n (0291) 432677
Faksimile 441613 Kudus
A. PENDAHULUAN
Hukum biasanya menuntut pemenuhan,
tidak saja dengan makna teksnya yang terbaca jelas, tetapi juga dengan
makna-makna yang dicakupnya dengan petunjuk-petunjuk serta inferensi-inferensi
yang bersifattidak langsung yang ditarik darinya. Dengan melihat kepada
ketentuan-ketentuan tekstual Qur’an dan Sunnah, para ulama’ usul membedakan
makna ke dalam beberapa corak yang dapat di tamping oleh suatu nass. Urutan
berikutnya adalah makna yang tersirat yang di ikuti oleh makna yang tersimpul
dan terakhir oleh makna yang dikehendaki, tetapi ada corak makna yang kelima,
yaitu makna yang berlawanan, yang agak controversial, tetapi pada prinsipnya
diterima, sebagaimana akan ditunjukkan dalam diskusi nanti. Makna eksplisit (Ibarah al-nass) yang didasarkan atas
kata-kata dan ungkapan nass merupakan makna yang paling dominan dan otoritatif
yang mendapat prioritas di atas tingkat-tingkat makna terapan lainnya yang bias
ditemukan dalam nass.
Di samping maknanya yang jelas,
suatu nass kadang-kadang membawa makna yang ditunjukan oleh tanda-tanda dan
isyarat-isyarat yang terdapat di dalamnya. Makna sekunder ini disebut Isyarah al-nass , yakni makna yang
tersirat. Suatu nass syar’I bisa juga membawa makna yang tidak di tunjukkan
dalam kata-kata atau tanda-tanda, tetapi merupakan makna yang bersifat
melengkapi yang di dukung oleh muatan logis dan juridis dari nass itu. Hal ini
dikenal sebagai dalalah al-nass, atau
makna yang tersimpul yang berada satu tingkat di bawah isyarah al-nass, karena kenyataannya bahwa makna itu tidak memiliki
hubungan dengan nass. Urutan berikutnya adalah iqtida’u al-nass, atau makna yang
dikehendaki yang juga merupakan makna logis dan penting yang tanpa itu nass
tidak akan lengkap dan gagal mencapai tujuan yang di harapkan.
Apabila terdapat pertentangan
antara makna yang pertama dan kedua, maka prioritas diberikan kepada yang
pertama. Demikian halnya, makna yang kedua mendapat prioritas atas makna
ketiga, dan yang ketiga atas makna yang keempat, sebagaimana sekarang akan kami
jelaskan.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana definisi al-Dalalah ?
2) Bagaimana macam-macam dalalah nash dan
tingkatan-tingkatannya?
C. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN DALALAH
Dalalah
adalah petunjuk yang menunjukkan makna yang dimaksudkan. Dalam al misbahul munir,
disebutkan:
اَلدِّلاَلَةُ
مَا يَقْتَضِيْهِ الَّلفْظُ عِنْدَ الْاِطْلاَقِ
Artinya:
“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal,
ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq .”
2.
MACAM-MACAM DILALAH NASH DAN TINGKATANNYA
1)
Ibaratun nash
Yang dimaksud dengan ibaratun nash ialah petunjuk yang
diambil dari pengertian lafal dan dari susunan kalimat.
Contoh pertama:
¨@ymr&ur ª!$#
yìø‹t7ø9$# tP§ymur
(#4qt/Ìh9$#
Artinya:
“ Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
( QS.
Al-Baqoroh: 275)
Lafal
nash ini mempunyai dua makna, pertama, bahwa jual beli tidak sama dengan
riba, dan kedua, jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya
haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari kalimat.
Ayat ini merupakan jawaban dari pendapat orang
yahudi yang mengatakan jual beli sama dengan riba yang dipahami dari
lafal dan susunan kalimat yang bukan asli.
Contoh
kedua:
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz žwr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
’Îû
4‘uK»tGu‹ø9$#
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz žwr&
(#qä9ω÷ès?
¸oy‰Ïnºuqsù
Artinya:
“ dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja.”
(QS.
An-nisa: 3).
Dipahami dari ibaratun nash bahwa ayat ini
mengandung tiga hal:
1. Boleh menikah dengan wanita yang
disenangi.
2. Jumlah minimal istri adalah satu dan
jumlah maksimal istri hanya empat orang.
3. Wajib hanya seorang saja kalau tidak
dapat berlaku adil terhadap istri yang lebih dari satu. Namun, yang dimaksud
asli ayat ini adalah batas maksimal istri adalah empat orang dan kalau tidak
dapat berlaku adil cukup hanya seorang saja.[2]
Ciri ibaratun
nash bahwa ia membawa ketentuan definitif
(hukum qath’i) dan tidak memerlukan dalil pendukung. Tetapi jika nash
itu dikemukakan dengan tema-tema umum, maka ia bisa terkena kualifikasi. Dalam
kasus demikian, ia tidak menjadidalil
qath’i, tetapi hanya dalil zanni saja.[3]
2) Isyaratun Nash
Yang
dimaksud dengan isyaratun nash ialah makna yang dapat dipahami bukan dari lafal
dan susunan kalimat nash, tetapi dari luar nash.
Contoh pertama:
وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya:
“ Dan kewajiban ayah
memberikan makan dan pakaian kepadda para ibu dengan cara yang ma’ruf”. ( QS. Al-Baqoroh: 233)
Dipahami
melalui isyaratun nash bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah
kepada anaknya karena anaknya itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil
atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti,
karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.[4]
Juga
dipahami dari kata-kata nash itu, khususnya dari dari pemakaian kata lahu nya,
bahwa hanya ayahlah yang memikul tanggung jawab ini. Hal ini dengan mudah
diketahui dan merupakan makna eksplisit dari makna nash itu. Tetapi menyatakan
bahwa nasab anak semata-mata dikaitkan dengan ayah dan identitasnya ditentukan
dengan merujuk kepada identitas ayah adalah makna rasional yang diperoleh
melalui penelitian mendalam terhadap tanda-tanda yang terdapat di dalam nash.
Untuk memberikan contoh lain
dari isyaratun nash dapat melihat dari Al-Qur’an tentang musyawarah yang
tertuju kepada Nabi QS. Al-imran: 159:
ß#ôã$$sù öNåk÷]tã
öÏÿøótGó™$#ur öNçlm;
öNèdö‘Ír$x©ur
’Îû
ÍöDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBz•tã
ö@©.uqtGsù ’n?tã «!$#
4 ¨bÎ)
©!$# =Ïtä†
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya:
“ karena itu maafkanlah mereka dan mintakanlah
ampunan (Allah) bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu.”
(QS. Ali imran: 159)
Ibaratun nash dari ayat ini menuntut bahwa
urusan-urusan masyarakat harus dirembuk melalui musyawarah. Makna yang tersirat
dari nash ini menuntut diciptakannya badan musyawarah di dalam masyarakat untuk
memudahkan dilakukannya musyawarah yang dituntut oleh ayat tersebut.[5]
3) Dilalah Nash
Yang dimaksudkan dengan sesuatu
yang difahami dari dalalah nash adalah makna yang difahami dari jiwa dan
penalaran nash. Jika ibarat suatu nash menunjukkan hokum suatu kasus, karena
suatu illat yang menjadi dasar hokum ini, dan kasus lain di temukan yang
menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih
lagi, dan persamaan atau kelebihan itu segera dapat difahami dengan semata-mata
memahami bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat
difahami bahwa nash tersebut manyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang
tetap bagi yang manthuq (yang dikatakan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai
dengannya dalam illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi.
Misalnya dalalah nash ialah firman
Allah SWT. mengenai urusan dua orang tua, yaitu:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
Artinya:
“Maka
janganlah kamu mengatakan “Uff!” kepada mereka”. (Q.S.17/Al Isra’ : 23).
Ibarat nash ini menunjukkan
terhadap larangan mengucapkan ‘Uff’ kepada dua orang tuanya. Illat pada
larangan ini ialah adanya penyakitan hati dan menyakiti mereka yang terdapat
pada kata ‘Uff’ terhadap mereka. Kemudian ada bentuk lain yang lebih
menyakitkan daripada mengatakan ‘Uff!’. Seperti memukul dan mencaci maki,
sehingga segera dapat di fahami bahwa hal tersebut juga termasuk dalam
larangan. Ia juga di haramkan berdasarkan nash yang mengharamkan mengucapkan
‘Uff’. Karena menurut bahasa, yang segera dapat difahami dari larangan
mengucapkan ‘Uff’ adalah larangan terhadap sesuatu yang lebih menyakiti terhadap
dua orang tua. Jadi pengertian yang difahami yang sesuai dan didiamkan itu
adalah lebih-lebih lagi hukumnya disbanding pengertian yang di ucapkan.
Contoh lain adalah firman Allah
SWT.:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR
(
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perut mereka...”. (Q.S. 4/An-Nisa’ : 10).
Dari ibarat nash difahami
mengharamkan para penerima wasiat untuk memakan harta anak yatim secara zalim,
dan dari dalalahnya difahami pula
pengharaman memberikan orang lain dari harta anak yatim, pengharaman
membakarnya, memunaskannya dan merusakkannya dengan salah satu bentuk
pengrusakan, karena hal-hal tersebut sama dengan memakannya secara zalim dalam
hal ini bahwa masing-masing daripadanya merupakan penganiayaan tersebut. Maka
nash yang mengharamkan memakan harta anak yatim secara zalim berdasarkan
ibaratnya, juga mengharamkan terhadap pembakaran dan memusnahkannya berdasarkan
dalalahnya. Disini mafhum yang sesuai
yang didiamkan sama dengan yang di ucapkan.
Perbedaan antara dalalah nash dan
qiyas ialah bahwasanya persamaan mafhum yang sesuai terhadap manthuq nashnya difahami dari
semata-mata pemahaman kebahasaan tanpa tergantung pada ijtihad dan istimbath hukum.
Sedangkan persamaan sesuatu yang diqiyaskan dengan maqis ‘alaih (yang diqiyaskan padanya) tidak dapat dipahami dari
semata-mata pemahaman bahasa, akan tetapi harus melalui ijtihad dalam
mengistimbathkan illat pada hokum maqis ‘alaihnya dan dalam mengetahui
keberadaan illat itu pada maqis (yang
diqiyasakan).
4) Iqtidha’ Nash
Yang dimaksudkan dengan sesuatu
yang difahami dari iqtidha' nash adalah makna yang suatu kalimat tidak dapat
lurus kecuali dengan memperkirakan makna itu. Dalam shigat nash tidak terdapat
lafazh yang menuunjukkan makna itu, akan tetapi kesahehan shigatnya dan
kelurusan pengertiannya menurut keberadaannya, atau kebenarannya dan
kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.
Contohnya adalah sabda Rasulullah SAW.
:
رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَ مَا
اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ
Artinya :
“Telah diangkat dari
ummatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang mereka dipaksakan atasnya”.
Susunan kalimat ini menurut
lahiriahnya menunjukkan pengangkatan perbuatan apabila ia terjadi secara salah,
karena lupa atau dalam keadaan terpaksa. Ini adalah makna yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Karena sebenaranya apabila perbuatan telah terjadi maka ia
tidak dapat di angkat, maka kesahihan makna susunan kalimat ini menurut
perkiraan sesuatu yang sah dengannya. Kemudian disini di takdirkan:
رُفِعَ
عَنْ اُمَّتِى اِثْمُ الْخَطَاءِ
Artinya:"Diangkat
dari umatku dosa ketersalahan".
Kata "Dosa" yang dibuat
di tuntut untuk di takdirkan oleh kesahihan makna nash tersebut. Kemudian yang
di tunjuki oleh nash disebut dengan iqtidha'.
Dari uraian diatas jelaslah apa
yang kami kemukakan secara garis besar. Yaitu bahwasanya setiap makna yang di
pahami dari nash dengan salah satu cara yang empat tersebut, maka ia termasuk
dari yang di tujuki oleh nash, dan nash menjadi hujjah atas makna itu. Karena
sesungguhnya makna yang diambil dari ibaratnya merupakan makna yang lazim bagi
makan ibaratnya dengan suatu kelaziman yang tidak dapat di hindarkan. Jadi, ia
merupakan yang ditunjuki oleh nash melalui cara iltizam. Selanjutnya makna
yang di ambil dari dalalahnya merupakan makna yang ditunjuki oleh jiwa dan
penalaran nash itu. Kemudian makan yang di pahami secara iqtidha' adalah
makna dahruri yang dituntut perkiraannya oleh ibarat nash atau kelurusan
maknanya.
Cara ibarat lebih kuat
dalalahnya dari pada cara isyarat. Karena yang pertama menunjukkan
kepada suatu makna yang segera di fahami dari susunan kalimatnya, sedangkan yang kedua menunjukkan
kepada makna yang lazim, yang tidak di maksudkan melalui susunan kalimatnya.
Masing-masing dari keduanya lebih kuat dari pada cara dalalah, karena dua yang
pertama merupakan manthuq nash dan madlulnya dari sighatnya dan
lafadznya. Akan tetapi cara dalalah merupakan mafhum nash dan madlulnya dari
segi jiwanya dan penalarannya. Karena perbedaan ini, maka ketika terjadi kontradiksi,
maka yang di fahami melalui ibarat di dahulukan atas yang di fahami isyarat.
Dan yang di fahami dari salah satu dari keduanya di menangkan atas yang di
fahami melalui dalalahnya.
Contoh kontradiksi antara makna
yang di fahami dari ibarat dan makna yang di fahami dari isyarat dari nash
syar'iyyah ialah firman Allah SWT. :
|=ÏGä. ãNä3ø‹n=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# ’Îû ‘n=÷Fs)ø9$# (
Artinya:
"……… di
wajibkan atas kamu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh………."
(QS. 2 / Al-Baqarah: 178)
Dengan firman
Allah SWT. :
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #Y‰ÏdJyètG•B ¼çnät!#t“yfsù ÞO¨Yygy_
Artinya:
"Dan barang siapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam." (QS. 4
/ An-nisa 93) Ayat
yang pertama menunjukkan berdasarkan ibaratnya terhadap kewajiban qishash dari
pembunuh, dan ayat kedua menunjukan melalui isyaratnya, bahwasanya orang yang
membunuh dengan sengaja tidak tidak di kenakan qishash, karena adanya
pembatasan bahwa balasannya adalah neraka jahannam merupakan isyarat kepada hal
ini, karena dari pembatasan pada posisi penjelasan berarti tidak ada hukuman
lain yang wajib atas dirinya. Akan tetapi madlu (pengertian yang di tunjuki )
oleh ibarat nash dan qishashpun wajib.
Contoh pertentangan
antara makna yang di pahami berdasarkan isyarah
dan makna yang di fahami berdasarakan dalalah dari nash syar'iyyah ialah firman
Allah.:
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B
Artinya:
"…… dan barang siapa yang
membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah)ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman ……..". (QS 4/An-Nisa' : 92).
Mulai cara dalalah dapat di mabil pengertain bahwa orang
yang membunuh seorang mukmin denagan sengaja, maka ia wajib memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman, karena ia lebih erat dari pada orang yang
membunuh karena terserah dalam hal menenbus tindak kriminalnya. Sebab
pemerdekakan budak merupakan kafarat dosa orang yang membunuh, dan orang yang
sengaja terlebih lagi dalam mengkifarati dosanya dari pada orang yang tersalah.
Dan
Firman Allah SWT. :
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #Y‰ÏdJyètG•B ¼çnät!#t“yfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù
Artinya:
"Barangsiapa
yang mebunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka
jahannam, kekal ia di dalamnya……. " (QS. 4/An-Nisa': 93).
Berdasarkan cara isyarat nash diambil pengertian
bahwasanya ia tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya, karena sayat
tersebut mengisyatarkan bahwa tidak ada kafarat dosanya di dunia, karena telah
di tetapakan bahwa balasannya adalah kekekalannya di dalam neraka Jahannam,
tidak lainnya. Karena kedua pengertian tersebut
bertentangan, maka isyarat nash di menangakan atas dalalah nash. Oleh karena
itu, orang yang membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekakan se;orang hamba
sahaya.
D. KESIMPULAN
Keempat
macam-macam nash yang diterangkan di atas, kekuatannya tidak sama.
Ibaratun
nash lebih kuat daripada isyaratun nash, karena
ibaratun nash adalah makna yang langsung dipahami dari lafal dan susunan
kalimatnya, sedangkan isyaratun nash dari luar nash, bukan dari lafal
dan susunan kalimatnya. Ibaratun nash dan isyaratun nash lebih kuat daripada dilalatun nash dan iqtidhaun
nash. Ibaratun nash dan isyaratun nash dipahami dari mantuq nash, yakni
diperoleh dari pengertian lafal dan susunan kalimatnya, sedangkan dilalatun nash dan iqtidhaun
nash didapat dari mafhum dan jiwa serta dari yang dapat dipikirkan
dari nash itu. Oleh karena itu, kalau terjadi pertentangan antara ibaratun
nash dan isyaratun nash, maka yang didahulukan adalah mafhum
ibarat.
E. LAIN-LAIN
Pertanyaan:
1.
(112171)
Apa manfaat kita
mempelajari dalalah dan tingkatan-tingkatannya?
2.
(112137)
Jelaskan pengertian
dari mantuq dan mafhum?
3.
(112179)
Dalalah mana yang
didahulukan apabila terjadi kontradiksi dengan dalalah lainnya?
Jawaban:
1.
Manfaat kita mempelajari dalalah dan tingkatan-tingkatannya adalah agar
kita bisa mengetahui perbedaan antara dalalah satu dengan yang lainnya, dan
agar kita dapat mengetahui dalalah apa saja yang terdapat di dalam dalil-dalil
nash al-qur’an.
2.
Mantuq adalah ucapan lafal itu sendiri (yang nyata: اُفٍّ ) Seperti contoh dalam surat al-Isra’:23
فَلاَ تَققُلْ لَّهُمَا اُفًّ
artinya: jangan kamu katakan perkataan yang keji
kepada dua orang tua.
Sedangkan mafhum adalah yang tidak disebutkan, yakni
memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung
pemahaman yang sama terhadap arti dari ayat tersebut.
Jadi, pemahaman yang diambil dari segi pembicaraan
yang nyata dinamakan mantuq. Sedangkan dari segi pembicaraan yang tidak nyata
disebut mafhum.
3.
Urutan Dalalah yakni sebagai berikut:
a.
Dalalah al-ibarah
b.
Dalalah al-nash
c.
Dalalah al-iqtidha’
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi
ketika terjadi kontradiksi antara dalalah yang satu dengan yang lain. Bila hal
itu terjadi, maka yang harus didahulukan adalah dalalah yang tingkatannya
paling tinggi.
Contoh 1:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى
الْقَتْلَى
Artinya:
“....diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang terbunuh.....” (QS. Al-Baqoroh: 178)
Contoh 2:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا
فَجَزَاؤُهُ, جَهَنَّمُ
Artinya:
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya ialah jahannam.” (QS. An-nisa’: 93)
Jadi, bila dibandingkan dengan pembunuhan yang tidak
sengaja, secara implisit ayat kedua menunjukkan bahwa balasan bagi pembunuh
yang sengaja hanya siksaan diakhirat dan tidak dinyatakan adanya hukum qishash.
Akan tetapi, ayat yang pertama secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya
qishash bagi pembunuh. Oleh karena itu, pengertian secara eksplisit pada ayat
pertama didahulukan dari ayat kedua.
Tambahan:
1.
(112151)
Manfaat mempelajari dalalah adalah agar kita bisa
lebih tau tentang dalalah nash al-qur’an. Karena membaca al-qur’an saja belum
bisa memahami maknanya. Namun dengan mempelajari ilmu ushul fiqih yakni tentan
tingkatan-tingkatan dalalah kita bisa lebih mengerti arti kandungan nash
tersebut.
2.
(112169)
Manfaat mempelajari dalalah adalah untuk mengerti
makna secara detail. Karena pada hakikatnya semua ilmu itu bermanfaat untuk
diri kita. Dan para ulama yang mempunyai ilmu yang tinggi sangat membantu kaum
awam dalam memahami dalil nash al-qur’an.
F. DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, A. Achyar, dan Khairul Umam, Ushul Fiqih
II, 2001, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung
Kamali, Muhammad Hasyim, Prinsip dan Teori-teori Hukum
Islam (Ushul Al-fiqh), 1996, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, DINA UTAMA, Semarang
[1] Muhammad
Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori
Hukum Islam (Usul al-Fiqh), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. hlm:159
No comments:
Post a Comment