A.
PENDAHULUAN
Pada
saat ini orang banyak orang yang mengabaikan ilmu agama dan malah lebih
mementingkan ilmu umum, mereka tidak memikirkan bekalnya di akhirat kelek dan
mereka lebih mementingkan kepentingan dunianya. Seharusnya kepentingan dunia
dan akhirat harusnya seimbang satu sama lain dan saling melengkapi.
Untuk
itu kita sebagai generasi muda harus memperkenalkan dan melestarikan ilmu agama
baik bagi diri sendiri maupun orang lain, agar nantinya generasi sesudah kita
tidak hanya mempelajari ilmu umum saja, melainkan juga mempelajari ilmu agama.
Untuk bekal di dunia dan akhirat kita.
Salah
satu ilmu agama adalah Ushul Fiqih. Ushul Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan
tentang nash-nash syari’at islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian mutlaq dan muqayyad?
2.
Bagaimana
hukum mutlaq dan muqayyad?
C.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mutlak dan muqayyad
Apabila
kita selidiki secara seksama tentang keadaan tiap-tiap lafal yang dipandang
dari segi dibatasinya atau tidaknya lafal itu, maka ada yang keadaannya bebas
dan tidak dibatasi penggunaanya oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal ini
yang membatasi lafal itu disebut Al-Qaid.
Oleh karena
itu, berbicara tentang mutlaq maka terkait pula masalah muqayyad dan
al-qaid.
اَلْمُطْلَقُ مَادَلَّ عَلى الْمَاهيّةِ
بِلاَقَيدٍ
Artinya: mutlak ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa
dibatasi oleh sesuatu hal apapun.[1]
Mutlak ialah
lafal-lafal yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas)
yang tersendiri berupa perkataan, seperti
firman Allah SWT:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ (المجادله :3)
Artinya: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya”.
Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba
sahaya yang mukmin.
Contoh perkataan اَيْدِيكُمْ dalam hal ayat:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّوْا
صَعِيْدًا طَيباً فَامْسَحُوْا بِوُجُوهِكُمْ اَيْدِيكُمْ (النساء:43)
Artinya apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu
yang suci, maka usapkanlah mukamu dan tanganmu dengan debu itu.
mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan
sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah
semuanya diusap atau sebagainya. Yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap
dengan debu.
Karena perkataan اَيْدِيكُمْ
(tanganmu) ini tidak dibatasi sampai dimana yang harus diusap, maka bagian yang
diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu, disebut
mutlak.[2]
Muqayyad
اَلْمُقَيِّدُ مَادَلَّ عَلَى الْماهِيَةِ
بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهاَ
Artinya muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya,
dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qaid القائد
Jadi Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang
mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (اانساء)
Artinya : dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan,
hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Contoh lagi perkataan وَاَيْدِيَكُمُ اِلى
الْمَرَافِقِ
Yang artinya basuhlah tanganmu sampai siku-siku, yang terdapat dalam
ayat,
يَااَيُّهَاالَّذيْنَ اَمَنُوْا اِذَا
قُمْتُمْ اِلى الصَّلَوةِ فّاغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمُ اِلى الْمَرَافِقِ (المائده:6)
Artinya orang mukmin, apabila kamu hendak
salat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”. (QS. AL-Maidah:6)
Ayat ini menerangkan soal wudlu, yaitu
harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Disinilah jelas bahwa lafal وَاَيْدِيَكُمُ ini
disbut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafal اِلى
الْمَرَافِقِ disebut Al-Qaid yang yang kadang-kadang disebut dengan kata
qaid.
Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq
(tidak dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung
arti ketentuan secara muqayyad(dibatasi).
Maksudnya lafal yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq
dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan
tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya
hukumnya pun harus harus berbeda.[3]
B. Hukum lafal mutlak dan muqayyad
Kalau sesuatu soal disebutkan dengan lafal mutlak, dan di tempat lain
dengan lafal muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
1. Terus berbeda (sama) hukum dan sebabnya.
Dalam hal ini mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya, muqayyad menjadi
penjelasan terhadap mutlak.jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam
bentuknya namun sama saja sama cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad
merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh mutlak:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْحِنْزِيْرِ (المائدة)
Artinya:
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging
babi”. (QS.Al-Maidah:3)
Muqayyad:
قُلْ لاَ
اَجِدُ فِيمَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً اَوْدَماً مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ (الأنعام:145)
Artinya: “katakanlah: tidaklah aku peroleh
di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas
orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging
babi”. (QS. AL-an’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama,
yaitu hendak makan, dan berisi hukum yang sama, yaitu:haramnya darah. Dengan
demikian makan yang diharamkan ialah , darah yang mengalir sedang darah yang
tidak mengalir, seperti hati (liver), limpa tidak haram.[4]
Contoh lagi ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ yang artinya tiga hari,
bentuknya mutlaq, sebagaimana yang terdapat dalam ayat.
وَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ (المائدة:89)
Artinya: maka barang siapa yang tidak
mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari.
Menurut bacaan mutawatir, lafal di atas
bentuknya mutlak. Tetapi menurut bacaan syadzah lafal tersebeut diatas
bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu
berbunyi,
فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Artinya : hendaklah puaasa tiga hari
berturut-turut.
Jadi, dibatasi dengan kata-kata
berturut-turut.(mutatabiat).
Karena kedua bacaan itu bersamaan sebab dan
hukumnya, maka qirat mutawatir di atas harus diikutkan dengan qirat syadzah.
Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qirat syadzah.hendaklah berpuasa tiga
hari berturut-turut. Jadi dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan
berturut-turut. Jadi karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama
sebabnya karena kafarat sumpah.jelasnya walaupun di dalam mushaf tidak
disebutkan tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari
berturut-turut.
2. Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan
sebabnya.
Dalam hal ini ada dua pendapat.
a. Menurut golongan Syafi’i, mutlak dibawa kepada muqayyad.
b. Menurut golongan Hanafiyah dan Makiyah,
mutlak tetap pada tempatnya tersendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlak:
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُوْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
Artinya: orang-orang yang menzihar istrinya
kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur,( Al-Mujadalah: 3)
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء 92)
Artinya: barang siapa yang membunuh orang
mukmin dengan tidak sengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan
seorang hamba yang mukmin. (QS. An-Nisa’: 92)
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama,
yaitu pembebasan budak, sedang sebab berlainan. Yang satu karena zihar yang
lain karena pembunuhan yang sengaja.
Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab
seseorang harus memerdekakan budak ialah karena bersumpah zihar, sedangkan ayat
kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi berbeda dalam sebabnya.
Meskipun berlainan sebabnya, tetapi
hukumnya bersamaan, yaitu sama-sama harus memerdekakan budak. Dalam ayat yang
pertama bentuknya mutlak karena hanya disebut raqabatin sedangkan dalam ayat
kedua bentuknya muqayyad karena disebut raqabatin mukmiinatin, yakni budak yng
mukmin (harus mukmin)jadi jika yang mutlaq diikutkan kepada muqayyad , maka
yang dimaksud budak dalam ayat pertama itu ialah budak-budak yang mukmin..
Namun jika tidak diikutkan kepada yang muqayyad, maka yang mutaq tetap pada
kemutlaqannya, maka dalam sumpah zihar, budak yang dimerdekakan tidak harus
mukmin, sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang
dimerdekakan harus mukmin.[5]
3. Berbeda hukum dan sebabnya
Dalm hal ini ini masing-masing mutlak dan
muqayyad tetap pada tempatnya tersendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelas dalam
mutlak.
Contoh mutlak
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُو اَيْدِيَهُمَا (المائدة: 38)
Artinya : pencuri lelaki dan perempuan potonglah
tangannya.
Muqayyad
يَااَيُّهَاالَّذيْنَ
اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلى الصَّلَوةِ
فّاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمُ اِلى الْمَرَافِقِ (المائده:6)
Artinya orang mukmin, apabila kamu hendak
salat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”. (QS. AL-Maidah:6)
Dalam pada itu, ada hadis Nabi yang
menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan.
Ayat 6 Al-Maidah yang muqayyad tidak bisa
menjadi penjelasan ayat 38 Al-Maidah yang mutlak, karena berlainan sebab, yaitu
hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudlu dan
pemotong tangn. Dalam hal ini hadits Nabi SAW lah yang menjadi penjelasan ayat
38 Al-Maidah, karena pembicaraannya (sebab dan hukum) sama.
4. Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama.
Dalam hal ini masing-masing mutlak dan
muqayyad tetap pada tempatnya tersendiri.
Contoh mutlak:
اَتَّيَمَّمُ
ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ
Artinya: tayamum ialah sesekali mengusap
debu untukmuka dan kedua tangan.
Muqayyad
وُجُوْهَكُمْ وَاَيدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
(المائده:6)فَاغْسِلُوْا
Artinya : basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku( QS. Al-Maidah:6)
Ayat 6 Al Maidah tersebut yang muqayyad
tidak bisa menjadi penjelasan, hadis yang mutlak, karena berbeda hukum, yang
dibicarakan, yaitu wudhu pada ayat 6 Al-Maidah, dan tayamum pada hukum meskipun
sebabnya sama yaitu hendak salat atau karena hadas(tidak suci). Tangan bisa
diartikan dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku, atau
sampai bahu.[6]
Jadi hubungan antara mutlaq dengan muqayyad
itu ada empat, yaitu:
a) Persamaan hukum dan sebab, yang mutlaq
harus diikutkan pada yang muqayyad.
b) Persamaan hukum dan berlainan sebab, yang
ini diperselisihkan ulama ushul, apakah yang mutlaq diikutkan kepada yang
muqayyad atau tidak.
c) Perbedaan hukum dan sebab, yang mutlaq
boleh diikutkan dengan muqayyad.
d) Perbedaan hukum dan persamaan sebab, yang
mutlaq juga tidsk boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
5. Penggunaan Lafal Mutlaq dan Muqayyad
a. Jika terpat suatu tuntutan yang mutlaq
dalam suatu lafal dan muqayyad pada lafal yang lain, yang digabungkan mutlaq
kepada muqayyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan hukumnya. Seperti
hadis tentang kifarat puasa.
صُمْ شَهْرَيْنِ مُتتابِعَيْنِ (متفق عليه)
b. Jika tidak bersesuaian menurut sebab,
mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad. Seperti antara kafarat zhihar dengan
kafarat membunuh.
D. KESIMPULAN
Mutlaq ialah
lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang
lain. Sedangkan muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya,
dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Lafal yang
mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan
secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya. Maka
dengan sendirinya hukumnya pun berbeda.
Kalau sesuatu
soal disebutkan dengan lafal mutlaq, dan di tempat lain dengan lafal muqayyad,
maka ada 4 kemungkinan, yaitu :
1.
Terus
berbeda (sama) hukum dan sebabnya.
2.
Berisi
hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.
3.
Berbeda
hukum dan sebabnya.
4.
Berbeda
hukum, tetapi sebabnya sama
DAFTAR PUSTAKA
Umam, Khairul. Ushul Fiqih 11.
Bandung : CV Pustaka Setia. 2001
syafi’i. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung
: CV Pustaka Setia. 1997
No comments:
Post a Comment