A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum.
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga
sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash
al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa berikutnya, masyarakat mengalami
perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun
tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan
gemilang. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan
corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang
tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal
itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap
mempedomani nash- nash al-Qur’an atau Hadits dan hanya melakukan ijtihad secara
terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi.
Karena
ijtihad merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Qur’an dengan sunnah
dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai yang terkandung
didalamnya. Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh sahabat- sahabat
terkemuka. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih pada para tokoh
tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya.
Dalam hal penentuan hukum ini sering ditemui antara dua dalil secara Zhahir
nampak bertentangan, tentunya hal ini menimbulkan permasalahan yang harus
diselesaikan oleh para ulama. Inilah permaslaahan yang akan dibahas dalam
makalah ini, yang dikenal dengan istilah Ta’arrudl Al-Adillah atau pertentangan
antara dalil. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi kita semua, khususnya bagi para penulis, dan umumnya bagi para pembaca.
Amin.[1]
B.
Permasalahan
1.
Bagaimana penjelasan mengenai Ta’arud Al Adillah?
2.
Apa saja syarat-syarat Ta’arud Al Adillah?
3.
Bagaimana metode penyelesaian Ta’arud Al Adillah?
4.
Bagaimana contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah?
C.
Pembahasan
1. Pengertian Ta’arud Al adillah
Ta’arudh
(berlawanan)
menurut arti bahasa ialah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut
arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan
tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Al’adillah ialah jama’
dari dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.[2]
Persoalan
ta’arud aladillah dibahas para ulama dalam ilmu Ushul Fiqih ketika terjadinya
pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat
yang sama. Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para
ulama Ushul Fiqih tentang ta’arud al’adillah, sebagai berikut :
a. Imam Al-Syaukani,
mendefinisikan dengan “ suatu dalil yang menetukan hukum tertentu terhadap satu
persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum
tersebut.”
b. Kamal Ibnu
Al-Humam (790-861H/1387-1456M) dan Al-Taftahzani (w.792 H), keduanya ahli fikih
hanafi, mendefinisikannya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin
dilakukan pengompromian antara keduanya”.
c. Ali Hasaballah
( ahli Ushul Fiqih kontemporer dari Mesir) mendefinisikan dengan “ Terjadinya
pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil
lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[3]
2. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
Syarat-syarat ta’arud adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya
dapat menyebabkan ada atau tidak adanya pertentangan. Syarat-syarat
pertentangan tersebut antara lain:
a.
Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan,
seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan
meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
b.
Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama.
Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad
nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal) nya menggauli istri dan melarang (haram)
menggauliibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar duahukum yang
saling berlawanan. Karena orang yang menerima halal dan haram berbeda.
c.
Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut
sama. Karena mungkin sja terdapat dua ketentuan hukum yang saling berlawanan
dalam obyek (tempat) yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti khamr
dihalalkan pada permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga
dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah haidl dan diharamkan
menggaulinya pada masa haidl.
d.
Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena
mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek
(tempat) dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri
bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebeut bagi laki-laki selain
suaminya.
e.
Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut
sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan
antara al-Qur’an dengan hadits ahad, karena dari segi asalnya al-Qur’an adalah
qath’i sedangkan hadits ahad dzanni.[4]
3.
Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Perlu dicatat, bahwasannya tidak akan ada pertentangan yang hakiki
antara dua ayat atau dua hadits shahih, antara ayat dan hadits yang shahih.
Apabila tampak ada pertentangan antara dua nash dari nash-nash ini,maka
sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah saja, sesuai dengan yang
Nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan yang hakiki. Karena
pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan
suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan mengeluarkan dalil lain
pada kasus itu juga yang menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut
pada waktu yang sama.
Jika ada dua nash, yang lahiriyah kedua nash itu saling
bertentangan, maka ijtihad wajib dilakukan untuk memalingkan keduanya dari
pengertian lahiriyah ini dan berhenti pada hakikat yang dikehendaki dari dua
nash itu, untuk membersihkan Allah Yang Maha mengeluarkan syari’at Yang Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana dari kontradiksi dalam hukum-Nya. Jika memungkinkan
untuk menghilangkan pertentangan yang bersifat lahiriyah antara dua nash itu
dengan menggabungkan dan mengadakan sintesa antara dua nash itu dan dua-duanya
diamalkan. Penggabungan ini merupakan penjelasan, karena sebenarnya tidak ada
pertentangan antar kedua-duanya dalam hakikatnya.[5]
Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,
maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha menyelesaikannya. Kedua cara
itu dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah.[6]
a.
Menurut Hanafiyyah
Ulama
Hanafiyyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan
dengan cara [7]:
1.
Nasakh
Nasakh ( النَّسْخُ ), adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang
datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dari hukum pertama. Dalam
hubungan ini seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya
kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya ditemukan bahwa satu dalil
muncul lebih dahulu daripada dalil lainnya maka yang diambil adalah dalil yang
datang kemudian.
2.
Tarjih
Tarjih ( التَّرْجِيْحُ )
adalah
menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan berdasarkan
beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila
masa turunnya atau datangnya dua dalil tersebut tidak diketahui, maka
seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil, jika
memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itupun mujtahid tersebut
harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil
dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:
-
Dari segi petunjuk kandungan lafadz suatu nash
-
Dari segi hukum yang dikandungnya
-
Dari sisi keadilan periwayat
sutu hadits.
3.
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Jam’u wa Al-Taufiq (الْجَمْعُ
وَالتَّوفِيْقُ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian
mengkrompomikannya. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil
hukumnya, karena kaidah fiqih mengatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik
daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
4.
Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain (تَسَاقُطُ
الدَّلِيْلَيْنِ) yaitu
menggugurkan (tidak mengamalkan) kedua dalil yang saling bertentangan. Dalam
arti, seorang mujtahid merujuk dalil yang tingkatannya lebih rendah dari dalil
yang bertentangan tersebut sebagai dasar beramal. Apabila terdapat dua dalil
yang saling bertentangan yang tidak mungkin untuk mengkompromikan lagi dalam
seluruh seginya, maka kedua dalil tersebut digugurkan karena dipandang
bertentangan. Seorang mujtahid tidak boleh menjadikan kedua dalil yang
bertentangan sebagai dasar beramal, namun ia harus mencari dalil lain yang
kedudukannya lebih rendah.[8]
Penggunaan metode
penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus dilakukan secara
berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.
b.
Menurut Syafi’iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama
Syafi’iyyah sebagai berikut:[9]
1.
Jam’u wa Taufiq
Jam’u
wa Taufiq yaitu mengkompromikan dan menyelaraskan kedua dalil yang bertentangan
tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari
satu sisi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara:
-
Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka lakukan
pembagian yang sebaik-baiknya.
-
Apabila kedua hukum yang bertentangan itu mengandung beberapa
ketentuan beberapa hukum, maka boleh memilih salah satu hukum, asal didukung
oleh dalil lain.
-
Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bersifat universal atau
mencakup beberapa hal. Kedua dalil tersebut dapat diamalkan dengan
mengklasifikasikan atau membaginya dalam beberapa bagian. Sehingga hukum yang
terkandung dalam bagian-bagian tersebut saling berhubungan satu sama lain.[10]
2.
Tarjih
Tarjih
artinya menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya.
3.
Nasakh
Nasakh
yaitu membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan
syarat harus diketahui mana dalilyang pertama kali dating dan mana yang datang
kemudian.
4.
Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut
Al Dalilain yaitu meninggalkan kedua dalil yang bertentangan dan berijtihad
dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil tersebut.
Menurut ulama’ Syafi’iyyah, keempat cara di atas harus ditempuh
secara berurutan dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil.
Setelah
menjelaskan metode-metode penyelesaian pertentangan antara dua nash menurut dua
madzhab, maka Nampak jelas beberapa perbedaan
antara keduanya, yaitu antara lain:
a.
tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang mujtahid untuk menolak pertentangan menurut madzhab Hanafiyah adalah menasakh.
Adapun menurut madzhab Syafi’iyah, tindakan petama yang harus dilakukan adalah
mengkompromikan (jama’) kedua nash yang saling bertentangan tersebut. Kami
memandang bahwa pendapat madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang unggul. Karena
sebagaimana pendapat mereka mengamalkan kedua nash tersebut adalah lebih baik
daripada mnggugurkan keduanya atau salah satunya. Nasakh berarti menggugurkan
salah satu nash, sedangkan jama’ berarti mengamalkan keduanya secara
bersama-sama. Pendapat madzhab Syafi’i ini dapat merealisasikan tujuan syari’
(Allah) yakni mengamalkan dua ketentuan hukum yang terkandung dalam kedua nash
yang saling bertentangan dengan cara mengkompromikannya. Allah tidak
mensyari’atkan suatu hukum dengan tanpa manfa’at.[11]
b.
Madzhab Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih, sehingga
tidak boleh mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang bertentangan tersebut
tidak dapat dikompromikan. Sedangkan madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih
daripada jama’, karena mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil
lainnya dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan pendapat
yang telah disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka memandang bahwa jika
jama’ lebih didahulukan daripada tarjih, maka hal itu berarti mendahulukan
dalil yang tidak diunggulkan dan meninggalkan yang lebih unggul. Mereka
memandang bahwa jama’ adalah metode hyang tidak diunggulkan. Metode yang lebih
unggul adalah mengamalkan dalil yang lebih unggul dengan cara mentarjihnya.
Mereka juga berpendapat bahwa menggunakan tarjih bukan berarti menonaktifkan
atau meninggalkan salah satu dari dalil yang bertentangan, sebagaimana pendapat
madzhab Syafi’i.[12]
4. Contoh Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
·
Contoh nash Al Quran yang berlawanan :
وَالَّذِيْنَ
يُتَوَفُوْن َمِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍوَعَشْرًا
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia
diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini
memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya
meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak
hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
وَاُوْلاَتُ
اْلاَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ جَمْلَهُنَّ
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil
waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini
memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang suaminya meninggal atau
diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka ‘idahnya sampai
melahirkan.
Kalau dilihat
sekilas dalam ayat pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya
meninggal ’iddahnya empat bulan sepuluh hari dan menurut ayat kedua nash ini
berlawanan kalau dterangkan pada kasus yang sama, yang seperti ini dinamakan ta’arudh.
Tidak dapat
dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil terkecuali kedua dalil itu sama
kuat dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka wajib melaksanakan dalil terkuat
dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan, karena itu tidak mungkin terdapat
berlawan antara dalil qath’i dan dzanni, tidak mungkin terkadi berlawanan
antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas. Yang mungkin terjadi berlawanan antara
ayat dengan hadits mutawatir atau antara hadits yang mutawatir dengan hadits
mutawatir atau antara kedua buah hadits yang bukan mutawatits atau antara dua
buah qiyas.
Patut digaris
bawahi bahwa tidak akan terjadi berlawan yang sebenarnya antara dua buah ayat
atau antara dua buah hadits yang shahih atau antara ayat dan hadits yang
shahih, kalaulah nampaknya berlawanan hanya menurut lahirnya saja atau menuru
yang dapat dijangkau oleh otak manusia, namun apabila diteliti dengan seksama
tidak terjadi pertentangan. Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan menentapkan
dua hukum yang berlawan, dua hukum yang berlaku pada satu kasus pada satu waktu
yang sama.[13]
Menurut riwayat
Abdullah bin Mas’ud, ayat kedua turunnya lebih akhir daripada ayat pertama.
Sehingga dengan demikian, maka ayat kedua dapat menasakh ayat pertama. Jadi
iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai ia
melahirkan janinnya, baik lahir setelah lewat masa empat bulan sepuluh hari
atau belum.[14]
Ulama’ yang
tidak mengakui adanya nasakh ini, mengamalkan dua ayat sekaligus. Mereka
berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
adalah masa terlama dari kedua masa tersebut yaitu empat bulan sepuluh hari
bagi wanita yang ditinggal suaminya dan sampai melahirkan janinnya bagi wanita
yang dicerai dalam keadaan hamil. Mana diantara dua masa iddah tersebut yang
terlama dihitung dari saat meninggalnya suami, itulah masa iddahnya. Hal ini
atas dasar alasan, karena kedua ayat tersebut menetapkan adanya masa iddah dari
satu sisi saja. Oleh karenanya, kedua ayat tersebut harus dijama’kan dan
diamalkan secara bersama sebagai tindakan preventif (hati-hati). Ini pendapat
Ali bin Abi Thalib.[15]
·
Contoh nash hadist yang berlawanan :
a. اَلاَاُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ
الشُّهَدَاءِ, الَّذِيْ يَأْتِيْ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ اَنْ يَسْئَلَهَا (رَوَاهُ
مُسْلِم)
“apakah
aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang
yang memberikan kesaksian sebelum diminta”
b. اِنَّ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَ
يُؤْتَمَنُوْنَ خَيْرَ اُمَّتِيْ قَرْنِيْ , ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ و
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ , ثُمَّ اِنَّ مَنْ بَعْدَهُمْ قَوْمًا
يَشْهَدُوْنَ وَلاَيَسْتَشْهَدُوْنَ(رَوَاهُ بُخَارِى وَ مُسْلِم )
“bahwa
sebaik-baik umatku adalah golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka,
kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia yang memberikan kesaksian tanpa dimintai,
tidak berkhianat dan dapat dipercaya”
Hadits pertama memperbolehkan meminta kesaksian sebelum pihak yang
bersangkutan memintanya, baik menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak manusia.
Hadits kedua melarang hal tersebut secara mutlak. Secara lahiriah (dzahir),
kedua hadits tersebut saling bertentangan. Oleh karena itu,maka hadits pertama
harus dipahami bahwa kesaksian dapat diterima dengan tanpa memintanya terlebih
dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak Allah. Karena dalam urusan yang
menyangkut hak-hak Allah, tidak diperlukan adanya kesaksian selain Allah
sendiri. Dan hadits kedua harus dipahami bahwa kesaksian dapat diterima
sekalipun dengan meminta terlebih dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak
manusia. Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut menjadi tidak
bertentangan.[16]
D.
Kesimpulan
1.
Pengertian Ta’arud Al Adillah
Ta’arudh (berlawanan)
menurut arti bahasa ialah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut
arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan
tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Al’adillah ialah
jama’ dari dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.
2.
Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
-
Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan
-
Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama
-
Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut
sama
-
Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
-
Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut
sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
3.
Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Metode Hanafiyyah
|
Metode syafi’iyyah
|
1.
Nasakh
|
a.
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
|
2.
Tarjih
|
b.
Tarjih
|
3.
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
|
c.
Nasakh
|
4.
Tasaqut Al-Dalilain
|
d.
Tasaqut Al-Dalilain
|
4.
Contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Contoh
dalil yang berlawanan
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara
kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat
ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya
meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak
hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
‘idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat
ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal
atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka ‘idahnya sampai
melahirkan.
E.
Daftar Pustaka
Abdul
Wahhab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul
Fiqh. Semarang:Dina Utama
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqh II .
Bandung:
CV Pustaka Setia
Muhammad Wafaa. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil
Syara’. Bangil :Al-Izzah
Syafi’i
Karim. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung:CV. Pustaka Setia
DISKUSI
Pertanyaan
1. Ani
Lestari (112182)
Sebutkan dan
jelaskan macam-macam Ta’arud Al-Adillah?
2. ‘Ainul Muthi’ah (112154)
Sebutkan rukun Nasakh dan hikmah
Nasakh?
3. Riska Tri Mulyaning Tyas (112179)
Bagaimana hukum menceraikan wanita
dalam keadaan hamil?
Jawaban
1. Selvia Rukmana (112171)
Ada empat macam
Ta’arudh al-Adillah yaitu
1.
Ta’arudh antara
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Sepertifirman Allah SWT yang terdapat pada QS.Al-Maidah
:3 yaitu :
Artinya : “Diharamkanbagimu
(memakan) bangkai, darah, dagingbabi, … (QS.Al-Maidah :3).
Ayat ini Nampak
nyata ta’arudh (bertentangan) dengan firman Allah SWT dalam QS.Al-An’am :145)
yaitu :
Artinya : “Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir…” (QS.Al-An’am : 145).
2.
Ta’arudh antara
As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dibawah ini adalah
dua Hadits yang bertentangan yaitu
(Yang artinya)
“Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena melakukan jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa”.
(HR.MutafaqunAlaih).
Hadits ini bertentangan
dengan hadits berikut ini:
(Yang artinya)
“Bila telah dipanggil untuk sembahyang subuh,sedang salah satu di antaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa hari itu”.
(HR.Imam Ahmad danIbnuHibban).
3.
Ta’arudh antara
As-Sunnah dengan Al- Qiyas Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah
dengan qiyas dalam menetapkan hokum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan
jual beli unta atau kambing yang diikat putik susunya agar kelihatan besar,sedang
setelah dibeli dan diperah susunya terbukti adanya gharar.
Seperti
sabda Nabi Muhammad SAW
(Yang artinya)
: “Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar
kelihatan besar), barang siapa membelinya sesudah terjadi demikian, maka boleh memilih
di antara dua pandangan yang dianggap baik, bila menghendaki boleh melangsungkan
jual beli itu atau mengembalikannya dengan membayar satu sha’ dari tamar.
(HR.Mutafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
Dalam Hadits ini
disebutkan bahwa bila memilih pengembalian (untuk kambing) maka pembeli harus membayar
satu sha’ dari tamar. Hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama’.Sedangkan Ulama’
Hadawiyah, berpendapat bahwa lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu
bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga susu itu, hal ini di qiyaskan
pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak
yang menggunakan barang orang lain tersebut harus mengganti sejumlah atau senilai
dengan barang yang telah dipergunakan.
4.
Ta’arudh antara
Qiyas dengan Qiyas Ta’arudh ini bisa dicontohkan dari pengqiasan terhadap masalah
perkawinan Nabi Muhammad SAW terhadap Siti ’Aisyah. Sebagaimana dijelaskan dalam
sebuah hadits yaitu :
(Yang artinya) : ”Dari ‘Aisyah ,beliau berkata:
Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika
saya sebagai gadis yang telah berumur Sembilan tahun”..(H.R.Muslim dari
‘Aisyah).
Atas dasar hadits,
diambil hokum kebolehan (boleh) orang tua mengawinkan anaknya yang belum dewasa
(masih di bawah umur) tanpaizin yang bersangkutan.Hal ini merupakan pendapat Ulama’
Hanafiyah, sedangUlama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan demikian
kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tuatak mempunyai hak
ijbar (memaksa).
2. Afaf Kholidah Indriani (112170)
Ø Rukun Nasakh
ada 4 yaitu:
a.
Adat an-nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
b.
Nasikh, yaitu dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah
ada.
c.
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan atau dihapus.
d.
Mansukh qahu, yaitu orang yang dibebani hukum.
Ø Hikmah nasakh
Menurut Muhammad Said Ramadhan al-buthi, adanya konsep nasakh
adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus
menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum
Islam.
3. Innayatul Hidayah (112172)
Dalam surat
Ath-thalaq ayat 4 disebutkan masa iddah bagi wanita hamil yang dicerai adalah
sampai melahirkan. Hal ini menandakan bahwa menceraikan wanita hamil itu boleh.
Namun di sisi lain, secara psikologis wanita yang dicerai akan mengalami
tekanan batin dan itu nantinya akan menimbulkan madlorot atau berdampak pada
kesehatan janin. Maka dari itu ada ulama yang tidak memperbolehkan mencerai
saat hamil, kalaupun sangat ingin bercerai, diperbolehkan tapi nanti setelah
istrinya melahirkan. Hal ini dilakukan agar suami bisa introspeksi diri, apakah
tega mencerai istri yang sedang payah dalam keadaan mengandung? Sehingga
nantinya perceraian dapat dihindari, mengingat Allah sangat murka terhadap
perceraian sekalipun hal itu halal.
[1]
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/29/taarrudl-al-adillah-pertentangan-antara-dalil-dalil-dan-penyelesaiannya/
[2] Syafi’i
Karim, 1997. Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung:CV. Pustaka Setia, 1997, hlm.244
[3]
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung:CV Pustaka Setia, 2001 hlm.183-184
[4] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas
Kontradiksi Dalil-dalil Syara’. Bangil:Al-Izzah, 2001, hlm.68-70
[5]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama:Semarang, 1994,
hlm.361
[6]
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit,hlm. 186
[7] Ibid,
hlm. 187-190
[8]
Muhammad Wafaa, Op.Cit, hlm.89
[9]
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm.190-192
[10] Muhammad Wafaa, Op.Cit, hlm.97
[11] Ibid,
hlm.105
[12] Ibid,
hlm.109
[13]
Syafi’i Karim, Op.Cit, hlm.244-246
[14]
Muhammad Wafaa, Op.Cit, hlm.81
[15] Ibid,
hlm.82
[16] Ibid,
hlm.84
Thank you for sharing in this article I can a lot and could also be a reference Obat Pembesar I hope to read the next your article update
ReplyDelete