A. PENDAHULUAN
Sudah beberapa abad
lalu para ilmuwan dan para pemikir memperhatikan seluk-beluk kehidupan anak,
khususnya dari sudut perkembangannya, untuk mempengaruhi berbagai proses
perkembangan, mencapai kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup yang didambakan. Anak
harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang matang, yang sanggup
dan mampu mengurus dirinya sendiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain,
atau bahkan menimbulkan salah bagi keluarga, kelompok, atau masyarakat.[1]
Seluk beluk
kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangan bahwa setiap individu
dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu, ini berarti bahwa
karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya.
Individu yang dilahirkan tidak hanya membawa hereditas melainkan setelah
individu ada di bumi untuk perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan, maka
dari itu dimakalah ini kami ingin membahas faktor-faktot yang mempengaruhi
perkembangan untuk dijadikan bekal bagi kita semua.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat
mengambil permasalahan sebagai berikut yaitu
bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan ?
C. PEMBAHASAN
Setiap indivu yang dilahirkan
didunia memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dibawah ini faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan :
1. Aliran Nativisme atau Aliran Pembawaan /
Atrhur Schopenhauer (1788-1860)
Nativisme
merupakan kata dasar dari bahasa latin, natus yang artinya lahir atau natives
yang mempunyai arti kelahiran, pembawaan. Nativisme (nativism) merupakan sebuah
doktrin yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh
utama aliran ini bernama Atrhur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman. Aliran filsafat
nativisme konon dijuluki sebagai aliran
pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan “kacamata hitam”. Karena para
ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia ditentukan
oleh pembawannya.
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru
dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari
keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan
demikian. Manakala pembawaannya itu baik, baik
pula anak itu kelak. Begitu pula pada masa kedewasaannya. Oleh karena itu,
menurut aliran ini, pendidikan tidak dapat diubah dan senantiasa berkembang
dengan sendirinya. Pendidikan, pengalaman atau segala pengaruh dari luar
dianggap tak berdaya mengubah kekuatan-kekuatan yang dibawa sejak lahir atau
pembawaan, dengan kata lain yakni tidak berpengaruh apa-apa.[2]
Factor
pembawaan atau warisan gen yang diperoleh dari orang tua, melalui pewarisan gen
diperoleh melalui pembuahan. Mengenai jenis kelamin dari hasil pembuahan,
sangat bergantungg pada perpaduan antara kromosom. Para pria ada pasangan
kromosom “xy” sedangkan pada wanita hanya memiliki pasangan romosom “xx”.
Apabila dalam pembuahan terjadi pasangan xy (x dari wanita dan y dari
laki-laki) maka anak yang akan lahir laki-laki, sedangkan apabila xx maka yang
lahir adalah wanita.
Adapun yang diturunkan orang tua kepada anknya adalah
strukturnya bukan tingkah laku yang diperoleh sebagaimana hasil belajar atau
pengalaman. Penurunan sifat-sifat ini mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Reproduksi, erarti penurunan
sifat-sifatnya hanya berlangsung melalui sel benih.
b. Konfoormitas (keseragaman), proses
penurunan sifat akan mengikuti pola jenis (spesies) generasi sebelumnya,
misalnya m manusia akan meurunkan sifat-sifat manusia kepada anak-anaknya.
c. Variasi, karena jumlah gen-gen di dalam
setiap kromosom sanagt banyak, maka kombinasi gen-gen pada setiap pembuahan
akan mempunyai yang banyak pula. Dengan demikiann untuk setiap proses penurunan
sifat akan terjadi penurunan yang beraneka (bervariasi). Anatara kaka dan adik
mungkin berlainan sifatnya.
d. Regresi filial, yaitu penurunan sifat
cenderung kea rah rata-rata.
Perlu diketahui,
bahwa factor pembawaan yang diperoleh dari orang tua tidak hanya aspek fisik
saja yang diwariskan seperti warna rambut, warna kulit, postur tubuh dan
sebagainya, tetapi aspek psikologis juga diwariskan e anak misalnya emosi,
intelegensi, motivasi, dan sebagainya.[3]
1. Aliran Empirisme atau Aliran Lingkungan
/ John Locke (1632-1704)
Aliran empirisme merupakan kebalikan
dari aliran nativisme. Para ahli yang mengikuti aliran empirisme berpendapat
bahwa perkembangan individu itu sepenuhnya ditentukan oleh factor
lingkungan/pendidikan, sedangkan faktor dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama
sekali. Aliran ini menjadikan factor lingkungan dalam menentukan perkembangan
seorang individu.[4]
Aliran empirisme mengemukakan bahwa anak yang
baru lahir laksana kertas kosong (blank slate/black table) yang putih
bersih atau semacam tabula rasa (tabula=meja, rasa=lilin), yaitu meja yang
bertutup lapisan lilin. Kertas putih bersih dapat ditulis dengan tinta warna
apa pun, dan warna tulisannya akan sama dengan warna tinta tersebut. Begitu
halnya dengan meja berlilin, dapat dicat dengan warna-warni, sebelum
ditempelkan. Anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangkan
warna warna tinta, diumpamkan sebagai lingkungan (pendidikan) yang akan memberi
pengaruh padanya, sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan dapat memegang
peranan penting dalam perkembangan anak, sedangkan bakat pembawaan bisa ditutup
dengan serapat-rapatnya oleh pendidikan itu.
Teori tabula rasa ini diperkenalkan oleh
John Locke untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan
hidup terhadap perkembangan anak. Ketika dilahirkan, seorang anak adalah
pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan yang berasal dari
lingkungan. Orang tua menjadi tokoh penting yang mengatur rangsangan-rangsangan
dalam mengisi “secarik kertas” yang bersih ini. Ini disebut juga dengan
sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekan pengaruh dari luar.[5]
Lingkungan secara garis besarnya dapat
dibedakan:
a. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang
berupa alam, misalnya keadaan tanah, keadaan musim dan sebagaianya. Lingkungan
alam yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula kepada individu.
b. Lingkungan sosial, yaitu merupakan
lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat ini adaanya interaksi
individu atu dengan individu lain.
Hubungan individu dengan
lingkungannya ternyata tidak hanya berjalan searah, dalam arti hanya lingkungan
saja yang mepunyai pengaruh terhadap individu. Hubungan antara individu dengan
lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik, yaitu lingkungan
dapat mempengaruhi individu, tetapi sebalaiknya
individu juga dapat mempengaruhi lingkungan. [6]
A. Lingkungan Keluarga
Udardja
Adiwikarta (1988:66-67) dan Sigelmn & Shaffer (1995: 390-391) berpendapat
bahwa “ keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada setiap masyarakat di
dunia atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial
yang lebih besar
a. Peranan dan Fungsi keluarga
Secara pikologis
keluarga berfungsi sebagai:
1) Memberi rasa aman bagi
anak dan anggota keluarga lainnya.
2) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik
maupaun psikis.
3) Sumber kasih sayang dan penerimaan.
4) Model pola perilakunyang tepat baginanak
untuk belajar menjdi anggta masyarakat yang baik.
5) Pemberi bimbingan bagi pengembanagan
perilaku yang secara sosial dianggap tepat.
6) Membantu anak dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya.
7) Memberi bimbingan dalam belajar
8) Stimul,ator bagi pengebangan kemampuan
anak untuk mencapai pretasi, baik
disekolah maupun di masyarakat.
9) Pembimbing dalam mengembngkan aspirasi.
10) Sumber persahabatan bagi anak.
Sedangkan dari sudut pandang
sosiologis, fungsi keluarga sebagai berikut:
1) Fungsi biologis
Keluarga
member kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar
biologisnya, meliputi kebutuhan (sandang, pangan, papan, hubungan seksual
suami-istri, dan reproduksi/pengembangan keturunan).
2) Fungsi ekonomis
Keluarga
(ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota keluarganya (istri dan
anak).
3) Fungsi pendidikan (edukatif)
Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak.
4) Fungsi sosialisasi
Keluarga
berfungsi sebagai miniature masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai atau
peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para
anggotanya.
5) Fungsi perlindungan (protektif)
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota
keluarganya dari gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidak
nyamanan (fisik-psikologis) para anggotanya.
6) Fungsi rekreatif
Keluarga
harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan,
kehangatan, dan penuh semangat dari anggotanya.
7) Fungsi agama (religious)
Keluarga
berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai agama kepada anak agar mereka memiliki
pedoman hidup yang benar. [7]
B. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran,
dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya,
baik menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Mengenai peranan sekolah dalam
mengembangkan kepribadian anak. Hurlock (1986:322) mengemukakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi
perkembangan kepribadian anak., baik cara berpikir, bersikap maupun cara
berperilaku. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang
berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu: para siswa harus hadir di
sekolah, sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, anak-anak banyak
menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, dan
sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses. Sekolah yang
efektif juga harus didukung oleh kualitas para guru, baik menyangkut
karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Karakteristik pribadi dan
kompetensi guru ini sangat berpengaruh terhadap kualitas perubahan kelas.[8]
C.
Kelompok Teman Sebaya
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja
mempunyai yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu
semakin penting, terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur
masyarakat. Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam
pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah:
a.
Social Cognition:
kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan dan tingkah laku dirinya
dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk
lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya.
b.
Konformitas:
motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan,
kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya.
Hasil
penelitian yang dikemukakan oleh Hans Sobald, bahwa teman sebaya lebih
memberikan pengaruh dalam memiliki: cara berpakaian, hobi, perkumpulan (club),
dan kegiatan sosial lainnya. Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah
memberikan kesempatan untuk belajar tentang:(1) bagaimana berinteraksi dengan
orang lain,(2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan
dan minat,(4) saling bertukar perasaan dan masalah.
Pengaruh
kelompok teman sebaya terhadap remaja itu ternyata berkaitan dengan iklim
keluarga remaja itu sendiri. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan
orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari
pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan
dengan orangtuanya kurang baik. Judith Brook dan koleganya menemukan, bahwa
hubungan orangtua dan remaja yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari
pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995:380).
Uraian diatas,
menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya itu mempunyai kontribusi yang sangat
positif terhadap perkembangan kepribadian remaja. Namun di sisi lain, tidak
sedikit remaja yang berperilaku menyimpang, karena pengaruh teman sebayanya.[9]
2. Aliran Konvergensi atau Aliran
Penyesuaian / Louis William Stern (1871)
Aliran ini merupakan perpaduan antara
aliran nativime dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah.
Aliran ini menggabungkan arti hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai
pengaruh dalam perkembangan manusia.
Tokoh aliran ini Louis William Stern (1871), seorang filosof sekaligus
psikolog Jerman. Dalam menetapkan factor yang mempengaruhi perkembangan
manusia, tidak hanya berpegang pada pembawaan saja, tetapi berpegang pada kedua
factor yang sama pentingnya. Factor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa
factor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, factor pengalaman tanpa factor
pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Di Indonesia sendiri, teori konvergensi
inilah yang dapat diterima dan dijadikan pedoman seperti yang diungkapkan oleh Ki
Hadjar Dewantara: “Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu
pendidikan ditetapkan adanya “konvergensi” yang berarti bahwa kedua-duaya
saling mempengaruhi, sehingga garis dasar keadaan itu selalu tarik-menarik dan
akhirnya satu”.
Factor bawaan dan lingkungan berkerja
sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan,
kecakapan membaca, dan sebaginya. Tanpa gen, tidak aka nada perkembangan, tanpa
lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung
pada karakteristik genetic bawaan, jadi dapat kita katakana bahwa factor-faktor
di atas saling berinteraksi.[10]
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa, faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan ada 3 yaitu;
1. Aliran Nativisme atau Aliran Pembawaan /
Atrhur Schopenhauer (1788-1860)
Aliran nativisme mengemukakan bahwa manusia yang baru
dilahirkan telah memiliki bakat dan pembawaan, baik karena berasal dari keturunan
orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian. Manakala
pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula pada masa
kedewasaannya.
2. Aliran Empirisme atau Aliran Lingkungan
/ John Locke (1632-1704)
Aliran
empirisme merupakan kebalikan dari aliran nativisme. Para ahli yang mengikuti
aliran empirisme berpendapat bahwa perkembangan individu itu sepenuhnya
ditentukan oleh factor lingkungan/pendidikan, sedangkan faktor dasar/pembawaan
tidak berpengaruh sama sekali. Aliran ini menjadikan factor lingkungan dalam
menentukan perkembangan seorang individu.
3. Aliran Konvergensi atau Aliran
Penyesuaian / Louis William Stern (1871)
Aliran
ini merupakan perpaduan antara aliran nativime dan empirisme, yang keduanya
dipandang sangat berat sebelah. Aliran ini menggabungkan arti hereditas
(pembawaan) dengan lingkungan sebagai pengaruh dalam perkembangan manusia.
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
buat. Apabila ada kritik dan saran yang bersifat mambangun sangat kami harapkan
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua yang
membacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
H. Syamsu
Yusuf LN., M.Pd, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2009
M.
Nur Ghufron, “Psikologi”, Kudus: Nora Media Enterprise 2011
Muzdalifah
M Rahman, S.Psi, M.Si., “Psikologi Perkembangan”, Kudus: Nora Media
Enterpise
Prof.
Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta,
2002
[2] Ibid., hlm. 51-52
[3] Muzdalifah M Rahman, S.Psi, M.Si., “Psikologi Perkembangan”,
Kudus: Nora Media Enterpise hlm. 32-33
[4] Ibid., hlm. 31
[5]M. Nur Ghufron, Op
Cit., hlm. 53-54
[6]
Prof. Dr. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset,
Yogyakarta, 2002, Hlm.39-40
[7] Dr. H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, Hlm.35-41
[10] Ibid., hlm.
55-56
No comments:
Post a Comment