A.
Latar Belakang Masalah
Dalam dunia
pendidikan, evaluasi memegang peranan yang amat penting. Dari evaluasi itu,
para pengambil keputusan pendidikan mendasarkan diri dalam memutuskan apakah
seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak serta layak diberikan
sertifikasi atau tidak.[1]
Ulangan dan Ulangan
Umum yang dulu disebut THB (Tes Hasil Belajar) dan TPB (Tes Prestasi Belajar)
adalah alat ukur yang banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan
sebuah proses belajar mengajar. Sementara itu istilah evaluasi biasanya dipandang
sebagai ujian untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang
pendidikan tertentu. Di Indonesia ujian seperti ini disebut Ujian Akhir
Nasional (UAN).[2]
Isu aktual yang
berkembang dalam pendidikan saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan Indonesia
yang telah disadari oleh berbagai pihak, terutama oleh para pemerhati
pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat, antara
lain dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk semua
bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Rendahnya
pendidikan di Indonesia dapat diketahui dari hasil penelitian Programme for
International Student Assesment (PISA) 2006 yang diterbitkan Selasa, 4
desember 2007, menunjukkan bahwa kemampuan mambaca (reading literacy)
anak-anak Indonesia usia 15 tahun berada pada peringkat ke-48, kemampuan
matematika berada pada peringkat ke-50, dan kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam
berada pada peringkat ke-50 dari 57 negara yang diteliti. Kemampuan membaca
siswa usia 15 masih pada peringkat ke-48 (peringkat bawah), padahal kemampuan
membaca ini merupakan faktor yang terpenting untuk melakukan eksplorasi
informasi yang sangat erat dengan kegiatan siswa dalam belajarnya. Kemampuan
matematika dan ilmu pengetahuan alam berada pada peringkat ke-50, hal ini juga
sangat memprihatinkan dalam sejarah pendidikan Indonesia.[3]
Laporan dari PISA ini juga sejalan dengan laporan yang
dikeluarkan oleh International Association for the Evaluation of Educational
Achuievement (IEA) berdasarkan hasil studi Trends in International
Mathematic and Sciense Study (TIMSS) 2004 menunjukkan bahwa untuk bidang
matematika, siswa sekolah menengah pertama (SMP) kelas II di Indonesia berada
pada peringkat ke-34 dari 45 negara. Sementara untuk bidang sains, siswa
Indonesia pada tingkat yang sama berada pada urutan ke-36 dari 45 negara.[4]
Nilai kelulusan
UAN yang dicapai oleh sebagian besar siswa kita sebenarnya merupakan nilai yang
tidak wajar. Namun, masyarakat kelihatannya senang jika sekolah tertentu semua
siswanya (100%) lulus. Masyarakat senang jika anak-anak lulus dengan nilai
baik, walaupun dengan cara yang tidak mendidik dan tidak masuk akal. Barangkali
sekarang, sudah saatnya sekolah tidak memberi tanda lulus dengan disertai
dengan nilai kelulusan. Sekolah cukup memberikan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).
Dalam STTB cukup diterangkan, seorang anak telah tamat belajarnya di SD, SMP,
SMA atau SMK. Jika orang mau melihat prestasi yang dimiliki siswa, silahkan
melihat nilai yang dimilikinya.[5]
Dari uraian di
atas pemakalah ingin menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana dunia evaluasi
dalam pendidikan. Agar kita mengetahui makna sebenarnya dari evaluasi untuk
selanjutnya menjadi lebih bijak dalam mengaplikasikannya pada proses belajar
mengajar sehingga pendidikan di Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain
dan mampu bersaing dalam dunia global.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengapa evaluasi belajar penting untuk dilakukan?
2.
Apa ragam alat evaluasi belajar ?
3.
Bagaimana cara mengevaluasi ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik siswa?
C.
Pembahasan
1.
Pentingnya Evaluasi
Evaluasi
merupakan bagian yang integeral dari pendidikan/pengajaran, sehingga
perencanaan/penyusunan, pelaksanaan dan penggunaannyapun tidak dapat dipisahkan
dari keseluruhan program pendidikan/pengajaran. Di dalam membahas
langkah-langkah evaluasipun tidak dapat dipisahkan dari langkah-langkah
pengajaran.
Evaluasi
artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang
telah di tetapkan dalam sebuah program.[6]
Fungsi dan
tujuan evaluasi belajar
I.
Fungsi evaluasi
Di
samping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai
berikut:
1.
Fungsi administrasi untuk penyusunan daftar nilai dan pengsianbuku
raport.
2.
Fungsi promosi untuk menetapakan kenaikan atau kelulusan.
3.
Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa
dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan ).
4.
Dumber daya BP untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan
bimbingan dan penyuluhan (BP).
5.
Bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang
meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PBM.
Selanjutnya Muhibin Syah (1999) menjelaskan bahwa selain memiliki
fungsi-fungsi seperti di atas, evalusi juga mengandung fungsi psikologis yang
cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru maupun bagi orang tuanya. Bagi
siswa, penilaian guru merupkan alat bantu untuk mengatasi kekurunganmampuan dan
ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinyasendiri, siswa memiliki
self-consciousnes, kesadaran yang lugas menegenai eksistensi dirinya,
dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan
akal sendiri (Mulchacyet al, 1991). Dengan demikian, siswa diharapkan mampu
menentukan posisi dan statusnya secara tepat di antara teman-teman dan
masyarakatnya sendiri.[7]
Selain itu juga ada fungsi lain untuk evaluasi belajar antara lain:
1.
Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional secara
komperehensif yang meliputi aspek pengetahuan,sikap,dan tingkah laku.
2.
Sebaagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana
segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang
dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
3.
Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan proses
belajar mengajar. Bagi peserta didikberguna untuk mengetahui bahann pelajaran
yang diberikan dan dikuasainya.dan bagi masyarakat, untuk mengetahui berasil
tidaknya program-progam yang dilaksanakan.
4.
Untuk memberikan umpan balik pada guru sebagai dasar untuk
memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.
5.
Untuk menemukan angka kemajuan atau hasil belajar.
6.
Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
7.
Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami
kesulitan-kesulitan belajar.
II.
tujuan evaluasi
Adapun
tujuan evaluasi menurut Muhibbinsyah (1999) adalah
Pertama,
untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah di capai oleh siswa dalam suatu
kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat
mengetahui kemajuan perubahan perilaku siswa sebagai proses belajar dan
mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan
belajar siswanya.
Kedua,
untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya.
Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat di jadikan guru sebagai alat penetap
apakah siswa tersebut termasuk kategori
cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan belajarnya.
Ketiga,
untuk mengetahui tingkat usaha yang di lakukan siswa dalam belajar. Hal ini
berarti dalam evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha
siswa. Hasil yang baik pada umumnya enunjukkan tingkat usaha yang efisien.
Keempat,
untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya
(kemampuan kecerdasan yng di milikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, evaluasi
itu dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan
siswa.
Kelima,
untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah di
gunakan guru dalam proses belajar
mengajar. Dengan demikian, apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak
mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru sebaiknya
mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang
serasi.[8]
2.
Alat evaluasi belajar
I.
Ragam alat evaluasi
Alat Evaluasi
Kata “alat” biasa disebut juga dengan istilah “instrumen”. Dengan
demikian maka alat evaluasi juga dikenal dengan instrumen evaluasi. Dalam
kegiatan evaluasi, fungsi alat untuk memperoleh hasil yang lebih baik sesuai
dengan kenyataan yang di evaluasi.
Contoh:
Jika dievaluasi seberapa siswa mampu mengingat nama nabi atau
rasul, hasil evaluasinya berupa berapa banyak siswa dapat menyebutkan nama nabi
dan rasul yang diingat.
Dengan pengertian tersebut maka alat evaluasi dikatakan baik
apabila mampu mengevaluasi sesuatu yang dievaluasi dengan evaluator menggunakan
cara atau teknik, dan oleh karena itu dikenal dengan teknik evaluasi, yaitu
1)
teknik nontes dan
Yang tergolong teknik nontes diantaranya adalah :
1.skala
bertingkat (rating scale),
2.kuesioner
(questionair),
3.daftar cocok
(check list),
4.wawancara
(interview),
5.pengamatan
(observation),
6.riwayat hidup.[9]
2)
teknik tes
2.1 Pengertian Tes
Istilah tes dari kata testum suatu pengertian dalam bahasa kuno
yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Adapula yang
mengartikan sebagai sebuah piring yang dibuat dari tanah.
Sebelum sampai kepada uraian yang lebih jauh, maka akan diterangkan
dahulu arti beberapa istilah-istilah yang berhubungan dengan tes ini.
1.
Menurut amir da’in indrakusuma
“Tes adalah
suatu alat atau prosedur yang sistematis dan obyektif untuk memperoleh
data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan
cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat” (1972: 27).
2.
Menurut muhtar bukhori
“Tes adalah suatu
percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil
pelajaran tertentu pada seseorang murid atau kelompok murid”.
3.
Definisi terakhir dari webster’s collegiate dalam bukunya :
“Encyclopedia
of Educational Evaluation”.
Test is comprehensive assessment of an individual or to an entire
program evaluation effort
Artinya : Tes
adalah penilain komprehensif terhadap seseorang individu atau keseluruhan usaha
evaluasi program.
Dari beberapa
kutipan dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1)
Tes merupakan suatu alat pengumpulan informasi yang bersifat resmi
karena penuh dengan batasan-batasan.
2)
Tes itu disusun secara sistematis dan obyektif
3)
Tes itu berbentuk tugas yang terdiri dari pernyataan dan perintah
4)
Tes itu diberikan pada individu/ kelompok
5)
Bahwa dengan tes itu dengan waktu yang singkat kita bisa memperoleh
keterangan yang kita perlukan.[10]
2.2 Tes
Lisan
Tes ini
termasuk kelompok tes verbal, yaitu tes soal dan jawabannyamenggunakan bahasa
lisan (wayan nurkancana, 1983: 60).[11]
Dari segi
persiapan dan cara bertanya tes lisan dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
1.Tes lisan bebas
Artinya,
pendidik dalam memberikan soal kepada peserta didik tanpa menggunakan pedoman
yang dipersiapkan secara tertulis.
2.Tes lisan
berpedoman
Pendidik
menggunakan pedoman tertulis tentang apa yang akan ditanyakan kepada peserta
didik.
Dalam
tes bebas, dialog terjadi lebih orisinil tidak terikat formalitas, namun sering
jawaban lupa tidak tercatat. Sedangkan kalau dengan pedoman, pertanyaan
terarah, jawaban lebih mudah dicatat dan diseragamkan skoringnya.
2.3 Tes Perbuatan/Pengukuran Ranah Psikomotor
Pengukuran Ranah Psikomotorrik dilakukan terhadap hasil-hasil
belajar yang berupa penampilan (suharsimi, 2001: 182). Menurut ngalim purwanto
(1987: 48), yang dimaksud tes perbuatan adalah tes dimana respon atau jawaban
yang dituntut dari peserta didik berupa perbuatan, tingkah laku kongkrit. Alat
yang dapat digunakan untuk melakukan tes ini adalah observasi atau pengamatan
terhadap tingkah laku tersebut.
Tes digunakan untuk mengukur perubahan sikap peserta didik,
kemampuan dalam meragakan atau mengaplikasikan jenis keterampilan tertentu.
Bentuk tes ini berupa petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik
secara lisan atau secara tertulis, dapat berupa penyediaan situasi dimana
peserta didik diminta untuk bereaksi terhadap situasi tersebut, baik dengan
disengaja ataupun tidak.[12]
2.4 Tes sikap/ pengukuran ranah afektif
Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif.
Pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti
pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah
sewaktu-waktu (suharsimi:2001:177). Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu
yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta
nilai-nilai.
Pertanyaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, namun
jawaban yang khusus tentang dirinya mengenai minat, sikap, dan internalisasi
nilai (oleh cronbach dibedakan antara maximum performance dengan typical
performance attitude)(cronbach. 1970). Ada beberapa bentuk skala yang dapat
digunakan untuk mengukur sikap anatara lain :
a)
Skala likert
b)
Skala pilihan ganda
c)
Skala thurstone
d)
Skala guttman
e)
Semantic differential
f)
Pengukuran minat[13]
II.
Prinsip-prinsip Evaluasi
Sebelum penelitian (evaluasi) dilaksanakan, kiranya perlu
diperhatikan terlebih dahulu prinsip-prinsip penilaian yang nantinya dapat
digunakan sebagai pedoman kebijaksanaan dalam melaksanaknnya. Dan
prinsip-prinsip ini ditempuh dengan masksud agar tujuan yang diinginkan dapat
tercpai.
Adapun prinsip-prinsip penilaian berlaku dalam dunia pendidikan
menurut Abror (1995) yaitu:
1.
Prinsip Komprehensif. Prinsip ini mengajarkan kepada kita
bahwa seluruh aspek anak perlu dinilai. Misalnya:
a.
Bagaimana hafalannya
b.
Bagaimana pemahamannya
c.
Bagaimana kecepatan menangkap dan meresponnya
d.
Bagaimana keterampilannya
e.
Bagaimana sukap dan perilakunnya
f.
Bagaimana kecepatan dan ketepatannya
2.
Prinsip kontinuitas. Prinsip ini menyatakan kepada kita
bahwa evaluasi itu hendaknya dilaksanakan secara berkesenimbangan. Malahan
sambil mengajar, penilaian perlu dilakukan terhadap sikap, minat dan perhatan
anak didik, tanpa melupakan pertimbangan waktu yang tersedia. Sehubung dengan
itu, sekurang-kurangnya ada tiga tahap, yaitu:
a.
Tahap pendahuluan (initial), yang sering disebut dengan “pretesst”;
b.
Tahap formatif, yang berfungsi untuk memperhatikan proses
belajar-mengajar, yang sering diistilahkan dengan “posttest”;
c.
Tahap sumatif, yang berfungsi untuk menentukan hasil belajar
anak, yang sering disebut dengan “final test”.
Dalam
pengalaman disekolah,jika test formatif dapat disamakan dengan ulangan harian,
maka test sumatif ini dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasannya
dilaksanakan pada tiap akhir catur wulan atau akhir semester (Suharsimi 1986).
3.
Prinsip obyektivitas. Dalam melaksanakan penilaian hendaknya
dihindari perasaan “suka atau tidak suka” agar hasil penilaian benar-benar
mencapai obyektivitas. Dengan kata lain, penilaian hendaknya didasarkan ats
kenyataan (apa adanya), tanpa melupakan sifat individual.
4.
Prinsip validitas (kesasihan). Yang dimaksud adalah menakar
apa yang hendak ditakar. Jadi, test inteligensi, misalnya dikatakan valid atau
sahih kalau test tersebut benar-benar hanya menakar kecerdasan; sebaliknya idk
valid jika digunakan untuk menakar ingatan. Dan berdasarkan pengalaman, prinsip
ini semakin jelas penerapannya untuk menakar benda-benda. Misalnya, meteran
hanya valid untuk menakar panjang dan lebar; sebaliknya, tidak valid bila
digunakan untuk menakar suhu dan berat.
Karena
validitas atau kesahihan itu bukan merupakan ciri yang mutlak, maka beberapa
jenis kesahihan bisa diidentifikasikan, yang bergantung kepada tujuan yang
digunakannya metode evaluasi. (Crow & Crow, 1958, hlm 376).
5.
Prinsip Reliabilitas. Secara sederhana, reliabilitas berarti
hal tahan uji atau dpat dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reiabel atau
tahan uji, apabila memiliki eksistensi atau keajegan hasil. Aryinya apabila
alat itu diujikan kepada kelompok siswa pada waktu tertentu menghasilkan
prestasi “X”, maka prestasi yang sama atau hampir sama dengan “X” itu dapat pula dicapai kelompok siswa
tersebut setelah diuji ulang dengan alat yang sama pada waktu yang lain
(Mushibbinsyah, 19).[14]
Dalam bukunya shaleh,Berkenaan dengan itu, dalam pelaksanaan
evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip
sebagai dasar penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Evaluasi hendaknya di dasarkan atras hasil pengukuran yang
komperehensif, pengukuran yang meliputi aspek kognitif, dan psikomotorik.
2.
Evaluasi harus dibedakan antara penskoran dengan angka dan
penilaian dengan kategori. Penskoran berkenaan dengan aspek kuantitatif (dapat
dihitung), dan dengan aspek kualitatif (mutu)
3.
Dalam proses penmberian nilai hendaknya diperhatikan dua macam
penilaian, yaitu: penilaian yang berkenaan dengan hasil belajar, dan penilaian
berkenaan dengan penempatan.
4.
Pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integraldari proses
belajar mengajar.
5.
Penialaian harusnya bersifat komparabel, artinya dapat dibandingkan
antara satu tahap penilaian dengan tahap penialaian lainnya.
6.
Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan
bagi pengajar sendiri sehingga tidak membingungkan.[15]
3.
Evaluasi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
I.
Evaluasi ranah kognitif
Mengukur
keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik dengan te tertulis maupun tes lisan dan perbuatan,
karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan
perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan
khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena sikap dan perlakuannya yang
subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya
berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengatasi
masalah subjektifitas itu, semua jenis tes tertulis baik yang berbentuk
subjektif maupun objektif (kecuali tes Benar-Salah), seyogyanya dipakai
sebaik-baiknya oleh para guru. Namun demikian, apabila anda menghendaki
informasi yang lebih akurat mengenai kemampuan kognitif siswa, selain tes B-S,
tes pilihan berganda juga sebaiknya tidak digunakan, sebagai gantinya, anda
sangat dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokan (matching test), tes
isian dan tes esai.[16]
III.
Evaluasi ranah afektif
Pengukuran
ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif.. Pengubahan sikap
seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Pertanyaan afektif tidak menuntut
jawaban benar atau salah, tetapi jawaban khusus tentang dirinya mengenai minat,
sikap dan internalisasi nilai.
Dewasa ini
banyak ditemukan teknik konstruksi skala sikap, tetapi pelaksanaan dan pengolahannya
menuntut kemampuan dan keahlian ilmu statistik, sehingga tidak setiap guru
mampu menggunakannya[17]. Ada
beberapa bentuk skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap antara lain[18]:
1)
Skala Likert
Skala ini berbentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respons
yang menunjukkan tingkatan. Misalnya: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TB (Tidak
Berpendapat), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Rentang skala ini
diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan.
2)
Skala Thurstone
Skala Thurstone mirip skala Likert karena merupakan suatu instrumen
yang jawabannya menunjukkan tingkatan. Pernyataan yang diajukan kepada
responden disarankan oleh Thurstone kira-kira 10 butir, tetapi tidak kurang
dari 5 butir.
3)
Skala Guttman
Skala ini berupa tiga atau empat buah pernyataan masing-masing
harus dijawab “ya” atau “tidak”. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan
tingkatan yang berurutan sehingga bila responden setuju pernyataan nomor 2,
diasumsikan setuju nomor 1 dan seterusnya.
4)
Semantic Differential
Instrument yang disusun oleh Osgood dan kawan-kawan ini mengukur
konsep-konsep untuk tiga dimensi yakni baik-tidak baik, kuat-lemah,
cepat-lambat atau aktif-pasif atau dapat juga berguna-tidak berguna.
IV.
Evaluasi ranah psikomotorik
Cara yang
dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah
psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Bentuk tes ini berupa
petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik secara lisan atau tertulis, dapat
berupa penyediaan situasi dimana peserta didik diminta untuk bereaksi baik
dengan sengaja atau tidak.[19]
D.
Kesimpulan
1.
Evaluasi merupakan bagian yang integeral dari
pendidikan/pengajaran, sehingga perencanaan/penyusunan, pelaksanaan dan
penggunaannyapun tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan program
pendidikan/pengajaran. Di dalam membahas langkah-langkah evaluasipun tidak
dapat dipisahkan dari langkah-langkah pengajaran. Evaluasi artinya penilaian
terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai fungsi dan tujuan yang telah di
tetapkan dalam sebuah program.
2.
Alat evaluasi dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi sesuatu
yang dievaluasi dengan evaluator menggunakan cara atau teknik, dan oleh karena
itu dikenal dengan teknik evaluasi, yaitu teknik nontes dan teknik tes.
3.
Evaluasi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
1.
Evaluasi ranah kognitif
Mengukur
keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik dengan te tertulis maupun tes lisan dan perbuatan,
karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan
perbuatan hampir tak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan
khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena sikap dan perlakuannya yang
subjektif dan kurang adil, sehingga soal yang diajukan pun tingkat kesukarannya
berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2.
Evaluasi ranah afektif
Pengukuran
ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif.. Pengubahan sikap
seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Pertanyaan afektif tidak menuntut
jawaban benar atau salah, tetapi jawaban khusus tentang dirinya mengenai minat,
sikap dan internalisasi nilai.
3.
Evaluasi ranah psikomotorik
Cara yang
dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah
psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Bentuk tes ini berupa
petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah baik secara lisan atau tertulis, dapat
berupa penyediaan situasi dimana peserta didik diminta untuk bereaksi baik
dengan sengaja atau tidak.
Daftar Pustaka
Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Musthofa Rembangy. 2010. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta:
Teras.
Muzdalifah. 2008. Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus: Stain.
Oemar Hamalik. 2004. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Shaleh,Abdul Rahman,dkk,Psikologi suatu pengantar dalam perspektif
islam,kencana,jakarta,2004,hal.207
Sugiharto,dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY
Press.
Sulistyorini. 2009. Evaluasi Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Yogyakarta: Teras.
Suwarto. 2013 . Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa.
Hamid Hasan, 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
[1]Suyanto
dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Milenium III, Adicita Karya Nusa:Yogyakarta, 2000, hal.98.
[2]Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, PT Remaja Rosdakarya:Bandung,
2008, hal.141.
[3]Suwarto,
Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran, Pustaka
Pelajar:Yogyakarta, 2013, hal.1.
[4]
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, Teras:Yogyakarta, 2010,
hal.9.
[5]
Suyanto dan Djihad Hisyam, Op.Cit, hal.100-101.
[6]
Muzdalifah, Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus, Stain 2008,hal.279.
[7] Ibid,
hal.281.
[8] Ibid,hlm.280
[9]
Sulistyorini, Evaluasi Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan,
teras, yogyakarta, 2009, hal:79.
[10] Ibid, hal:87.
[11] Ibid, hal:110.
[12] Ibid, hal:113.
[13] Ibid, hal:118
[14] Muzdalifah,Op.
Cit. hal. 287-290.
[15]
Shaleh,Abdul Rahman,dkk,Psikologi suatu pengantar dalam perspektif
islam,kencana,jakarta,2004,hal.207
[16]
Muhibbin Syah, Op.Cit, hal.154
[17] Oemar
Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, PT Bumi
Aksara:Jakarta, 2004, hal.228.
[18] Sulistyorini,
Op, Cit, hal.116-118.
No comments:
Post a Comment