Friday, February 26, 2016

makalah hubungan agama dan filsafat

              A.    PENDAHULUAN
Adapun maksud dan tujuan  tentang hubungan filsafat dan agama ini seperti dinyatakan dalam judulnya ialah mengantar saudara kedalam dunia filsafat agar sedikit-sedikit dipahami apakah filsafat itu, apakah maksud dan tujuannya, apakah yang boleh diharapkan daripadanya dan kesukaran-kesukaran manakah yang dihadapi dalam mempelajarinya.
Akan tetapi ini barulah hanya pengantar saja, yang hanya dapat memberikan beberapa petunjuk-petunjuk untuk mempermudah perkenalan pertama akan mata kuliah baru ini. Lebih daripada ini tak mungkin oleh karena filsafat termasuk ilmu pengetahuan yang hanya dapat dikuasai dengan menjalankan atau mengamalkan ilmu itu sendiri.
Dengan  makin meluas dan makin bertambahnya pengetahuan kita maka akan terasa pulalah kebutuhan akan suatu pandangan yang mengenai keseluruhan, yang meliputi semua lapangan, akan suatu sintesa yang mempersatukan berbagai lapangan itu, yang memperlihatkan semuanya dalam satu pandangan. Dengan perkataan lain akan filsafat.
Filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu dalam arti mencari kebenaran itu niscaya ada, biarpun hanya sedikit saja. Filsafat yaitu  permenungan tentang kebenaran yang sedalam-dalamnya. Pengetahuan kita yaitu berupa pengakuan kenyataan dengan cara yang sedalam-dalamnya.
Jalan pikiran kita pada garis-garis besarnya adalah sebagai ilmu yang tergolong dalam kelompok universal/ umum dikemukakan beberapa catatan tentang hubungan antara filsafat dan agama (Bab VII).


B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan di pecahkan pada makalah ini adalah “bagaimana hubungan agama dan filsafat?”.

C.    PEMBAHASAN
Sebagaimana dalam rumusan masalah di atas, maka dalam pembahasan ini akan di bahas hal-hal sebagai berikut:
Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat memepersalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu persoalan, filsafat mulai merambah  pertanyaan lain.[1] sedangkan kattsoff mengemukakan bahwa filsafat ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[2]
Sidi gazalba mengemukakan definisi “agama” adalah kepercayaan kepada allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-qur’an dan sunah.[3]

1.Filsafat Adalah Ilmu Pengetahuan yang Otonom
Seperti yang telah dikatakan, ada dua ilmu pengetahuan universal yang meliputi seluruh hidup manusia dan yang untuk sebagian mengenai persoalan-persoalan yang sama. Sehingga terasa haruslah ada suatu hubungan antara kedua ilmu itu.
Lagi pula apabila orang di samping pengetahuan yang dicapai dengan akal budi manusia sendiri menerima adanya suatu sumber pengetahuan lain lagi yang melampaui kekuatan akal budi kita sendiri, maka timbullah pertanyaan bagaimanakah hubungan antara yang satu dengan yang lain itu.
Pendapat-pendapat para ahli disini pun sangat berlain-lainan:
a.       Ada yang menyatakan: filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada wahyu dari tuhan konsekuensinya ialah : filsafat bukanlah suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang otonom, tidak berdasarkan kodrat akal budi manusia, melainkan sama sekali tergantung dari dan ditentukan isinya oleh agama. Eksistensi filsafat menjadi: “Filsafat agama”. Dalam eksistensinya yang demikian ini filsafat agama dapatlah dibedakan atas 2 jenis yaitu:
1.      Filsafat agama pada umumnya.
2.      Filsafat sesuatu agama tertentu.
b.      Ada pula yang mengatakan: yang ada pada kita, yaitu hanya akal budi manusia saja: agana dan kepercayaan mereka anggap “ketinggalan zaman”, paling banter hanya “perasaan” saja. Tokoh-tokohnya antara lain:
1.      Rene Descartes
2.      Benedictus ce Spinoza
3.      Gottfriend Wilhelm Leibnitz
c.       Menurut filsuf  Bertrand  Russel:
“Antara agama dan imu pengetahuan terletak suatu daerah yang tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh agama (theologi) maupun oleh ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat”.
Adapun pendirian kami: mengakui kedua-duanya, baik peranan kepentingan filsafat maupun peranan dan kepentingan agama. Akan tetapi kedu-duanya dibedakan. Filsafat sebagai ilmu tidaklah berdasarkan atau berpangkalan pada wahyu Allah / agama melainkan adalah otonom di lapangannya sendiri, merupakan suatu ilmu tersendiri. Jadi  filsafat bukan agama dan agama bukanlah filsafat.[4]  

2.Kontradiksi Kehidupan Konkrit Manusia
Seperti telah di uraikan bahwa kita harus membedakan empat tingkatan / ruangan pengetahuan (level of thought), yaitu:
1.      Tingkatan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan)
2.      Tingkatan ilmu-ilmu pasti
3.      Tingkatan filsafat
4.      Tingkatan agama atau theology.
Dari uraian di atas teranglah bahwa filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang, karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia. Akan tetapi, walaupun kita selalu akan mempertahankan pendapat bahwa filsafat adalah usaha menerangkan segala sesuatu itu sampai kepada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi pula bahwa filsafat tidak dapat menerangkan realitas yang kita alami.
Memang demikianlah manusia itu, sebagai rohani ia pada hakikatnya mempunyai benih kemerdekaan. Ia hendak merdeka, ingin lepas dari godaan kejasmaniannya, ia ingin bebas merdeka. Akan tetapi sementara itu merupakan kemerdekaan yang terikat yang terbelenggu dan sebabnya . . . filsafat belum pernah dapat menerangkan kekurangan ini.
Buat filsafat hal ini selalu akan merupakan rahasia. Bagaimanakah mungkinya bahwa manusia yang menurut kodaratnya mengatasi dunia dan kebendaan yang seharusnya hanya mengatasi kebendaannya sendiri, toh ingin tenggelam kedalam materi, ingin menjerumuskan diri kedalam dunia itu, seakan-akan tidak mau mengatasi kebendaan itu. Inilah kontradiksi hidup konkrit manusia. Dan bagaimanakah kontradiksi itu dapat diatasi? Manakah jalan keluarnya? Di sinilah filsafat bungkem dan membisu seribu bahasa.
Ahli pikir dan ulama besar secara filosofis mengemukakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang sulit dan penuh kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan keinginannya banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas dari alam ini.
3.Filsafat dengan Causa Prima
Dalam pada itu filsafat sendiri dalam usahanya menunjukkan apa yang terdalam dalam barang-barang, dalam manusia dan dunia, maka sampailah pada pengertian tentang sebab pertama (causa prima) pada yang mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama dan tujuan terakhir  bukanlah hanya “sesuatu” melainkan suatu “zat yang maha sempurna”. Jadi filsafat sendiri menunjukkan kepada “yang mengatasi segala-galanya” dan bersama-sama dengan itu mengakui batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan dengan “rahasia” tentang manusia dan dunia. Akan tetapi jika filsafat, berdasarkan logika yang sehat dan tajam, mengatakan bahwa: “setiap orang wajib mengabdi kepada tuhan, harus hidup sebagai hamba Allah (dan ini berlaku umum, bagi setiap orang, demikian pula bagi mereka yang tidak beragama).
4.Filsafat dan Eksistensi Wahyu Allah
sehubungan dengan itu tak boleh dilalaikan pula bahwa dalam keadaan konkrit dan historis dikatakan ada wahyu Allah. Dilihat dari sudut filsafat harus di akui mungkinnya wahyu Allah itu. Nah, kemungkinan ini tidak boleh dilalaikan, jika filsuf hendak mengambil pandangannya sebagai dasar dan pedoman hidup. Sebab mungkin justru wahyu Allah inilah yang menunjukkan bagaimana kehendak tuhan yang nyata, bagaimana caranya melaksanakan tuntutan kodrat kita (walaupun ini juga harus diselidiki dengan kritis dan seksama).
Memang dan ini tetap kita pertahankan bahwa filsafat memberikan petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran yang benar dan yang harus dilaksanakan (tentang hidup kesusilaan, kebenaran, kebaikan, kehidupan bersama dan sebagainya). Akan tetapi bahwa de facto ukuran-ukuran ini sedemikian sukar dilaksanakan, sekalipun kodrat manusia menuntut dilaksanakannya ukuran-ukuran itu. Inilah yang menimbulkan sangkaan bahwa filsafat merupakan jawaban yang penghabisan, bahwa pandangan hidup seperti yang diberikan oleh filsafat itu barangkali masih harus disempurnakan dengan pelajaran dari wahyu Allah yaitu mengenai hal-hal yang tidak dapat dicapai atau di kemukakan oleh akal manusia sendiri (jika ada wahyu Allah itu tentunya mengajarkan hal-hal yang tak dapat dimengerti oleh manusia dengan berdasarkan akalnya sendiri. Sebab jika yang diwahyukan itu sudah dapat dimengerti sendiri maka apakah gunanya  wahyu Allah itu?”.
Jadi titik terakhir yang dapat dicapai oleh filsafat ialah dengan demikian semua dorongan yang ada pada manusia itu tak lain ialah dorongan untuk bahagia. Demikian pula dorongan untuk mengerti yang dilaksanakan dalam filsafat, itu datangnya dari dorongan asasi itu tetapi justru karena ia terdorong maka itu berarti bahwa ia tidak dapat bahagia dengan dan dari dirinya sendiri. Dia haus, jadi ia kekurangan.
Demikian juga dalam filsafat. Dia haus akan kebenaran, akan kebahagiaan dan karena haus jadi kekurangan! Maka dengan ini nampaklah bahwa filsafat seakan-akan menanti-nantikan agama “tingkatkan” yang lain jadi luar lapangan khusus dari filsafat.
5.Sikap Orang Terhadap Ilmu Pengetahuan, Filasafat dan Agama
Persolan-persoalan yang dihadapi oleh filsafat dan agama itu untuk sebagian adalah sama: mengenai dasar-dasar hidup, tujuan hidup, kesusilaan, hidup sesudah hidup didunia ini, kebahagiaan manusia, pengabdian manusia, pengabdian kepada tuhan dan sebagainya.
Memang kedua-duanya merupakan tuntutan dari kodrat kita dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan dan pengetahuan yang mendalam tentang hakikat barang-barang, hakikat dunia dan manusia. Akan tetapi sikapnya lain. Filsafat ingin menguasai, ia seakan-akan hendak menggenggam alam semesta dalam pikirannya. Akan tetapi tidak hanya “ingin menguasai” belaka. Jadi boleh dikatakan untuk di kuasai oleh kebenaran, oleh kebahagiaan. Dan sikap “ingin di kuasai” oleh bahagia itu terlaksana dengan sempurna dalam agama. Sebab disini manusia berhadapan dengan penciptanya, dengan sumber kebahagiaannya, dengan tujuannya yang terakhir. Sikap ingin menguasai di sinipun masih tetap ada, akan tetapi insyaf akan kekurangannya, maka manusia menjadi menyerah, tunduklah ia, siap untuk mendengarkan.
Terbukalah sumber pengetahuan baru yaitu apa yang mau dikatakan oleh orang itu tentang dirinya sendiri, dipakainyalah ukuran-ukuran baru mengenai kebenaran dari apa yang dikatakannya dan timbullah suatu hubungan perseorangan antar pribadi yang satu dengan yang lain. Dengan saling percaya mempercayai dan saling menyerahkan diri. Teranglah bahwa ini semua merupakan dan menggambarkan sikap yang lain daripada sikap ilmu pengetahuan. Demikian pula hubungan antara seorang manusia dengan tuhannya yang terletak pada tingkatan filsafat atau ilmu pengetahuan.
6.Sumber Ilmu Pengetahuan dan Wahyu Allah
Sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah biasanya berkenaan dengan timbulnya keheranan pada diri seseorang peneliti dalam mengamati sesuatu keanehan atau menonjolnya sesuatu gejala yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian.
Dalam hipotesis adanya wahyu Allah maka dapatlah dikatakan bahwa ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu:
a.       “pikiran manusia”. Hal ini melahirkan paham rationalisme yang berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rationya (akal budinya). 
b.      “pengalaman manusia”. Dengan ini muncul aliran emperisme yang di pelopori oleh tokoh John Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih/ meja putih. Pengalamanlah yang akan memeberikan lukisan kepadanya, dunia empiri.
c.       “intuisi manusia”. Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rational dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian penalaran maka intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu.
d.      “wahyu Allah” adalah pengetahuan yang disampaikan oleh allah kepada manusia lewat para nabi yang di utusnya sejak nabi pertama sampai yang terakhir sebanyak 25 orang.
Ilmu pengetahuan adalah sebaliknya yaitu dimulai dengan tanpa kepercayaan dengan rasa tak percaya ilmu pengetahuan mulai mengkaji dengan riset, pengalaman dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang factual.  Karena kesemuanya berasal dari satu sumber yaitu Tuhan.[5]
Jadi dapatlah disimpulkan sebagai berikut kita tetaplah mempertahankan peranan dan kepentingan filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah otonom (berdiri sendiri) tidak berdasarkan pada wahyu Allah (agama), akan tetapi apabila filsafat hendak dijadikan dasar atau pedoman hidup maka terasalah pula kekurangan dari filsafat itu, hingga kita maju selangkah lagi, meningkat satu tingkatan lagi, dengan perkataan lain: meninggalkan lapangan filsafat dan menginjak lapangan agama.
7.Agama, Religi dan Din
Dari segi teknis baik agama, religi (bahasa inggris adalah religion dan bahasa belanda adalah religie, di indonesiakan menjadi religi) maupun din (bahasa arab) kesemuanya mempunyai pengertian yang sama.
Aktivitas dan kepercayaan agama, religi dan din itu mencakup masalah: kepercayaan dan kecintaan kepada dewa-dewa atau Tuhan, penerimaan atas wahyu yang supra natural, kepercayaan kepada jiwa, kebaktian, pemisahan antara yang sacral dengan profane pengorbanan, perasaan dosa dan menyesal serta pencarian keselamatan.
Dalam pengistilahan itu terdapatlah pengertian yang sama di dalam agama, religi, dan din. Misalnya:
a)      Agama islam dengan istilah: syari’at, thariqah, shiratal mustaqim (jalan lurus).
b)      Dalam agama nasrani, yesus berkata kepada pengikut-pengikutnya (hawariyyin): “ikutilah jalanku”.
c)      Dalam peristilahan cina: “tao-taoisme” (confusionisme).
d)     Dalam agama jepang: “Shinto”.
e)      Dalam agama budha: “jalan kedelapan”.
8.Eksistensi Agama
Tidak mudahlah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniah, subyektif, dan individualism. Kalau kita membicarakan agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, dan juga dari pandangan agama yamg kita anut.
Randall, mengemukakan ada dua bentuk agama yaitu:
1)      Agama di identifikasikan terhadap supernatural. Secara popular agama di artikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, yaitu suatu kehidupan yang supernatural.
2)      Agama di identifikasikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Keyakinan agama mencerminkan keyakinan atau kepercayaan yang berlangsung di luar apa yang telah kita alami pada masa yang silam dan masa yang akan datang.
Unsur-unsur yang pokok dalam agama adalah kebaktian atau pemujaan. Kadang-kadang istilah ini disamakan dengan perbuatan-perbuatan ritual. Sesungguhnya kedua istilah tersebut berbeda, dimana kebaktian atau pemujaan tidak lain adalah merupakan sikap, sedangkan ritual berarti semacam perbuatan tertentu. Sembahyang dalam arti cara tradisional dari kata-katanya adalah merupakan kombinasi unsure-unsur dan ritual.
Dalam agama, sekurang-kurangnya ada empat ciri yang dapat kita kemukakan, yaitu:
1)      Adanya kepercayaan terhadap yang ghaib, kudus, maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan).
2)      Melakukan hubungan dengan hal-hal diatas, dengan berbagai cara. Seperti misalnya dengan mengadakan upacara-upacar ritual, pemujaan, pengabdian dan doa.
3)      Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
4)      Menurut ajaran agama islam, ajaran tersebut diturunkan oleh tuhan tidak langsung kepada seluruh umat manusia, melainkan melalui nabi-nabi dan rasulnya. Maka menurut ajaran islam adanya rasul dan kitab suci merupakan cirri khas daripada agama.
Pengalaman agama bukanlah suatu pengalaman yang bersifat teoritis, melainkan meupakan penghayatan yang mendalam tentang manusia dengan Tuhannya, serta pengalaman semua yang telah di gariskan oleh agama tersebut.
9.Manfaat Agama Bagi Manusia
Terlepas daripada bentuk atau tipe agama, apakah agama wahyu ataupun agama hasil pemikiran manusia, kenyataannya manusia didunia ini akan menjadi penganut atau pengikutnya yang setia. Manusia menjadi penganut yang setia terhadap suatu agama, karena menurut kepercayaannya telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupannya, yang tidak mungkin dapat di uji dengan pengalaman maupun akal seperti halnya menguji kebenaran ilmu dan filsafat, karena agama lebih banyak menyangkut perasaan dan kenyakinan.
Agama wahyu akan memiliki kesempurnaan yang mutlak, karena nilai keagamaan yang tekandung di dalamnya, berasal dari tuhan. Tuhan telah mewahyukan bahwa akal manusia  terbatas, sehingga akal manusia membutuhkan bimbingan yang tinggi, untuk menunjukkan kepada jalan yang membawanya kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup yang abadi, tidak hanya kehidupan di dunia saja, melainkan kehidupan di akhirat juga.
Nilai-nilai keagamaan tidak hanya menunjukkan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, melainkan menunjukkan juga hubungan dengan sesama  manusia. Nilai-nilai keagamaan menunjukkan bahwa tidak dikatakan sempurnanya penghayatan serta keimanan seseorang di hadapan yang maha kuasa, sebelum manusia mencintai sesamanya seperti dia mencintai terhadap dirinya sendiri. Jadi nilai keagamaan yang di dasarkan atas cinta terhadap Yang Maha Kuasa, akan menghubungkan jiwa serta perasaan pemeluknya dimanapun mereka berada di jagad raya ini.
Agama dapat menjadi petunjuk, pegangan, serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hidupnya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi masalah yang rumit dan berat, maka timbullah kesadarannya, bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya, dan timbulnya kepercayaan dan keyakinan, bahwa yang dapat menolong dan memenangkan hidupnya hanyalah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, Pencipta seru sekalian alam.
10.Pembagian Agama
Apabila kita menelaah buku-buku kepustakaan, baik terbitan di barat maupun di timur pada umumnya membagi atau mengklarifikasikan agama di seluruh dunia atas dua jenis sebagai berikut:
a)      Agama wahyu
Agama wahyu disebut juga “agama samawi”, Karena diturunkan oleh allah dari samawi(langit) dengan perantara malaikat jibril yang membawa wahyu allah kepada para nabi dan rasul allah untuk selanjutnya disampaikan kepada umat manusia sesuai dengan pertugasannya (risalah) para nabi dan rasul allah itu masing-masing. Jadi “agama wahyu” tercipta karena wahyu allah. Oleh karena itu “agama wahyu” disebut juga:
-          Agama samawi
-          Agama langit
-          Agama profetis
-          Din _as_samawi
-          Revealed religion.
adapun yang tergolong dalam kelompok “agama wahyu” itu adalah
1)       Agama islam dengan kitab sucinya “Al-qur’an”
2)      Agama Kristen (Nasrani) dengan kitab sucinya “Injil”
3)      Agama yahudi dengan kitab sucinya “Taurat”
b)      Agama Non-Wahyu
Agama non wahyu disebut juga “agama kebudayaan”, karena lahir dalam kebudayaan manusia itu. Secara historis agama “non-wahyu” pada awalnya di ciptakan oleh filsuf-filsuf masyarakat sebagai ahli pikir dan pemimpin dari masyarakat itu atau oleh penganjur-penganjur atau penyiar-penyiar dari masyarakat itu. Oleh karena itu agama “non-wahyu” itu adalah bagian daripada kebudayaan, bagian dari filsafat atau hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya dari masyarakat itu.  
Agama “non-wahyu” di sebut juga:
-          Agama budaya
-          Agama bumi
-          Agama filsafat
-          Agama ra’yu
-          Din-at-thabi’i
-          Din-al-ardhi
-          Natural religion
-          Non-revealed religion
Adapun yang tergolong ke dalam kelompok agama “non wahyu” ini adalah
·         Hinduisme
·         Jainisme
·         Sikhisme
·         Zoroasterianisme
·         Confusianisme
11. Ciri-Ciri Agama
Cirri-ciri umum daripada semua agama itu adalah sebagai berikut:
a.       Agama merupakan suatu system kenyakinan terhadap eksistensi suatu yang absolute(mutlak) diluar diri manusia.
b.      Agama merupakan satu system ritual atau peribadatan dari manusia kepada sesuatu yang diberi predikat yang mutlak.
c.       Agama merupakan satu system nilai yang menjadi pola hubungan manusiawi antara sesama manusia dan pola hubungan dengan ciptaan yang  lainnya dari yang mutlak itu yang seirama system ritual tersebut.
Sedangkan ciri-ciri khususnya yaitu dari masing-masing kelompok agama tersebut  yang akan kita uraikan sebagai berikut:
ciri-ciri agama wahyu
·         Mengakui eksistensi wahyu allah an-sich sebagai kebenaran yang mutlak dari allah
·         Eksistensi malaikat pada umumnya dan malaikat jibril khususnya memegang peranan tertentu dari allah.
·         Eksistensi nabi dan atau rasul juga memegang peranan tertentu dari allah.
·         Penyampaian wahyu allah itu kepada para nabi dan atau rasul itu dengan pasti dapat di tentukan waktu kelahirannya.
·         Dan lain-lain
Ciri-ciri agama non-wahyu
·         Tidak mengakui eksistensi wahyu allah an-sich kebenaran yang mutlak dari allah
·         Tidak mengenal eksistensi malaikat pada umumnya dan malaikat jibril khususnya dengan pertugasannya dari allah di langit
·         Tidak mengenal eksistensi nabi dan rasul allah dengan segala tugas peranannya (risalahnya) dari allah
·         Tidak dapat ditentukan kapan waktu kelahirannya yang tepat.
·         Dan lain-lain.
12.Perbandingan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama
Kita telah mengadakan perenungan tentang pengertian yang sedalam-dalamnya dari tiga buah sumber atau wadah kebenaran yaitu ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
Adapun titik persamaannya adalah:
1)      Ketiganya baik ilmu pengetahuan, filsafat maupun agama merupakan sumber wadah kebenaran (obyektivitas) atau bentuk pengetahuan.
2)      Dalam pencarian kebenaran (obyektifitas) itu ketiga bentuk pengatahuan itu masing-masing mempunyai metode, system dan mengolah obyeknya selengkapnya sampai habis-habisan.
3)      Ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran tentang manusia, alam, dan eksistensi tuhan /allah.
Agama bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia dunia akhirat dengan menunjukkan kebenaran asasi dan mutlak itu, baik mengenai manusia, alam, maupun tuhan/allah itu sendiri.
Adapun titik perbedaannya adalah:
1)      Sumber kebenaran pengetahuan dan filsafat adalah sama, keduanya dari manusia itu sendiri dalam arti pikiran pengalaman dan intuisinya. Sumber kebenaran agama adalah dari allah di langit.
2)      Sifat  kebenaran ilmu pengetahuan adalah positif dan relative. Sedangkan sifat kebenaran filsafat adalah spekulatif. Dan sifat kebenaran agama adalah absolute (mutlak).
3)      Tujuan ilmu pengatahuan itu hanyalah bersifat teoritis, demi ilmu pengetahuan dan umumnya pengalaman untuk tujuan kenikmatan jasmani manusia. Dan tujuan filsafat ialah kecintaan kepada pengetahuan yang bijaksana dengan hasil kedamaian dan kepuasan jiwa yn sedalam-dalamnya. Sedangkan tujuan agama adalah kedamaian, keharmonisan, kebahagiaan, keselamatan, keselarasan, keridhaan (keselamatan dalam islam).[6]

D.    KESIMPULAN
Setelah kita menelaah semua di atas maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan yakni di setiap titik perbedaan memiliki suatu titik persamaan yang saling berhubungan erat satu sama lain begitu juga dengan agama dan filsafat. Mereka memiliki perbedaan pada structural dan fungsional. Namun, obyek kajiannya sama yaitu mengenai Eksistensi Tuhan.
FUDNOT
1.Jujun S Suriamantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.h.25
2.Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.h.107
3.Kattsoff  Louis, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono, Ygyakarta: Tiara Wacana, 1992.h.67
4.Bertrand Russel, The Problem of Philosophy, Oxford University Press, Toronto, 1959, h.158
5.M.Djunaidi Ghony, Hakikat Ilmu Pengetahuan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.h.162
6.Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, PT. Bumi Aksara, Jakarta, Juli 2005, h.156-185
  


[1] .Jujun S Suriamantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.h.25
[2] .Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.h.107
[3] .Kattsoff  Louis, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono, Ygyakarta: Tiara Wacana, 1992.h.67
[4] Bertrand Russel, The Problem of Philosophy, Oxford University Press, Toronto, 1959, h.158
[5] M.Djunaidi Ghony, Hakikat Ilmu Pengetahuan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.h.162
[6] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, PT. Bumi Aksara, Jakarta, Juli 2005, h.156-185
 

No comments:

Post a Comment