PENDAHULUAN
Dengan
rahmat, hidayah serta inayah dari Allah, pada kesempatan yang baik ini kami dapat
menyusun makalah tentang tafsir surat Al
Maidah ayat 58 mengenai Adzan dan Iqamah
serta surat Al Baqarah ayat 142-145 mengenai penentuan arah kiblat. Makalah ini
kami susun dengan bahasa yang sangat mudah difahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Shalat
merupakan Rukun Islam kedua. Dalam shalat telah ditentukan syarat dan rukun
yang harus dipenuhi. Seperti menghadap arah kiblat selain itu juga diwajibkan
adzan dan iqamah sebagai penanda datangnya waktu sholat. Kita mengetahui bahwa
adzan dan iqamah serta kiblat adalah sesuatu yang wajib diketahui oleh Muslim
sebagai pedoman dalam beribadah kepada Allah terutama sholat. Ketika ketiga
aspek tersebut tidak diketahui maka ibadahnya dianggap tidak sah.
Adzan atau ta’zin ialah memberitahukan kepada penduduk,
bahwa waktu sembahyang telah
masuk. Sedangkan Iqamah ialah mengajak para jama’ah membetulkan shaf.
Makalah
ini dibuat untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca mengenai adzan dan iqamah
serta penentuan kiblat. Semoga memberi manfaat bagi pembaca secara umum.
PEMBAHASAN
1.
Adzan dan Iqamah
a. Ayat al Qur’an tentang adzan dan iqamah
|
“Dan apabila kamu
menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal” (QS. Al maidah 58).[1]
b.
Mufrodat
ناديْتمْ : kamu
menyeru/memanggil
اتّخذوها : mereka
menjadikannya
هُزوًا : ejekan
ولعِبًا : dan
permainan
يعْقِلون : mereka
menggunakan akal
|
c.
Asbabun
Nuzul
Abu
Syaikh dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
Rifa’ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin Harits telah menampakkan keIslamannya,
akan tetapi kemudian keduanya menjadi munafik. Dan tersebutlah bahwa ada
seseorang lelaki dari kalangan kaum Muslimin bersahabat dengan sangat intim
dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil jadi walimu. Orang-orang yang membuat agamamu
jadi buah ejekan…” sampai dengan firmanNya,”Allah lebih mengetahui apa yang
mereka sembunyikan.”.[2]
d.
Pendapat
Mufassir dan Fuqaha
Adzan
atau ta’zin ialah memberitahukan kepada penduduk, bahwa waktu sembahyang telah
masuk. Sedangkan Iqamah ialah mengajak para jama’ah membetulkan shaf.[3]
Menurut
M. Quraish Shihab, ayat di atas menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan
olok-olok, yakni: dan apabila kamu
menyeru
untuk sholat, yakni mengumandangkan adzan atau mengajak mereka
shalat, mereka menjadikannya, yakni
ajakan itu bahan ejekan dan permainan.
Itu, yakni perbuatan mengejek dan melecehkan ajakan untuk menghadap Allah adalah karena mereka benar-benar kaum
yang walaupun mempunyai kekuatan dan kemampuan melaksanakan sesuatu sebagaimana
dipahami dari kata “qaum”, tetapi mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang tidak mau mempergunakan akal.
Seandainya
mereka menggunakan akal,niscaya mereka akan menghormati keyakinan dan
kepercayaan orang lain walau tidak seagamadengan mereka,apalagi ini adalah
adzan,yakni ajakan untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa.apabila mereka mau
menggunakan akal niscaya mereka akan menemukan bahwa memanggil dengan suara
merdu dan kata-kata indah yang menyentuh hati dan pikiran,jauh lebih baik dari
pada memanggil dengan lonceng atau semacamnya.selain itu,mereka akan menemukan
hikmah dan rahasia yang dikandung dalam panggilan itu.[4]
Menurut
Ibnu Katsir, firman Allah Ta’ala, “ Dan jika kamu mengajak untuk shalat maka
mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan.” Yakni, apabila kamu
mengajak shalat maka mereka menjadikannya sebagai ejekan dan permainan pula.”
Hal itu karena mereka merupakan kaum yang tidak memahami” konsep-konsep ibadah
kepada Allah dan aneka syariatnya. Inilah sifat-sifat para pengikut setan. Jika
mendengar adzan maka mereka membelakang dan menyumbat telinganya sehingga tidak
mendengar seruan. Jika adzan usai maka mereka menghadap lagi. Jika dibacakan
(tatswib) ajakan sholat maka mereka membelakang.[5]
Mengenai
hukum adzan dan iqomah,kalangan ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik
meriwayatkan bahwa hukum adzan dan iqomah adalah wajib(fardhu) bagi Masjid yang
digunakan sholat berjamaah. Sedang menurut riwayat lain, hanya sunnah muakkadah. Adzan dan iqomahjuga
tidak dianggap perlu -sebagai fardhu atau sunnah bagi perorangan. Imam Asy Syafi’I
dan Abu Hanifah mengambil kata sepakat, bahwa hukum adzan dan iqomah itu sunnahbagi
perorangan ataupun jamaah, meski untuk jamaah masalah adzan ini lebih
ditekankan lagi.[6]
Para
ulama’ sepakat bahwa dalam sholat jamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan
wanita, adzan dan iqomah harus dilakukan oleh salah seorang dari kaum
laki-laki. Sedangkan apabila dalam sholat jamaah hanya terdiri dari kaum wanita
atau sholat yang dilakukan oleh seorang wanita saja, para ulama’ berbeda
pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada adzan dan
iqomah.sedangkan Imam Asy Syafi’I berpendapat bahwa mereka dibolehkan adzan dan
iqomah[7].
Mengenai
waktu adzan, Fuqaha sepakat bahwa adzan dilarang diserukan sebelum masuk waktu.
Kecuali untuk sholat subuh yang masih diperdebatkan kalangan fuqaha. Imam Malik
dan Asy Syafi’I berpendapat bahwa adzan subuh boleh dikumandangkan sebelum
fajar terbit. Karenanya, diharuskan ada adzan lagi setelah fajar terbit karena
adzan yang wajib adalah yang setelah fajar terbit[8].
Adzan
menurut Asy-Syafi’I terdiri dari sembilan belas perkataan bersama-sama tarji’,
yaitu:
-
Allahu
Akbar 4 kali
-
Asyhadu
alla ilaha illallah 2 kali
-
Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah 2 kali
-
Haiya’alash
shalah 2 kali
-
Haiya’alal
falah 2 kali
-
Allahu
akbar 2 kali
-
La
ilahaillallah 1 kali
Menurut Imam Malik,
tujuh belas perkataan. Beliau menetapkan bahwa takbir permulaan hanya dua kali
saja. Sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan lima belas perkataan, tidak
mentarji’kan syahadat dan takbir permulaan empat kali.
Iqamah menurut Asy-Syafi’y,
sebelas perkataan yang diduakan dalam iqamah, hanyalah takbir dipermulaan, qad qamatish shalah dan takbir dipenghabisan. Imam Ahmad
sependapat dengan Asy-Syafi’y. Imam Malik menetapkan sepuluh perkataan saja,
yaitu dengan menetapkan sekali saja qad
qamatish sholah. Imam Abu Hanifah menetapkan tujuh belas perkataan ditambah
dua kali qad qamatish sholah. [9]
2.
Penentuan Kiblat
a.
Ayat
tentang penentuan kiblat
سَيَقُولُالسُّفَهَاءُمِنَالنَّاسِمَاوَلَّاهُمْعَنْقِبْلَتِهِمُالَّتِيكَانُواعَلَيْهَاقُلْلِلَّهِالْمَشْرِقُوَالْمَغْرِبُيَهْدِيمَنْيَشَاءُإِلَىصِرَاطٍمُسْتَقِيمٍ
(142) وَكَذَلِكَجَعَلْنَاكُمْأُمَّةًوَسَطًالِتَكُونُواشُهَدَاءَعَلَىالنَّاسِوَيَكُونَالرَّسُولُعَلَيْكُمْشَهِيدًاوَمَاجَعَلْنَاالْقِبْلَةَالَّتِيكُنْتَعَلَيْهَاإِلَّالِنَعْلَمَمَنْيَتَّبِعُالرَّسُولَمِمَّنْيَنْقَلِبُعَلَىعَقِبَيْهِوَإِنْكَانَتْلَكَبِيرَةًإِلَّاعَلَىالَّذِينَهَدَىاللَّهُوَمَاكَانَاللَّهُلِيُضِيعَإِيمَانَكُمْإِنَّاللَّهَبِالنَّاسِلَرَءُوفٌرَحِيمٌ
(143) قَدْنَرَىتَقَلُّبَوَجْهِكَفِيالسَّمَاءِفَلَنُوَلِّيَنَّكَقِبْلَةًتَرْضَاهَافَوَلِّوَجْهَكَشَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِوَحَيْثُمَاكُنْتُمْفَوَلُّواوُجُوهَكُمْشَطْرَهُوَإِنَّالَّذِينَأُوتُواالْكِتَابَلَيَعْلَمُونَأَنَّهُالْحَقُّمِنْرَبِّهِمْوَمَااللَّهُبِغَافِلٍعَمَّايَعْمَلُونَ
(144) وَلَئِنْأَتَيْتَالَّذِينَأُوتُواالْكِتَابَبِكُلِّآيَةٍمَاتَبِعُواقِبْلَتَكَوَمَاأَنْتَبِتَابِعٍقِبْلَتَهُمْوَمَابَعْضُهُمْبِتَابِعٍقِبْلَةَبَعْضٍوَلَئِنِاتَّبَعْتَأَهْوَاءَهُمْمِنْبَعْدِمَاجَاءَكَمِنَالْعِلْمِإِنَّكَإِذًالَمِنَالظَّالِمِينَ
(145)
“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.’’
(142) Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia. (143). Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(144) Dan sesungguhnya
jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al
Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian
merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya
kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim (QS. Al Baqarah
142-145).[10]
b.Mufradat
المشرق : arah
timur
السّفهاء : orang-orang
bodoh
والمغرب : dan
arah barat
صراطٍ : jalan
مّستقيمٍ : yang
lurus
ثهداء : saksi-saksi
(pada hari kiamat)
يّنْقلب : ia
berbalik
لكبيرةً : sungguh
berat(diterima)
ليضيع : hendak
menyia-nyiakan
لرءوْفٌ : sungguh
maha pengasih
c.
Asbabun
Nuzul
Ayat
142: Al Barra’ berkata,”Orang-orang bodoh berkata, apakah yang memalingkan
mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?” Allah
lalu menurunkan ayat ini sebagai jawaban tentang perubahan arah kiblat, dari
Baitul Maqdis kembali ke Masjidil Haram (HR. Ibnu Ishaq)
Ayat
143: Al Barra’ berkata, “Beberapa orang Islam meninggal atau gugur sebagai
syuhada sebelum kiblat diubah kembali kearah Ka’bah. Sementara itu, kaum Muslim
ingin mengetahui bagaimana nasib mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat
ini (HR Bukhari Muslim).
Ayat
144: Al Barra’ berkata, “Rasulullah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis
selama enam belas atau tujuh belas bulan. Saat shalat, beliau sering memandang
langit menanti perintah Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini.(HR.
Bukhari).[11]
d.
Pendapat
mufassir dan fuqaha
Menurut
M. Quraish Shihab, ayat di atas masih sangat erat kaitannya
dengan sikap orang-orang yahudi yang dibicarakan dalam ayat-ayat lalu. Itu
agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf wawu,
yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian ke uraian yang lain.
Dengan demikian kuat dugaan bahwa yang dimaksud dengan kata as sufaha adalah orang-orang yahudi.
Maksud dari ucapan mereka yang direkam oleh
ayat di atas yang menyatakan,’’apakah
yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblat mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’’ adalah bahwa
tadinya umat Islam mengarah ke Mekkah, kemudian ke Bait Al Maqdis, atau tadinya
mereka mengarah ke Bait Al Maqdis sekarang ke Mekkah lagi. Kalau mengarah ke
Bait Al Maqdis atas perintah Allah, maka mengapa sekarang Allah memerintahkan
mereka mengarah ke Ka’bah ? Tentu ada kekeliruan atau (Nabi) Muhammad dan kaum
muslimin hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah mereka dahulu ketika
ke Bait Al Maqdis atau di Mekah sana, sudah batal dan tidak ada ganjarannya
lagi. Menanggapi ucapan itu Allah memerintahkan NabiNya: jawablah mereka milik Allah
timur dan barat; kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan, dan
pengaturan Allah. Karena itu, kemana pun seseorang mengarah, maka dia akan
‘menemukan’ Tuhan disana.
Dan demikian pula kami
telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan, sehingga dengan
demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi
Ka’bah yang berada dipertengahan pula.
Allah
menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat Islam menjadi
saksi atasperbuatan manusia yakni
umat yang lain, tetapi ini tidak dapat kalian lakukan kecuali jka kalian
menjadikan Rasulullah Saw. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap
dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan
dalam segala tingkah laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar Rosul Muhammad menjadi saks atas perbuatan kamu.
Pergantian
kiblat itu, boleh jadi pembingungan juga sebagian umat Islam, dan menimbulkan
pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang Yahudi atau musyrik
Mekkah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu, lanjutan ayat ini menyatakan: Dan kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar kami mengetahui dalam dunia nyata
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Atau, agar kami
memperlakukan kamu perlakukan orang yang hendak mengetahui siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot.
Dan sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah. Pemindahan kiblat berupa ujian, dan ujian itu, berat
bagi jiwanya tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak
siap.
Selanjutnya
untuk menenangkan kaum muslimin meenghadapi ucapan orang-orang Yahudi bahwa
ibadah mereka ketika mengarah ke Bait Al-Maqdis tidak diterima Allah SWT, dan
atau menenangkan keluarga orang-orang muslim yang telah meninggal dunia
sehingga tidak sempat mengarah ke Ka’bah, penutup ayat ini menegaskan bahwa, Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman
kamu, yakni tidak akan menyia-nyiakan amal-amal shaleh kamu.
Firman-Nya:
Sesungguhnya Allah Maha Pengasuih lagi
Maha Penyayang kepada manusia, seakan-akan berpesan kepada kaum muslimin
bahwa Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan yang kasih sayangnya melimpah
sehingga tidak mumgkinDia menyia-nyiakan usaha kamu,lagi Maha Penyayang. Dengan
demikian Dia tidak menguji kamu melebihi kemampuan kamu.
Kata
qad yang diterjemahkan dengan sering
pada firman-Nya: Sungguh kami sering
melihat wajahmu (penuh harap) menengadah ke langit ada yang memahaminya
dalam arti sedikit, sehingga bila
pendapat ini diterima maka terjemahan ayat di atas adalah kami sesekali melihat wajahmu dst. Betapa pun, apakah sekali atau
sering, yang jelas, melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa Dia mengetahui keinginan, isi hati
atau do’a beliau agar kiblat segera dialihkan ke Mekkah, baik sebelum adanya
informasi dari Allah tentang sikap-sikap orang Yahudi bila kiblat dialihkan,
lebih-lebih sesudah adanya informasi itu.
Ayat
di atas kemudian menambahkan uraiannya dengan menyatakan: Maka, guna memenuhi keinginanmu, serta mengabulkan do’amu sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat
yang engkau sukai, maka. kini
Palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al- Haram. Demikian Allah
mengabulkan keinginan Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya,
setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad Saw. telah dikabulkan, maka
perintah kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri
sebagaimana bunyi redaksi penggalan ayat
yang lalu, tetapi ditujukan kepada semua manusia tanpa kecuali, sebagaimana
dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak, Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke
arahnya.
Sesungguhnya
orang-orang yang diberi al-Kitab yakni
Taurat dan Injil mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah
benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka (Yahudi dan
Nasrani) mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan
bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Baitul Maqdis dan
Ka’bah. Dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan
kebenaran itu.
Jangan
harap mereka akan mengikuti kiblatmu, karena persoalan mereka bukan persoalan
hujjah dan bukti-bukti, tetapi adalah keras kepala, dan iri hati. Bukankah
mereka telah mengetahui jauh sebelum
pengalihan kiblat ini bahwa engkau hai Muhammad adalah Nabi dan bahwa engkau
adalah Rasul dua kiblat? Karena itu, Dan
sesungguhnya, demikian pernyataan berikut dikuatkan, jika engkau wahai Muhammad yang langsung mendatangkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang diberi al-Kitab,Taurat dan Injil itu,
semua ayat yakni keterangan dan
bukti, sehingga jika yang satu belum menyakinkan maka bukti-bukti lain
seharusnya menyakinkan – seandainya demikian – mereka tetap tidak akan
mengikuti kiblatmu dan engkaupun tidak. akan mengikuti kiblat mereka bahkan
mereka tidak akan mengikuti kiblat siapa pun dan dimana pun.
Akhir
terjemahan di atas mengisyaratkan bahwa kiblat ke Ka’bah tidak diubah lagi,
sehingga dengan demikian, Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin hingga akhir
zaman.
Bukan
hanya itu, dan sebagian merekapun tidak
akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Ini berarti pula bahwa perbedaan
pendapat tentang kiblat akan berlanjut terus hingga akhir zaman pula.[12]
Perihal
kiblat, umat Islam sepakat dengan pendapat, bahwa menghadap kiblat adalah salah
satu syarat sahnya shalat. Jika seseorang itu mungkin menatap Ka’bah, seseorang
itu diharuskan menghadap bangunan Ka’bah itu. Masalah ini sudah menjadi
kesepakatan fuqaha’ yang tidak diperdebatkan lagi. Namun, jika Ka’bah tidak
tampak oleh mata manusia, dalam hal ini para fuqaha’ berbeda dalam dua
permasalahan:
Pertama:
kewajiban itu menyangkut menghadap kiblat atau hanya cukup arahnya saja. Kedua:
kewajiban itu persis mengarah ke kiblat, atau upaya semaksimal mungkin mengarah
ke kiblat atau bangunan Ka’bah. Ini bagi orang yang berpendapat mengarahkan ke
bangunan Ka’bah.
Sebagian
fuqaha berpendirian bahwa yang wajib itu adalah bangunan Ka’bah. Sedang fuqaha’
lainnya, cukup arahnya.[13]
Masalahnya,
untuk mengarahkan secara persis kearah bangunan Ka’bah adalah sangat sulit.
Namun sekarang sudah banyak alat modern untuk mengetahui hal tersebut. [14]
Imam
Asy syafi’I berpendapat bahwa keharusan seseorang dalam hal ini adalah tepat
menghadap kiblat. Dan jika kenyataannya keliru, berarti ia harus mengulang
shalat. Sedang lain pendapat menyatakan tidak perlu mengulangi shalatnya –jika
shalatnya sudah dilaksanakan- selama hal itu tidak disengaja, dan tidak
mengabaikan upaya mencari ketepatan arah kiblat. Demikianlah pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah[15].
KESIMPULAN
1.
Surat
Al Maidah ayat 58 menerangkan tentang adzan dan iqamah. Pada ayat tersebut menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok, yakni: dan apabila kamu menyeru untuk sholat,
yakni mengumandangkan adzan atau mengajak mereka shalat, mereka menjadikannya, yakni ajakan itu bahan ejekan dan permainan. Itu, yakni perbuatan mengejek dan
melecehkan ajakan untuk menghadap Allah adalah
karena mereka benar-benar kaum yang walaupun mempunyai kekuatan dan
kemampuan melaksanakan sesuatu sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, tetapi
mereka pada hakikatnya adalah kelompok yang
tidak mau mempergunakan akal.
2.
Surat
Al Baqarah ayat 142-145 menerangkan tentang penentuan kiblat. Arah kiblat yang
semula diperintah untuk menghadap Ka’bah kemudian diganti ke arah Baitul Maqdis
kemudian kembali lagi menghadap Ka’bah dan berlaku sampai saat ini. Pergantian
kiblat itu, boleh jadi pembingungan juga sebagian umat islam, dan menimbulkan
pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang Yahudi atau musyrik
Mekah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu bertujuan untuk mengetahui siapa
yang mengikuti Rosul dan siapa yang membelot.
DAFTAR
PUSTAKA
Ar-Rifa’i,Muhammad
Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsirjilid 2. Jakarta:Gema Insani
Ash Shiddieqy,
Hasbi.2000. Kuliah Ibadah.
Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra
Daradjat,
Zakiah. 1993. Ilmu Fiqh Jilid 1.
Departemen Agama RI
Departemen Agama
RI. 2004. Al-Qur’an dan Tafsirnya.
Jakarta
Hatta,Ahmad. 2009. Tafsir Qur’an Per Kata. Jakarta:Magfiroh Pustaka
Rusyd, Ibnu.
1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid. Semarang:
CV. Asy Syifa’
Shihab,M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 1.
Jakarta:Lentera Hati
Shihab,M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 3.
Jakarta:Lentera Hati
[1] M.
Quraish Shihab.Tafsir Al-Mishbah.Volume3.
Jakarta:Lentera Hati,2002,hlm 137
[2]
Ahmad Hatta. Tafsir Qur’an Per Kata.Jakarta:Magfiroh
Pustaka. 2009. Hlm118
[3]
Hasbi Ash Shiddieqy.Kuliah Ibadah.Semarang:PT.Pustaka
Rizki Putra. 2000,hlm 137
[4]M.Quraish
Shihab.Op.cit.hlm 58-59
[5]
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir. 1999. Jilid2. Jakarta:Gema Insani. hlm 114-115
[6]
Ibnu Rusyd. Terjemah Bidayatul Mujtahid. 1990.
Semarang:Asy Sifa’. hlm.216
[7]
Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh. 1993.
Jilid1. Departemen Agama RI. hlm.96
[8]
Ibnu Rusyd. Op.Cit. hlm.218
[9]
Habsi Ash Shiddieqy.Op.cit.hlm 138-139
[10]
Departemen Agama.Al-Qur’an dan Tafsirnya,
2004. Jilid1.Jakarta:Departemen Agama RI.hlm203-204
[11]
Ahmad Hatta.Op.cit.hlm 50
[12]
M.Quraish Sihab.Tafsir Al-Mishbah.Volume1.Jakarta:Lentera Hati, 2002, hlm
345-352
[13]
Ibnu Rusyd. Op.Cit hlm. 225-226
No comments:
Post a Comment