Friday, February 26, 2016

makalah adzan, iqomah dan penentuan kiblat

 PENDAHULUAN
Dengan rahmat, hidayah serta inayah dari Allah, pada kesempatan yang baik ini kami dapat  menyusun makalah tentang tafsir surat Al Maidah ayat 58 mengenai Adzan dan  Iqamah serta surat Al Baqarah ayat 142-145 mengenai penentuan arah kiblat. Makalah ini kami susun dengan bahasa yang sangat mudah difahami oleh  seluruh lapisan masyarakat.
Shalat merupakan Rukun Islam kedua. Dalam shalat telah ditentukan syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Seperti menghadap arah kiblat selain itu juga diwajibkan adzan dan iqamah sebagai penanda datangnya waktu sholat. Kita mengetahui bahwa adzan dan iqamah serta kiblat adalah sesuatu yang wajib diketahui oleh Muslim sebagai pedoman dalam beribadah kepada Allah terutama sholat. Ketika ketiga aspek tersebut tidak diketahui maka ibadahnya dianggap tidak sah.
Adzan atau ta’zin ialah memberitahukan kepada penduduk, bahwa waktu sembahyang telah masuk. Sedangkan Iqamah ialah mengajak para jama’ah membetulkan shaf.
Makalah ini dibuat untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca mengenai adzan dan iqamah serta penentuan kiblat. Semoga memberi manfaat bagi pembaca secara umum.
PEMBAHASAN
1.      Adzan dan Iqamah
a.       Ayat al Qur’an tentang adzan dan iqamah
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal” (QS. Al maidah 58).[1]
b.      Mufrodat
ناديْتمْ            : kamu menyeru/memanggil
اتّخذوها        : mereka menjadikannya
هُزوًا            : ejekan
ولعِبًا             : dan permainan
يعْقِلون           : mereka menggunakan akal




c.       Asbabun Nuzul
Abu Syaikh dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rifa’ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin Harits telah menampakkan keIslamannya, akan tetapi kemudian keduanya menjadi munafik. Dan tersebutlah bahwa ada seseorang lelaki dari kalangan kaum Muslimin bersahabat dengan sangat intim dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu. Orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan…” sampai dengan firmanNya,”Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”.[2]
d.      Pendapat Mufassir dan Fuqaha
Adzan atau ta’zin ialah memberitahukan kepada penduduk, bahwa waktu sembahyang telah masuk. Sedangkan Iqamah ialah mengajak para jama’ah membetulkan shaf.[3]
Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok, yakni: dan apabila kamu menyeru

 untuk sholat, yakni mengumandangkan adzan atau mengajak mereka shalat, mereka menjadikannya, yakni ajakan itu bahan ejekan dan permainan. Itu, yakni perbuatan mengejek dan melecehkan ajakan untuk menghadap Allah adalah karena mereka benar-benar kaum yang walaupun mempunyai kekuatan dan kemampuan melaksanakan sesuatu sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, tetapi mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang tidak mau mempergunakan akal.
Seandainya mereka menggunakan akal,niscaya mereka akan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain walau tidak seagamadengan mereka,apalagi ini adalah adzan,yakni ajakan untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa.apabila mereka mau menggunakan akal niscaya mereka akan menemukan bahwa memanggil dengan suara merdu dan kata-kata indah yang menyentuh hati dan pikiran,jauh lebih baik dari pada memanggil dengan lonceng atau semacamnya.selain itu,mereka akan menemukan hikmah dan rahasia yang dikandung dalam panggilan itu.[4]
Menurut Ibnu Katsir, firman Allah Ta’ala, “ Dan jika kamu mengajak untuk shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan.” Yakni, apabila kamu mengajak shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan pula.” Hal itu karena mereka merupakan kaum yang tidak memahami” konsep-konsep ibadah kepada Allah dan aneka syariatnya. Inilah sifat-sifat para pengikut setan. Jika mendengar adzan maka mereka membelakang dan menyumbat telinganya sehingga tidak mendengar seruan. Jika adzan usai maka mereka menghadap lagi. Jika dibacakan (tatswib) ajakan sholat maka mereka membelakang.[5]
Mengenai hukum adzan dan iqomah,kalangan ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik meriwayatkan bahwa hukum adzan dan iqomah adalah wajib(fardhu) bagi Masjid yang digunakan sholat berjamaah. Sedang menurut riwayat lain, hanya sunnah muakkadah. Adzan dan iqomahjuga tidak dianggap perlu -sebagai fardhu atau sunnah bagi perorangan. Imam Asy Syafi’I dan Abu Hanifah mengambil kata sepakat, bahwa hukum adzan dan iqomah itu sunnahbagi perorangan ataupun jamaah, meski untuk jamaah masalah adzan ini lebih ditekankan lagi.[6]
Para ulama’ sepakat bahwa dalam sholat jamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan wanita, adzan dan iqomah harus dilakukan oleh salah seorang dari kaum laki-laki. Sedangkan apabila dalam sholat jamaah hanya terdiri dari kaum wanita atau sholat yang dilakukan oleh seorang wanita saja, para ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada adzan dan iqomah.sedangkan Imam Asy Syafi’I berpendapat bahwa mereka dibolehkan adzan dan iqomah[7].
Mengenai waktu adzan, Fuqaha sepakat bahwa adzan dilarang diserukan sebelum masuk waktu. Kecuali untuk sholat subuh yang masih diperdebatkan kalangan fuqaha. Imam Malik dan Asy Syafi’I berpendapat bahwa adzan subuh boleh dikumandangkan sebelum fajar terbit. Karenanya, diharuskan ada adzan lagi setelah fajar terbit karena adzan yang wajib adalah yang setelah fajar terbit[8].
Adzan menurut Asy-Syafi’I terdiri dari sembilan belas perkataan bersama-sama tarji’, yaitu:
-          Allahu Akbar 4 kali
-          Asyhadu alla ilaha illallah 2 kali
-          Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah 2 kali
-          Haiya’alash shalah 2 kali
-          Haiya’alal falah 2 kali
-          Allahu akbar 2 kali
-          La ilahaillallah 1 kali
Menurut Imam Malik, tujuh belas perkataan. Beliau menetapkan bahwa takbir permulaan hanya dua kali saja. Sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan lima belas perkataan, tidak mentarji’kan syahadat dan takbir permulaan empat kali.
Iqamah menurut Asy-Syafi’y, sebelas perkataan yang diduakan dalam iqamah, hanyalah takbir dipermulaan, qad qamatish shalah dan takbir dipenghabisan. Imam Ahmad sependapat dengan Asy-Syafi’y. Imam Malik menetapkan sepuluh perkataan saja, yaitu dengan menetapkan sekali saja qad qamatish sholah. Imam Abu Hanifah menetapkan tujuh belas perkataan ditambah dua kali qad qamatish sholah. [9]
2.      Penentuan Kiblat
a.       Ayat tentang penentuan kiblat
سَيَقُولُالسُّفَهَاءُمِنَالنَّاسِمَاوَلَّاهُمْعَنْقِبْلَتِهِمُالَّتِيكَانُواعَلَيْهَاقُلْلِلَّهِالْمَشْرِقُوَالْمَغْرِبُيَهْدِيمَنْيَشَاءُإِلَىصِرَاطٍمُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَجَعَلْنَاكُمْأُمَّةًوَسَطًالِتَكُونُواشُهَدَاءَعَلَىالنَّاسِوَيَكُونَالرَّسُولُعَلَيْكُمْشَهِيدًاوَمَاجَعَلْنَاالْقِبْلَةَالَّتِيكُنْتَعَلَيْهَاإِلَّالِنَعْلَمَمَنْيَتَّبِعُالرَّسُولَمِمَّنْيَنْقَلِبُعَلَىعَقِبَيْهِوَإِنْكَانَتْلَكَبِيرَةًإِلَّاعَلَىالَّذِينَهَدَىاللَّهُوَمَاكَانَاللَّهُلِيُضِيعَإِيمَانَكُمْإِنَّاللَّهَبِالنَّاسِلَرَءُوفٌرَحِيمٌ (143) قَدْنَرَىتَقَلُّبَوَجْهِكَفِيالسَّمَاءِفَلَنُوَلِّيَنَّكَقِبْلَةًتَرْضَاهَافَوَلِّوَجْهَكَشَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِوَحَيْثُمَاكُنْتُمْفَوَلُّواوُجُوهَكُمْشَطْرَهُوَإِنَّالَّذِينَأُوتُواالْكِتَابَلَيَعْلَمُونَأَنَّهُالْحَقُّمِنْرَبِّهِمْوَمَااللَّهُبِغَافِلٍعَمَّايَعْمَلُونَ (144) وَلَئِنْأَتَيْتَالَّذِينَأُوتُواالْكِتَابَبِكُلِّآيَةٍمَاتَبِعُواقِبْلَتَكَوَمَاأَنْتَبِتَابِعٍقِبْلَتَهُمْوَمَابَعْضُهُمْبِتَابِعٍقِبْلَةَبَعْضٍوَلَئِنِاتَّبَعْتَأَهْوَاءَهُمْمِنْبَعْدِمَاجَاءَكَمِنَالْعِلْمِإِنَّكَإِذًالَمِنَالظَّالِمِينَ (145)
“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.’’
(142)  Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (143). Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(144) Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim (QS. Al Baqarah 142-145).[10]
b.Mufradat
المشرق         : arah timur
السّفهاء         : orang-orang bodoh
والمغرب       : dan arah barat

صراطٍ          : jalan
مّستقيمٍ          : yang lurus
ثهداء            : saksi-saksi (pada hari kiamat)
يّنْقلب            : ia berbalik
لكبيرةً           : sungguh berat(diterima)
ليضيع          : hendak menyia-nyiakan
لرءوْفٌ         : sungguh maha pengasih

c.       Asbabun Nuzul
Ayat 142: Al Barra’ berkata,”Orang-orang bodoh berkata, apakah yang memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?” Allah lalu menurunkan ayat ini sebagai jawaban tentang perubahan arah kiblat, dari Baitul Maqdis kembali ke Masjidil Haram (HR. Ibnu Ishaq)
Ayat 143: Al Barra’ berkata, “Beberapa orang Islam meninggal atau gugur sebagai syuhada sebelum kiblat diubah kembali kearah Ka’bah. Sementara itu, kaum Muslim ingin mengetahui bagaimana nasib mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat ini (HR Bukhari Muslim).
Ayat 144: Al Barra’ berkata, “Rasulullah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Saat shalat, beliau sering memandang langit menanti perintah Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini.(HR. Bukhari).[11]

d.      Pendapat mufassir dan fuqaha
Menurut M. Quraish Shihab, ayat di atas masih sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang yahudi yang dibicarakan dalam ayat-ayat lalu. Itu agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf wawu, yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian ke uraian yang lain. Dengan demikian kuat dugaan bahwa yang dimaksud dengan kata as sufaha adalah orang-orang yahudi.
 Maksud dari ucapan mereka yang direkam oleh ayat di atas yang menyatakan,’’apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’’ adalah bahwa tadinya umat Islam mengarah ke Mekkah, kemudian ke Bait Al Maqdis, atau tadinya mereka mengarah ke Bait Al Maqdis sekarang ke Mekkah lagi. Kalau mengarah ke Bait Al Maqdis atas perintah Allah, maka mengapa sekarang Allah memerintahkan mereka mengarah ke Ka’bah ? Tentu ada kekeliruan atau (Nabi) Muhammad dan kaum muslimin hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah mereka dahulu ketika ke Bait Al Maqdis atau di Mekah sana, sudah batal dan tidak ada ganjarannya lagi. Menanggapi ucapan itu Allah memerintahkan NabiNya: jawablah mereka milik Allah timur dan barat; kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan, dan pengaturan Allah. Karena itu, kemana pun seseorang mengarah, maka dia akan ‘menemukan’ Tuhan disana.
Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan pula.
Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat Islam menjadi saksi atasperbuatan manusia yakni umat yang lain, tetapi ini tidak dapat kalian lakukan kecuali jka kalian menjadikan Rasulullah Saw. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar Rosul Muhammad menjadi saks atas perbuatan kamu.
Pergantian kiblat itu, boleh jadi pembingungan juga sebagian umat Islam, dan menimbulkan pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang Yahudi atau musyrik Mekkah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu, lanjutan ayat ini menyatakan: Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar kami mengetahui dalam dunia nyata siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Atau, agar kami memperlakukan kamu perlakukan orang yang hendak mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Dan sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Pemindahan kiblat berupa ujian, dan ujian itu, berat bagi jiwanya tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak siap.
Selanjutnya untuk menenangkan kaum muslimin meenghadapi ucapan orang-orang Yahudi bahwa ibadah mereka ketika mengarah ke Bait Al-Maqdis tidak diterima Allah SWT, dan atau menenangkan keluarga orang-orang muslim yang telah meninggal dunia sehingga tidak sempat mengarah ke Ka’bah, penutup ayat ini menegaskan bahwa, Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu, yakni tidak akan menyia-nyiakan amal-amal shaleh kamu.
Firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Pengasuih lagi Maha Penyayang kepada manusia, seakan-akan berpesan kepada kaum muslimin bahwa Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan yang kasih sayangnya melimpah sehingga tidak mumgkinDia menyia-nyiakan usaha kamu,lagi Maha Penyayang. Dengan demikian Dia tidak menguji kamu melebihi kemampuan kamu.
Kata qad yang diterjemahkan dengan sering pada firman-Nya: Sungguh kami sering melihat wajahmu (penuh harap) menengadah ke langit ada yang memahaminya dalam arti sedikit, sehingga bila pendapat ini diterima maka terjemahan ayat di atas adalah kami sesekali melihat wajahmu dst. Betapa pun, apakah sekali atau sering, yang jelas, melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad  Saw. bahwa Dia mengetahui keinginan, isi hati atau do’a beliau agar kiblat segera dialihkan ke Mekkah, baik sebelum adanya informasi dari Allah tentang sikap-sikap orang Yahudi bila kiblat dialihkan, lebih-lebih sesudah adanya informasi itu.
Ayat di atas kemudian menambahkan uraiannya dengan menyatakan: Maka, guna memenuhi keinginanmu, serta mengabulkan do’amu sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka. kini  Palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al- Haram. Demikian Allah mengabulkan keinginan Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad Saw. telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri sebagaimana  bunyi redaksi penggalan ayat yang lalu, tetapi ditujukan kepada semua manusia tanpa kecuali, sebagaimana dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak, Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.
Sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka (Yahudi dan Nasrani) mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Baitul Maqdis dan Ka’bah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu.
Jangan harap mereka akan mengikuti kiblatmu, karena persoalan mereka bukan persoalan hujjah dan bukti-bukti, tetapi adalah keras kepala, dan iri hati. Bukankah mereka telah mengetahui  jauh sebelum pengalihan kiblat ini bahwa engkau hai Muhammad adalah Nabi dan bahwa engkau adalah Rasul dua kiblat? Karena itu, Dan sesungguhnya, demikian pernyataan berikut dikuatkan, jika engkau wahai Muhammad yang langsung mendatangkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang diberi al-Kitab,Taurat dan Injil itu, semua ayat yakni keterangan dan bukti, sehingga jika yang satu belum menyakinkan maka bukti-bukti lain seharusnya menyakinkan – seandainya demikian – mereka tetap tidak akan mengikuti kiblatmu dan engkaupun tidak. akan mengikuti kiblat mereka bahkan mereka tidak akan mengikuti kiblat siapa pun dan dimana pun.
Akhir terjemahan di atas mengisyaratkan bahwa kiblat ke Ka’bah tidak diubah lagi, sehingga dengan demikian, Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin hingga akhir zaman.
Bukan hanya itu, dan sebagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Ini berarti pula bahwa perbedaan pendapat tentang kiblat akan berlanjut terus hingga akhir zaman pula.[12]
Perihal kiblat, umat Islam sepakat dengan pendapat, bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Jika seseorang itu mungkin menatap Ka’bah, seseorang itu diharuskan menghadap bangunan Ka’bah itu. Masalah ini sudah menjadi kesepakatan fuqaha’ yang tidak diperdebatkan lagi. Namun, jika Ka’bah tidak tampak oleh mata manusia, dalam hal ini para fuqaha’ berbeda dalam dua permasalahan:
Pertama: kewajiban itu menyangkut menghadap kiblat atau hanya cukup arahnya saja. Kedua: kewajiban itu persis mengarah ke kiblat, atau upaya semaksimal mungkin mengarah ke kiblat atau bangunan Ka’bah. Ini bagi orang yang berpendapat mengarahkan ke bangunan Ka’bah.
Sebagian fuqaha berpendirian bahwa yang wajib itu adalah bangunan Ka’bah. Sedang fuqaha’ lainnya, cukup arahnya.[13]
Masalahnya, untuk mengarahkan secara persis kearah bangunan Ka’bah adalah sangat sulit. Namun sekarang sudah banyak alat modern untuk mengetahui hal tersebut. [14]
Imam Asy syafi’I berpendapat bahwa keharusan seseorang dalam hal ini adalah tepat menghadap kiblat. Dan jika kenyataannya keliru, berarti ia harus mengulang shalat. Sedang lain pendapat menyatakan tidak perlu mengulangi shalatnya –jika shalatnya sudah dilaksanakan- selama hal itu tidak disengaja, dan tidak mengabaikan upaya mencari ketepatan arah kiblat. Demikianlah pendapat  Imam Malik dan Abu Hanifah[15].












KESIMPULAN

1.      Surat Al Maidah ayat 58 menerangkan tentang adzan dan iqamah. Pada ayat tersebut menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok, yakni: dan apabila kamu menyeru untuk sholat, yakni mengumandangkan adzan atau mengajak mereka shalat, mereka menjadikannya, yakni ajakan itu bahan ejekan dan permainan. Itu, yakni perbuatan mengejek dan melecehkan ajakan untuk menghadap Allah adalah karena mereka benar-benar kaum yang walaupun mempunyai kekuatan dan kemampuan melaksanakan sesuatu sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, tetapi mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang tidak mau mempergunakan akal.
2.      Surat Al Baqarah ayat 142-145 menerangkan tentang penentuan kiblat. Arah kiblat yang semula diperintah untuk menghadap Ka’bah kemudian diganti ke arah Baitul Maqdis kemudian kembali lagi menghadap Ka’bah dan berlaku sampai saat ini. Pergantian kiblat itu, boleh jadi pembingungan juga sebagian umat islam, dan menimbulkan pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang Yahudi atau musyrik Mekah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu bertujuan untuk mengetahui siapa yang mengikuti Rosul dan siapa yang membelot.









DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i,Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsirjilid 2. Jakarta:Gema Insani
Ash Shiddieqy, Hasbi.2000.  Kuliah Ibadah. Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra
Daradjat, Zakiah. 1993. Ilmu Fiqh Jilid 1. Departemen Agama RI
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta
Hatta,Ahmad. 2009. Tafsir Qur’an Per Kata. Jakarta:Magfiroh Pustaka

Rusyd, Ibnu. 1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid. Semarang: CV. Asy Syifa’
Shihab,M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 1. Jakarta:Lentera Hati
Shihab,M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 3. Jakarta:Lentera Hati
           





[1] M. Quraish Shihab.Tafsir Al-Mishbah.Volume3. Jakarta:Lentera Hati,2002,hlm 137
[2] Ahmad Hatta. Tafsir Qur’an Per Kata.Jakarta:Magfiroh Pustaka. 2009. Hlm118
[3] Hasbi Ash Shiddieqy.Kuliah Ibadah.Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra. 2000,hlm 137
[4]M.Quraish Shihab.Op.cit.hlm 58-59
[5] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. 1999. Jilid2. Jakarta:Gema Insani. hlm 114-115
[6] Ibnu Rusyd. Terjemah Bidayatul Mujtahid. 1990. Semarang:Asy Sifa’. hlm.216
[7] Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh. 1993. Jilid1. Departemen Agama RI. hlm.96
[8] Ibnu Rusyd. Op.Cit. hlm.218
[9] Habsi Ash Shiddieqy.Op.cit.hlm 138-139
[10] Departemen Agama.Al-Qur’an dan Tafsirnya, 2004. Jilid1.Jakarta:Departemen Agama RI.hlm203-204
[11] Ahmad Hatta.Op.cit.hlm 50
[12] M.Quraish Sihab.Tafsir Al-Mishbah.Volume1.Jakarta:Lentera Hati, 2002, hlm 345-352
[13] Ibnu Rusyd. Op.Cit hlm. 225-226
[14]Ibid,hlm.227
[15]Ibid,hlm.228

No comments:

Post a Comment