Saturday, February 27, 2016

makalah dalalah nash dan tingkatnya

n (0291) 432677 Faksimile 441613 Kudus

 A.    PENDAHULUAN
Hukum biasanya menuntut pemenuhan, tidak saja dengan makna teksnya yang terbaca jelas, tetapi juga dengan makna-makna yang dicakupnya dengan petunjuk-petunjuk serta inferensi-inferensi yang bersifattidak langsung yang ditarik darinya. Dengan melihat kepada ketentuan-ketentuan tekstual Qur’an dan Sunnah, para ulama’ usul membedakan makna ke dalam beberapa corak yang dapat di tamping oleh suatu nass. Urutan berikutnya adalah makna yang tersirat yang di ikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir oleh makna yang dikehendaki, tetapi ada corak makna yang kelima, yaitu makna yang berlawanan, yang agak controversial, tetapi pada prinsipnya diterima, sebagaimana akan ditunjukkan dalam diskusi nanti. Makna eksplisit (Ibarah al-nass) yang didasarkan atas kata-kata dan ungkapan nass merupakan makna yang paling dominan dan otoritatif yang mendapat prioritas di atas tingkat-tingkat makna terapan lainnya yang bias ditemukan dalam nass.
Di samping maknanya yang jelas, suatu nass kadang-kadang membawa makna yang ditunjukan oleh tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang terdapat di dalamnya. Makna sekunder ini disebut Isyarah al-nass , yakni makna yang tersirat. Suatu nass syar’I bisa juga membawa makna yang tidak di tunjukkan dalam kata-kata atau tanda-tanda, tetapi merupakan makna yang bersifat melengkapi yang di dukung oleh muatan logis dan juridis dari nass itu. Hal ini dikenal sebagai dalalah al-nass, atau makna yang tersimpul yang berada satu tingkat di bawah isyarah al-nass, karena kenyataannya bahwa makna itu tidak memiliki hubungan dengan nass.  Urutan berikutnya adalah iqtida’u al-nass, atau makna yang dikehendaki yang juga merupakan makna logis dan penting yang tanpa itu nass tidak akan lengkap dan gagal mencapai tujuan yang di harapkan.
Apabila terdapat pertentangan antara makna yang pertama dan kedua, maka prioritas diberikan kepada yang pertama. Demikian halnya, makna yang kedua mendapat prioritas atas makna ketiga, dan yang ketiga atas makna yang keempat, sebagaimana sekarang akan kami jelaskan.[1]
B.     RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaimana definisi al-Dalalah ?
2)      Bagaimana macam-macam dalalah nash dan tingkatan-tingkatannya?   
























C.    PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN DALALAH
Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan makna yang dimaksudkan. Dalam al misbahul munir, disebutkan:
اَلدِّلاَلَةُ مَا يَقْتَضِيْهِ الَّلفْظُ عِنْدَ الْاِطْلاَقِ
Artinya:
“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal, ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq .”

2.      MACAM-MACAM DILALAH NASH DAN TINGKATANNYA
1)      Ibaratun nash
Yang dimaksud dengan ibaratun nash ialah petunjuk yang diambil dari pengertian lafal dan dari susunan kalimat.
Contoh pertama:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya:
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
 ( QS. Al-Baqoroh: 275)
Lafal nash ini mempunyai dua makna, pertama, bahwa jual beli tidak sama dengan riba, dan kedua, jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari kalimat. Ayat ini merupakan jawaban dari pendapat orang  yahudi yang mengatakan jual beli sama dengan riba yang dipahami dari lafal dan susunan kalimat yang bukan asli.
Contoh kedua:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù   
Artinya:
“ dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.”
 (QS. An-nisa: 3).
      Dipahami dari ibaratun nash bahwa ayat ini mengandung tiga hal:
1.      Boleh menikah dengan wanita yang disenangi.
2.      Jumlah minimal istri adalah satu dan jumlah maksimal istri hanya empat orang.
3.      Wajib hanya seorang saja kalau tidak dapat berlaku adil terhadap istri yang lebih dari satu. Namun, yang dimaksud asli ayat ini adalah batas maksimal istri adalah empat orang dan kalau tidak dapat berlaku adil cukup hanya seorang saja.[2]
Ciri ibaratun nash bahwa ia membawa ketentuan definitif  (hukum qath’i) dan tidak memerlukan dalil pendukung. Tetapi jika nash itu dikemukakan dengan tema-tema umum, maka ia bisa terkena kualifikasi. Dalam kasus demikian, ia tidak  menjadidalil qath’i, tetapi hanya dalil zanni saja.[3]



2)      Isyaratun Nash
Yang dimaksud dengan isyaratun nash ialah makna yang dapat dipahami bukan dari lafal dan susunan kalimat nash, tetapi dari luar nash.
                        Contoh pertama:
وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
                        Artinya:
“ Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepadda para ibu dengan cara yang ma’ruf”. ( QS. Al-Baqoroh: 233)
Dipahami melalui isyaratun nash bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya karena anaknya itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti, karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.[4]
Juga dipahami dari kata-kata nash itu, khususnya dari dari pemakaian kata lahu nya, bahwa hanya ayahlah yang memikul tanggung jawab ini. Hal ini dengan mudah diketahui dan merupakan makna eksplisit dari makna nash itu. Tetapi menyatakan bahwa nasab anak semata-mata dikaitkan dengan ayah dan identitasnya ditentukan dengan merujuk kepada identitas ayah adalah makna rasional yang diperoleh melalui penelitian mendalam terhadap tanda-tanda yang terdapat di dalam nash.
Untuk memberikan contoh lain dari isyaratun nash dapat melihat dari Al-Qur’an tentang musyawarah yang tertuju kepada Nabi QS. Al-imran: 159:
 ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ 
Artinya:
“ karena itu maafkanlah mereka dan mintakanlah ampunan (Allah) bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
(QS. Ali imran: 159)
Ibaratun nash dari ayat ini menuntut bahwa urusan-urusan masyarakat harus dirembuk melalui musyawarah. Makna yang tersirat dari nash ini menuntut diciptakannya badan musyawarah di dalam masyarakat untuk memudahkan dilakukannya musyawarah yang dituntut oleh ayat tersebut.[5]
3)      Dilalah Nash
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari dalalah nash adalah makna yang difahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ibarat suatu nash menunjukkan hokum suatu kasus, karena suatu illat yang menjadi dasar hokum ini, dan kasus lain di temukan yang menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan persamaan atau kelebihan itu segera dapat difahami dengan semata-mata memahami bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat difahami bahwa nash tersebut manyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi yang manthuq (yang dikatakan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dalam illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi.
Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT. mengenai urusan dua orang tua, yaitu:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
Artinya:
“Maka janganlah kamu mengatakan “Uff!” kepada mereka”. (Q.S.17/Al Isra’ : 23).

Ibarat nash ini menunjukkan terhadap larangan mengucapkan ‘Uff’ kepada dua orang tuanya. Illat pada larangan ini ialah adanya penyakitan hati dan menyakiti mereka yang terdapat pada kata ‘Uff’ terhadap mereka. Kemudian ada bentuk lain yang lebih menyakitkan daripada mengatakan ‘Uff!’. Seperti memukul dan mencaci maki, sehingga segera dapat di fahami bahwa hal tersebut juga termasuk dalam larangan. Ia juga di haramkan berdasarkan nash yang mengharamkan mengucapkan ‘Uff’. Karena menurut bahasa, yang segera dapat difahami dari larangan mengucapkan ‘Uff’ adalah larangan terhadap sesuatu yang lebih menyakiti terhadap dua orang tua. Jadi pengertian yang difahami yang sesuai dan didiamkan itu adalah lebih-lebih lagi hukumnya disbanding pengertian yang di ucapkan.
Contoh lain adalah firman Allah SWT.:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut mereka...”. (Q.S. 4/An-Nisa’ : 10).
Dari ibarat nash difahami mengharamkan para penerima wasiat untuk memakan harta anak yatim secara zalim, dan dari dalalahnya difahami pula pengharaman memberikan orang lain dari harta anak yatim, pengharaman membakarnya, memunaskannya dan merusakkannya dengan salah satu bentuk pengrusakan, karena hal-hal tersebut sama dengan memakannya secara zalim dalam hal ini bahwa masing-masing daripadanya merupakan penganiayaan tersebut. Maka nash yang mengharamkan memakan harta anak yatim secara zalim berdasarkan ibaratnya, juga mengharamkan terhadap pembakaran dan memusnahkannya berdasarkan dalalahnya. Disini mafhum yang sesuai yang didiamkan sama dengan yang di ucapkan.
Perbedaan antara dalalah nash dan qiyas ialah bahwasanya persamaan mafhum yang sesuai terhadap manthuq nashnya difahami dari semata-mata pemahaman kebahasaan tanpa tergantung pada ijtihad dan istimbath hukum. Sedangkan persamaan sesuatu yang diqiyaskan dengan maqis ‘alaih (yang diqiyaskan padanya) tidak dapat dipahami dari semata-mata pemahaman bahasa, akan tetapi harus melalui ijtihad dalam mengistimbathkan illat pada hokum maqis ‘alaihnya dan dalam mengetahui keberadaan illat itu pada maqis (yang diqiyasakan).
4)      Iqtidha’ Nash
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari iqtidha' nash adalah makna yang suatu kalimat tidak dapat lurus kecuali dengan memperkirakan makna itu. Dalam shigat nash tidak terdapat lafazh yang menuunjukkan makna itu, akan tetapi kesahehan shigatnya dan kelurusan pengertiannya menurut keberadaannya, atau kebenarannya dan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.
Contohnya adalah sabda Rasulullah SAW. :
رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَ مَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ
Artinya :
“Telah diangkat dari ummatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang mereka dipaksakan atasnya”.
Susunan kalimat ini menurut lahiriahnya menunjukkan pengangkatan perbuatan apabila ia terjadi secara salah, karena lupa atau dalam keadaan terpaksa. Ini adalah makna yang tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sebenaranya apabila perbuatan telah terjadi maka ia tidak dapat di angkat, maka kesahihan makna susunan kalimat ini menurut perkiraan sesuatu yang sah dengannya. Kemudian disini di takdirkan:
رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى اِثْمُ الْخَطَاءِ

Artinya:"Diangkat dari umatku dosa ketersalahan".
Kata "Dosa" yang dibuat di tuntut untuk di takdirkan oleh kesahihan makna nash tersebut. Kemudian yang di tunjuki oleh nash disebut dengan iqtidha'.
Dari uraian diatas jelaslah apa yang kami kemukakan secara garis besar. Yaitu bahwasanya setiap makna yang di pahami dari nash dengan salah satu cara yang empat tersebut, maka ia termasuk dari yang di tujuki oleh nash, dan nash menjadi hujjah atas makna itu. Karena sesungguhnya makna yang diambil dari ibaratnya merupakan makna yang lazim bagi makan ibaratnya dengan suatu kelaziman yang tidak dapat di hindarkan. Jadi, ia merupakan yang ditunjuki oleh nash melalui cara iltizam. Selanjutnya makna yang di ambil dari dalalahnya merupakan makna yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash itu. Kemudian makan yang di pahami secara iqtidha' adalah makna dahruri yang dituntut perkiraannya oleh ibarat nash atau kelurusan maknanya. 
Cara ibarat lebih kuat dalalahnya dari pada cara isyarat. Karena yang pertama menunjukkan kepada suatu makna yang segera di fahami dari susunan  kalimatnya, sedangkan yang kedua menunjukkan kepada makna yang lazim, yang tidak di maksudkan melalui susunan kalimatnya. Masing-masing dari keduanya lebih kuat dari pada cara dalalah, karena dua yang pertama merupakan manthuq nash dan madlulnya dari sighatnya dan lafadznya. Akan tetapi cara dalalah merupakan mafhum nash dan madlulnya dari segi jiwanya dan penalarannya. Karena perbedaan ini, maka ketika terjadi kontradiksi, maka yang di fahami melalui ibarat di dahulukan atas yang di fahami isyarat. Dan yang di fahami dari salah satu dari keduanya di menangkan atas yang di fahami melalui dalalahnya.
Contoh kontradiksi antara makna yang di fahami dari ibarat dan makna yang di fahami dari isyarat dari nash syar'iyyah ialah firman Allah SWT. :
|=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (
Artinya:
"……… di wajibkan atas kamu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh………." (QS. 2 / Al-Baqarah: 178)    
Dengan firman Allah SWT. :
 `tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_  
Artinya:
"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam." (QS. 4 / An-nisa 93)                                                                                                  Ayat yang pertama menunjukkan berdasarkan ibaratnya terhadap kewajiban qishash dari pembunuh, dan ayat kedua menunjukan melalui isyaratnya, bahwasanya orang yang membunuh dengan sengaja tidak tidak di kenakan qishash, karena adanya pembatasan bahwa balasannya adalah neraka jahannam merupakan isyarat kepada hal ini, karena dari pembatasan pada posisi penjelasan berarti tidak ada hukuman lain yang wajib atas dirinya. Akan tetapi madlu (pengertian yang di tunjuki ) oleh ibarat nash dan qishashpun wajib.
Contoh pertentangan antara makna yang di pahami berdasarkan isyarah dan makna yang di fahami berdasarakan dalalah dari nash syar'iyyah ialah firman Allah.:
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB
Artinya:
"…… dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah)ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman ……..". (QS 4/An-Nisa' : 92).
Mulai cara dalalah dapat di mabil pengertain bahwa orang yang membunuh seorang mukmin denagan sengaja, maka ia wajib memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, karena ia lebih erat dari pada orang yang membunuh karena terserah dalam hal menenbus tindak kriminalnya. Sebab pemerdekakan budak merupakan kafarat dosa orang yang membunuh, dan orang yang sengaja terlebih lagi dalam mengkifarati dosanya dari pada orang yang tersalah.
Dan Firman Allah SWT. :
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù
Artinya:
"Barangsiapa yang mebunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, kekal ia di dalamnya……. " (QS. 4/An-Nisa': 93).
Berdasarkan cara isyarat nash diambil pengertian bahwasanya ia tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya, karena sayat tersebut mengisyatarkan bahwa tidak ada kafarat dosanya di dunia, karena telah di tetapakan bahwa balasannya adalah kekekalannya di dalam neraka Jahannam, tidak lainnya. Karena kedua pengertian tersebut bertentangan, maka isyarat nash di menangakan atas dalalah nash. Oleh karena itu, orang yang membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekakan se;orang hamba sahaya.
D.    KESIMPULAN
Keempat macam-macam nash yang diterangkan di atas, kekuatannya tidak  sama.
Ibaratun nash lebih kuat daripada isyaratun nash, karena ibaratun nash adalah makna yang langsung dipahami dari lafal dan susunan kalimatnya, sedangkan isyaratun nash dari luar nash, bukan dari lafal dan susunan kalimatnya. Ibaratun nash dan isyaratun nash  lebih kuat daripada dilalatun nash dan iqtidhaun nash. Ibaratun nash dan isyaratun nash  dipahami dari mantuq nash, yakni diperoleh dari pengertian lafal dan susunan kalimatnya,  sedangkan dilalatun nash dan iqtidhaun nash didapat dari mafhum dan jiwa serta dari yang dapat dipikirkan dari nash itu. Oleh karena itu, kalau terjadi pertentangan antara ibaratun nash dan isyaratun nash, maka yang didahulukan adalah mafhum ibarat.
E.     LAIN-LAIN
Pertanyaan:
1.      (112171)
Apa manfaat kita mempelajari dalalah dan tingkatan-tingkatannya?
2.      (112137)
Jelaskan pengertian dari mantuq dan mafhum?
3.      (112179)
Dalalah mana yang didahulukan apabila terjadi kontradiksi dengan dalalah lainnya?
Jawaban:
1.      Manfaat kita mempelajari dalalah dan tingkatan-tingkatannya adalah agar kita bisa mengetahui perbedaan antara dalalah satu dengan yang lainnya, dan agar kita dapat mengetahui dalalah apa saja yang terdapat di dalam dalil-dalil nash al-qur’an.
2.      Mantuq adalah ucapan lafal itu sendiri (yang nyata:  اُفٍّ ) Seperti contoh dalam surat al-Isra’:23
فَلاَ تَققُلْ لَّهُمَا اُفًّ
artinya: jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada dua orang tua.
Sedangkan mafhum adalah yang tidak disebutkan, yakni memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung pemahaman yang sama terhadap arti dari ayat tersebut.
Jadi, pemahaman yang diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq. Sedangkan dari segi pembicaraan yang tidak nyata disebut mafhum.
3.      Urutan Dalalah yakni sebagai berikut:
a.       Dalalah al-ibarah
b.      Dalalah al-nash
c.       Dalalah al-iqtidha’
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi antara dalalah yang satu dengan yang lain. Bila hal itu terjadi, maka yang harus didahulukan adalah dalalah yang tingkatannya paling tinggi.
Contoh 1:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلَى
Artinya:
“....diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh.....” (QS. Al-Baqoroh: 178)
Contoh 2:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ, جَهَنَّمُ
Artinya:
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam.” (QS. An-nisa’: 93)
Jadi, bila dibandingkan dengan pembunuhan yang tidak sengaja, secara implisit ayat kedua menunjukkan bahwa balasan bagi pembunuh yang sengaja hanya siksaan diakhirat dan tidak dinyatakan adanya hukum qishash. Akan tetapi, ayat yang pertama secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya qishash bagi pembunuh. Oleh karena itu, pengertian secara eksplisit pada ayat pertama didahulukan dari ayat kedua.
Tambahan:
1.      (112151)
Manfaat mempelajari dalalah adalah agar kita bisa lebih tau tentang dalalah nash al-qur’an. Karena membaca al-qur’an saja belum bisa memahami maknanya. Namun dengan mempelajari ilmu ushul fiqih yakni tentan tingkatan-tingkatan dalalah kita bisa lebih mengerti arti kandungan nash tersebut.
2.      (112169)
Manfaat mempelajari dalalah adalah untuk mengerti makna secara detail. Karena pada hakikatnya semua ilmu itu bermanfaat untuk diri kita. Dan para ulama yang mempunyai ilmu yang tinggi sangat membantu kaum awam dalam memahami dalil nash al-qur’an.





























F.     DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, A. Achyar, dan Khairul Umam, Ushul Fiqih II, 2001, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung
Kamali, Muhammad Hasyim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul Al-fiqh), 1996, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, DINA UTAMA, Semarang



[1] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Usul al-Fiqh), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. hlm:159
[2]Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, PUSTAKA SETIA, Bandung, 2001, hal 25
[3]Muhammad Hashim, Opcit, hal.161
[4] Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Op.cit, hal.27
[5] Muhammad Hashim Kamali, Op.cit, hal.162

No comments:

Post a Comment