I.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan modal dasar untuk menyiapkan insane yang berkualitas. Menurut
Undang-undang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[1]
Dengan diberlakukanya UU No. 20 Tahun 2003, maka system pendidikan
di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya merupakan
kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD
dapat diselenggarakaan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.[2]
Pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan,
pencerdasan, dan pematanga diri. Dewasa yang dimaksud adalah dalam hal
perkembangan badan, kecerdasan, dan tingkat emosional dalam jiwa dan tingkah
laku. Pada dasarnya, pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, dimana saja, dan
kapan saja. Pendidikan yang pertama kali diberikan oleh orang tua, dimana orang
tua menanamkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan si anak.
Lingkungan yang semakin meresahkan dan kesibukan orang tua di luar
rumah yang semakin meningkat mengubah cara pandang orang terhadap isu
pengasuhan anak. Sebelumnya proses menjadi orang tua lebih dirasakan sebagai
sesuatu yang alamiah. Setiap orang akan mampu secara alami menjalankan peran
sebagai orang tua yang berkewajiban mengasuh anak-anak. Karena alamiah, orang
tidak membutuhkan pendidikan atau berbagai latihan formal untuk menjadi orang
tua. Cukup dengan trial and error secara otodidak. Kini, proses alamiah itu tak
lagi dirasa cukup.[3]
Pada umumnya sekarang, orang tua berada pada keterbatasan waktu dan
kemampuan. Orang tua lebih sibuk dalam mencari nafkah demi pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari, sehingga tidak ada waktu khusus bagi mereka dan anak-anaknya.
Orang tua terkadang juga tidak berkesempatan untuk merencanakan program untuk
mendidik putra-putrinya. Karena kesibukan pula mereka ketinggalan informasi
mengenai pendidikan dan dengan mudah menyerahkan urusan pendidikan si anak
sepenuhnya pada sekolah, karena keahlian orang tua yang kurang dalam mendidik.
II.
Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
masalah penelitian ini adalah bagaimana fenomena tersebut dikaitkan dengan
teori anti familiarisme dari plato ?
III.
Teori
Anti Familiarisme Plato
Plato, sama sekali tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga. Karena itu
ia lebih menyerahkan persoalan pendidikan itu di tangan negara. Baginya,
keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan
karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan
publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih
disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum,
yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada
tindakan mendidik anak (paidéia).
Dalam diskursus hukumnya, Plato menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk membentuk generasi muda menjadi orang-orang yang berkarakter utama,
dengan menumbuhkan di dalam dirinya cinta dan keinginan sempurna untuk menjadi
warga negara melalui mana ia mampu memerintah dan taat sebagaimana sudah layak
dan sepantasnya untuk melakukannya. Setiap kegiatan formatif yang cenderung
untuk mencari kekayaan atau sekedar menumbuhkan kekuatan fisik tanpa mau
melihat dimensi kebijaksanaan dan keadilan ia anggap sebagai proses pendidikan
tingkat rendahan yang tak layak dilakukan oleh manusia bebas. Proses
pembentukan seperti ini tidak layak disebut dengan pendidikan. (Leggi,
I, 644a).
Secara antropologis Plato melihat bahwa setiap orang tidak dapat mencukupi
dirinya sendiri. Karena itu lahirlah negara. “Negara terbentuk karena setiap
dari kita tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, kita memiliki kekurangan dalam
banyak hal”. Kebutuhan-kebutuhan ini lantas melahirkan 3 kelas warga negara
yang berbeda, yaitu, kalangan pengusaha, tentara penjaga, dan pemimpin yang
sempurna dalam mengatur urusan negara secara bijaksana. Tujuan pendidikan Plato
lebih mengarah pada proses pembentukan sosok politisi filsuf yang mampu
menginkarnasikan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu,
pendidikan tak lain adalah kinerja politik itu sendiri.
Melihat pentingnya dimensi politis pendidikan Plato mengusulkan bahwa
penanggung jawab pendidikan publik adalah negara yang dilaksanakan oleh seorang
fungsionaris utama yang dipilih oleh negara berdasarkan ketentuan hukum.
Kriteria pengurus pendidikan itu antara lain, mereka haruslah pribadi yang
memiliki kematangan karakter dan terkenal karena keutamaannya, mampu dan
memiliki kemungkinan untuk meraih kebaikan yang ideal. Karena itu, berbeda
dengan tradisi kultur yunani sebelumnya yang membiarkan anak-anak mengenyam
pendidikan dalam keluarga, Plato membubarkan institusi keluarga sebagai
instansi pendidikan anak dan menggantikannya dengan peranan negara.
Reformasi yang diajukan oleh Plato sangatlah revolusioner pada jamannya
mengingat secara umum masyarakat Yunani membatasi peranan kaum perempuan pada
batas-batas dinding rumah dan memberikan kepada mereka sekedar hal-hal yang
berurusan dengan dimensi kuratif, makan, minum, dan pemeliharaan anak,
sementara menjauhkan mereka dari kegiatan kebudayaan, seluk beluk persiapan
perang dan partisipasi politik. Tidak mengherankan, pola pendidikan ala Plato
lebih bersifat spartan, di mana keseimbangan proses pendidikan, yaitu, fisik,
mental, karakter, lebih diutamakan.
Garis pemikiran pedagogi antifamiliarisme Plato muncul kembali pada saat
sejarah pedagogi mengalami revolusi kopernikan dengan ditemukannya ‘anak-anak’
yang menjadi pokok perhatian utama pedagogi. Puerocentrisme yang merayakan
spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang
mewarnai Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 banyak menimba inspirasi
dari pedagogi negatif naturalnya J.J.Rousseau (1712-1778).
Kodrat manusia itu baik. Namun kodrat itu rusak di tangan manusia. Terlebih
pretensi pendidik dalam mendewasakan anak-anak lewat pemaksaan kriteria orang
dewasa membatasi kebebasan dan malahan membatasi pertumbuhan anak. Dalam Emile,
Rousseau menegaskan bahwa “segala hal diciptakan oleh Pencipta itu baik adanya,
namun semuanya menjadi semakin rusak karena tangan manusia.”
Hal yang sama berlaku bagi pedagogi anak. Gambaran bahwa dalam diri anak
terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi adalah menyalahi kodrat. Pretensi
adultisme pendidik harus dijauhkan dari diri anak agar anak menemukan kebebasan
sesuai dengan kodratnya sehingga mampu bertumbuh dengan lebih sempurna. Anak
mesti dipandang sebagai anak dengan kekhasannya, bukan dilihat sebagai orang
dewasa yang mesti dipaksa menjalankan peran dan mempelajari nilai-nilai yang
hanya berlaku bagi orang dewasa.
Karena itu, bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga
dimensi kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain
secara bebas, membiarkan spontanitas dalam setiap permainan dan dalam
tindakannya. Untuk merealisasikan tujuan individualnya, sejauh mungkin
anak-anak dihindarkan dari intervensi edukatif yang membatasi.
Tujuan pertumbuhan individu mendahului tujuan sosial, karena itu anak mesti
dijauhkan dari situasi masyarakat, dari keluarga karena keluarga akan menjadi
momok yang membahayakan bagi kelembutannya. Anak juga mesti dijauhkan dari
masyarakat yang menjadi sumber pembelajaran tentang ketidakadilan, karena
masyarakat mendasarkan dirinya pada perbedaan, bukan persamaan.
Deklarasi paling jelas dan tegas tentang antifamilirisme pendidikan tampil
dalam diri pemikir jerman, Gustav Wyneken (1875-1964) yang menyatakan bahwa,
“antara keluarga dan pendidikan merupakan dua hal yang sama sekali tidak
berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan
keturunan spesies manusia,dari sudut lain, merupakan sebuah lembaga yang
mengorganisasi konsumsi, seandainya orang tua mencintai anak-anak mereka,
mereka tidak mencintai keremajaan yang ada di dalam diri mereka.” (Schule
und Jugendkultur, 1919,13).
Antifamiliarisme pendidikan juga tampil dalam diri para pemikir sekolah
Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse), para psikiatri seperti R. Laing, D.
Cooper, dan psikososiolog G. Mendel yang semakin menambah panjang jajaran
pemikir pedagogi antifamiliarisme. Mendel, misalnya, malahan menganggap bahwa
keluarga merupakan halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang
sehat. Demikian juga ia melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor
genetis yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang
cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar
(educandi).
Tampaknya, visi pedagogi antifamiliarisme sepanjang sejarah pedagogi masih
memiliki basis dan fondasi yang tetap menarik untuk direfleksikan dalam
kerangka pedagogi pendidikan. Namun garis ini bukannya tanpa tandingan.
IV.
Data Mentah
Berdasarkan
hasil wawancara penulis terhadap orang tua dimana anaknya dimasukkan ke dalam
PAUD sebelum memasuki dalam sekolah formal. Dalam hal ini penulis bermaksud
untuk mengetahui alasan apa orang tua memasukkan anaknya ke dalam PAUD.
Ibu
lilin adalah salah satu orang tua yang sehari-hariannya berprofesi sebagai
pedagang, dimana ibu tersebut memiliki kesibukan tersendiri, baik dia maupun
suaminya yang sehari-hariannya mereka berjualan disebuah toko. Alasan ibu lilin
ini menaruh anaknya di sebuah lembaga PAUD yaitu:
1. Agar si anak mendapatkan pendidikan yang
layak untuk anaknya dan masa depan anak tersebut. Karena zaman sekarang
semuanya sudah berkemajuan dan anak butuh pengetahuan yang bagus supaya anak
tersebut tidak ketinggalan pendidikan pada zaman sekarang ini.
2. Agar si anak ini memiliki sikap dan
sifat yang baik, bertanggung jawab dan dapat membanggakan orang tuanya.
3. Karena ibu ini merasa pendidikan yang
ditempuhnya zaman dulu sama sekarang itu berbeda, dan pengetahuan ibu tersebut
mengatakan masih kurang dan terkadang kurang faham dengan pendidikan sekarang
ini. Akan tetapi ibu tersebut mengatakan meskipun sehari-hari waktu berkumpul
dengan anaknya tersebut hanya sedikit, dan memberikan pendidikan hanya sekadar,
akan tetapi ibu ini tetap memberikan pendidikan akhlak yang baik kepada
sesamanya dengan akhlak tersebutlah ibu tersebut dapat memberikan contoh kepada
anaknya agar dapat menghargai sesuatu yang ada dan bertanggung jawab.
4. Selain itu, alasan ibu tersebut
memasukan anaknya di PAUD karena dia ingin membantu suaminya dalam bekerja, dan
mencukupi ekonomi dalam rumah tangganya.
V.
Analisis
Teori Anti Familiarisme (Plato) yakni; Keluarga bukanlah tempat yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan
karena kaum lelaki dewasa telah begitu tersedot perhatiannya demi kehidupan
publik (menjadi politisi dalam arti luas), sedangkan kaum perempuan lebih
disibukkan dengan urusan domestik yang sifatnya kuratif, memberi makan, minum,
yang lebih cocok disebut sebagai tindakan memiara (anatrophè), daripada
tindakan mendidik anak (paidéia).
Disini saya megambil teori plato ini karena
mayoritas masyarakat di sekitar lingkungan saya kebanyakan orang tua lebih
percaya memberikan pendidikan kepada anaknya di masa-masa usia emas dan usia
yang sesungguhnya pembentukan karakter anak itu dari orang tuanya sendiri, akan tetapi orang tua ini
lebih percaya akan pendidikan yang diberikan anaknya dari sebuah lembaga
pendidikan khususnya di PAUD.
Di era modern ini, berbagai macam metode
pendidikan terus berkembang. Mulai
dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga dipandang tak hanya sebagai tempat
untuk menuntut ilmu, bagi beberapa orang tua sekolah juga sebagai penanda bahwa
seperti apa mereka dan status pendidikan dalam masyarakat. Hal tersebut tentu
dapat diterima karena kita tahu bahwa dunia semakin berkembang dan kita tak
ingin tertinggal dengan pendidikan yang itu itu saja. Namun, terkadang ada hal
yang mulai kurang diperhatikan oleh orang tua saat ini. Bagi beberapa yang
sibuk dengan pekerjaan, mereka tidak sempat mengawasi perkembangan si anak.
Mereka beranggapan bahwa dengan memasukkan anak mereka ke sekolah yang bagus
saja sudah cukup. Padahal, pendidikan secara akademik tak cukup, masih ada satu
pendidikan yang paling penting yaitu pendidikan moral.
Dalam realita kehidupan sehari-hari, banyak kita lihat orang-orang
yang berpendidikan tinggi justru menjadi koruptor dan mereka yang kurang
terdidik menjadi orang-orang yang gampang dikelabui oleh orang-orang di atas
mereka. Dunia saat ini (bukan Indonesia saja) sedang mengalami krisis moral,
hal yang berbanding terbalik dengan kecerdasan intelektual yang semakin pesat.
Jika hal ini ditelusuri, penyebab pertama dari semua itu adalah “pendidikan”.
Terlebih pada lembaga pendidikan yang pertama kali adalah keluarga.
Keluarga merupakan tempat utama bagi anak dalam menjalani proses
tumbuh dan berkembang. Orang tua terbukti memiliki peran yang sangat penting
dalam mendampingi proses perkembangan yang dijalani anak. Harapan terhadap anak
yang serupa yang dimiliki oleh orang tua belum tentu menimbulkan akibat yang
sama pula pada anak, karena relasi yang terbentuk antara orang tua dan anak
yang berbeda-beda. Relasi orang tua anak yang berkualitas memiliki peran
penting dalam mencapai keberhasilan proses sosialisasi yang dijalankan orang
tua.[4]
Pada zaman era globalisasi saat ini memang keluarga bukanlah tempat
yang valid dan ideal bagi sebuah proses pendidikan. Karena pada dasarnya
mayoritas orang tua ini lebih mementingkan pekerjaan atau karir sebagai sebuah
tanggung jawab pekerjaannya dibandingkan memberikan pendidikan kepada anaknya
itu sendiri, dan orang tua ini lebih percaya akan pemberian pendidikan dari
sebuah lembaga pendidikan khusunya pada masa-masa usia emas dan masa
pembentukan karakter anak tersebut dengan menaruhnya di PAUD, KBIT, dan
TKIT tersebut. Dengan begitu orang tua
hanya memiliki waktu yang sedikit untuk anaknya dalam pemberian pendidikan itu,
dengan begitu anak tersebut merasa kurang perhatian akan sebuah pendidikan dan
kasih sayang yang diberikan orang tuanya. Akan tetapi disini orang tua dapat
berkomunikasi dengan guru untuk mengetahui sampai seberapa peningkatan
pengetahuan anak tersebut. Karena tidak semestinya orang tua mendampingi anak
selama 24jam, dengan begitu akan membuat
anak ini tidak mengerti akan perkembangan luar yang seharusnya diketahui anak
tersebut, jadi pendidikan itu diberikan tidak hanya dari orang tuanya saja.
Orang tua menaruh anaknya di sebuah lembaga pendidikan ini tidak hanya
semata-mata orang tua ini tidak mementingkan, memperhatikan anaknya tersebut.
Akan tetapi orang tua ini pasti sudah punya tujuan dan keinginan untuk anaknya
agar nanti tidak akan ketinggalan pendidikan yang seharusnya dimiliki anak tersebut dan untuk mempersiapkan generasi
sekarang agar mampu menjawab tantangan masa depan Indonesia. Tuntutan masa
depan berubah-ubah, maka kita perlu menyesuaikan pendidikan anak kita.[5]
Pendidikan
merupakan modal dasar untuk menyiapkan insane yang berkualitas. Menurut
Undang-undang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Menurut
UNESCO, yang dikutip dalam bukunya Asef Umar Fakhruddin dalam Sukses Menjadi
Guru TK-PAUD. Bahwa, pendidikan hendaknya dibangun dengan empat pilar yaitu :
1)
Learning to know
2)
Learning to do
3)
Learning to be
4)
Learning to live together
Pada hakikatnya belajar harus berlangsung sepanjang hayat. Untuk
menciptakan generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak usia
dini, dalam hal ini melalui pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan
yang ditujukan bagi anak sejak lahir hingga usia enam tahun.
Sejak dipublikasinya hasil-hasil riset mutakhir di bidang neuroscience
dan psikologi, fenomena pentingnya PAUD merupakan keniscayaan. PAUD menjadi
sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang
terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingya masa ini sehingga usia
dini sering disebut the golden age (usia emas).
Dengan diberlakukanya UU No. 20 Tahun 2003, maka system pendidikan
di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yan keseluruhannya merupakan
kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
PAUD dapat diselenggarakaan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.[6]
Hal penting dalam proses pendidikan memang inspirasi yang
dipancarkan oleh para guru kepada anak didiknya. Setiap materi yang disampaikan
guru untuk anak didik pada dasarnya merupakan sesuatu yang diharapkan
memberikan pengaruh besar. Pengaruh besar yang dimaksud dalam hal ini adalah
sesuatu yang mampu mengubah kondisi anak didik. Pengaruh tersebut hanya dapat
kita tanamkan dalam hati anak didik jika mereka merasa membutuhkannya. Pada
awalnya mereka mungkin merasa tidak tertarik dengan pengaruh yang dipancarkan
oleh guru. Tetapi, jika guru melakukannya secara intens, dan begitulah yang
seharusnya dilakukan dalam proses pendidkan maka anak-anak akan terinspirasi
dan menerima pengaruh tersebut menjadi bagian dirinya. Guru akan menjadi
inspirator bagi setiap anak didik sebab setiap apa yang dilakukan dan dikatakan
merupakan teladan terbaik bagi kehidupan anak didik.[7]
Pendidikan anak usia dini (PAUD) hakikatnya adalah pendidikan yang
diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan
anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek
kepribadian anak. Oleh karena itu PAUD memberi kesempatan bagi anak untuk
mengembangkan kepribadian dan potensi secara maksimal. Atas dasar ini lembaga
PAUD perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai
aspek perkembangan seperti kognitif, bahasa, social, emosi, fisik, dan motorik.
Secara intitusional, pendidikan anak usia dini juga dapat diartikan
sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada
peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik
(halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak (multiple intelligences),
maupun kecerdasan spiritual. Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia
dini, penyelenggaraan pendidikan pada anak usia dini disesuaikan dengan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri.
Secara yuridis, istilah anak usia dini di Indonesia ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14
dinyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut”. Selanjutnya pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak
Usia Dini dinyatakan bahwa ;
1.
Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar;
2.
Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal, non-formal, dan/informal;
3.
Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau
bentuk lain yang sederajat;
4.
Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA,
atau bentuk lain yang sederajat;
5.
Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan informal: pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan;
6.
Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Secara umum, tujuan pendidikan anak usia dini adalah memberikan
stimulasi atau rangsangan bagi perkembangan potensi anak agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, posisi
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara, yang bertujuan untuk perkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, dan cakap (Puskur, Depdiknas: 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara
praktis tujuan Pendidikan Anak Usia Dini adalah sebagai berikut :
1.
Kesiapan anak memasuki pendidikan yang lebih lanjut;
2.
Mengurangi angka mengulang kelas;
3.
Mengurangi angka putus sekolah (DO);
4.
Mempercepat pencapaian wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun;
5.
Menyelamatkan anak dari kelalaian didikan wanita karier dan ibu
berpendidikan rendah;
6.
Meningkatkan mutu pendidikan;
7.
Mengurangi angka buta huruf muda;
8.
Memperbaiki derajat kesehatan dan gizi anak usia dini;
9.
Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Selain tujuan diatas, menurut UNESCO (2005) yang dikutip dalam
bukunya Suyadi dalam buku Teori Pendidikan Anak Usia Dini bahwa, tujuan PAUD
antara lain sebagai berikut:
1.
PAUD bertujuan untuk membangun pondasi awal dalam meningkatkan
kemampuan anak untuk menyelesaikan pendidikan lebih tinggi, menurunkan angka
mengulang kelas, dan angka putus sekolah.
2.
PAUD bertujuan menanam investasi SDM yang menguntungkan baik bagi
keluarga, bangsa, Negara, maupun agama.
3.
PAUD bertujuan untuk menghentikan roda kemiskinan.
4.
PAUD bertujuan turut serta aktif menjaga dan melindungi hak asasi
setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang dijamin oleh undang-undang.[8]
PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh
potensi anak usia dini secara optimal, sehingga terbentuk perilaku dan
kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan
untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional.[9]
Guru-guru
TK-PAUD adalah pribadi yang luar biasa. Dengan sangat serius dan focus, mereka
berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada para anak yang sedang mempelajari
diri dan kehidupan ini. Mereka dengan segala sarana dan prasarana yang
diberikan, begitu menjiwai profesinya, mendekati anak-anak dengan cinta, dan
berjuang agar anak-anak mendapatkan yang terbaik.[10]
Kenakalan,
kebandelan, tangisan, dan hal-hal lain yang menyebalkan tidak membuat mereka
patah semangat untuk memberikan pemahaman yang baik kepada anak-anak. Setiap
hari, mereka tetap dating dengan semangat, dengan senyum dengan bertalam
kebaikan, untuk diberikan kepada anak-anak.[11]
Oleh
karena itu, betul jika kemudian dikatakan bahwa sebenarnya yang paling berjasa
dalam perkembangan dan pertumbuhan anak, selain orang tua, adalah guru-guru
TK-PAUD (dan sejenisnya) sebab itu, sudah sepantasnya jika kesejahteraan mereka
diperhatikan oleh pemerintah. Bahkan, gaji mereka seharusnya yang paling tinggi,
karena tingkat kesulitan yang mereka hadapi lebih besar dari pada guru-guru
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, apalagi para dosen.[12]
Peran pengasuhan orang tua terbukti sangat penting dalam penanaman
nilai-nilai oleh para guru. Tidak ada factor tunggal penanaman nilai-nilai,
sehingga orang tua tidak dapat mengandalkan guru sepenuhnya. Para orang tua
sebaiknya menanamkan nilai-nilai sejak usia dini, meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama hingga mereka menemukan nilai-nilai yang ditanamkan itu relevan
dengan kehidupan mereka. Akan ada waktunya bagi para siswa bertemu dengan guru
dan hal-hal yang ditanamkan orang tua dikonfirmasi atau diterima oleh siswa
sebagai nilai-nilai yang patut dihayati.[13]
Orang tua tentu mengharapkan anaknya sukses dalam hidupnya
dikemudian hari. Mereka menyiapkan setumpuk progam bagi anaknya, mulai dari
memilihkan playgroup, TK, SD, dan sekian banyak kursus. Tetapi, tak jarang
mereka hanya menitik beratkan perhatian pada aspek kognisi dan kecerdasan intelektual.
Kondisi ini didukung oleh TK-TK yang semakin biasa menggunakan jasa tes
intelegensi. Mereka beranggapan hal itu menjadi bagian penting untuk menyiapkan
anak memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mungkin mereka lupa bahwa
factor kemampuan anak mengungkapkan tanggung jawab, bersosialisasi, dan
mengelola emosi pun penting diperhatikan.[14]
Semakin lazim dalam kehidupan keluarga dewasa ini bahwa
perekonomian keluarga bertumpu pada penghasilan pada suami maupun istri. Untuk
itu suami dan istri sama-sama bekerja diluar rumah. Konsekuensinya, sebagian
besar waktu mereka telah habis untuk menangani masalah-masalah perusahaan
dimana mereka bekerja. Sisa energy yang mereka bawa pulang mungkin tak cukup
leluasa untuk menampung keruwetan soal anak-anak. Sementara itu, lingkungan
anak sendiri semakin hari semakin tidak aman dan menggelisahkan. Merebaknya
kekerasaan dan aksi brutal yang kemudian terekspos melalui media masa, mau tak
mau mengganggu rasa aman setiap orang.
Lingkungan yang semakin meresahkan dan kesibukan orang tua di luar
rumah yang semakin meningkat mengubah cara pandang orang terhadap isu
pengasuhan anak. Sebelumnya proses menjadi orang tua lebih dirasakan sebagai
sesuatu yang alamiah. Setiap orang akan mampu secara alami menjalankan peran
sebagai orang tua yang berkewajiban mengasuh anak-anak. Karena alamiah, orang
tidak membutuhkan pendidikan atau berbagai latihan formal untuk menjadi orang
tua. Cukup dengan trial and error secara otodidak. Kini, proses alamiah itu tak
lagi dirasa cukup.
Bagaimana menjalankan peran orang tua ternyata jauh lebih kompleks
dan sulit disbanding menjalankan peran sebagai karyawan atau manajer sebuah
perusahaan. Jika untuk menjadi karyawan atau manajer orang membutuhkan
pendidikan dan latihan formal, apalagi untuk menjadi orang tua. Belakangan,
cara berpikir ini mendapatkan penegasan dengan hadirnya tawaran kursus atau
seminar di seputar menjadi orang tua efektif. Dalam himpitan waktu dan
terbatasnya energy, menjadi orang tua dan mengasuh anak pun perlu dilakukan
secara efektif. Demikianlah kira-kira jalan pemikirannya.[15]
Perlu diketahui oleh setiap orang tua bahwa sekolah berfungsi
sebagai pelengkap dalam membantu perkembangan belajar anak. Jadi, perlu relasi
harmonis antara guru dan orang tua karena orang tualah yang paling tahu
kekuatan dan kelemahan perilaku karakteristik anaknya. Sumbangan pemikiran ini
mengarah pada strategi praktis dalam membina relasi harmonis antara orang tua
dan guru disekolah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1.
Adakan waktu minimal satu kali dalam satu semester atau setahun dua
kali dating kesekolah dan bertemu guru kelas, dan jangan diwakilkan. Orang tua
perlu mendalami bagaimana proses belajar di sekolah dan stimulasi mana yang
perlu diberikan orang tua agar si kecil merasa senang belajar. Melalui diskusi
dan temu muka dengan guru dan orang tua dapat menjalin relasi yang baik dan
harmonis.
2.
Relasi ini akan mencerminkan persepsi bagaimanakah karakteristik
guru bagi anak sekolah. Tidak jarang ada orang tua yang menuding bahwa gurunya
galak, cuek, tidak bisa mengajar. Impresi ini akan lenyap setelah tumbuh relasi
harmonis antara guru dan orang tua yang dijalin oleh sekolah.
3.
Hadiri setiap undangan dari kepala sekolah. Baik undangan tersebut
bertujuan untuk bantuan progam kegiatan maupun sosialisasi berbagai metode
pengajaran.
4.
Kerja sama dalam bentuk relasi guru dan orang tua akan member
sumbangsih edukatif bila si kecil sedang stress atau phobia sekolah.[16]
Pada umumnya sekarang, orang tua berada pada keterbatasan waktu dan
kemampuan. Orang tua lebih sibuk dalam mencari nafkah demi pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari, sehingga tidak ada waktu khusus bagi mereka dan
anak-anaknya. Orang tua terkadang juga tidak berkesempatan untuk merencanakan
program untuk mendidik putra-putrinya. Karena kesibukan pula mereka ketinggalan
informasi mengenai pendidikan dan dengan mudah menyerahkan urusan pendidikan si
anak sepenuhnya pada sekolah, karena keahlian orang tua yang kurang dalam
mendidik.
Dalam pendidikan keluarga, pendidikan mulai tumbuh dengan
instingtif yang berupa kasih sayang, saling memberi, nilai pengertian, dan
hubungan timbal balik yang harmonis antara orang tua dengan anak-anak.
Kemudian, pendidikan yang diberikan dalam keluarga juga melalui empirik seperti
percontohan, bimbingan, dan arahan. Kemudian memberikan pengetahuan rasional
seperti bagaimana memecahkan masalah, menentukan pilihan, dan bagaimana
membentuk sikap diri.
Semua hal di atas merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
Dalam keluarga, anak mendapat perawatan dan bimbingan dalam rangka pembentukan
sifat dan kepribadiannya. Yang perlu diperhatikan adalah, anak merupakan peniru
yang baik. Mereka melihat bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap, dan
kemudian tanpa sadar menirunya. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai positif
sejak dini sangat diperlukan.
Seperti yang telah diuraikan, keluarga adalah tempat pertama dan
utama dalam kegiatan pendidikan. Dalam kehidupan keluarga, nilai-nilai
pengembangan potensi dan kecerdasan spiritual lebih ditekankan karena keluarga
adalah tempat yang tepat bagi pertumbuhan kesadaran atas asal-mula, tujuan, dan
eksistensi kehidupan.
VI.
Daftar Pustaka
Asef Umar Fakhruddin, Sukses Menjadi Guru TK-PAUD,
Jogjakarta: Bening, 2010
Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: ALFABETA,
2009
Mohammad Saroni, Best Practice: Langkah Efektif Meningkatkan
Kualitas Karakter Warga Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Sigit Setyawan, Guruku Panutanku, Yogyakarta: Kanisius
(Anggota IKAPI), 2013
Sri Lestari, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan
Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
Suyadi, Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Dalam Kajian
NEUROSAINS, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2014
Tim Pustaka Familia, Warna-Warni Kecerdasan Anak dan Pendampingannya,
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2006
VII.
Documentasi
[1]
Asef Umar Fakhruddin, Sukses Menjadi Guru TK-PAUD, Jogjakarta: Bening,
2010, hlm. 18
[2] Ibid,
hlm. 19
[3] Tim
Pustaka Familia, Warna-Warni Kecerdasan Anak dan Pendampingannya, Yogyakarta:
Kanisius (Anggota IKAPI), 2006, hlm. 202
[4] Sri
Lestari, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 203
[5]
Analisis
[6]
Asef Umar Fakhruddin, Op. Cit, hlm 18-19
[7]
Mohammad Saroni, Best Practice: Langkah Efektif Meningkatkan Kualitas
Karakter Warga Sekolah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013, hlm. 61
[8]
Suyadi, Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Dalam Kajian NEUROSAINS,
Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2014, hlm. 22-25
[9]
Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: ALFABETA, 2009, hlm.
12
[10]
Asef Umar Fakhruddin, Op. Cit, hlm. 13
[12] Ibid,
hlm. 15
[13] Sigit
Setyawan, Guruku Panutanku, Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2013,
hlm. 128
[14] Tim
Pustaka Familia, Op. Cit, hlm. 123
[15] Ibid,
hlm. 202-203
[16] Ibid,
hlm. 288-290
No comments:
Post a Comment