Saturday, February 27, 2016

makalah lafal mutlaq dan muqayyad


A.    PENDAHULUAN
Pada saat ini orang banyak orang yang mengabaikan ilmu agama dan malah lebih mementingkan ilmu umum, mereka tidak memikirkan bekalnya di akhirat kelek dan mereka lebih mementingkan kepentingan dunianya. Seharusnya kepentingan dunia dan akhirat harusnya seimbang satu sama lain dan saling melengkapi.
Untuk itu kita sebagai generasi muda harus memperkenalkan dan melestarikan ilmu agama baik bagi diri sendiri maupun orang lain, agar nantinya generasi sesudah kita tidak hanya mempelajari ilmu umum saja, melainkan juga mempelajari ilmu agama. Untuk bekal di dunia dan akhirat kita.
Salah satu ilmu agama adalah Ushul Fiqih. Ushul Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang nash-nash syari’at islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian  mutlaq dan muqayyad?
2.      Bagaimana hukum mutlaq dan muqayyad?

C.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mutlak dan muqayyad
Apabila kita selidiki secara seksama tentang keadaan tiap-tiap lafal yang dipandang dari segi dibatasinya atau tidaknya lafal itu, maka ada yang keadaannya bebas dan tidak dibatasi penggunaanya oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal ini yang membatasi lafal itu disebut Al-Qaid.
Oleh karena itu, berbicara tentang mutlaq maka terkait pula masalah muqayyad dan al-qaid.
اَلْمُطْلَقُ مَادَلَّ عَلى الْمَاهيّةِ بِلاَقَيدٍ
Artinya: mutlak ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh sesuatu hal apapun.[1]
Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan, seperti  firman Allah SWT:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ (المجادله :3)
Artinya: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya”.

Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
Contoh perkataan اَيْدِيكُمْ   dalam hal ayat:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّوْا صَعِيْدًا طَيباً فَامْسَحُوْا بِوُجُوهِكُمْ اَيْدِيكُمْ (النساء:43)
Artinya apabila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usapkanlah mukamu dan tanganmu dengan debu itu.
mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagainya. Yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap dengan debu.
Karena perkataan اَيْدِيكُمْ (tanganmu) ini tidak dibatasi sampai dimana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu, disebut mutlak.[2]

Muqayyad
اَلْمُقَيِّدُ مَادَلَّ عَلَى الْماهِيَةِ بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهاَ
Artinya muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Batas-batas tertentu tadi disebut Al-Qaid القائد

Jadi Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (اانساء)
Artinya : dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang beriman.

Contoh lagi perkataan وَاَيْدِيَكُمُ اِلى الْمَرَافِقِ
Yang artinya basuhlah tanganmu sampai siku-siku, yang terdapat dalam ayat,
يَااَيُّهَاالَّذيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلى الصَّلَوةِ  فّاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمُ اِلى الْمَرَافِقِ (المائده:6)
Artinya orang mukmin, apabila kamu hendak salat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”. (QS. AL-Maidah:6)
Ayat ini menerangkan soal wudlu, yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Disinilah jelas bahwa lafal وَاَيْدِيَكُمُ  ini disbut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafal         اِلى الْمَرَافِقِ disebut Al-Qaid yang yang kadang-kadang disebut dengan kata qaid.

Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi). Dan apabila lafal itu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad(dibatasi).

Maksudnya lafal yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun harus harus berbeda.[3]


B.     Hukum lafal mutlak dan muqayyad
Kalau sesuatu soal disebutkan dengan lafal mutlak, dan di tempat lain dengan lafal muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
1.      Terus berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini mutlak harus dibawa kepada muqayyad. Artinya, muqayyad menjadi penjelasan terhadap mutlak.jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja sama cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh mutlak:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْحِنْزِيْرِ (المائدة)
Artinya:
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi”. (QS.Al-Maidah:3)
Muqayyad:
قُلْ لاَ اَجِدُ فِيمَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُونَ مَيْتَةً اَوْدَماً مَسْفُوْحًا اَوْلَحْمَ خِنْزِيْرٍ (الأنعام:145)
Artinya: “katakanlah: tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging babi”. (QS. AL-an’am: 145).
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama, yaitu hendak makan, dan berisi hukum yang sama, yaitu:haramnya darah. Dengan demikian makan yang diharamkan ialah , darah yang mengalir sedang darah yang tidak mengalir, seperti hati (liver), limpa tidak haram.[4]
Contoh lagi ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ  yang artinya tiga hari, bentuknya mutlaq, sebagaimana yang terdapat dalam ayat.
وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ (المائدة:89)
Artinya: maka barang siapa yang tidak mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari.
Menurut bacaan mutawatir, lafal di atas bentuknya mutlak. Tetapi menurut bacaan syadzah lafal tersebeut diatas bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi,
فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Artinya : hendaklah puaasa tiga hari berturut-turut.
Jadi, dibatasi dengan kata-kata berturut-turut.(mutatabiat).
Karena kedua bacaan itu bersamaan sebab dan hukumnya, maka qirat mutawatir di atas harus diikutkan dengan qirat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qirat syadzah.hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut. Jadi karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah.jelasnya walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut-turut.
2.      Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.
Dalam hal ini ada dua pendapat.
a.       Menurut golongan Syafi’i, mutlak  dibawa kepada muqayyad.
b.      Menurut golongan Hanafiyah dan Makiyah, mutlak tetap pada tempatnya tersendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh mutlak:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُوْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)
Artinya: orang-orang yang menzihar istrinya kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur,( Al-Mujadalah: 3)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء 92)
Artinya: barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang mukmin. (QS. An-Nisa’: 92)
 Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedang sebab berlainan. Yang satu karena zihar yang lain karena pembunuhan yang sengaja.
Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab seseorang harus memerdekakan budak ialah karena bersumpah zihar, sedangkan ayat kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi berbeda dalam sebabnya.
Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya bersamaan, yaitu sama-sama harus memerdekakan budak. Dalam ayat yang pertama bentuknya mutlak karena hanya disebut raqabatin sedangkan dalam ayat kedua bentuknya muqayyad karena disebut raqabatin mukmiinatin, yakni budak yng mukmin (harus mukmin)jadi jika yang mutlaq diikutkan kepada muqayyad , maka yang dimaksud budak dalam ayat pertama itu ialah budak-budak yang mukmin.. Namun jika tidak diikutkan kepada yang muqayyad, maka yang mutaq tetap pada kemutlaqannya, maka dalam sumpah zihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin, sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mukmin.[5]
3.      Berbeda hukum dan sebabnya
Dalm hal ini ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya tersendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelas dalam mutlak.
Contoh mutlak
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُو اَيْدِيَهُمَا (المائدة: 38)
Artinya : pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya.
Muqayyad
يَااَيُّهَاالَّذيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلى الصَّلَوةِ  فّاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمُ اِلى الْمَرَافِقِ (المائده:6)
Artinya orang mukmin, apabila kamu hendak salat, hendaklah basuh mukamu dan tanganmu sampai siku”. (QS. AL-Maidah:6)
 Dalam pada itu, ada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan.
Ayat 6 Al-Maidah yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan ayat 38 Al-Maidah yang mutlak, karena berlainan sebab, yaitu hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudlu dan pemotong tangn. Dalam hal ini hadits Nabi SAW lah yang menjadi penjelasan ayat 38 Al-Maidah, karena pembicaraannya (sebab dan hukum) sama.
4.      Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama.
Dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada tempatnya tersendiri.
Contoh mutlak:
اَتَّيَمَّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ
Artinya: tayamum ialah sesekali mengusap debu untukmuka dan kedua tangan.
Muqayyad
 وُجُوْهَكُمْ وَاَيدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ (المائده:6)فَاغْسِلُوْا
Artinya : basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku( QS. Al-Maidah:6)
Ayat 6 Al Maidah tersebut yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan, hadis yang mutlak, karena berbeda hukum, yang dibicarakan, yaitu wudhu pada ayat 6 Al-Maidah, dan tayamum pada hukum meskipun sebabnya sama yaitu hendak salat atau karena hadas(tidak suci). Tangan bisa diartikan dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku, atau sampai bahu.[6]
Jadi hubungan antara mutlaq dengan muqayyad itu ada empat, yaitu:
a)      Persamaan hukum dan sebab, yang mutlaq harus diikutkan pada yang muqayyad.
b)      Persamaan hukum dan berlainan sebab, yang ini diperselisihkan ulama ushul, apakah yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad atau tidak.
c)      Perbedaan hukum dan sebab, yang mutlaq boleh diikutkan dengan muqayyad.
d)     Perbedaan hukum dan persamaan sebab, yang mutlaq juga tidsk boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
5.      Penggunaan Lafal Mutlaq dan Muqayyad
a.       Jika terpat suatu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafal dan muqayyad pada lafal yang lain, yang digabungkan mutlaq kepada muqayyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan hukumnya. Seperti hadis tentang kifarat puasa.
صُمْ شَهْرَيْنِ مُتتابِعَيْنِ (متفق عليه)
b.      Jika tidak bersesuaian menurut sebab, mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad. Seperti antara kafarat zhihar dengan kafarat membunuh.
 D. KESIMPULAN
Mutlaq ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain. Sedangkan muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu.
Lafal yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan sendirinya hukumnya pun berbeda.
Kalau sesuatu soal disebutkan dengan lafal mutlaq, dan di tempat lain dengan lafal muqayyad, maka ada 4 kemungkinan, yaitu :
1.           Terus berbeda (sama) hukum dan sebabnya.
2.           Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.
3.           Berbeda hukum dan sebabnya.
4.           Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama
DAFTAR PUSTAKA

Umam, Khairul. Ushul Fiqih 11. Bandung : CV Pustaka Setia. 2001
syafi’i. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia. 1997




[1] Drs.Khoirul Umam.Ushul Fiqh II.CV.Pustaka Setia.Bandung.hal 95
[2] Drs.H.A.Syafii.Fiqih-Ushul Fiqh.CV.Pustaka Setia.Bandung.hal 177
[3] Drs.Khoirul Umam, Op.Cit. hal 97-99
[4] Drs.H.A.Syafii,Op.Cit. hal 172-173
[5] Drs.Khoirul Umam, Op.Cit. hal 99-101
[6] Drs.H.A.Syafii,Op.Cit. hal 174-175

No comments:

Post a Comment