Saturday, February 27, 2016

makalah faktor-faktor pendidikan islam

A.    PENDAHULUAN
Pendidikan islam merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan umat islam. Pendidikan merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar keimanannya terhadap Allah swt, karena orang semakin banyak mengerti tentang unsur-unsur pendidikan islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tau dan lebih mengerti akan terciptanya seorang hamba yang beriman.
Pendidikan adalah alat atau sarana bagi manusia untuk mengembangkan keilmuan dipengetahuan, oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki setandart yang tertata, dikurikulumkan, jelas teori-teori dan konsep-konsep pendidikan yang diharapkan adalah konsep dan teori yang relevan dengan keadaan yang berlaku.
Dalam mejalani keidupan diduniaini, kita tidak lepas yang namanya pendidikan islam. Mendidik anak, saudara, lingkungan, dan masyarakat adalah salah satucara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia pada umumnya. Tanpa adanya pendidikan islam yang  baik, sulit bagi manusia untuk mewujudkan kualitas hidup yang efektif, efesien, dan tepat guna. Maka dari itu pendidikan islam sangat penting bagi manusia disegala kehidupan, entah kalangan ke bawah, ke atas yang bergelimang harta.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja faktor-faktor pendidikan islam?
2.      Bagaimana pengertian serta ruang lingkup dari masing-masing faktor pendidikan islam?


C.    PEMBAHASAN
1.      Faktor-faktor Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan pendidikan agama, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor pendidikan yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan agama tersebut.
Faktor-faktor pendidikan itu ada lima macam, dimana faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Kelima faktor tersebut adalah:
1.      Faktor tujuan
2.      Faktor pendidik
3.      Faktor anak didik
4.      Faktor alat
5.      Faktor lingkungan[1]
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pendidikan islam adalah sesuatu yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan islam yang memiliki beberapa bagian yang saling mendukung satu sama lainnya. Faktor-faktor pendidikan selanjutnya juga disebut dengan komponen-komponen pendidikan.
Kelima komponen diatas adalah sebuah sistem, artinya kelima komponen itu merupakan satu kesatuan pendidikan yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lainnya, sehingga terbentuk satu kebulatan yang utuh dalam mencapai tujuan yang diinginkan.[2]
2.      Pengertian dan ruang lingkup dari masing-masing faktor pendidikan islam
1.      Faktor Tujuan
·         Pengertian Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan islam terlebih dahulu di jelaskan apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi, tujuan adalah “ Arah, maksud atau haluan”. Dalam bahasa Arab ‘tujuan” diistilahkan dengan “ghayat, ahdaf, atau maqosid”. Sementara dalam bahasa inggris diistilahkan dengan “goal, purpose, objectives atau aim”. Secara terminologi, tujuan berarti “sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai”. H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai islam yang hendak dicapai dalam proses kepribadian yang berdasarkan ajaran islam secara bertahab.[3]
   Menurut Al-Attas tujuan pendidikan islam adalah manusia yang baik. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim. Al-Abrasyi menghendaki bahwa tujuan akhir pendidikan islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Munir Musyri menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan menurut islam adalah manusia yang sempurna. Menurut Abdul Fattah Jalal, dengan mengutip surat at-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu untuk semua manusia, menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Yang dimaksud dengan menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
      Islam menghendaki agar manusia didik mampu merealisasika tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Ini diketahui dari ayat 56 surat al-Dzariat:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّلِيَعْبُدُوْنِ
      Artinya: aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.
      Ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat diatas dapat juga dilihat umpamanya pada surat al-Baqarah ayat 21, al-Anbiya’ ayat 25, dan al-Nahl ayat 36. Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan salat, saum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Di luar itu bukan ibadah. Sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran dan perasaan yang dihadapkan kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah. Dalam kerangka inilah maka tujuan pendidikan haruslah mempersiapkan manusia agar beribadah seperti itu, agar ia menjadi hamba Allah (‘ibad al-rahman).[4]
      Secara umum, tujuan pendidikan islam terbagi atas: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tetentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
      Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, mengatakan dalam bukunya “Educational Theory a Qur’anic Outlook”, bahwa pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah swt, atau sekurang-kurangnya mempersiapkan kejalan yang mengacu kepada tujuan akhir,. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah dan tunduk serta patuh secara total kepada-Nya.
      Selanjutnya tujuan pendidikan islam menurutnya dibangun atas tiga komponen sifat dasar manusia yaitu:
1.      Tubuh
2.      Ruh
3.      Akal yang masing-masing harus dijaga
      Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pendidikan islam dapat dapat diklasifikasikan kepada:
a.       Tujuan Pendidikan Jasmani (ahdaf al-jismiyah)
           Rasulullah saw, bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيٌ خَيْرٌوَاحَبُّ اِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ (الحديث)
                                           Artinya:”orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi Allah   daripada orang mukmin yang lemah”. (HR. Imam Muslim)
     Oleh imam Nawawi menafsirkan hadis di atas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, maka pendidikan harus mempunyai tujuan ke arah keterampilan-keterampilan fisik yang dianggap perlu bagi tumbuhnya keperkasaan tubuh yang sehat.
b.      Tujuan Pendidikan Rohani (ahdaf al-ruhaniyah)
Orang yang betul-betul menerima ajaran islam tentu akan menerima seluruh cita-cita ideal yang terdapat dalam al-Qur’an. Peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas islam yang diteladani dari tingkah laku keidupan nabi saw, merupakan pokok dalam tujuan pendidikan islam.
c.       Tujuan Pendidikan Akal (al-ahdaf al-aqliyah).
Tujuan ini mengarah kepada perkembangan intelegensi yang mengarah setiap manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya.
d.      Tujuan Sosial (al-ahdaf al-ijtima’iyah).
Seorang khalifah mempunyai kepribadian utama dan seimbang, sehingga khalifah tidak akan hidup dalam keterasingan dan ketersendirian. Oleh karena itu, aspek sosial dari khalifah harus dijaga.
                   Fungsi tujuan pendidikan islam dalam mewujudkan tujuan sosial adalah menitikberatkan pada perkembangan karakter-karakter manusia yang unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standar-standar masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada padanya. Keharmanisan menjadi karakteristik utama yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan islam.
            Menurut imamal-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman menjelaskan bahwa tujuan pendidikan islam dapat diklasifikasikan kepada:
a.       Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
b.      Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
            Dari kedua tujuan di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan versi al-Ghazali  tidak hanya bersifat ukhrawi (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana yang dikenal dengan kesufannya , tetapi juga bersifat duniawi. Karena itu al-Ghazali memberi ruang yang cukup luas dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Namun dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di dalam akhirat yang lebih utama dan kekal.
            Menurut M. Djunaidi Dhany, tujuan pendidikan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Zainudin dkk, adalah sebagai berikut:
1.      Pembinaan kepribadian anak didik yang sempurna.
2.      Peningkatan moral, tingkah laku yang baik dan menanamkan rasa kepercayaan anak terhadap agama dan kepada Tuhan.
3.      Mengembangkan intelegensi anak secara efektif agar mereka siap untuk mewujudkan kebahagiaan di masa mendatang.
            Menurut Hasan Langgulung, tujuan pendidikan harus dikaitkan dengan tujuan hidup manusia, atau lebih tegasnya, tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan-persoalan “untuk apa kita hidup?”
            Islam telah memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah dalam surat az-zariyat 56. Yang artinya. “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”[5]
2.      Faktor Pendidik
·         Pengertian Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingakat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah swt dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
                        Pendidik terbagi menjadi dua, yaitu
1.      Pendidik Kodrat. Di sini yang disebut pendidik kodrat adalah orang tua.
2.      Pendidik jabatan. Di sini yang disebut pendidik jabatan yaitu guru di sekolah.

·         Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam. Dalam beberapa hadis disebutkan: “ Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan janganlah kamu menjadi yang kelima, sehingga kamu menjadi rusak”. Dalam hadis Nabi saw yang lain: “ Tinta seorang ilmuan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”. Bahkan islam menempatkan pendidik setinggkat dengan drajat seorang rasul. Asy-Syawki bersyair: “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul”.[6]  
Dalam kitab-kitab hadis kita menemukan banyak sekali hadis yang menerangkan betapa tingi kedudukan orang yang berpengetahuan, bahwa orang alim yang bersedia mengamalkan pengetahuannya adalah bisa di ibaratkan seperti orang besar di semua kerajaan langit; dia seperti matahari yang menerangi alam, ia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan seperti minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi. Kedudukan orang alim dalam islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengalaman yang paling dihargai oleh islam. Asma Hasan Fahmi mengutip kitab ihya’ al-Ghazali yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting.[7]
·         Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihakan, menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah stw. Dalam paradikma jawa, pendidik diidentik dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu” dan “ditiru. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenannya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu, tetapi bagaimana juga ia mampu menginternalisasikan ilmunya kepada peserta didik. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik). Fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi 3 bagian yaitu;
1.      Sebagai pengajar (instuksional)
2.      Sebagai pendidik (educator)
3.      Sebagai pemimpin (managerial).[8]
Ag. Soejono merinci tugas pendidik dalam pendidikan islam sebagai berikut.
1.      Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara, seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angkeet dan sebagainya.
2.      Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3.      Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4.      Mengadakan evaluasi setiap waktu unuk megetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5.      Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
·         Syarat Pendidik dalam Pendidikan Islam
      Menurut Ag. Soejono menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
1.      Tentang umur, harus sudah dewasa
2.      Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
3.      Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli
4.      Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinngi.
Syarat-syarat itu adalah sayarat-syarat guru pada umumnya. Syarat-syarat itu dapat diterima dalam islam. Akan tetapi, mengenai syarat pada butir kedua, yaitu tentang kesehatan jasmani, islam dapat menerima guru yang cacat jasmani, tetapi sehat. Untuk guru di perguruan tinggi, misalnya, orang buta atau cacat jasmani lainnya dapat diterima sebagai tenaga pengajar, asal cacat itu tidak merintangi tugasnya dalam mengajar.
·         Sifat Pendidik dalam Pendidikan Islam
Al-Abrasyi menyebutkan bahwa guru dalam islam sebaiknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
Zuhud, bersih tubuhnya, bersih jiwanya, tidak ria, tidak memendam rasa dengki dan iri hati, tidak menyenangi permusuhan, ikhlas dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan perbuatan dan perkataan, tidak malu mengakui ketidaktahuan, bijaksana, tegas dalam perkataan dan perbuatan, rendah hati, lemah lembut, pemaaf, sabar, berkepribadian, bersifat kebapaan/ keibuan, mengetahui karakter murid.[9]
3.                   Faktor Peserta Didik
·         Definisi peserta didik dalam pendidikan Islam
Peserta didik dalam pendidikikan Islam adalah individu  sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologi, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akirat kelak. Definisi tersebut memiliki arti bahwa peserta didik  merupakan individu yang belum dewasa, yang  karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali di sebut dengan” murid” atau  tholib. Secara etimologi, murid berarti” orang yang mengheendaki”. Sedang menurut terminologi, murid adalah pencari hakiakat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual(mursyid).istilah murid atau  thalib   memiliki kedalaman makna  dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara  sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan, serta menunjukkan bahwa adanya keaktifan  pada peserta didik dalam proses  belajar mengajar, bukan pada pendidik sehingga proses pendidikn agar tercapai hasil yang maksimal.
·         Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan  Islam   
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang perlu di pahami mengenai karakteristik peserta didik adalah 
Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunianya sendiri, sehingga  metode belajar mengajar tidak boleh di samakan dengan orang dewasa.Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginanya. Sehingga peserta didik  kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
Ketiga, peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang di sebabkan dari faktor indogen (fitroh)  maupun dari faktor eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Keempat, peserta didik dipandang sebagai kesatuaan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi  peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuaan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).[10]
Kelima, peserta didik merupakan subjek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik  memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengar saja.
Keenam, peserta didik mengikuti  periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat di sesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik sangat di tentukan oleh usia atau periode perkembangan  
Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah  individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi. Akan tetapi, dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit di tentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan di tiru, saling memberi dan menerima inforormasi yang di hasilkan, akibat dari komunikasi yang di mulai dari kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan ketrampilan umtuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.
·         Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus di laksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik langsung maupun tidak langsung. Al-Ghozali, yang di kutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserata didik, yaitu:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlaq yang rendah dan watak yang tercela( takhalli) dan mengisi dengan akhlaq yang terpuji ( tahalli) (perhatikan QS. Al-an’am: 162, al-Dzariyat:56).
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi di bandingkan masalah ukhrawi( QS. Adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk  mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggai, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.
3.      Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menaggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan kepribadiaannya.sekalipun ia cerdas,tetapi ia bijak dalm menggunakan kecerdasan itu  pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada  teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang yang timbul dari berbagai aliran,sehingga ia terfokus  dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.[11]

5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji( mahmudah ) baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta  meningalkan ilmu-ilmu duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang  tercela( madzmudah ). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepeda Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari Allah dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
6.      Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau sulit atau ilmu yang fardu’ain menuju ilmu yang fardu kifayah (QS.Insyiqaq: 19)
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu  pengetahuaan secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik  memiliki  keahlian dan kompetensi khusus (QS. al-Insyirah: 7)
8.      Mengenal nilai-nilai  ilmiah atas ilmu pengetahuaan yang di pelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan  kewajiban sebagai makhluk Allah SWT, sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai  pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuaan,ilmu yang bermanfaat dapat membahagikan, menyejahterakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
11.  Peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti  segala prosedur dan metode mazhab yang di ajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya.
Ali bin abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam sebagaimana dalam syairnya yang artinya: “ Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu).[12]
Menurut Muhammad bin Jamil Zainul dalam bukunya Solusi Pendidikan Anak Masa Kini menjelaskan bahwa: Hendaknya murid memelihara beberapa etika belajar sebagai berikut:
1.      Menghormati guru, karena beliau yang mengajarinya apa yang dapat bermanfaat untuk agama dan dunianya.
2.      Memperhatikan dengan baik ketika guru menyampaikan pelajaran agar ia dapat mengambil manfaat dari pelajaran itu.
3.      Tidak berbicara kecuali mendapatkan izin, ini di lakukan untuk menjaga proses belajar agar tetap tentang dan tidak ada kegaduhan.
4.      Meminta izin ketika bertanya dan tidak banyak bertanya, ini dilakukan untuk belajar dan tidak tidak membuang waktu yang ada.
5.      Melakukan perintah guru, menerima arahan-arahan dan nasihat darinya, selagi guru tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.
6.      Tidak melakukan hal-hal di luar pelajaran agar dapat memperoleh manfaat dari pelajaran yang di sampaikan.
7.      Memperhatikan dengan seksama apa yang di sampaikan guru dan tidak tidur pada waktu belajar.
8.      Membuat daftar catatan yang penting dalam pelajaran pada buku tulis khusus untuk mempermudah dalam mengulangi dan menghafalkan.
9.      Apabila ada siswa yang masuk pelajaran terlambat, hendaknya ia meminta izin sebelum masuk, kemudian memberi salam kepada teman-temanya.
10.  Kepada murid yang perempuan sebaiknya memakai hijab dan murid menjaga perilaku dan sopan santun terhadap teman-temannya.
4.      Faktor alat
·         Pengertian Faktor Alat
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras misalnya gedung sekolah dan alat laboratorium dan perangkat lunak misalnya kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan Islam.
1.      Perangkat keras
Peralatan yang berupa gedung, perpustakaan, alat-alat yang digunakan tatkala belajar di kelas, amat erat hubungannya dengan mutu sekolah, apalagi bila alat-alat peraga, alat-alat laboratorium. Banyak sekali konsep pengetahuan yang harus dipelajari murid yang amat sulit, bahkan tidak mungkin dipahami tanpa bantuan alat pelajaran.
Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan islam dahulu sudah mengetahui pentingnya alat-alat bagi peningkatan mutu pendidikan. Dimulai dari yang amat sederhana, sampai penggunaan alat yang amat moderen, dilihat dari sudut perkembangan teori pendidikan ketika itu.
Pada masa permulaan islam, alat-alat yang digunakan dalam pengajaran amat sederhana. Pengajarn diberikan di rumah. Kadang-kadang di masjid atau halaman masjid. Orang Islam ketika itu mengirimkan anak-anaknya belajar di masjid. Orang Islam Indonesia sekarang ini sudah mengetahui perlunya alat-alat pendidikan untuk membangun sekolah yang bermutu. Jenis-jenis peralatan sekolah pada umumnya sama, kecuali bagi sekolah-sekolah tertentu sesuai dengan tujuan kurikulernya.
Sekolah-sekolah islam sampai saat ini masih sering menghadapi kekurangan biaya dalam pengadaan alat pelajaran. Kekuraangan dana itu pun ditambah dengan kenyataan lemahnya perencanaan dan kurangnya penelitian. Dengan demikian, dana yang kurang menjadi lebih besar dampaknya terhadap rendahnya mutu sekolah.
Peralatan sekolah harus dirancang secara menyeluruh dan teliti. Dahulukan alat-alat yang sangat diperlukan. Seperti Tiruan tubuh manusia untuk memahami anatomi manusia, rekaman video tentang salat dan wudlu alat-alat mutlak yang wajib ada yakni buku-buku perpustakaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah ruang belajar. Ruang belajar yang baik tidak selalu mahal. Pengelolaannya itulah yang amat menentukan.[13]
2.      Perangkat lunak
a.       Kurikulum pendidikan Islam
Dalam bahasa asalnya (bahasa latin), kata kurikulum berarti run a way, yaitu lari menuju garis finish untuk mencapai kemenangan. Dari sini dapat diartikan bahwa kurikulum adalah serangkaian mata pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dengan tujuan tertentu.
Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik beserta anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mereka (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang berpijak kepada al-Qur’an dan hadits sebagai dasar utama pelaksanaan pendidikan Islam.
Terkait dengan kurikulum yang akan disampaikan kepada peserta didik, sejumlah pakar pendidikan seringkali merujuk kepada QS. Luqman: 13
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa materi pelajaranyang disampaikan kepada anak didik adalah:
a)      Pendidikan ketauhidan
b)      Pendidikan akhlak
c)      Pendidikan amar ma’ruf nahi munkar
d)     Pendidikan kesabaran
Rumusan kurikulum ini masih cenderung bernuansa akhirat oriented. Padahal, apabila mengacu pada tujuan pendidikan Islam yakni pendidikan Islam tidak memilih-milih antara dunia dan akhirat. Namun, bisa diprediksi bahwa kurikulum pendidikan Islam yang akhirat oriented akan mengalami kendala besar apabila dihadapkan dengan masalah profesionalisme dan keahlian. Dengan demikian, tuntutan terhadap perubahan kurikulum pendidikan Islam merupakan hal yang logis dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Agar kurikulum pendidikan Islam tetap relevan dan bisa berbuat banyak di masyarakat, maka design kurikulum harus peka terhadap kebutuhan masyarakat dan dinamika zaman. Untuk itu, setidak-tidaknya ada hal yang harus ada dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu pertama, pendidikan perlu mengintregasikan kajian keagamaan, pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, dalam suatu program kurikulum yang integral baik dari segi filosofis, teoritik, maupun oprasionalnya. Kedua, kurikulum pendidikan Islam harus mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)dan dipadukan dengan iman dan takwa dan harus relevan, responsif serta mampu mengantisipasi skenario perubahan di masa yang akan datang.
b.      Metode pendidikan Islam
Secara etimologi, kata metode berasal dari bahasa yunani metodos. Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang bermakna jalan atau cara. Jadi, metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, metode pendidikan Islam bisa diartikan sebagai suatu cara yang harus dilalui dalam menyajikan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
H.M. Arifin menawarkan metode pendidikan Islam sebagai berikut:
a)      Metode situasional dan kondisional dalam pembelajaran
b)      Metode kebermaknaan
c)      Metode dialog
d)     Metode pemberian teladan yang baik
e)      Metode diskusi
f)       Metode demonstrasi
g)      Metode hadiah dan hukuman
Jauh sebelumnya, Ibnu Khaldun juga menawarkan beberapa metode alternatif yang bisa diterapkan dalam pendidikan Islam, antara lain:
a)      Metode ilmiah modern
b)      Metode gradasi dan penulangan
c)      Menggunakan media audio- visual
d)     Melakukan karya wisata
e)      Menghindari sistem pengajaran materi pelajaran dalam bentuk rangkuman
f)       Memberikan sanksi yang proporsional untuk menumbuhkan motivasi belajar
Senada dengan Ibnu Khaldun, al-Ghozali menyarankan agar membedakan metode pengajaran yang dipakai untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Menurutnya, kewajiban utama dari guru adalah mengajarkan kepada anak didik pelajaran yang mudah dipahami. Sebab, masalah-masalah yang sulit bisa menyebabkan ‘merusak’ pikiran anak didik, dan akibat terburuknya adalah mereka justru malas belajar.
Di era globalisasi,  menurut Abdurrahman Mas’ud, seorang guru harus memilih metode yang sesuai dengan nilai-nilai humanisme religius, meskipun pada  akhirnya elemen-elemen pendidikan menjadi kurang signifikan seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan sains. Dia menambahkan bahwa trend di masa mendatang adalah sejauh mana siswa memanfaatkan komputer sebagai guru utama dan sejauh mana seorang guru mampu mengantar siswanya untuk bukan sekedar memiliki teknologi seperti memiliki komputer, melainkan bagaimana menggunakan dan memanfaatkannya sebagai media belajar.[14]
c.       Evaluasi pendidikan Islam
Edwind Wendt dan Gerald W. Brown menyatakan bahwa evaluasi adalah totalitas tindakan atau proses yang dilakukan untuk menilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Yang dimaksud dengan penilaian dalam pendidikan adalah keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pendidikan secara umum: baik secara perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun kelembagaan. Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
Menurut Armai Arief, fungsi evaluasi pendidikan Islam, antara lain:
a)      Untuk mengetahui efektivitas cara belajar mengajar yang telah dilakukan
b)      Untuk mengetahui prestasi belajar siswa
c)      Untuk mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dari anak didik
d)     Sebagai bahan laporan kepada wali murid
e)      Untuk membandingkan hasil pembelajaran yang diperoleh sebelumnya
Menurut Muhaimin, dkk, pelaksanaan evaluasi pendidikan Islam perlu dipegang prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)      Agar evaluasi pendidikan sesuai dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan
b)      Evaluasi harus obyektif
c)      Evaluasi dilakukan secara komprehensif
d)     Evaluasi dilakukan secara kontinue[15]

5. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan sesuatu yang mempengaruhi pada pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Adapun pengaruh lingkungan dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut:
a.       Pengaruh lingkungan dapat dikatakan positif, bilamana lingkungan itu dapat memberikan dorongan atau motivasi dan rangsangan kepada anak untuk berbuat hal-hal yang baik.
b.      Sebaliknya pengaruh lingkungan dapat dikatakan negatif, bilamana keadaan sekitar anak itu tidak dapat memberikan pengaruh baik.
Karena itu berhasil atau tidaknya pendidikan islam disekolah juga banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan daripada anak didik.[16]
D.    KESIMPULAN
1.      Faktor-faktor pendidikan islam adalah sesuatu yang ikut menentukan keberhasilanpendidikan islam yang memiliki beberapa bagian yang saling meendukung satu sama lainnya.
2.      Di dalam ilmu pendidikan islam kita mengenal beberapa macam faktor pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut.
a.       Faktor tujuan
b.      Faktor pendidikan
c.       Faktor anak didik
d.      Faktor lingkungan.



E.     DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Pespektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2005
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2002
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres, 2002
Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Dr. Zakiah Darajat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Angkasa, 2001
Suyanto, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006
Z. AG. S, Methodik Khusus Pendidikan Agama, Malang: Cetakan ke VIII, 1983


F.      LAIN-LAIN (HASIL DISKUSI)
a.      Pertanyaan:
1.      Durroh Nafisah
Bagaimana caranya agar semua faktor berjalan sinergis dan seimbang agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan?
2.      Ainul Munti’ah
Jelaskan apabila 3 komponen sifat dasar manusia dari tujuan pendidikan itu tidak ada?
3.      Etris sutrisni
a)      Kenapa pendidik dikatakan sebagai pemimpin?
b)      Jelaskan apabila perangkat keras tidak ada, apakah masih bisa berjalan?
b.      Jawaban:
1.      Caranya yakni sebagai seorang pendidik itu harus mengerti dari faktor-faktor pendidikan islam, supaya apabila ingin mencapai suatu tujuan yang sinergis maka pendidik dapat memahami dari masing-masing faktor tersebut, dan hal ini pula pihak pemerintah juga mempunyai andil dalam menciptakan dorongan agar suatu lembaga pendidikan dapat berjalan dengan seimbang dengan cara memfasilitasi anggaran yang sangat diperlukan bagi lembaga pendidikan tersebut.
2.      Apabila salah satu dari 3 komponen sifat dasar manusia itu tidak ada maka tujuan pendidikan tidak akan bisa berjalan dengan baik, karena 3 komponen yang meliputi : tubuh, ruh, dan akal itu semua merupakan hal yang harus ada dalam membangun tujuan pendidikan islam, maka tidak boleh jika salah satu komponen tersebut tidak ada namun harus ada secara utuh untuk tujuan pendidikan Islam.
3.      a) Karena seorang pendidik mempunyai kewajiban memanagement anak didiknya, tanpa seorang pemimpin pastinya suatu lembaga tidak akan berjalan jadi, tanpa seorang pendidik suatu kelas tidak akan sempurna pula.
c)      Suatu pendidikan apabila tidak memiliki perangkat keras atau fasilitas tidak memadai hal itu sangat mempengaruhi proses belajar anak didik, dan sangat sulit untuk dapat mencapai tujuan pendidikan.
c.       Tambahan:
1.      Himmatul Ulyani
·         Tingkah laku mendidik secara benar yakni dengan cara: anak yang masih dalam usia bermain jangan dibuat sangat tertekan.
·         Sikap guru agar dapat mendidik secara murni yakni dengan cara: jangan memaksakan kehendak anak dalam belajar, tapi buatlah agar mereka belajar sambil bermain, itu akan lebih mudah dan menyenangkan. Karena masa-masa SD adalah masa bermain anak.
·         Sebagai orang tua tidak akan mau memiliki anak yang nakal, namun orang tua harus berusaha dalam mendidik anak-anak mereka agar menjadi lebih baik.
·         Pemerintah harus memberi dorongan bagi siswa seperti beasiswa, agar mereka lebih semangat dalam belajar.
·         Tanpa seorang pemimpin murid tidak akan mempunyai arti apa-apa
·         Suatu pendidikan tanpa perangkat keras apabila tidak dimanfaatkan dengan baik maka tidak akan mencapai tujuan pendidikan atau masih kurang maksimal.
2.      Aris Ubaidillah
·         Anak nakal yang sulit di tangani maka sebagai pendidik harusnya tidak berlebihan dalam menangani anak tersebut, namun yang lebih penting harusnya penanganannya tidak berlebihan mengganggu yang lainnya.







[1] Z. AG. S, Methodik Khusus Pendidikan Agama, Cetakan ke VIII, Malang, 1983, hal. 28
[2] Zakiyah Darajat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bumi Angkasa, Jakarta, 2001, hal. 11
[3] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta: 2002, hal. 15-16
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 1992, hal 46-47
[5] Armai Arief, Op. Cit, hal 18-25
[6] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Amzah, Jakarta: 2010, hal. 83-86
[7] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hal. 76
[8] Bukhari Umar, Op.Cit, hal.87
[9] Ahmad Tafsir, Op.Cit, hal.79-83
[10] Prof. Suyanto,Ph.D, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2006. Cet 1. Hal 103-106
[11] Ibid, hal 107-112
[12] Ibid hal 115
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 92-94
[14] Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2002, hal.24-29
[15] Ibid, hal.31-33
[16] Z. AG. S, Op.Cit, hal 54

No comments:

Post a Comment