Friday, February 26, 2016

makalah nikah mut'ah

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Allah mensyariatkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) hidupnya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani maupun rokhaninya, di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu dalam pengetrapan hukum tersebut, sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya, dari semenjak masih dalam kandungan sampai akhir hayatnya.[1]
Hubungan antara seorang laki-laki dan wanita adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkan akad nikah.[2] Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan, setelah masing-masing siap melakukan perannya yang positif dalam  mewujudkan tujuan pernikahan.[3]
Berdasar nash-nash baik Al Quran maupun As Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hokum wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.[4]
Ada pula pernikahan yang terlarang dalam Islam, salah satunya nikah mut’ah atau kawin kontrak. Pernikahan tersebut dibatasi oleh waktu tertentu, tidak selayaknya pernikahan biasa yang berlangsung seumur hidup. Dalam makalah ini akan dibahas secara detail menganai nikah mut’ah dalam tinjauan fiqih.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masaah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian nikah mut’ah ?
2.      Bagaimana sejarah nikah mut’ah ?
3.      Bagaimana hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh ?
4.      Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mut’ah ?
5.      Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mut’ah ?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Nakaha-Yankihu-Nikahan, yang berarti kawin. Menurut istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. Kata lain yang dipakai untuk menggambarkan pernikahan adalah kata zawaja, yang kata bendanya zauj, yang berarti pasangan atau jodoh.[5]
Mut’ah berasal dari kata mata’a yamta’u mat’an wa mat’atan yang berarti kesenangan atau kenikmatan, barang yang menyenangkan atau bersenang-senang untuk mendapatkan kelezatan.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian tentang nikah mut’ah menurut Sunni dan Syi’ah Imamiyah, sebagai berikut [6]:
1.      Menurut Tokoh-tokoh Sunni
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mut’ah adalah seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah dibatasi waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian dia tinggalkan setelah batas waktunya habis.”
Syaikh Muhammad Amin mengatakan: “Nikah mut’ah ialah seorang laki-laki melakukan akad dengan seorang wanita untuk dinikahi dengan mahar tertentu dan dengan batas waktu tertentu pula, seperti si laki-laki mengatakan kepada si wanitanya; “Aku menikahimu dengan Lima Junaihat (jenis mata uang) dengan waktu seminggu kemudian wanita tersebut menerimanya.”

2.      Menurut Tokoh-tokoh Syi’ah Imamiyah
Sayyid Muhammad Husein Fadlullah mengatakan: “Nikah mut’ah adalah hubungan suami-istri yang bersifat sementara yang dilakukan melalui akad (ijab qabul) tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas waktu pernikahan) dan mahar di samping pokok pernikahan itu sendiri.
Allamah Sayyid Murtadha al-Asykari mengatakan: “Nikah mut’ah ialah seorang wanita menikah atau dinikahkan oleh perantaranya atau walinya jika masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi halal baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai dengan batas waktu tertentu.

B.     Sejarah Nikah Mut’ah
1.      Periode Jahiliyah
Institusi Arab lama memberikan gambaran kepada kita ada beberapa kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang hubungan perkawinan dan kekeluargaan yang kurang begitu jelas.
Setidaknya ada empat macam bentuk perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut ini empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
a.       Seorang laki-laki melamar seorang wanita dengan seizin walinya dan kemudian mengawininya dengan memberikan mahar kepada si wanita tadi, dan ini adalah bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Islam dan tetap di lestarikan sampai hari ini.
b.      Suatu tradisi masyarakat jahiliyah, yakni seorang suami mengatakan kepada istrinya untuk pergi menuju seseorang yang ditunjuk dan dikehendaki oleh suaminya untuk bergaul dengan laki-laki yang ditunjuk tadi. Suaminya kemudian keluar dari masyarakat untuk beberapa waktu, dan setelah istrinya mengandung dengan laki-laki yang ditunjuk oleh suaminya tadi, maka suaminya pulang kepada istrinya. Ini berasal dari adanya keinginan untuk menyelamatkan bibit bangsawan.
c.       Sejumlah laki-laki mendatangi seorang wanita dan mereka menyetubuhinya, jika wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak, maka wanita tadi akan memanggil semua laki-laki yang pernah menggaulinya tadi seraya menunjuk ke salah seorang dari mereka sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolaknya.
d.      Beberapa orang laki-laki mengunjungi seorang wanita untuk melakukan hubungan sebadan dengannya, apabila wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak maka laki-laki tadi dengan kehendaknya sendiri berkumpul dan orang-orang ahli firasat yang memutuskan siapa diantara mereka yang berhak menjadi ayah dari anak yang dilahirkan oleh si wanita tadi.
     Islam menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi jahiliyah lainnya yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk memelihara hubungan kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang syah, memelihara kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki buat sorong, menjaga kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum wanita untuk mencapai keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.[7]
2.      Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mut’ah memang pernah terjadi, saat itu kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir dan melakukan perjalanan jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak dapat menyalurkan hasrat biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara mereka, sebelumnya sudah terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang mempunyai banyak istri. Mereka berhubungan seksual dengan istri yang mereka kehendaki dan meninggalkan istri yang tidak lagi menarik.ketika mereka menjadi Muslim dengan aturan yang ketat dalam hal hubungan seksual, maka sulit bagi mereka untuk berperang tanpa diperbolehkan melakukan nikah mut’ah. Karena untuk kepentingan sesaat maka nikah ini disebut mut’ah, bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak ada ikatan permanen dengan lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam konteks peperangan, Nabi memberi kelonggaran dilakukannya nikah mut’ah. Namun, ketika waktunya sudah dinilai tepat oleh Nabi, maka nikah  mut’ah dilarang atau diharamkan.[8]
Menurut riwayat Muslim, larangan nikah mut’ah itu baru terjadi dalam tahun penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi). Artinya pada waktu penaklukkan itu masih boleh, baru sesudah itu terdapat larangan.
Apabila pada waktu perang Khaibar dilakukan pelarangan dan kemudian di dalam tahun penaklukkan itu terjadi pelarangan, berarti, begitu para ahli hadits, terjadi penaskhan hukum dua kali. Dan menurut para ulama tidak mungkin penaskhan itu terjadi dua kali. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i secara formil berpegangan kepada kedua kali penaskhan itu seraya mengatakan : tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan oleh Allah lalu diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi selain daripada nikah mut’ah.
Ketika Umar menjadi kholifah beliau pernah berpidato yang isinya melarang nikah mut’ah itu. Para sahabat menyetujui tindakan ini. Sekiranya sayidina Umar bertentangan dengan sunah tentulah para sahabat tidak akan membenarkannya. Sedang Ja’far bin Muhammad ketika ditanya oleh Baihaqy tentang pernikahan mut’ah menjawab dengan: pernikahan mut’ah itu sama dengan zina. [9]
Yang menarik disoal dalam hai ini adalah menyangkut sejak kapan dan dalam peristiwa diharamkannya pernikahan mut’ah tersebut, sebagai mana nikah jenis ini diharamkan kalangan sunni? Ternyata terjadi khilaf pendapat di kalangan Ulama Sunni sendiri, apalagi menyangkut dengan tempat dan waktu pelarangan tersebut. Menurut mereka, Rasulullah diriwayatkan telah melarang nikah mut’ah pada beberapa peristiwa, yaitu Fathu Makkah, Awthas, Haji wada’, Perang Tabuk, Umrah al-Qadha’, Perang Hunain, Dan perang Khaibar. Dalam mut’ah kemudian beliau melarangnya.[10]






C.    Hukum Nikah Mut’ah Dalam Tinjauan Fiqh
1.      Pandangan Empat Madzhab
Empat mazhab sepakat bahwa nikah mut’ah adalah batal. Yang mana pernikahan itu adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selama batas waktu tertentu. Umpamanya, seseorang mengatakan,”aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun,” dan sejenisnya. [11]
2.      Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mut’ah berdasarkan keputusan Nabi saw adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan hukum). Madzhab Sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan diharamkan sesudah dihalalkan.
$yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 $VJŠÅ3ym                ……
Artinya:
“…Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah dulu dihalalkan dan akan tetap halal hingga hari Kiamat. Landasan lain yang dijadikan pendapat madzhab Syi’ah adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw, melakukan mut’ah. Demikian juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat Muslim).
Realitas pemahaman pada kelompok Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah, sepakat terhadap nikah mut’ah yang banyak dihalalkan kalangan Syi’ah berdasarkan ayat 24 surat An-Nisa’ di atas. Dalam pandangan Muhammad Malullah, berdalil dengan ayat ini untuk membenarkan nikah mut’ah adalah batil. Kebatilannya dengan melihat hal berikut :
1.      Turunnya ayat yang mulia ini hanya berkenaan dengan pernikahan yang sah (benar). Ayat tersebut merupakan penggalan dari ayat yang terdapat pada surat An-Nisa’ yang berbicara tentang para wanita yang dihalalkan dan diharamkan Allah untuk dinikahi.
2.      Sesungguhnya bersenang-senang yang dimaksudkan di kalangan Syi’ah bukanlah dengan istri dan bukan juga dengan budak wanita yang dimiliki. Mereka mengatakan bahwa wanita-wanita yang dimaksud dalam ayat tersebut tidaklah termasuk keempat istri yang diperkenankan dalam islam. Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan tidak mewarisi, tetapi disewa.
3.      Wanita yang dijadikan pasangan mut’ah, menurut Syi’ah, tidak ditalak. Sementara pernikahan yang langgeng tidaklah terjadi perpisahan antara pasangan suami istri, melainkan dengan cara talak. Ini karena nikah mut’ah di kalangan Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas waktu tertentu dan dengan imbalan tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis, saat itu pula terjadi perpisahan secara otomatis.
4.      Warisan itu adalah salah satu hak dari hak-hak yang ditetapkan untuk para istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah, perempuan tidak dapat mewarisi.[12]

D.    Dampak Pelaksanaan Nikah Mut’ah
Golongan Syiah Imamiyah membolehkan nikah mut’ah dengan syarat-syarat : kalimat yang digunakan untuk pernikahan itu adalah zauwajtuka atau unkihuka (aku kawinkan atau aku nikahkan engkau) atau matta’tuka (aku kawinkan mut’ah engkau), dan istri orang Islam atau ahlulkitab, tetapi terutama adalah perempuan mukmin yang menjaga diri dan disepakati bersama.
Pernikahan mut’ah ini apabila maskawinnya tidak disebut sedang batas waktunya tidak, pernikahan menjadi batal, sedang apabila maskawin disebut dan batas waktunya tidak disebut, pernikahannya berubah menjadi pernikahan biasa.
Anak yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat puluh hari.[13]

E.     Hikmah Dilarangnya Nikah Mut’ah
Adapun hikmah dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut:
1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya.
2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.[14]

BAB III
SIMPULAN
1.      Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati, atau pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
2.      Sejarah nikah mut’ah :
Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya dharurat dan hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.
3.      Hukum nikah mut’ah :
a.       Empat Madzhab  menghukumi haram
b.      Ulama Sunni menghukumi haram dan Syiah Imamiyah menghukumi halal
4.      Dampak pelaksanaan nikah mut’ah :
Anak yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat puluh hari.
5.      Hikmah Nikah Mut’ah antara lain: Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya, serta Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain, dan Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haris Na’im. Buku Daros : Fiqh Munakahat. STAIN Kudus. 2008
Dedi Supriyadi. Fiqh Munakahat Perbandingan. CV.Pustaka Setia. Bandung. 2011
H. Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Nora Media Enterprise. STAIN Kudus. 2011
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Mazhab. Hasyimi. Bandung. Cet. XVI. 2013
Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar Media. Yogyakarta. 2007
Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh : Jilid 2. Dana Bakti Wakaf. Jakarta. 1995




[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh : Jilid 2, Dana Bakti Wakaf, Jakarta, 1995, hlm. 1
[2] Abdul Haris Na’im, Buku Daros : Fiqh Munakahat, STAIN Kudus, 2008, hlm. 17
[3] Ibid, hlm. 19
[4] Zakiah Daradjat, Op.Cit, hlm. 46
[5] Abdul Haris Na’im, Op.Cit, hlm. 17
[6] Teuku Eddy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak, Pilar Media, Yogyakarta,  2007, hlm. 23-24
[7] Ibid, hlm. 25-26
[8] H. Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora Media Enterprise, STAIN Kudus, 2011, hlm. 88
[9] Zakiah Daradjat, Op.Cit, hlm.98
[10] Teuku Eddy Faisal Rusydi, Op.Cit, hlm. 28
[11] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi, Bandung, Cet. XVI, 2013, hlm. 330
[12] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm.141-146
[13] Ibid, hlm 100

No comments:

Post a Comment