Saturday, February 27, 2016

makalah ifta' dan istifta'


PENDAHULUAN
Pada masa awal perkembangan Islam,Rasulullah SAW.telah menghadapi berbagai persola-persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniawian,terutama dikalangan bangsa Arab Makkah.bersamaan dengan itu,Allah menurunkan wahyu sebagaitanda kemukjizatan Rasulullah SAW.penutup para nabi.
Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah SAWmengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk,pedoman dan panduan bagi umat islam dalam memberikan penjelasan,jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu akidah,sosial,ekonomi,adat,budaya,politik dan lain-lain.dengan demikian,kehidupan terus berjalandibawah ajaran(hukum-hukum) dan bimbingan Agama Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi,berbagai persoalan klise ataupun baru,selalu muncul ditengah-tengah masyarakat.
Umat islam kerap dihadapkan pada kegamangan,setiap kali perubahan zaman terjadi.tak heran jika selalu muncul pertanyaan,apakah perubahan itu sesuai dengan syari’at islam?
Guna menjawab kegamangan itu,umat membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama.fatwa ibarat setetes air disaat dahaga.fatwa dari sosok alim dianggap menjadi jawaban yang memberikan jaminan ketenangan dan keyakinan,terutama jika ditinjau dari aspek syariatnya.
RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Ifta’, Istifta’, dan Mufti?
2.      Apa saja syarat-syarat Mufti?
3.      Bagaimana kedudukan Ifta’?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Fatwa (IFTA’)
Kata fatwa (kemudian disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’ yang berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu masalah.[1]
Secara etimologi kata ifta’ (افتاء)terambil dari akar kata “يفتى- افتاء- افتى” yang berarti memberi penjelasan , memberi jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Ifta’ itu pada intinya adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahea yang dimaksud dengan ifta’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas dasar pertanyaan yang diajukan.
Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul feqih, fatwa adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.[2]
الإِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ الْعُمُوْمِ وَالشُّمُوْلِ
“fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).[3]
2.      Istifta’
Istiftaatau Al-fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:[4]
Artinya:
الجَوَابُ عَمَّايُسْكِلُ مِنَ اْلأُمُرِ
“menyelesaikan setiap problem”
Misalnya kalau kita berkata:
اِسْتَفْتَيْتُ فَأَ فْتَانِى بِكَذَا
Artinya:
“Aku minta maaf ke padanya dan ia memberi fatwa begini pada ku”.
Seperti firman Allah
ويستفتونك فى النساء قل لله  يفتيكم فيهن وما يتلى عليكم فى الكتاب فى يتامى
Artinya:
”Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka”.(QS. An-Nisa’ : 127)
فاستفتهم اهم اشد خلقا ام من خلقنا انا خلقنا هم من طين لازب


Artinya:
“ Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu.” (QS. Assafat: 11).
   ياايها الملا افتونى فى رءياي ان كنتم للرءيا تعبرون
Artinya:
"Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu."(QS. Yusuf: 43)
Didalam kitab An-nihabah di katakan:
يُقَالُ : أَفْتَاهُ فِى اْلمَسْأَ لَةِ فَيُفْتِيَهُ اِذَااَجَابِهِ
Artinya:
“misalnya memfatwakan satu masalah (artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah menjawab pertanyaan itu.”
اِنَّ اَرْبَعَةً تَفَا ئَوْااِلَيْهِ عَلَيْهِ السَّلام
Artinya:
“sesungguhnya empat orang minta fatwa kepada rasul Saw. Maksudnya minta fatwa pada rasul.”
Dan di dalam kitab Al-Misbah di sebutkan:
اَلْفَتْوَاى بِل وَاوِبِفَتْحِ الفَاءِ اَعَمُّ مِن اَفْتَى العَالِمُ اِذَا بَيَّنَ الحُكْمَ
Artinya:
“kata fatwa dengan imbuhan waw dan fa yang di fatahkan bermakna seorang alim memberi fatwa kalau ia menyelesaikan masalah tentang hukum.”
Sedang Istifta secara terminologi (istilah) adalah
اَلْاِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تعلى بِمُقْتَضَى الاَدِلَّةِ الشَّر عِيَّةِ عَلَى جِهَةِ العُمُمِ والشُّمُول
Artinya:
“fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang amenckup segala persoalan.”
            Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang di fatwakan itu cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu. Orang yang pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Yang di turunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فاان تنازعتم فى شىء ففردوه الى لله  
Artinya:
“kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).”(An-nisa’ : 59).
Selain itu, rasul juga memberi kesmpatan kepada beberapa orang sahabat untuk berfatwa. Ada sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bertindak sebagai mufti (pemberi fatwa) pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang terkenal ketika itu ialah: Mas’ud, Aisyag ra, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Imam Asy-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat mengatakan:
Artinya:
اِنَّ عُمَرَ كَانَ يَشْتَثِيْرُ أَصْحَابَهُ مَعَ فِقْهِهِ حَتَّى اِذَا رُفِعَتْ اِلَيْهِ حَادِثَةٌ قال : اُدْعُ لِى عَلِيًّا وَادْعُ لِى زَيْدًا فَكَانَ يَسْتَثِيرُ هُمْ ثُمَّ يُفَصِّلُ مَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ
“sesungguhnya Umar bin Khatab selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya padahal beliau seorang faqih, sehingga apabila di ajukan suatu perkara kepadanya, beliau selalu berkata panggilah Ali dan Zaid untuk datang kepada ku, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kemudian beliau memutuskan yang merka sepakati.”
Imam sya’bi berkata:                                                             
كَانَتِ القَضِيَّةُ تُرْفَعُ الى عُمَرَ رُبَّمَا تَأَمَّلَ فِى ذَلك شَهْرًاوَيَسْتَثِيْرُاَصْحَابَهُ
Artinya:
“kalau ada khasus yang di ajukan kepada umar kadang-kadang beliau meneliti kasus itu sebeulan lamanya. Dan setelah itu beliau mengajak sahabatnya bermusyawarah.”
Setelah itu menyusul Abu Bakar r.a.,Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin Ash, Ibnu Zubair, Abu musa Al-Asyari, saad bin abi waqqash, Salman Al-Farisi, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf dan Ubadah bin shamit.
Ibnu qayyim di dalam ilamul mu’aqqin menyatakan bahwa ulama’ besar dari golongan tabi’in banyak di tempatkan di negara-negara islam., di antaranya said musayyad di madinah, Atha bin Abi Abi Rabah di Mekah, Ibrahim An-nakha’i di kufah, Al-Hasan Al-Bisri di Basra, Thawus bin kaisan di yaman, dan Makhul di Syam.
Baik sahabat, tabi’in-tabi’in, maupun ulama’-ulama’ yang ahli ketika itu sangat berhati-hati di dalam berfatwa kalau mereka belum meneliti lebih dahulu dalil-dalil yang di fatwakan itu dari Al-qur’an maupun dari hadis.
Ada di antara mereka yang meng haramkanya, dengan berdasarkan firman Allah:
ولاتقولوا لما تصف السنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب ان الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون
Artinya:     
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.”(QS. An-nahl: 116)

Sedangkan istifta’ secara Etimologi ialah :
الْجَوَابُ عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمُوْرِ
“menyelesaikan setiap problem”.
Menurut Hallaq, di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan untuk memecahkan satu persoalan yang pelik.[5]
Seperti firman Allah:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,” (Q.S. An-Nisa’ : 127)
maka dalam hemat kami, Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Sedangkan, Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi.
3.      Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”
Adapun orang yang pertama menjabat mufti di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.


1.      Syarat Seorang Mufti
Dalam kitab Faroidu As Saniyyah Syarat sebagai Mufti ialah :
v  Mengetahui ayat Al-Quran yang berhubungan dengan hukum
v  Mengetahui Hadits yang berhubungan dengan hukum
v  Mengetahui kaidah-kaidah feqih
v  Mengetahui cabang-cabang ilmu feqih
v  Mengetahui perselisihan madzab
v  Mengetahui madzab yang sudah ditetapkan
v  Mengetahui ilmu nahwu dan shorof
v  Mengetahui ilmu bahasa
v  Mengetahui ilmu ushul
v  Mengetahui ilmu ma’ani
v  Mengetahui ilmu bayan
v  Mengetahui ilmu tafsir
v  Mengetahui tingkah-tingkah rowi (periwayat hadits)
v  Mengetahui ketetapan dan perselisihan
v  Mengetahui asbabun nuzul.[6]

Dan kewajiban seorang Mufti adalah :[7]
Ø  Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah,atau sangat ketakutan,karena sangat gundah,atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu hal. Karena semua yang itu menghilangkan ketelitian dan keimbangan.
Ø  Hendaklah dia merasakan sangat berhajat kepada pertolongan Allah dan hendaklah dia memohon pertolongan Allah agar menunjuknya kejalan yang benar dan membukakan baginya jalan yang harus ditempuh.
Ø  Berdaya upaya menetapkan hukum dengan yang diridhoi Allah dan selalu ingat bahwa dia harus memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan,serta dilarang mengikuti hawa nafsu.
2.      Kedudukan Ifta’ (fatwa)

Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Ø  Disebutkan didalam kitab Al-Mjmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa  berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan  sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat dibumi ini.
بلغوا عنى ولو اية
”Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.”(HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.[8]











PENUTUP
KESIMPULAN

Fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam ilmu ushul feqih, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (fatwa) yang dikeluarkan sebagai respon terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi didalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif.
“sedangkan Mufti ialah pemberi fatwa.”
Seorang mufti haruslah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005
Umam, Khairul dkk. Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung. 2001
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006)
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988)
Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
















PERTANYAAN DARI TEMAN-TEMAN
Siska Rahmawati
1.      Apakah seorang wanita boleh menjadi mufti dan apa saja syarat-syaratnya?
Di Jawab oleh (Riska Tri Mulyaning Tiyas 112179): seorang mufti itu tidak harus seorang laki-laki, wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan sebagai berikut:1. Baligh, berakal, merdeka. 2. Adil 3. Memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan  fatwa.sebaiknya seorang mufti itu seorang laki-laki karena laki-laki itu akalnya banyak dan pemikirannya lebih luas.
Etri Sutrisni (112175)
2.      Tolong jelaskan syarat lain yang harus menjadi seorang mufti?
Di Jawab oleh (Oktavian Cahya S, 112180):  syarat lain memjadi seorang mufti itu ada 4:1. Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk. 2. Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat madzhab agar bisa menjawab atau bisa menyelasaikan setiap perkara fatwanya tepat pada sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya. 3. Seorang mufti harus  mengerti hukum-hukum Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Ifid Fadliyah (112176)
3.      Apabila ada seseorang yang ingin menjadi mufti tapi tidak memenuhi  syarat-syaratnya?
Di jawab oleh (izzudin 112181) : kan udah  dijelas kan diatas kalau menjadi seorang mufti itu harus balig, berakal dan memenuhi syarat-syarat tersebut,kalau tidak memenuhi syarat tidak boleh menjadi seorang mufti dan seorang mufti hendaklah seorang yang bertindak atas dasar ilmu,, penuh sopan santun, wibawa dan tenang.













[1]Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain) hal.32
2 Totok jumantoro. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005. Hal. 101










[3] Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal. 11

[4]Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Hal. 173-178


[5]Ibid , Hal. 173

[6] Muhammad Sya’roni Ahmadi Alfaroidu As Saniyyah,(kudus,2006),hal40
[7]Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Hal. 178

[8]Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal.

No comments:

Post a Comment