Friday, February 26, 2016

makalah teori anti familiarisme

       I.            Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan modal dasar untuk menyiapkan insane yang berkualitas. Menurut Undang-undang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[1]
Dengan diberlakukanya UU No. 20 Tahun 2003, maka system pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakaan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[2]
Pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematanga diri. Dewasa yang dimaksud adalah dalam hal perkembangan badan, kecerdasan, dan tingkat emosional dalam jiwa dan tingkah laku. Pada dasarnya, pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Pendidikan yang pertama kali diberikan oleh orang tua, dimana orang tua menanamkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan si anak.
Lingkungan yang semakin meresahkan dan kesibukan orang tua di luar rumah yang semakin meningkat mengubah cara pandang orang terhadap isu pengasuhan anak. Sebelumnya proses menjadi orang tua lebih dirasakan sebagai sesuatu yang alamiah. Setiap orang akan mampu secara alami menjalankan peran sebagai orang tua yang berkewajiban mengasuh anak-anak. Karena alamiah, orang tidak membutuhkan pendidikan atau berbagai latihan formal untuk menjadi orang tua. Cukup dengan trial and error secara otodidak. Kini, proses alamiah itu tak lagi dirasa cukup.[3]
Pada umumnya sekarang, orang tua berada pada keterbatasan waktu dan kemampuan. Orang tua lebih sibuk dalam mencari nafkah demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak ada waktu khusus bagi mereka dan anak-anaknya. Orang tua terkadang juga tidak berkesempatan untuk merencanakan program untuk mendidik putra-putrinya. Karena kesibukan pula mereka ketinggalan informasi mengenai pendidikan dan dengan mudah menyerahkan urusan pendidikan si anak sepenuhnya pada sekolah, karena keahlian orang tua yang kurang dalam mendidik.

    II.            Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana fenomena tersebut dikaitkan dengan teori anti familiarisme dari plato ?

 III.            Teori
Anti Familiarisme Plato
Plato, sama sekali tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga. Karena itu ia lebih menyerahkan persoalan pendidikan itu di tangan negara. Baginya, keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum, yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada tindakan mendidik anak (paidéia).
Dalam diskursus hukumnya, Plato menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk generasi muda menjadi orang-orang yang berkarakter utama, dengan menumbuhkan di dalam dirinya cinta dan keinginan sempurna untuk menjadi warga negara melalui mana ia mampu memerintah dan taat sebagaimana sudah layak dan sepantasnya untuk melakukannya. Setiap kegiatan formatif yang cenderung untuk mencari kekayaan atau sekedar menumbuhkan kekuatan fisik tanpa mau melihat dimensi kebijaksanaan dan keadilan ia anggap sebagai proses pendidikan tingkat rendahan yang tak layak dilakukan oleh manusia bebas. Proses pembentukan seperti ini tidak layak disebut dengan pendidikan. (Leggi, I, 644a).
Secara antropologis Plato melihat bahwa setiap orang tidak dapat mencukupi dirinya sendiri. Karena itu lahirlah negara. “Negara terbentuk karena setiap dari kita tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, kita memiliki kekurangan dalam banyak hal”. Kebutuhan-kebutuhan ini lantas melahirkan 3 kelas warga negara yang berbeda, yaitu, kalangan pengusaha, tentara penjaga, dan pemimpin yang sempurna dalam mengatur urusan negara secara bijaksana. Tujuan pendidikan Plato lebih mengarah pada proses pembentukan sosok politisi filsuf yang mampu menginkarnasikan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu, pendidikan tak lain adalah kinerja politik itu sendiri.
Melihat pentingnya dimensi politis pendidikan Plato mengusulkan bahwa penanggung jawab pendidikan publik adalah negara yang dilaksanakan oleh seorang fungsionaris utama yang dipilih oleh negara berdasarkan ketentuan hukum. Kriteria pengurus pendidikan itu antara lain, mereka haruslah pribadi yang memiliki kematangan karakter dan terkenal karena keutamaannya, mampu dan memiliki kemungkinan untuk meraih kebaikan yang ideal. Karena itu, berbeda dengan tradisi kultur yunani sebelumnya yang membiarkan anak-anak mengenyam pendidikan dalam keluarga, Plato membubarkan institusi keluarga sebagai instansi pendidikan anak dan menggantikannya dengan peranan negara.
Reformasi yang diajukan oleh Plato sangatlah revolusioner pada jamannya mengingat secara umum masyarakat Yunani membatasi peranan kaum perempuan pada batas-batas dinding rumah dan memberikan kepada mereka sekedar hal-hal yang berurusan dengan dimensi kuratif, makan, minum, dan pemeliharaan anak, sementara menjauhkan mereka dari kegiatan kebudayaan, seluk beluk persiapan perang dan partisipasi politik. Tidak mengherankan, pola pendidikan ala Plato lebih bersifat spartan, di mana keseimbangan proses pendidikan, yaitu, fisik, mental, karakter, lebih diutamakan.
Garis pemikiran pedagogi antifamiliarisme Plato muncul kembali pada saat sejarah pedagogi mengalami revolusi kopernikan dengan ditemukannya ‘anak-anak’ yang menjadi pokok perhatian utama pedagogi. Puerocentrisme yang merayakan spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 banyak menimba inspirasi dari pedagogi negatif naturalnya J.J.Rousseau (1712-1778).
Kodrat manusia itu baik. Namun kodrat itu rusak di tangan manusia. Terlebih pretensi pendidik dalam mendewasakan anak-anak lewat pemaksaan kriteria orang dewasa membatasi kebebasan dan malahan membatasi pertumbuhan anak. Dalam Emile, Rousseau menegaskan bahwa “segala hal diciptakan oleh Pencipta itu baik adanya, namun semuanya menjadi semakin rusak karena tangan manusia.”
Hal yang sama berlaku bagi pedagogi anak. Gambaran bahwa dalam diri anak terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi adalah menyalahi kodrat. Pretensi adultisme pendidik harus dijauhkan dari diri anak agar anak menemukan kebebasan sesuai dengan kodratnya sehingga mampu bertumbuh dengan lebih sempurna. Anak mesti dipandang sebagai anak dengan kekhasannya, bukan dilihat sebagai orang dewasa yang mesti dipaksa menjalankan peran dan mempelajari nilai-nilai yang hanya berlaku bagi orang dewasa.
Karena itu, bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga dimensi kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain secara bebas, membiarkan spontanitas dalam setiap permainan dan dalam tindakannya. Untuk merealisasikan tujuan individualnya, sejauh mungkin anak-anak dihindarkan dari intervensi edukatif yang membatasi.
Tujuan pertumbuhan individu mendahului tujuan sosial, karena itu anak mesti dijauhkan dari situasi masyarakat, dari keluarga karena keluarga akan menjadi momok yang membahayakan bagi kelembutannya. Anak juga mesti dijauhkan dari masyarakat yang menjadi sumber pembelajaran tentang ketidakadilan, karena masyarakat mendasarkan dirinya pada perbedaan, bukan persamaan.
Deklarasi paling jelas dan tegas tentang antifamilirisme pendidikan tampil dalam diri pemikir jerman, Gustav Wyneken (1875-1964) yang menyatakan bahwa, “antara keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan keturunan spesies manusia,dari sudut lain, merupakan sebuah lembaga yang mengorganisasi konsumsi, seandainya orang tua mencintai anak-anak mereka, mereka tidak mencintai keremajaan yang ada di dalam diri mereka.” (Schule und Jugendkultur, 1919,13).
Antifamiliarisme pendidikan juga tampil dalam diri para pemikir sekolah Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse), para psikiatri seperti R. Laing, D. Cooper, dan psikososiolog G. Mendel yang semakin menambah panjang jajaran pemikir pedagogi antifamiliarisme. Mendel, misalnya, malahan menganggap bahwa keluarga merupakan halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang sehat. Demikian juga ia melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor genetis yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar (educandi).
Tampaknya, visi pedagogi antifamiliarisme sepanjang sejarah pedagogi masih memiliki basis dan fondasi yang tetap menarik untuk direfleksikan dalam kerangka pedagogi pendidikan. Namun garis ini bukannya tanpa tandingan.


 IV.            Data Mentah
Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap orang tua dimana anaknya dimasukkan ke dalam PAUD sebelum memasuki dalam sekolah formal. Dalam hal ini penulis bermaksud untuk mengetahui alasan apa orang tua memasukkan anaknya ke dalam PAUD.
Ibu lilin adalah salah satu orang tua yang sehari-hariannya berprofesi sebagai pedagang, dimana ibu tersebut memiliki kesibukan tersendiri, baik dia maupun suaminya yang sehari-hariannya mereka berjualan disebuah toko. Alasan ibu lilin ini menaruh anaknya di sebuah lembaga PAUD yaitu:
1.      Agar si anak mendapatkan pendidikan yang layak untuk anaknya dan masa depan anak tersebut. Karena zaman sekarang semuanya sudah berkemajuan dan anak butuh pengetahuan yang bagus supaya anak tersebut tidak ketinggalan pendidikan pada zaman sekarang ini.
2.      Agar si anak ini memiliki sikap dan sifat yang baik, bertanggung jawab dan dapat membanggakan orang tuanya.
3.      Karena ibu ini merasa pendidikan yang ditempuhnya zaman dulu sama sekarang itu berbeda, dan pengetahuan ibu tersebut mengatakan masih kurang dan terkadang kurang faham dengan pendidikan sekarang ini. Akan tetapi ibu tersebut mengatakan meskipun sehari-hari waktu berkumpul dengan anaknya tersebut hanya sedikit, dan memberikan pendidikan hanya sekadar, akan tetapi ibu ini tetap memberikan pendidikan akhlak yang baik kepada sesamanya dengan akhlak tersebutlah ibu tersebut dapat memberikan contoh kepada anaknya agar dapat menghargai sesuatu yang ada dan bertanggung jawab.
4.      Selain itu, alasan ibu tersebut memasukan anaknya di PAUD karena dia ingin membantu suaminya dalam bekerja, dan mencukupi ekonomi dalam rumah tangganya.

    V.            Analisis
Teori Anti Familiarisme (Plato) yakni; Keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum, yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada tindakan mendidik anak (paidéia).
Disini saya megambil teori plato ini karena mayoritas masyarakat di sekitar lingkungan saya kebanyakan orang tua lebih percaya memberikan pendidikan kepada anaknya di masa-masa usia emas dan usia yang sesungguhnya pembentukan karakter anak itu dari orang  tuanya sendiri, akan tetapi orang tua ini lebih percaya akan pendidikan yang diberikan anaknya dari sebuah lembaga pendidikan khususnya di PAUD.
Di era modern ini, berbagai macam metode pendidikan terus berkembang. Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga dipandang tak hanya sebagai tempat untuk menuntut ilmu, bagi beberapa orang tua sekolah juga sebagai penanda bahwa seperti apa mereka dan status pendidikan dalam masyarakat. Hal tersebut tentu dapat diterima karena kita tahu bahwa dunia semakin berkembang dan kita tak ingin tertinggal dengan pendidikan yang itu itu saja. Namun, terkadang ada hal yang mulai kurang diperhatikan oleh orang tua saat ini. Bagi beberapa yang sibuk dengan pekerjaan, mereka tidak sempat mengawasi perkembangan si anak. Mereka beranggapan bahwa dengan memasukkan anak mereka ke sekolah yang bagus saja sudah cukup. Padahal, pendidikan secara akademik tak cukup, masih ada satu pendidikan yang paling penting yaitu pendidikan moral.
Dalam realita kehidupan sehari-hari, banyak kita lihat orang-orang yang berpendidikan tinggi justru menjadi koruptor dan mereka yang kurang terdidik menjadi orang-orang yang gampang dikelabui oleh orang-orang di atas mereka. Dunia saat ini (bukan Indonesia saja) sedang mengalami krisis moral, hal yang berbanding terbalik dengan kecerdasan intelektual yang semakin pesat. Jika hal ini ditelusuri, penyebab pertama dari semua itu adalah “pendidikan”. Terlebih pada lembaga pendidikan yang pertama kali adalah keluarga.
Keluarga merupakan tempat utama bagi anak dalam menjalani proses tumbuh dan berkembang. Orang tua terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam mendampingi proses perkembangan yang dijalani anak. Harapan terhadap anak yang serupa yang dimiliki oleh orang tua belum tentu menimbulkan akibat yang sama pula pada anak, karena relasi yang terbentuk antara orang tua dan anak yang berbeda-beda. Relasi orang tua anak yang berkualitas memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan proses sosialisasi yang dijalankan orang tua.[4]
Pada zaman era globalisasi saat ini memang keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan. Karena pada dasarnya mayoritas orang tua ini lebih mementingkan pekerjaan atau karir sebagai sebuah tanggung jawab pekerjaannya dibandingkan memberikan pendidikan kepada anaknya itu sendiri, dan orang tua ini lebih percaya akan pemberian pendidikan dari sebuah lembaga pendidikan khusunya pada masa-masa usia emas dan masa pembentukan karakter anak tersebut dengan menaruhnya di PAUD, KBIT, dan TKIT  tersebut. Dengan begitu orang tua hanya memiliki waktu yang sedikit untuk anaknya dalam pemberian pendidikan itu, dengan begitu anak tersebut merasa kurang perhatian akan sebuah pendidikan dan kasih sayang yang diberikan orang tuanya. Akan tetapi disini orang tua dapat berkomunikasi dengan guru untuk mengetahui sampai seberapa peningkatan pengetahuan anak tersebut. Karena tidak semestinya orang tua mendampingi anak selama 24jam, dengan begitu akan  membuat anak ini tidak mengerti akan perkembangan luar yang seharusnya diketahui anak tersebut, jadi pendidikan itu diberikan tidak hanya dari orang tuanya saja. Orang tua menaruh anaknya di sebuah lembaga pendidikan ini tidak hanya semata-mata orang tua ini tidak mementingkan, memperhatikan anaknya tersebut. Akan tetapi orang tua ini pasti sudah punya tujuan dan keinginan untuk anaknya agar nanti tidak akan ketinggalan pendidikan yang  seharusnya dimiliki anak tersebut dan  untuk mempersiapkan generasi sekarang agar mampu menjawab tantangan masa depan Indonesia. Tuntutan masa depan berubah-ubah, maka kita perlu menyesuaikan pendidikan anak kita.[5]
Pendidikan merupakan modal dasar untuk menyiapkan insane yang berkualitas. Menurut Undang-undang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Menurut UNESCO, yang dikutip dalam bukunya Asef Umar Fakhruddin dalam Sukses Menjadi Guru TK-PAUD. Bahwa, pendidikan hendaknya dibangun dengan empat pilar yaitu :
1)      Learning to know
2)      Learning to do
3)      Learning to be
4)      Learning to live together
Pada hakikatnya belajar harus berlangsung sepanjang hayat. Untuk menciptakan generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak usia dini, dalam hal ini melalui pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan yang ditujukan bagi anak sejak lahir hingga usia enam tahun.
Sejak dipublikasinya hasil-hasil riset mutakhir di bidang neuroscience dan psikologi, fenomena pentingnya PAUD merupakan keniscayaan. PAUD menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingya masa ini sehingga usia dini sering disebut the golden age (usia emas).
Dengan diberlakukanya UU No. 20 Tahun 2003, maka system pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yan keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakaan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.[6]
Hal penting dalam proses pendidikan memang inspirasi yang dipancarkan oleh para guru kepada anak didiknya. Setiap materi yang disampaikan guru untuk anak didik pada dasarnya merupakan sesuatu yang diharapkan memberikan pengaruh besar. Pengaruh besar yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang mampu mengubah kondisi anak didik. Pengaruh tersebut hanya dapat kita tanamkan dalam hati anak didik jika mereka merasa membutuhkannya. Pada awalnya mereka mungkin merasa tidak tertarik dengan pengaruh yang dipancarkan oleh guru. Tetapi, jika guru melakukannya secara intens, dan begitulah yang seharusnya dilakukan dalam proses pendidkan maka anak-anak akan terinspirasi dan menerima pengaruh tersebut menjadi bagian dirinya. Guru akan menjadi inspirator bagi setiap anak didik sebab setiap apa yang dilakukan dan dikatakan merupakan teladan terbaik bagi kehidupan anak didik.[7]
Pendidikan anak usia dini (PAUD) hakikatnya adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Oleh karena itu PAUD memberi kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kepribadian dan potensi secara maksimal. Atas dasar ini lembaga PAUD perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan seperti kognitif, bahasa, social, emosi, fisik, dan motorik.
Secara intitusional, pendidikan anak usia dini juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak (multiple intelligences), maupun kecerdasan spiritual. Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia dini, penyelenggaraan pendidikan pada anak usia dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri.
Secara yuridis, istilah anak usia dini di Indonesia ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Selanjutnya pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa ;
1.      Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar;
2.      Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal, dan/informal;
3.      Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat;
4.      Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat;
5.      Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan;
6.      Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Secara umum, tujuan pendidikan anak usia dini adalah memberikan stimulasi atau rangsangan bagi perkembangan potensi anak agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, posisi Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bertujuan untuk perkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, dan cakap (Puskur, Depdiknas: 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara praktis tujuan Pendidikan Anak Usia Dini adalah sebagai berikut :
1.      Kesiapan anak memasuki pendidikan yang lebih lanjut;
2.      Mengurangi angka mengulang kelas;
3.      Mengurangi angka putus sekolah (DO);
4.      Mempercepat pencapaian wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun;
5.      Menyelamatkan anak dari kelalaian didikan wanita karier dan ibu berpendidikan rendah;
6.      Meningkatkan mutu pendidikan;
7.      Mengurangi angka buta huruf muda;
8.      Memperbaiki derajat kesehatan dan gizi anak usia dini;
9.      Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Selain tujuan diatas, menurut UNESCO (2005) yang dikutip dalam bukunya Suyadi dalam buku Teori Pendidikan Anak Usia Dini bahwa, tujuan PAUD antara lain sebagai berikut:
1.      PAUD bertujuan untuk membangun pondasi awal dalam meningkatkan kemampuan anak untuk menyelesaikan pendidikan lebih tinggi, menurunkan angka mengulang kelas, dan angka putus sekolah.
2.      PAUD bertujuan menanam investasi SDM yang menguntungkan baik bagi keluarga, bangsa, Negara, maupun agama.
3.      PAUD bertujuan untuk menghentikan roda kemiskinan.
4.      PAUD bertujuan turut serta aktif menjaga dan melindungi hak asasi setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang dijamin oleh undang-undang.[8]
PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal, sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.[9]
Guru-guru TK-PAUD adalah pribadi yang luar biasa. Dengan sangat serius dan focus, mereka berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada para anak yang sedang mempelajari diri dan kehidupan ini. Mereka dengan segala sarana dan prasarana yang diberikan, begitu menjiwai profesinya, mendekati anak-anak dengan cinta, dan berjuang agar anak-anak mendapatkan yang terbaik.[10]
Kenakalan, kebandelan, tangisan, dan hal-hal lain yang menyebalkan tidak membuat mereka patah semangat untuk memberikan pemahaman yang baik kepada anak-anak. Setiap hari, mereka tetap dating dengan semangat, dengan senyum dengan bertalam kebaikan, untuk diberikan kepada anak-anak.[11]
Oleh karena itu, betul jika kemudian dikatakan bahwa sebenarnya yang paling berjasa dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, selain orang tua, adalah guru-guru TK-PAUD (dan sejenisnya) sebab itu, sudah sepantasnya jika kesejahteraan mereka diperhatikan oleh pemerintah. Bahkan, gaji mereka seharusnya yang paling tinggi, karena tingkat kesulitan yang mereka hadapi lebih besar dari pada guru-guru SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, apalagi para dosen.[12]
Peran pengasuhan orang tua terbukti sangat penting dalam penanaman nilai-nilai oleh para guru. Tidak ada factor tunggal penanaman nilai-nilai, sehingga orang tua tidak dapat mengandalkan guru sepenuhnya. Para orang tua sebaiknya menanamkan nilai-nilai sejak usia dini, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama hingga mereka menemukan nilai-nilai yang ditanamkan itu relevan dengan kehidupan mereka. Akan ada waktunya bagi para siswa bertemu dengan guru dan hal-hal yang ditanamkan orang tua dikonfirmasi atau diterima oleh siswa sebagai nilai-nilai yang patut dihayati.[13]
Orang tua tentu mengharapkan anaknya sukses dalam hidupnya dikemudian hari. Mereka menyiapkan setumpuk progam bagi anaknya, mulai dari memilihkan playgroup, TK, SD, dan sekian banyak kursus. Tetapi, tak jarang mereka hanya menitik beratkan perhatian pada aspek kognisi dan kecerdasan intelektual. Kondisi ini didukung oleh TK-TK yang semakin biasa menggunakan jasa tes intelegensi. Mereka beranggapan hal itu menjadi bagian penting untuk menyiapkan anak memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mungkin mereka lupa bahwa factor kemampuan anak mengungkapkan tanggung jawab, bersosialisasi, dan mengelola emosi pun penting diperhatikan.[14]
Semakin lazim dalam kehidupan keluarga dewasa ini bahwa perekonomian keluarga bertumpu pada penghasilan pada suami maupun istri. Untuk itu suami dan istri sama-sama bekerja diluar rumah. Konsekuensinya, sebagian besar waktu mereka telah habis untuk menangani masalah-masalah perusahaan dimana mereka bekerja. Sisa energy yang mereka bawa pulang mungkin tak cukup leluasa untuk menampung keruwetan soal anak-anak. Sementara itu, lingkungan anak sendiri semakin hari semakin tidak aman dan menggelisahkan. Merebaknya kekerasaan dan aksi brutal yang kemudian terekspos melalui media masa, mau tak mau mengganggu rasa aman setiap orang.
Lingkungan yang semakin meresahkan dan kesibukan orang tua di luar rumah yang semakin meningkat mengubah cara pandang orang terhadap isu pengasuhan anak. Sebelumnya proses menjadi orang tua lebih dirasakan sebagai sesuatu yang alamiah. Setiap orang akan mampu secara alami menjalankan peran sebagai orang tua yang berkewajiban mengasuh anak-anak. Karena alamiah, orang tidak membutuhkan pendidikan atau berbagai latihan formal untuk menjadi orang tua. Cukup dengan trial and error secara otodidak. Kini, proses alamiah itu tak lagi dirasa cukup.
Bagaimana menjalankan peran orang tua ternyata jauh lebih kompleks dan sulit disbanding menjalankan peran sebagai karyawan atau manajer sebuah perusahaan. Jika untuk menjadi karyawan atau manajer orang membutuhkan pendidikan dan latihan formal, apalagi untuk menjadi orang tua. Belakangan, cara berpikir ini mendapatkan penegasan dengan hadirnya tawaran kursus atau seminar di seputar menjadi orang tua efektif. Dalam himpitan waktu dan terbatasnya energy, menjadi orang tua dan mengasuh anak pun perlu dilakukan secara efektif. Demikianlah kira-kira jalan pemikirannya.[15]
Perlu diketahui oleh setiap orang tua bahwa sekolah berfungsi sebagai pelengkap dalam membantu perkembangan belajar anak. Jadi, perlu relasi harmonis antara guru dan orang tua karena orang tualah yang paling tahu kekuatan dan kelemahan perilaku karakteristik anaknya. Sumbangan pemikiran ini mengarah pada strategi praktis dalam membina relasi harmonis antara orang tua dan guru disekolah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1.      Adakan waktu minimal satu kali dalam satu semester atau setahun dua kali dating kesekolah dan bertemu guru kelas, dan jangan diwakilkan. Orang tua perlu mendalami bagaimana proses belajar di sekolah dan stimulasi mana yang perlu diberikan orang tua agar si kecil merasa senang belajar. Melalui diskusi dan temu muka dengan guru dan orang tua dapat menjalin relasi yang baik dan harmonis.
2.      Relasi ini akan mencerminkan persepsi bagaimanakah karakteristik guru bagi anak sekolah. Tidak jarang ada orang tua yang menuding bahwa gurunya galak, cuek, tidak bisa mengajar. Impresi ini akan lenyap setelah tumbuh relasi harmonis antara guru dan orang tua yang dijalin oleh sekolah.
3.      Hadiri setiap undangan dari kepala sekolah. Baik undangan tersebut bertujuan untuk bantuan progam kegiatan maupun sosialisasi berbagai metode pengajaran.
4.      Kerja sama dalam bentuk relasi guru dan orang tua akan member sumbangsih edukatif bila si kecil sedang stress atau phobia sekolah.[16]
Pada umumnya sekarang, orang tua berada pada keterbatasan waktu dan kemampuan. Orang tua lebih sibuk dalam mencari nafkah demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak ada waktu khusus bagi mereka dan anak-anaknya. Orang tua terkadang juga tidak berkesempatan untuk merencanakan program untuk mendidik putra-putrinya. Karena kesibukan pula mereka ketinggalan informasi mengenai pendidikan dan dengan mudah menyerahkan urusan pendidikan si anak sepenuhnya pada sekolah, karena keahlian orang tua yang kurang dalam mendidik.
Dalam pendidikan keluarga, pendidikan mulai tumbuh dengan instingtif yang berupa kasih sayang, saling memberi, nilai pengertian, dan hubungan timbal balik yang harmonis antara orang tua dengan anak-anak. Kemudian, pendidikan yang diberikan dalam keluarga juga melalui empirik seperti percontohan, bimbingan, dan arahan. Kemudian memberikan pengetahuan rasional seperti bagaimana memecahkan masalah, menentukan pilihan, dan bagaimana membentuk sikap diri.
Semua hal di atas merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Dalam keluarga, anak mendapat perawatan dan bimbingan dalam rangka pembentukan sifat dan kepribadiannya. Yang perlu diperhatikan adalah, anak merupakan peniru yang baik. Mereka melihat bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap, dan kemudian tanpa sadar menirunya. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai positif sejak dini sangat diperlukan.
Seperti yang telah diuraikan, keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam kegiatan pendidikan. Dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai pengembangan potensi dan kecerdasan spiritual lebih ditekankan karena keluarga adalah tempat yang tepat bagi pertumbuhan kesadaran atas asal-mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan.


 VI.            Daftar Pustaka
Asef Umar Fakhruddin, Sukses Menjadi Guru TK-PAUD, Jogjakarta: Bening, 2010
Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: ALFABETA, 2009
Mohammad Saroni, Best Practice: Langkah Efektif Meningkatkan Kualitas Karakter Warga Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Sigit Setyawan, Guruku Panutanku, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2013
Sri Lestari, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
Suyadi, Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Dalam Kajian NEUROSAINS, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2014
Tim Pustaka Familia, Warna-Warni Kecerdasan Anak dan Pendampingannya, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2006




VII.            Documentasi




[1] Asef Umar Fakhruddin, Sukses Menjadi Guru TK-PAUD, Jogjakarta: Bening, 2010, hlm. 18
[2] Ibid, hlm. 19
[3] Tim Pustaka Familia, Warna-Warni Kecerdasan Anak dan Pendampingannya, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2006, hlm. 202
[4] Sri Lestari, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 203
[5] Analisis
[6] Asef Umar Fakhruddin, Op. Cit, hlm 18-19
[7] Mohammad Saroni, Best Practice: Langkah Efektif Meningkatkan Kualitas Karakter Warga Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013, hlm. 61
[8] Suyadi, Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Dalam Kajian NEUROSAINS, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2014, hlm. 22-25
[9] Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: ALFABETA, 2009, hlm. 12
[10] Asef Umar Fakhruddin, Op. Cit, hlm. 13
[11] Ibid, hlm. 14
[12] Ibid, hlm. 15
[13] Sigit Setyawan, Guruku Panutanku, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2013, hlm. 128
[14] Tim Pustaka Familia, Op. Cit, hlm. 123
[15] Ibid, hlm. 202-203
[16] Ibid, hlm. 288-290

No comments:

Post a Comment