mujtahid terikat
mempunyai 4 kelas:
Pertama: ia
tidak bertaqlid kepada imamnya dalam menentukan hokum dan dalil, tetapi ia
menempuh cara imamnya dalam berijtihad. Fatwa mujtahid seperti ini sama dengan
fatwa mujtahid mutlaq dalam sisi pengalamannya.
Kedua: mujtahid yang terikat dengan madzhab imamnya, tetapi dia mandiri
dalam menetapkan madzhabnya dengan dalil, namun dia tidak pernah melampaui
dasar-dasar dan kaidah-kaidah imamnya. Ijtihad seperti ini hanya dapat dipakai
sebagai alat untuk menunaikan fardhu kifayah tetapi tidak untuk mengembangkan
ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai bahan suplai fatwa, karena ia telah mendudukkan
fatwanya pada kedudukan fatwa imam mutlaq dan memilah-milahnya terhadap
bolehnya taqlid kepada yang sudah tiada (wafat) dibolehkan.
Ketiga: ia memelihara madzhab serta mengetahui dalil-dalinya, tetapi dia
tidak sampai pada tingkat para mujtahid dalam madzhab. Fatwa mujtahid kelas ini
dapat diterima.
Keempat: ia bekerja memlihara madzhab, mengajarkan dan memahaminya, tetapi
ia tidak mahir dalam menetapkan dalil-dalilnya. Mujtahid seperti ini dapat
dipegang periwayatannya dan fatwanya tentang nash-nash imamnya atau rincian
dari pendapat sahabat-sahabatnya yang mujtahid dalam madzhabnya serta
komentar-komentar tambahan dari mereka. Sebab, orang yang seperti ini
keadaannya, jelaslah seorang yang alim dalam bidang fiqih.[19]
4.Perkembangan Ijtihad
1. Ijtihad dan Fiqih di Masa
Nabi SAW
Umat Islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila
menghadapi suatu masalah yang
baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi
menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan petunjuk
ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hnay mempergunakan
ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada
Nabi, lalu Nabi memberi putusannya.
2. Periode-Periode Ijtihad
Sesudah Nabi SAW
Ijtihad sesudah wafat Nabi melalui tiga periode:
a.
Periode sahabat besar, periode Khulafar Rosyidin.
b.
Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di masa Bani
Umayyah.
c.
Periode tabi’in dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa
Bani Abbas.
3.
Ijtihad
dan Fiqih di Masa Khulafaur Rosyidin
Para sahabat
besar, sepeninggal Rasul menghadapi berbagai permasalahan baru. Maka mereka
melakukan istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan
masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap
yang elum timbul.
Bila terjadi masalah, barulah mereka melakukan
ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut kepada:
a.
Al-Qur’an.
b.
Sunatur Rasul.
4.
Ijtihad
dan Fiqih di Masa Bani Umayyah
Ketika pemerintahan (khalifah) dipegang Bani
Umayyah, para sahabat pergi meninggalkan kota Madinah menuju ke kota-kota yang
baru dibangun, seperti kuffah, makkah, basrah, syam, mesir dll. Di ibukota-ibukota itu, mereka mengerjakan fiqih,
mengembangkan agama, dan meriwayatkan Hadits. Umat Islam di daerah-daerah
itupun berdatangan ke kota-kota pusat daerah untuk menerima fiqih dan ilmu para
sahabat tersebut. Murid-murid para sahabat itu dinamai tabi’in, sedangakan
murid tabi’in dinamai tabi’it tabi’in. berkat pelajran-pelajaran itu, banyak
para tabi’in yang tersohor, yang pandai dalam urusan fiqih dan hokum Islam.
Ulama’ulama pada periode ini terbagi kepada dua
golongan besar:
a.
Golongan Ahli Hadits
b.
Golongan Ahli Ra’yu (ahli qiyas)
5.
Ijtihad
dan Fiqih di Masa Bani Abbas
Pada permulaan bani abbaslahirlah imam-imam
mujtahid kenamaan dari golongan ahli hadits dan golongan ahli qiyas yang
mempunyai pengikut dan telah membukukan fatwa-fatwanya. Para imam mujtahidin yang timbul pada periode ini
adalah imam yang empat, yang terus menerus hingga masa kini mendpaat sambutan
yang ramai dan banyak dianut orang.
Dalam periode-periode ini barulah dibuat aturan-aturan
ijtihad disusun ushul fiqih dan barilah ijtihad (hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada periode inilah fiqih itu
dibukukan. Pada periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas (membuat) hukum dan membuat macam-macam masalah yang di
taqdir-taqdirkan. Pada periode sebelumnya,
hokum-hukum itu diberikan dan dicari, jika ada suatu kejadian. Pada periode ini
muncul pula berbagai madzhab dan berjangkitnya perselisihan dengan hebat dan
luas.
Pada periode ini timbullah pertentangan pendapat
tentang:
a.
Memakai hadits untuk menjadi dasar syara’ (hukum) karena telah bertebaran hadits palsu dibuat oleh
para pendusta, para perusak agama. Pada masa ini timbul perselisiahan dalam hal
itu dan yang menjadi titik berat perselisiahan ialah: apakah hadits itu
meripakan suatu pokok dari dasar-dasar tasyri’ dan kalau benar merpakan suatu
dasar, maka apakah harus berpegang kepadanya?
b.
Memakai ijma’ sebagai dasar tasri’
Sebagaimana mereka berselisish tentang hal istihsan,
para ahli qiyas dengan ahli hadits pun berselisih dalam perkara mempergunakan
qiyas.
6.
Ijtihad
Dewasa Ini
Banyak orang
berkata bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun pendapat ini tidak benar
melihat permasalahan-permasalahan timbul
silih berganti. Di dalam penghidupan masyarakat dari hari ke hari bahkan dari
saat ke saat, terdapat maslah-maslah yang memerlukan pemecahan hukum yang pasti, yang tidak terdapat nash-nash Al-Qur’an
atau Al-Hadits. Oleh karena itu, ijtihad sangat perlu dan sangat erat kaitannya
dengan permasalahan-permasalahn itu, sebab ijtihad pada dasarnya adalah daya
upaya karya otak para mujtahid untuk menemukan dalil dalam Al-Qur’an maupun di
dalam As-Sunnah.[20]
D. KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh
hukum syara’ dari dalilnya.
Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a. Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b. Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Dasar hukum ijtihad:
a. Wajib ‘ain
b. Wajib Kifayah
c. Sunnah
d. Haram.
2.
Macam-macam dan syarat ijtihad:
a.
Ijtihad Fardhi
b. Ijtihad Jami’i.
Syarat-syarat ijtihad:
a.
Benar-benar Muslim
b.
Menguasai bahasa Arab
c.
Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d.
Mengetahui sunnah
e.
Mengetahui segi-segi qiyas
f.
Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g.
Memahami istinbath hukum
dari dalil-dalil
h.
Memahami tujuan-tujuan syariat.
3.
Tingkat kekuatan ijtihad:
1. Ijtihad Darakil
Ahkam (menghasilkan
hukum yang belum ada)
2.
Ijtihad Tatbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat
menerimanya).
Tingkatan-tingkatan
Ijtihad:
1.
Ijtihad mutlaq
2.
Ijtihad dalam satu madzhab
3.
Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4.
Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam
ilmu.
4.Perkembangan Ijtihad
1.
Ijtihad dan Fiqih di Masa
Nabi SAW
2.
Periode-Periode Ijtihad
Sesudah Nabi SAW
3.
Ijtihad dan fiqih di masa
khulafaur rosyidin
4.
Ijtihad dan fiqih di masa
bani umayyah
5.
Ijtihad dan fiqih di masa
bani abbas
6.
Ijtihad Dewasa Ini
E.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami buat. Apabila ada kritik dan saran yang bersifat
mambangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua yang membacanya.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah
Tashilut Thuruqot, 1984
Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis dan
Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung,
1998
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy “Teori
Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama Semarang: Semarang 1993
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Ushu Fiqih II, CV.
Pustaka Setia: Bandung, 2001
Prof.
Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang:
Semarang 1994
Prof.
Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta:
Jakarta 1999
G.
PERTANYAAN
Penanya:
1.
Yeni
Fahris Millati NIM: 112167
Bagaimana
contoh dari Ijtihad Fardhi dan Ijtihad Jami’i
2.
Himmatul
Ulyani NIM: 112169
Bagaiman
contoh ijtihad pada zaman sekarang
3.
Innayatul
Hidayah NIM: 112172
Bagaimana
contoh ijtihad pada masa Umayyah dan Abbasiyah
Jawab
1.
Ijtihad
fardhi contohnya ijtihad atau
musyawarah antara suami dan istri yang memutuskan untuk bercerai. Diputuskan
hanya berdua sesuai dengan kecocokan antara keduanya. Diputuskan untuk bercerai
sesuai dengan kaidah hukum islam yang ada.
Ijtihad
Jami’I contohnya saat Rasulullah wafat, Abu Bakar, Umar, Utsma dan Ali
bermusyawarah (ijtihad) tentang kepemimpinan bangsa Arab. Maka kepemimpinan
bangsa Arab digantikan oleh Abu Bakar.
2.
Contoh
ijtihad zaman sekarang penentuan arah kiblat. Penentuan arah kiblat untuk
posisi kita shalat menghadap yang benar ke ka’bah. setiap tahunnya itu bumi bergerak. jadi, setiap tahun
penentuan arah kiblat itu dilaksanakan. agar penentuan arah kiblat selalu up to
date.
3.
Pertanyaan no tiga pemakalah belum menemui jawabannya.
[4]Ibrahim Abbas Al
Dzarwy “Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama
Semarang: Semarang 1993 hal. 31-32
[5] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu
Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang 1994 hal. 340
[6] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu
Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta 1999 hal. 279-281
[16]Abdul Wahhab Khallaf cet. 4, Op Cit., hal. 340-342
[19] Ibrahim Abbas Al
Dzarwy, Op Cit., hal. 39-40
No comments:
Post a Comment