BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah
mensyariatkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus dimiliki oleh
seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan
perbuatannya, dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) hidupnya
baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani maupun rokhaninya, di
dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu dalam pengetrapan hukum tersebut,
sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya,
dari semenjak masih dalam kandungan sampai akhir hayatnya.[1]
Hubungan antara seorang laki-laki dan
wanita adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah dan untuk
menghalalkan hubungan ini maka disyariatkan akad nikah.[2] Pernikahan adalah suatu cara yang
dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan, setelah
masing-masing siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.[3]
Berdasar nash-nash baik Al Quran maupun
As Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum Muslimin yang mampu untuk
melangsungkan pernikahan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang
yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu
dapat dikenakan hokum wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.[4]
Ada pula pernikahan yang terlarang dalam
Islam, salah satunya nikah mut’ah atau kawin kontrak. Pernikahan tersebut
dibatasi oleh waktu tertentu, tidak selayaknya pernikahan biasa yang
berlangsung seumur hidup. Dalam makalah ini akan dibahas secara detail menganai
nikah mut’ah dalam tinjauan fiqih.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masaah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengertian nikah mut’ah ?
2.
Bagaimana sejarah nikah mut’ah ?
3.
Bagaimana hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh ?
4.
Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mut’ah ?
5.
Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mut’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah menurut
bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Nakaha-Yankihu-Nikahan, yang berarti kawin. Menurut istilah nikah
adalah ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta
kewajiban bagi suami istri. Kata lain yang dipakai untuk menggambarkan
pernikahan adalah kata zawaja, yang
kata bendanya zauj, yang berarti pasangan atau jodoh.[5]
Mut’ah berasal
dari kata mata’a yamta’u mat’an wa mat’atan yang berarti
kesenangan atau kenikmatan, barang yang menyenangkan atau bersenang-senang
untuk mendapatkan kelezatan.
Untuk lebih
jelasnya berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian tentang nikah mut’ah
menurut Sunni dan Syi’ah Imamiyah, sebagai berikut [6]:
1.
Menurut Tokoh-tokoh Sunni
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mut’ah adalah seorang
laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar sampai waktu yang
telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah dibatasi waktunya baik
sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian dia tinggalkan setelah
batas waktunya habis.”
Syaikh Muhammad Amin mengatakan: “Nikah mut’ah ialah seorang
laki-laki melakukan akad dengan seorang wanita untuk dinikahi dengan mahar
tertentu dan dengan batas waktu tertentu pula, seperti si laki-laki mengatakan
kepada si wanitanya; “Aku menikahimu dengan Lima Junaihat (jenis mata uang)
dengan waktu seminggu kemudian wanita tersebut menerimanya.”
2.
Menurut Tokoh-tokoh Syi’ah Imamiyah
Sayyid Muhammad Husein Fadlullah mengatakan: “Nikah mut’ah adalah
hubungan suami-istri yang bersifat sementara yang dilakukan melalui akad (ijab
qabul) tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas waktu pernikahan) dan
mahar di samping pokok pernikahan itu sendiri.
Allamah Sayyid Murtadha al-Asykari mengatakan: “Nikah mut’ah ialah
seorang wanita menikah atau dinikahkan oleh perantaranya atau walinya jika
masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi halal
baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab
tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat
dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai dengan
batas waktu tertentu.
B.
Sejarah Nikah Mut’ah
1.
Periode Jahiliyah
Institusi
Arab lama memberikan gambaran kepada kita ada beberapa kebiasaan-kebiasaan yang
mengatur tentang hubungan perkawinan dan kekeluargaan yang kurang begitu jelas.
Setidaknya ada empat macam bentuk perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut ini empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
Setidaknya ada empat macam bentuk perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut ini empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
a. Seorang laki-laki melamar seorang wanita
dengan seizin walinya dan kemudian mengawininya dengan memberikan mahar kepada
si wanita tadi, dan ini adalah bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Islam
dan tetap di lestarikan sampai hari ini.
b. Suatu tradisi masyarakat jahiliyah,
yakni seorang suami mengatakan kepada istrinya untuk pergi menuju seseorang
yang ditunjuk dan dikehendaki oleh suaminya untuk bergaul dengan laki-laki yang
ditunjuk tadi. Suaminya kemudian keluar dari masyarakat untuk beberapa waktu,
dan setelah istrinya mengandung dengan laki-laki yang ditunjuk oleh suaminya
tadi, maka suaminya pulang kepada istrinya. Ini berasal dari adanya keinginan
untuk menyelamatkan bibit bangsawan.
c. Sejumlah laki-laki mendatangi seorang
wanita dan mereka menyetubuhinya, jika wanita tersebut hamil dan melahirkan
seorang anak, maka wanita tadi akan memanggil semua laki-laki yang pernah
menggaulinya tadi seraya menunjuk ke salah seorang dari mereka sebagai ayah
dari anak yang dilahirkannya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolaknya.
d. Beberapa orang laki-laki mengunjungi
seorang wanita untuk melakukan hubungan sebadan dengannya, apabila wanita
tersebut hamil dan melahirkan seorang anak maka laki-laki tadi dengan
kehendaknya sendiri berkumpul dan orang-orang ahli firasat yang memutuskan
siapa diantara mereka yang berhak menjadi ayah dari anak yang dilahirkan oleh
si wanita tadi.
Islam
menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi jahiliyah lainnya
yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk memelihara hubungan
kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang syah, memelihara
kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki buat sorong, menjaga
kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum wanita untuk mencapai
keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah
warahmah.[7]
2.
Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mut’ah memang pernah terjadi, saat itu
kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir dan melakukan perjalanan
jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak dapat menyalurkan hasrat
biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara mereka, sebelumnya sudah
terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang mempunyai banyak istri. Mereka
berhubungan seksual dengan istri yang mereka kehendaki dan meninggalkan istri
yang tidak lagi menarik.ketika mereka menjadi Muslim dengan aturan yang ketat
dalam hal hubungan seksual, maka sulit bagi mereka untuk berperang tanpa
diperbolehkan melakukan nikah mut’ah. Karena untuk kepentingan sesaat maka
nikah ini disebut mut’ah, bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak
ada ikatan permanen dengan lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam konteks peperangan, Nabi
memberi kelonggaran dilakukannya nikah mut’ah. Namun, ketika waktunya sudah dinilai
tepat oleh Nabi, maka nikah mut’ah
dilarang atau diharamkan.[8]
Menurut riwayat Muslim, larangan nikah
mut’ah itu baru terjadi dalam tahun penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi).
Artinya pada waktu penaklukkan itu masih boleh, baru sesudah itu terdapat
larangan.
Apabila pada waktu perang Khaibar
dilakukan pelarangan dan kemudian di dalam tahun penaklukkan itu terjadi
pelarangan, berarti, begitu para ahli hadits, terjadi penaskhan hukum dua kali.
Dan menurut para ulama tidak mungkin penaskhan itu terjadi dua kali. Akan
tetapi Imam Asy Syafi’i secara formil berpegangan kepada kedua kali penaskhan
itu seraya mengatakan : tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah lalu diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi
selain daripada nikah mut’ah.
Ketika Umar menjadi kholifah beliau
pernah berpidato yang isinya melarang nikah mut’ah itu. Para sahabat menyetujui
tindakan ini. Sekiranya sayidina Umar bertentangan dengan sunah tentulah para
sahabat tidak akan membenarkannya. Sedang Ja’far bin Muhammad ketika ditanya
oleh Baihaqy tentang pernikahan mut’ah menjawab dengan: pernikahan mut’ah itu
sama dengan zina. [9]
Yang menarik disoal dalam hai ini adalah
menyangkut sejak kapan dan dalam peristiwa diharamkannya pernikahan mut’ah
tersebut, sebagai mana nikah jenis ini diharamkan kalangan sunni? Ternyata
terjadi khilaf pendapat di kalangan Ulama Sunni sendiri, apalagi menyangkut
dengan tempat dan waktu pelarangan tersebut. Menurut mereka, Rasulullah
diriwayatkan telah melarang nikah mut’ah pada beberapa peristiwa, yaitu Fathu
Makkah, Awthas, Haji wada’, Perang Tabuk, Umrah al-Qadha’, Perang Hunain, Dan
perang Khaibar. Dalam mut’ah kemudian beliau melarangnya.[10]
C.
Hukum Nikah Mut’ah Dalam Tinjauan
Fiqh
1.
Pandangan Empat Madzhab
Empat mazhab
sepakat bahwa nikah mut’ah adalah batal. Yang mana pernikahan itu adalah
seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selama batas waktu tertentu.
Umpamanya, seseorang mengatakan,”aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu
tahun,” dan sejenisnya. [11]
2. Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Para
ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mut’ah berdasarkan keputusan Nabi saw
adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah melakukannya pada masa hidup
beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan
hukum). Madzhab Sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan
diharamkan sesudah dihalalkan.
$yJsù
Läê÷ètGôJtGó$#
¾ÏmÎ/
£`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é&
ZpÒÌsù
4 $VJÅ3ym
……
Artinya:
“…Maka karena
kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada
mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa nikah
mut’ah dulu dihalalkan dan akan tetap halal hingga hari Kiamat. Landasan lain
yang dijadikan pendapat madzhab Syi’ah adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw,
melakukan mut’ah. Demikian juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat
Muslim).
Realitas pemahaman pada kelompok
Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah, sepakat terhadap nikah mut’ah yang banyak
dihalalkan kalangan Syi’ah berdasarkan ayat 24 surat An-Nisa’ di atas. Dalam
pandangan Muhammad Malullah, berdalil dengan ayat ini untuk membenarkan nikah
mut’ah adalah batil. Kebatilannya dengan melihat hal berikut :
1. Turunnya ayat yang mulia ini hanya
berkenaan dengan pernikahan yang sah (benar). Ayat tersebut merupakan penggalan
dari ayat yang terdapat pada surat An-Nisa’ yang berbicara tentang para wanita
yang dihalalkan dan diharamkan Allah untuk dinikahi.
2. Sesungguhnya bersenang-senang yang
dimaksudkan di kalangan Syi’ah bukanlah dengan istri dan bukan juga dengan
budak wanita yang dimiliki. Mereka mengatakan bahwa wanita-wanita yang dimaksud
dalam ayat tersebut tidaklah termasuk keempat istri yang diperkenankan dalam
islam. Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan tidak mewarisi, tetapi
disewa.
3. Wanita yang dijadikan pasangan mut’ah,
menurut Syi’ah, tidak ditalak. Sementara pernikahan yang langgeng tidaklah
terjadi perpisahan antara pasangan suami istri, melainkan dengan cara talak.
Ini karena nikah mut’ah di kalangan Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas
waktu tertentu dan dengan imbalan tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis,
saat itu pula terjadi perpisahan secara otomatis.
4. Warisan itu adalah salah satu hak dari
hak-hak yang ditetapkan untuk para istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah,
perempuan tidak dapat mewarisi.[12]
D.
Dampak Pelaksanaan Nikah Mut’ah
Golongan
Syiah Imamiyah membolehkan nikah mut’ah dengan syarat-syarat : kalimat yang
digunakan untuk pernikahan itu adalah zauwajtuka
atau unkihuka (aku kawinkan atau
aku nikahkan engkau) atau matta’tuka (aku
kawinkan mut’ah engkau), dan istri orang Islam atau ahlulkitab, tetapi terutama
adalah perempuan mukmin yang menjaga diri dan disepakati bersama.
Pernikahan
mut’ah ini apabila maskawinnya tidak disebut sedang batas waktunya tidak,
pernikahan menjadi batal, sedang apabila maskawin disebut dan batas waktunya
tidak disebut, pernikahannya berubah menjadi pernikahan biasa.
Anak
yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu tidak ada
talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami dan
isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan ibu
berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih
berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat puluh
hari.[13]
E.
Hikmah Dilarangnya Nikah Mut’ah
Adapun
hikmah dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut:
1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat,
bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan
tujuan nikah sebenarnya.
2. Muth’ah juga membahayakan
perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan
lain.
3. Muth’ah juga merugikan
anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan
serta pendidikan yang baik.[14]
BAB III
SIMPULAN
1.
Nikah mut’ah adalah
ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita, dengan mahar yang
telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah
ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati, atau pengurangan
batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan
tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
2.
Sejarah nikah mut’ah :
Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya
dharurat dan hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.
3.
Hukum nikah mut’ah :
a.
Empat Madzhab menghukumi haram
b.
Ulama Sunni menghukumi
haram dan Syiah Imamiyah menghukumi halal
4.
Dampak pelaksanaan nikah mut’ah :
Anak
yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu tidak ada
talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami dan
isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan ibu
berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih
berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat
puluh hari.
5.
Hikmah
Nikah Mut’ah antara lain: Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan
untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan
nikah sebenarnya, serta Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia
ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain, dan Muth’ah
juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal
dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Na’im. Buku Daros
: Fiqh Munakahat. STAIN Kudus. 2008
Dedi Supriyadi. Fiqh
Munakahat Perbandingan. CV.Pustaka Setia. Bandung. 2011
H. Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas
Masalah-masalah Kontemporer. Nora Media Enterprise. STAIN Kudus. 2011
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Mazhab. Hasyimi. Bandung. Cet.
XVI. 2013
Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar Media.
Yogyakarta. 2007
Zakiah
Daradjat. Ilmu Fiqh : Jilid 2. Dana
Bakti Wakaf. Jakarta. 1995
[3] Ibid, hlm. 19
[4] Zakiah Daradjat, Op.Cit, hlm. 46
[5] Abdul Haris Na’im, Op.Cit, hlm. 17
[6] Teuku Eddy Faisal
Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak, Pilar Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 23-24
[7] Ibid, hlm. 25-26
[8] H. Abdurrohman Kasdi,
Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora
Media Enterprise, STAIN Kudus, 2011, hlm. 88
[9] Zakiah Daradjat, Op.Cit, hlm.98
[11] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman
ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi, Bandung, Cet. XVI, 2013, hlm.
330
[12] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV.Pustaka
Setia, Bandung, 2011, hlm.141-146
[13] Ibid, hlm 100
No comments:
Post a Comment