PENDAHULUAN
Pada masa awal perkembangan Islam,Rasulullah SAW.telah menghadapi
berbagai persola-persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan
keduniawian,terutama dikalangan bangsa Arab Makkah.bersamaan dengan itu,Allah
menurunkan wahyu sebagaitanda kemukjizatan Rasulullah SAW.penutup para nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah
SAWmengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk,pedoman dan panduan bagi umat
islam dalam memberikan penjelasan,jawaban dan alternatif terhadap
persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu
akidah,sosial,ekonomi,adat,budaya,politik dan lain-lain.dengan
demikian,kehidupan terus berjalandibawah ajaran(hukum-hukum) dan bimbingan
Agama Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi,berbagai
persoalan klise ataupun baru,selalu muncul ditengah-tengah masyarakat.
Umat islam kerap dihadapkan pada kegamangan,setiap kali perubahan
zaman terjadi.tak heran jika selalu muncul pertanyaan,apakah perubahan itu
sesuai dengan syari’at islam?
Guna menjawab kegamangan itu,umat membutuhkan sebuah fatwa dari
para ulama.fatwa ibarat setetes air disaat dahaga.fatwa dari sosok alim
dianggap menjadi jawaban yang memberikan jaminan ketenangan dan
keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian Ifta’, Istifta’, dan Mufti?
2.
Apa
saja syarat-syarat Mufti?
3.
Bagaimana
kedudukan Ifta’?
BAB
II
1.
Fatwa (IFTA’)
Kata fatwa (kemudian disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan
dengan kata Ifta’ yang berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu
masalah.[1]
Secara etimologi kata ifta’ (افتاء)terambil
dari akar kata “يفتى- افتاء- افتى” yang berarti memberi
penjelasan , memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Ifta’ itu pada
intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh
ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahea
yang dimaksud dengan ifta’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa)
sebagai jawaban atas dasar pertanyaan yang diajukan.
Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari
alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan pendapat) yang diberikan oleh mufti
terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu
ushul feqih, fatwa adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau
faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang
sifatnya tidak mengikat.[2]
الإِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ
الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ الْعُمُوْمِ وَالشُّمُوْلِ
“fatwa
ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang
mencakup segala persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum terhadap suatu
permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’
adalah menginformasikan tentang suatu hukum syariat dengan cara yang tidak
mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat
tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya,
baik yang jelas maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm
al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw
mubham, fard aw jama‘ah).[3]
2.
Istifta’
Istiftaatau Al-fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:[4]
Artinya:
الجَوَابُ عَمَّايُسْكِلُ مِنَ اْلأُمُرِ
“menyelesaikan
setiap problem”
Misalnya
kalau kita berkata:
اِسْتَفْتَيْتُ فَأَ فْتَانِى بِكَذَا
Artinya:
“Aku
minta maaf ke padanya dan ia memberi fatwa begini pada ku”.
Seperti
firman Allah
ويستفتونك فى النساء قل لله
يفتيكم فيهن وما يتلى عليكم فى الكتاب فى يتامى
Artinya:
”Dan
mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka”.(QS. An-Nisa’ : 127)
فاستفتهم اهم اشد خلقا ام من خلقنا انا خلقنا هم من طين لازب
Artinya:
“
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih
kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu.” (QS. Assafat: 11).
ياايها الملا افتونى فى رءياي ان كنتم للرءيا تعبرون
Artinya:
"Terangkanlah
kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu."(QS. Yusuf: 43)
Didalam
kitab An-nihabah di katakan:
يُقَالُ : أَفْتَاهُ فِى اْلمَسْأَ لَةِ فَيُفْتِيَهُ اِذَااَجَابِهِ
Artinya:
“misalnya
memfatwakan satu masalah (artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah
menjawab pertanyaan itu.”
اِنَّ اَرْبَعَةً تَفَا ئَوْااِلَيْهِ عَلَيْهِ السَّلام
Artinya:
“sesungguhnya
empat orang minta fatwa kepada rasul Saw. Maksudnya minta fatwa pada rasul.”
Dan
di dalam kitab Al-Misbah di sebutkan:
اَلْفَتْوَاى بِل وَاوِبِفَتْحِ الفَاءِ اَعَمُّ مِن اَفْتَى
العَالِمُ اِذَا بَيَّنَ الحُكْمَ
Artinya:
“kata
fatwa dengan imbuhan waw dan fa yang di fatahkan bermakna seorang alim memberi
fatwa kalau ia menyelesaikan masalah tentang hukum.”
Sedang
Istifta secara terminologi (istilah) adalah
اَلْاِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تعلى بِمُقْتَضَى الاَدِلَّةِ الشَّر
عِيَّةِ عَلَى جِهَةِ العُمُمِ والشُّمُول
Artinya:
“fatwa
adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang
amenckup segala persoalan.”
Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa
memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa
memberi fatwa dan masalah yang di fatwakan itu cukup mendesak, maka ia pun
berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu. Orang yang pertama menjabat
mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa
terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari
Allah SWT. Yang di turunkan kepadanya.
Rasul
di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فاان تنازعتم فى شىء ففردوه الى لله
Artinya:
“kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”(An-nisa’ : 59).
Selain
itu, rasul juga memberi kesmpatan kepada beberapa orang sahabat untuk berfatwa.
Ada sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bertindak
sebagai mufti (pemberi fatwa) pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang
terkenal ketika itu ialah: Mas’ud, Aisyag ra, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Umar. Imam Asy-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat mengatakan:
Artinya:
اِنَّ عُمَرَ كَانَ يَشْتَثِيْرُ أَصْحَابَهُ مَعَ فِقْهِهِ حَتَّى
اِذَا رُفِعَتْ اِلَيْهِ حَادِثَةٌ قال : اُدْعُ لِى عَلِيًّا وَادْعُ لِى زَيْدًا
فَكَانَ يَسْتَثِيرُ هُمْ ثُمَّ يُفَصِّلُ مَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ
“sesungguhnya
Umar bin Khatab selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya padahal beliau
seorang faqih, sehingga apabila di ajukan suatu perkara kepadanya, beliau
selalu berkata panggilah Ali dan Zaid untuk datang kepada ku, lalu Umar
bermusyawarah dengan mereka. Kemudian beliau memutuskan yang merka sepakati.”
Imam
sya’bi
berkata:
كَانَتِ القَضِيَّةُ تُرْفَعُ الى عُمَرَ رُبَّمَا تَأَمَّلَ فِى ذَلك
شَهْرًاوَيَسْتَثِيْرُاَصْحَابَهُ
Artinya:
“kalau
ada khasus yang di ajukan kepada umar kadang-kadang beliau meneliti kasus itu
sebeulan lamanya. Dan setelah itu beliau mengajak sahabatnya bermusyawarah.”
Setelah
itu menyusul Abu Bakar r.a.,Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-khudri,
Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin Ash, Ibnu Zubair, Abu musa Al-Asyari, saad
bin abi waqqash, Salman Al-Farisi, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf dan
Ubadah bin shamit.
Ibnu
qayyim di dalam ilamul mu’aqqin menyatakan bahwa ulama’ besar dari golongan
tabi’in banyak di tempatkan di negara-negara islam., di antaranya said musayyad
di madinah, Atha bin Abi Abi Rabah di Mekah, Ibrahim An-nakha’i di kufah,
Al-Hasan Al-Bisri di Basra, Thawus bin kaisan di yaman, dan Makhul di Syam.
Baik
sahabat, tabi’in-tabi’in, maupun ulama’-ulama’ yang ahli ketika itu sangat
berhati-hati di dalam berfatwa kalau mereka belum meneliti lebih dahulu
dalil-dalil yang di fatwakan itu dari Al-qur’an maupun dari hadis.
Ada
di antara mereka yang meng haramkanya, dengan berdasarkan firman Allah:
ولاتقولوا لما تصف السنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله
الكذب ان الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون
Artinya:
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah Tiadalah beruntung.”(QS. An-nahl: 116)
Sedangkan
istifta’ secara Etimologi ialah :
الْجَوَابُ عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمُوْرِ
“menyelesaikan
setiap problem”.
Menurut
Hallaq, di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi
permohonan untuk memecahkan satu persoalan yang pelik.[5]
Seperti
firman Allah:
Dan
mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka,” (Q.S. An-Nisa’ : 127)
maka dalam hemat kami, Istifta’ dapat juga diartikan sebagai
pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa)
yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang
dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Sedangkan,
Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi.
3.
Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa. Namun, mufti tidak
mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan
kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya.
Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar
mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan
peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai
dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu
fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”
Adapun orang yang pertama menjabat mufti di dalam islam ialah
Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul
atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.
1.
Syarat Seorang Mufti
Dalam kitab
Faroidu As Saniyyah Syarat sebagai Mufti ialah :
v Mengetahui ayat Al-Quran yang berhubungan dengan hukum
v Mengetahui Hadits yang berhubungan dengan hukum
v Mengetahui kaidah-kaidah feqih
v Mengetahui cabang-cabang ilmu feqih
v Mengetahui perselisihan madzab
v Mengetahui madzab yang sudah ditetapkan
v Mengetahui ilmu nahwu dan shorof
v Mengetahui ilmu bahasa
v Mengetahui ilmu ushul
v Mengetahui ilmu ma’ani
v Mengetahui ilmu bayan
v Mengetahui ilmu tafsir
v Mengetahui tingkah-tingkah rowi (periwayat hadits)
v Mengetahui ketetapan dan perselisihan
v Mengetahui asbabun nuzul.[6]
Dan kewajiban seorang Mufti adalah :[7]
Ø Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah,atau sangat
ketakutan,karena sangat gundah,atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu
hal. Karena semua yang itu menghilangkan ketelitian dan keimbangan.
Ø Hendaklah dia merasakan sangat berhajat kepada pertolongan Allah
dan hendaklah dia memohon pertolongan Allah agar menunjuknya kejalan yang benar
dan membukakan baginya jalan yang harus ditempuh.
Ø Berdaya upaya menetapkan hukum dengan yang diridhoi Allah dan
selalu ingat bahwa dia harus memutuskan hukum dengan apa yang Allah
turunkan,serta dilarang mengikuti hawa nafsu.
2.
Kedudukan Ifta’ (fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab
Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor
otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan
tersebut.
Ø Disebutkan didalam kitab Al-Mjmu’ tersebut “kalian harus mengerti
bahwa fatwa berfatwa itu adalah satu
perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang
besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan
sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu
kifayah harus melaksanakan urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti
adalah penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. untuk
menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat dibumi ini.
بلغوا عنى ولو اية
”Hendaklah engkau
menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.”(HR.Ahmad dan
Tirmidzi)
Ibnu Abidin
menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya
tentang agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki
otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang
terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi
bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.[8]
PENUTUP
KESIMPULAN
Fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli
hukum Islam. Dalam ilmu ushul feqih, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan
oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa
dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Istifta’ dapat
juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh
jawaban-jawaban (fatwa) yang dikeluarkan sebagai respon terhadap berbagai
peristiwa dan kejadian yang dihadapi didalam masyarakat baik secara individual
maupun kolektif.
“sedangkan
Mufti ialah pemberi fatwa.”
Seorang mufti haruslah seorang yang
alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan
jujur pula.
Kedudukan fatwa,
sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab,
sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti
dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro,
Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005
Umam,
Khairul dkk. Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung. 2001
Muhammad
Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006)
Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah
li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988)
Ali
Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
PERTANYAAN
DARI TEMAN-TEMAN
Siska
Rahmawati
1.
Apakah
seorang wanita boleh menjadi mufti dan apa saja syarat-syaratnya?
Di Jawab oleh (Riska Tri Mulyaning Tiyas 112179): seorang mufti itu
tidak harus seorang laki-laki, wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi
persyaratan sebagai berikut:1. Baligh, berakal, merdeka. 2. Adil 3. Memenuhi
persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk
memberikan fatwa.sebaiknya seorang mufti
itu seorang laki-laki karena laki-laki itu akalnya banyak dan pemikirannya
lebih luas.
Etri
Sutrisni (112175)
2.
Tolong
jelaskan syarat lain yang harus menjadi seorang mufti?
Di Jawab oleh (Oktavian Cahya S, 112180): syarat lain memjadi seorang mufti itu ada 4:1.
Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk. 2. Seorang mufti harus mengerti
ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat madzhab agar bisa menjawab atau
bisa menyelasaikan setiap perkara fatwanya tepat pada sasarannya, dan tidak
menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya. 3. Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Ifid
Fadliyah (112176)
3.
Apabila
ada seseorang yang ingin menjadi mufti tapi tidak memenuhi syarat-syaratnya?
Di jawab oleh (izzudin 112181) : kan udah dijelas kan diatas kalau menjadi seorang
mufti itu harus balig, berakal dan memenuhi syarat-syarat tersebut,kalau tidak
memenuhi syarat tidak boleh menjadi seorang mufti dan seorang mufti hendaklah
seorang yang bertindak atas dasar ilmu,, penuh sopan santun, wibawa dan tenang.
[1]Ali Bin
Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
hal.32
2 Totok jumantoro. Kamus Ilmu
Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005. Hal. 101
[3] Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar
Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal. 11
[5]Ibid , Hal. 173
[6] Muhammad
Sya’roni Ahmadi Alfaroidu As Saniyyah,(kudus,2006),hal40
[7]Khairul umam,
ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Hal. 178
[8]Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar
Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal.
No comments:
Post a Comment