Thursday, March 10, 2016

makalah metode penelitian hadits nabi




LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PENELITIAN SANAD HADITS
A.     Contoh Untuk Sanad dari Seorang Mukharrij
Berikut ini dikemukakan diriwayatkan hadits yang mukharrinya muslim :
حد ثنا ابو بكرين ابي شيبه, حد ثنا و كيع عن سفيان وحدثنا محمدبن المثني. حدثنا محمدبن جعفر. حدثنا شعبة, كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب وهدا حديث اءبي بكر, قال : اول من بدا بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام اليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال :قد ترك ما هنالك. فقال ابو سعيد : اما هدا فقد قضى ما عليه , سمعت رسول الله ص.م يقول : من راى منكم منكر فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه , فان لم يستطع فبقلبه , وذلك اضعف الايمان.(اخرجه مسلم)
( imam muslim berkata,) telah menyampaikan berita kepada kami(dengan metode as-sama’) Abu Bakar bin Abi Syaibah (yang dia menyatakan bahwa ) Waki’ telah menyampaikan berita kepada kami (dengan metode as-sama’ berita itu berasal) dari sufyan. Dan (Imam Muslim juga berkata bahwa)telah menyampaikan berita kepada kami (dengan metode as-sama’) Muhammad bin al-Musanna ( yang dia itu menyatakan bahwa ) Muhammad bin Ja’far telah menyampaikan berita kepada kami ( dengan metode as-sam’ yang beritanya itu berasal) dari Syu’bah. Keduanya ( yakni Sufyan dan Syu’bah menerima berita) dari Qais bin Muslim dari Tariq bin Syihab. Dan (lafal) hadits ini (berdasarkan riwayat melalui sanad)Abu bakr bin Abi Syaibah, yakni bahwa Tariq bin Syihab) berkata : orang yang mula-mula memulai dengan khotbah pada hari raya sebelum shalat ialah Marwan(bin hakam). Mka seseorang berdiri dan berkata “salat(harus dilaksanakan sebelum khotbah)”. Orang tadi berkata lagi: “telah ditinggalkan apa yang seharusnya di lakukan”. Abu Said (al-khudri) menyatakan: “Adapun masalah (salat dan khotbah hari raya) sesungguhnya telah ada ketetapan padanya. Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu (mengubah dengan tangannya), maka hendaklah mengubah dengan lisannya; dan bila tidak mampu juga (mengubah dengan lisannya) maka (hendaklah mengubahnya) dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman”.

Marwan bin Hakam dalam riwayat itu bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang telah dilakukanya yang oleh orang-orang hadir, kasus itu merupakan pelanggaran terhadap apa yang telah diajarkan oleh Nabi. Marwan mengatakan mendahulukan khotbah sebelum shalat pada hari raya yang seharusnya salat harus dilakukan sebelum khotbah.
Dengan demikian, kasus Marwan oleh riwayat hadits di atas bukanlah sabab wurud dari sabda nabi yang disampaikan oleh Abu sa’id al-khudri. Karenanya, kasus Marwan tidak termasuk bagian dari matn sabda Nabi, tetapi dapat dimasukkan sebagai bagian matn dari penyampaian riwayat oleh sahabat Nabi tentang telah adanya sabda nabi. Yang sudah pasti, Marwan dalam hal ini bukanlah bagian dari snad haditskarena namanya tidak tercantum dalam skema sanad.

NAMA PERIWAYAT
URUTAN SEBAGAI PERIWAYAT
URUTAN SEBAGAI SANAD
Abu sa’id
Periwayat I
Sanad VI
Tariq bain Syihab
Periwayat II
Sanad V
Qias bin Muslim
Periwayat III
Sanad IV
Sufyan
Periwayat IV
Sanad III
Syu’bah
Periwayat IV
Sanad III
Waki’
Periwayat V
Sanad II
Muhammad bin Ja’far
Periwatat V
Sanad II
Abu bakar bin Abi Syibah
Periwayat VI
Sanad II
Muhammad bin al-Musanna
Periwayat VI
Sanad I
Muslim
Periwayta VII
(mukharij-hadis)



SKEMA PERTAMA
SKEMA SANAD HADITS RIWAYAT MUSLIM TENTANG MENGATASI KEMUNGKARAN

















Dari skema pertama terlihat bahwa bila sanad Muslim yang melalui Muhammad bin al-Musanna yang diteliti, maka sufyan berstatus sebagai mutabi’ bagi syu’bah. Bila sanad yang melalui Abu bakar bin Abi Syaibah yang diteliti, maka syu’bah berstatus sebagai mutabi’ bagi sufyan. Periwayat yang berstatus sebagai syahid dalam skema dalam sanad itu hanya Abu Sa’id saja.

SKEMA KEDUA
SKEMA SANAD HADITS RIWAYAT AT-TURMUDZI TENTANG MENGATASI KEMUNGKARAN

Skema kedua dibandingkan dengan skema sanad muslim maka dapat di baca bahwa mulai dari periwayat pertama sampai mulai periwayat ke empat terdaapat persamaan periwayat, yakni antara sanad at-turmudzi dan salah satu sanad muslim. Pada skema sanad at-turmudzi juga diketahui bahwa periwayat yang berstatus syahid dan mutabi’ tidak ada bila sanad at-turmuzi tidak digabungkan dengan sand muslim atau muharrij lainnya.
B.       Contoh Untuk Sanad dari Sejumlah Mukharrij
SKEMA KETIGA
SKEMA SANAD HADITS RIWAYAT AT-TURMUZI TENTANG MENGATASI KEMUNGKARAN



                        Dari skema ketiga itu dapat diketahuibahwa periwayat yang berstatus syahid tidak ada karena ternyata Abu syaid merupakan satu-satunya sahabat nabi yang meriwayatkan hadits yang sedang akan diteliti tersebut.
MENELITI PRIBADI PERIWAYAT DAN METODE PERIWAYATANNYA
1.      Kaidah Kesahihan Sanad Sebagai Acuan
Untuk meneliti hadits, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah kesohihan hadits bila ternyata hadits yang diteliti bukanlah hadits mutawatir.
Unsur-unsur kaidah kaesahihan hadits :
a)      Sanad hadits yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukhorrijnya sampai kepada Nabi.
b)      Seluruh periwayat dalam hadits itu harus bersifat adil dan dabit
c)      Hadits itu, jadi sanad dan matnnya, harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat(‘illat)
Dari ketiga butir tersebut dapat diurai menjadi tujuh butir, yakni yang lima butir berhubungan dengan sanad dan yang dua butir berhubungan dengan matn. Berikut ini diuraikan butir-butir yang dimaksud.
a)      Yang berhubungan dengan sanad:
1.     Sanadnya bersambung
2.      Periwayat bersifat adil
3.      Periwayat bersifat dabit
4.      Terhindar dari kejanggalan(syuzuz)
5.      Terhindar dari cacat(‘illat)
b)      Yang berhubungan dengan matn:
1.      Terhundar dari kejanggalan(syuzuz)
2.      Terhindar dari cacat(‘illat)
2         Segi-segi Pribadi Periwayatan yang Diteliti
a)      Kualitas Pribadi Periwayatan
Kualitas pribadi periwayatan  hadits yang diteliti ialah adil dan kriteria adil menurut para ulama ialah beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah.
b)      Kapasitas  Intelektual Periwayatan
Kapasitas intelektual periwayatan hadits yang diteliti ialah dari segi kedabitannya, kesempurnaan menghafal. Ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian kata dabit.
1.      Periwayatan yang bersifat dabit adalah periwayatan yang hafal dengan sempurna hadits yang diterima, mampu menyampaikan dengan baik hadits ynag dihafalnya itu kepada orang lain
2.      Periwayatan yang bersifat dabit itu ialah periwayatan yang selain disebutkan dalam butir pertama diatas, juga dia mampu meahami dengan baik hadits yang dihafalnya itu.
Rumusan tentang dabit yang disebutkan pada butir kedua lebih sempurna daripada yang disebutkan pada butir pertama.
3        Sekitar Al-Jarh Wat-Ta’dil
a)      Pengertian Al-Jarh Wat-Ta’dil
Menurut bahasa , al-jarh masdar dari kata jaraha-yajrahu, yang berarti “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, maupun non fisik. Misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan.
Menurut isttilah, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat peribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalanya dan kecermatanya, yang keadaan itu menyebabakan gugurnya atau lemahnya riwayat uang disampaikan oleh periwayat tersebut.
b)      Ulama Kritikus Hadits
Ulama yang ahli di bidang kritik para periwayatan hadits disebut dengan al-jarih wal-mu’addil. Ulama telah mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarih wal-mu’addil.
1.      Syarat-syarat ynag berkenaan dengan pribadi, yakni bersifat adil (sifat adil dalam hal ini ialah menurut istilah ilmu hadits), tidak bersikap fanatic terhadap aliran atau mazhab yang dianutnya, dan tidak bersikap bermusuhan dengan periwayatan yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengan.
2.      Syarat-syarat yang berkenaan penguasaan pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki pengetahuan ynag luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan ajaran islam, bahasa arab, hadits dan ilmu hadits, pribadi periwayatan yang dikritiknya, adat istiadat (al-‘urf) yang berlaku, dan sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela ynag dimiliki oleh periwayat.
c)      Lafal-lafal Al-jarh Wat-Ta’dil menyusun peringkat para periwayat hadits sesuai dengan peringkat kualitas pribadi dan kapasits intelektualnya.
d)      Beberapa Teori Al-jarh Wat-Ta’dil :
-          At-ta’dil didahulukan atas al-jarh
-          Al-jarh didahulukan atas At-ta’dil
-          Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya
-          Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong daif, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak terima
-          Al-jarh tidak terima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadi kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya
-          Al-jarh ynag dikemukakan oleh orangb yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.
Dari sejumlah teori di atas, maka yang harus dipilih ialah teori yang mampu menghasilkan pernilaian yang lebih obyektif terhadap para periwayat hadits yang dinilai keadaan pribadinya.
4.PERSAMBUNGAN SANAD YANG DITELITI
            Persambungan sanad yang harus diteliti ialah
a)      Lambang-lambang metode penelitian
                Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan dalam periwayatan hadits, dalam tahammmulul hadits, bentuknya bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na, hadasanni, hadasana, dan anna. Sebagian dari lmabang-lambang itu ada yang disepakati penggunanya dan ada yang tidak disepakati.
Lambang-lambang atau kata-kata yang disepakati, misalnya sami’na, haddasani, nawalana, dan nawalani. Kedua lambing yang disebutkan pertama disepakati penggunanya untuk periwayatan dengan metode ass-sama’. Dan dua lambing yang disebutkan berikutnya disepakati sebagai lambing periwayatan al-munawallah, yakni metode periwayatan yang masih di persoalkan.

b)      Hubungan periwayatan dengan metode periwayatannya
Secara mudah, keadaan periwayat dapat dibagi kepada yang siqah dan yang tidak siqah. Dalam menyampaikan riwayat, periwayat yang siqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya  dapat dipercaya riwayatnya. Bagi periwayat yang tidak siqah perlu terlebih dahulu di teliti letak-ketidak siqahanya, yakni apakah berkaitan dengan kualitas pribadinya ataukah berkaitan dengan kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian hubungan antara periwayat dan metode periwayatanya yang digunakan perlu juga diteliti, karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad yang dikumukakan oleh periwayat yang siqah, maka ke-siqahan periwayat tdalam menggunakan lambang metode periwayatan perlu dilakuakan penelitian secara cermat.
5.Meneliti Syuzuz dan ‘Illah
             Ulama ahli hadits pada umumnya mengakui bahwa meneliti syuzuz dan ’illat hadits tidaklah mudah. Sebagian ulama’ menyatakan :
Ø  Penelitian tentang syuzuz dan’illat hadits hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mendala pengetahuan hadits merea dan telah terbiasa melakukan penelitian hadits
Ø  Penelitian syuzuz hadits lebih sulit daripada penelitian’illat hadits.
Langkah-langkah meneliti ‘illat hadits :
1)      Seluruh sanad hadits untuk matn yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memeng memiliki mutabi’ ataupun syahid
2)      Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadits
6.Kitab-kitab yang Diperlukan
untuk melakukan penelitian sanad hadits, terlebih dahulu harus dilakukan kegiatan al-I’tibar. Dengan demikian, kitab-kitab yang membahas takhrijul-hadits dan kitab-kitab hadits yang ditunjukkan perlu dipelajari dengan baik. Arah kegiatan penelitian sanad hadits tertuju kepada pribadi para priwayat hadits dan metode periwayat hadits yang mereka gunakan. Dengan demikian, kitab-kitab rijal hadits, yakni kitab-kitab yang membahas biografi, dan lain-lain berkenaan dengan para periwayat hadits .
kitab-kitab yang diperlukan antara lain :
-          Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para nabi
-          Kitab-kitab yang membhas biografi singkat para periwayat hadits yang disususn berdasarkan tingkatan para periwayat (taqatur-ruwah)
-          Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadits secara umum
-          Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadits untuk kitab-kitab hadits tertentu
-          Kitab-kitab  yang membahas para periwayat hadits di al-kutubus-sittah
-          Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadits
-          Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadits berdasarkan Negara asal mereka
-          Kitab-kitab yang membahas ’illat hadits

MENYIMPULKAN HASIL PENELITIAN SANAD
            Kegiatan berikutnya dalam penelitian sanad hadits ialah mengemukakan kesimpulan hasil penelitian. Kegiatan menyimpulkan itu merupakan kegiatan akhir bagi kegiatan penelitian sanad hadits.
§  NATIJAH DAN ARGUMEN
Hasil penelitian yang dikemukakan harus berisi natijah (konklusi). Dalam mengemukakan natijah harus disertai argumen-argumen yang jelas. Semua argument dapat dikemukakan sebelum atau sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatannya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut bersetatus ahad.
Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas sahih, atau hasan, atau dhaif sesuai dengan apa yang telah diteliti. Bila perlu, pernyataan kualitas tersebut disertai dengan macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadits yang diteliti berkualitas hasan li gairihi.
§  BEBRAPA CONTOH PENELITIAN SANAD
Contoh 1 :
a.      Meneliti Sanad Hadits Tentang mengatasi Kemungkaran
-          Langkah pertama, melakukan kegiatan takhrijul-hadits
-          Langkah kedua, melakukan kegiatan Al-I’tibar
-          Langkah ketiga, melakukan penelitian sanad
-          Langjah keempat, mengambil natijah
b.      Meneliti Kualitas Periwayatan dan Persambungan Sanad
Dalam kegiatan ini, penelitian dapat dimulai pada periwayatan pertama ataupun periwayatan terakhir (al-mukharrij). Pada contoh ini, penelitian di mulai pada periwayatan terakhir, yakni Ahmad bin Hambal lalu diikuti pada periwayatan sebelum Ahmad, dan seterusnya sampai periwayatan pertama.
c.       Meneliti Kemungkinan Adanya Syuzuz dan ‘Illah
Dalam kegiatan kali ini, dilakukan penelitian karna sanadnya mengandung syuzuz (kejanggalan) dan juga takut mengandung ‘illat (cacat).
Contoh 2 :
            Meneliti sanad hadits seperti kegiatan ijtihad yang dilakukan setelah tiadanya petunjuk langsung dari Al-quran dan sunnah nabi itu penyelesaiannya sama, yaitu
-          Langkah pertama, melakukan takhrijul-hadits
-          Langkah kedua, melakukan Al-I’tibar
-          Langkah ketiga, meneliti sanad
-          Langkah keempat, mengambil natijah
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PENELITIAN HADITS
            Kitab-kitab itu merangkan langsung tanda-tanda yang berfungsi sebagai tolok ukur bagi matn yang sahih, atau sebagai tolok ukur untuk meneliti tentang palsu atau tidaknya suatu hadits.
Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matn hadits, yakni :
§  Pertama, meneliti matn dengan melihat kualitas sanadnya
§  Kedua, meneliti susunan lafal berbagai matn yang semakna
§  Dan ketiga, meneliti kandungan matn
Dengan menempuh ketiga langkah itu diharapkan, segi-segi penting yang harus diteliti pada matn dapat membuahkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara agama.
A.     Meneliti Matn dengan Melihat Kualitas Sanadnya
1.      Meneliti Matn Sesudah Meneliti Sanad
Dilihat dari segi penelitian, matn dan sanad hadits memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujahan hadits dalam urutan kegiatan penelitian, ulama hadits mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matn.
§  Setiap Matn Harus Bersanad
Latar belakang pentingnya penelitian hadits sebagaimana dikemukakan bahwa setiap matn hadits harus memiliki sanad. Tanpa adanya sanad maka suatu matn tidak dapat dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah. Apabila ada suatu ungkapaan yang oleh pihak-pihak tertentu dinyatakan sebagai hadits nabi, padahal ungkapan itu sama sekali tidak memiliki sanad, maka menurut ulama hadits, ungkapan tersebut dinyatakan sebagai hadits palsu.
2.      Kualitas Matn Tidak Selalu Sejalan dengan kualitas Sanadnya
Kualitas sanad dan matn suatu hadits cukup bervariasi. Diantaranya ada suatu hadits yang sanadnya sahih, tetapi matnnya daif, atau sebaliknya sanadnya daif, tetapi matnnya sahih. Begitu pula ada hadits sanad dan matnnya berkualitas sama, yakni sama-sama shahih dan sama-sama daif.
§  Hadits yang Sanadnya Sahih, Tetapi Matnnya Daif
Apabila dinyatakan bahwa kaidah kesahihan sanad hadits mempunyai tingkatan akurasi yang tinggi, maka suatu hadits yang sanadnya sahih mestinya matn juga sahih. Pada kenyataannya tidaklah demikian, ada hadits yang sanadnya sahih tetapi matnnya daif karna ada faktor- faktor lain yang terjadi, misalnya :
1.      Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matn, umpamanya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika meneliti matn yang bersangkutan
2.      Karena telah terjadi kesalahan dalam melakukan penelitian
3.      Atau karena matn hadits yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.
3 Kaidah Kesahihan Matn Sebagai Acuan
a)      Unsur-unsur Kaidah Kesahihan Hadits
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matn yang berkualitas sahih ada dua macam, yakni terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari ‘illat (cacat).
Pembagian Kualitas Matn
Untuk hadits dan sanad hadits dikenal adanya pembagian tiga macam kualitas, yakni sahih, hasan, daif. Istilah hasan khususnya untuk matn yang tidak dikenal. Seperti halnya pada sanad, kualitas daif pada matn juga bermacam-macam namum jumlahnya tidak sebanyak yang berlaku pada sanad. Istilah-istilah yang dipakai untuk matn yang daif, ada yang sma dengan yang dipakai pada sanad, misalnya mu’allal, mudraj, dan mubham.
b)      Aplikasi Kaidah Kesahihan Matn
Sebagaimana ulama hadits mengemukakan tanda-tanda tersebut sebagai tolok ukur untuk meneliti apakah suatu hadits berstatus palsu ataukah tidak palsu. Ulama hadits memeng tidak menjelaskan urutan penggunaan butir-butir tolok ukur yang dikemukakan. Hal itu dapat dimengerti karna persoalan yang perlu diteliti pada berbagai matn memang tidak selalu sama. Jadi penggunaan butir-butir tolok ukur sebagai pendekatan penelitian matn disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada matn yang bersangkutan.
Menurut jumhur ulama hadits, tanda-tanda matn hadits yang palsu itu ialah :
1.      Susunan bahasanya rancu
2.      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan akal yang sehat dan sngat sulit diinterpretasikan secara rasional
3.      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran islam
4.      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan sunnatullah
5.      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah
6.      Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk al-quran ataupun hadits mutawatir.
7.      Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran islam.
  Salahud-Din Al-Adlabi menyimpulkan bahwa tolok ukur untuk penelitian matn (ma’ayir naqdil-matn) ada empat macam yakni:
1.      Tidak bertentangan dengan petunjuk al-quran.
2.      Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
3.      Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah.
4.      Dan susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur pokok kaidah kesahihan matn hadits hanya  dua macam saja, tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pemdekatan dengan tolok ukur yang cukup banyak sesuai dengan keadaan matn yang diteliti.
Penelitian Matn Tidak Mudah
            Adakalanya pendekatan dengan tolok ukur tertentu tidak sesuai untuk meneliti matn tertentu, tetapi pendekatan tersebut dapat dipakai dan bahkan harus digunakan untuk meneliti matn tertentu lainnya.
Faktor-faktor penyebab sulitnya penelitian matn ialah
1.      Adanya periwayatan secara makna
2.      Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja
3.      Latar belakang timbulnya hadits tidak selalu mudah dapat diketahui
4.      Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “ supra rasional”
5.      Dan masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadits
Karena beban tanggung jawab penelitian matn termasuk sangat berat, maka wajarlah bila kegiatan penelitian hadits (sanad dan matnnya) dimasukkan kepada salah satu kegiatan ijtihat dengan segala persytratan yang harus dipenuhinya.
B.      Meneliti Susunana Lafal yang Semakna
1)      Terjadinya Perbedaan Lafal
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matn hadits yang semakna ialah karena dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna.
2)      Terjadinya Perbedaan Lafal
o   Metode MUqarranah
Dengan adanya perbedaan lafal pada berbagai matn yang semakna, maka metode muqarranah (perbandingan) menjadi sangat penting untuk dilakukan. Metode muqarranah tidak hanya di tujukan kepada lafal-lafal matn saja, tetapi juga kepada masing-masing sanadnya.
o   Ziyadah, idraj, dan lain-lain
Arti bahasa kata ziyadah adalah “ tambahan”. Menurut istilah ilmu hadits ziyadah pada matan adalah tambahan lafal atau kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matn, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya.
Menurut pengertian bahasa, idraj merupakan masdar dari fiil adraja, artinya : memasukkan atau menghimpunkan. Menurut istilah ilmu hadits idraj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat kedalam suatu matn hadits yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari nabi, karna tidak adanya penjelasan dalam matn hadits itu.
C. MENELITI KANDUNGAN MATN
1.      Menbandingkan Kandungan Matn Yang Sejalan Atau Tidak Bertentangan
Dalam meneliti kandungan matn, perlu diperhatikan matn-matn dan dalil-dalil yang mempunyai topik masalha yang sama. Apabila tenyata ada matn lain yang bertopik sama, maka matn itu perlu itu perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi syarat maka kegiatan muqaranah kandungan matm-matn tersebut dilakukan, dan jika kandungan matn yang diteliti sejalan juga dengan dalil-dalil lain yang kuat, minimal tidak bertentangan , maka dapatlah dinyatakan penelitian telah selesai.
2.      Membandingkan Kandungan Matn Yang Tidak Sejalan atau Tampak Bertentangan
Tidak mungkin hadits Nabi bertentangan dengan hadits Nabi ataupun dalil-dalil Al-Quran, karena apa yang disampaikan oleh Nabi semuanya berasal dari Allah,
Dala menyebutkan kandungan matn hadits yang bertentangan, ulama tidak sependapat. Sebagian ulama menyebutkan denagn istilah mukhtaliful-hadits. Sebagian lagi menyebutkan dengan mukhalafatul-haidts, dan pada umumnya ulama menyebutkan dengan at-ta’arud.
            Berbagia hadits yang bertentangan (at-ta’arud) telah dihimpun oleh para ulama dalam kitab-kitab khusus, dan yang mempelopori adalah Imam asy-Syafi’i yaitu kitabnya ikhtilafil-hadits. Ulama berikutnya yaitu Ibn Qutaibah dengan judul ta’wil Mukhtaliful-hadits. At-tahawi denan judul kitabnya musykilul-Asar dan lain sebagainya. Ulam sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan, sehinnga hilanglah pertentangan itu.
            Cara yang ditempuh oleh Ibn Hazm berbeda dengan cara yang ditempuh oleh asy-Syafi’i yang memberi gambaran bahwa mungkin saja matn-matn hadits yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk global dan yang satunua bersifat rinci, serta khusus dan umum. Syihabut-din Abdul Ahmad bin Idris al-Qarafi menempuk cara at-tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat), dengan cara ini mungkin saja bisa hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadits yang lainya ataupun hadits-hadits yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing. At-tahawani memenpuh cara an-nasikh wal-mansukh, kemudian at-tarjih.
            Kitab yang diperlukan yaitu, kitab-kitab syarah hadis dan Al-Quran. kitab-kitab yang membahas gabibul-hadits, asbab wurudil-hadits, mukhtaliful-hadis, fiqhul-hadis, dan fiqih. Kitab kitab ushul fiqih dan fiqih. Kitab-kitab sejarah nabi khususnya dan sejarah islam pada umumnya. Kitab-kitab ilmu kalam (teologi islam)
D. MENYIMPULKAN HASIL PENELITIAN MATN
1.      Natijah dan Argumen
Langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matn. Karena kualitas matn hanya dikenal dua macan saja yaitu shahih da dhaif maka kesimpulannya yaitu shahih atau dhaif. Saat menyimpulkan harus didasarkan kepada argumen yang jelas, dikemukakan sebelum diajukan natijah atau sesudahnya. Apabila matn yang diteliti ternyata sahih dan sanadnya juga shahih, maka dalam natijah disebutkan hadis tersebut shahih, apabila sanad dan matanya doif maka hadits itu dhoif.
2.      Contoh  meneliti matan hadis yang iandungannya tampak bertentangan dengan matan hadits yang lain
Dalam hadis riwayat Muslim, ad-dailami, dan Ahmad dinyatakan :

عن ابى سعيد الخدري ان رسولالله صلى الله عليه وسلم قال: ولا تكتبوا كتب عنى غيرالقران فليمحه(رواه مسلم والدارمىواحمد)





“(hadis riwayat) dari Abu sa’id al-Khuduri bahwa Rasulullah telah bersabda, janganlah kamu tulis (apa yang bersal) dariku dan barang siapa yang telah menulis dariku selain Al-Quran, maka hendaklah dia menghapusnya”
Hadis ini bertentang dengan HR al-Bukhari dan Abu Daud:
عن ابي هريرة عنالنبي , قال: اكتبوالابي شاه( رؤاه البخاري و مسلم وابو داود )


“(hadis riwayat) dari Abu hurairah, dari Rasullulah, beliau bersabda(kepada para sahabat), tulikanlah (khotbah saya tadi) unti Abu Syah (yang telah minta untuk dituliskan tersebut)”
Dalam upaya menyelesaikan itu, pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani yaitu,
1.      Pengkompromian (al-jam’u), dalam hal ini hadis yang mengandung larangan khusus, karena takut terjadinya kerancuan dalam mencatat A-Quran.
2.      Keizinan berlaku bagi yang melakukan penulisa secar terpisah antara catatan Al-Quran dan catatan hadits nabi.
3.      Penerapan an-nasikh wal-mansukh, yakni hadis yang berisi larangan menulis hadis merupakan kebijakan Nabi yang datangnya lebih dulu, sedang kebijakan yang terakhir berisi keizinan untuk menulis hadis sebab kehawatiran terjadinya kerancuan catatan Al-Quran dan Hadis yang tidak ad lagi.
4.      Larangan berstatus khusus bagi yang tidak kuat hafalannya boleh dicatat.
5.      Menurut al-Bukhari dan lain-lain yang mengandung larangan menulis hadits, yakni HR Abu Sa’id al-Khuduri tersebut berstatus mauquf (disandarkan kepad ashabat, tidak sampai kepada Nabi)’ hal itu menjadikan hadis bersangkutan yang mengandung illat (cacat) dan karenanya tidak dapt diajdikan hujjah,.
Ahmad Muhammad syakir mengatakan bahwa dari kelima pendapat itu, yang kuat adalah yang menetap kan nasikh wal-mansukh, dengan alasan,
1.      Hadits (Abu hurairah kepada Abu syah) yang dikutip terjadi pada waktu fat-hu Makkah, sedang hadits (Abu sa’id) terjadi sebelum fathu Makkah.
2.        Pengakuan Abu Hurairah yang membedakan dirinya dengan abdullah bin Amr adalah soal mencatat hadis, yakni Abu hurairah hanya mengamdalkan hafalan, sedang Abdullah selain hafalan juga menulis. Kata syakir lebih lanjut, mengaku Abu hurairah itu menunjukan bahwa kegiatan menulis yang dilakukan oleh Ibn Amr  itu pada mas setelah Abu Hurairah memeluk islam (3 tahun sebelum Nabi SAW wafat).
Ahmad Muhammad syakir juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa hadis riwayat Abu sa’id al-Khuduri itu mauquf. Menurut penelitian Syakir, hadis tersebut marfu’ dan berkualitas shahih.pendapat Syakir didukung oleh para ulama , misalnya Muhammad as-sabbag.
DR. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (tesis) mengutip pendapat ulama bahwa:
1.      Semua hadis tersebut berkualitas sahih
2.      Tiga pendapat yang benar yaitu,
a.       Larangan berlaku jika penulisan hadis dijadikan satu dengan Al-Quran
b.      Mada masa awal islam dikhawatirkan terganggu untuk menghafal dan mencatatat Al-Quran, sedang untuk menpelajari hadis dapat langsung menyaksikan da mengikuti Rasul.
c.       Tatkala umat islam telah mampu memelihara hafalan dan bacaan Al-Quran, maka larangan penulisan hadis dihapus(mansukh) dan secara umum menulis hadis dibolehkan.
Natijahnya seluruh matan hadis yang dikutip shahih, maka hadits tersebut berkualitas shahih, seluruh sanadnya juga shahih.
3.      Contoh meneliti matn yang sanadnya sahih, tetaplah matn-nya daif
Hadis riwayat Muslim tentang tiga perintan Abu Sufyan:
عن ابي عباس قال: كان المسلمون لا ينظرون الى ابي سفيان ولا يقاعدونه, فقال للنبي: يانبي الله , ثلاث اعطينهن. قال: نعم, قال: عندى احسن العرب واجمله, ام حبيبة ينت ابي سفيان , ازوجكها, قال: نعم. قال :ومعاوية, تجعله كاتبا بين يديك . قال : نعم , قال : وتؤمرنى حتى اقاتل  الكفار , كام كنت اقاتل  المسلمين .قال : نعم.(رؤاه المسلم)










HR Abu ‘Abbas, dia berkata: orang-orang islam tidak mau memandang kearah Abu Sufyan dan tidak mau duduk bersama dengannya. Maka dia (Abu Sufyan) berkata kepad nabi, “oh Nabiyullah, berilah saya (persetujuan tentang) tigs macam hal”, Nabi menjawab, “ ya (saya menyetujunya)” Abu Sufyan berkata, “ saya sebagai orang Arab yang terbaik (berpenampilan fisik) terindah mamiliki (anak wanita yang bernama) Ummu Habibah binti Abu Sufyan: saya ingin mengawinkan anda dengannya, nabi mejawab, “ya, (saya menyetujuinya)”. Abu suyan berkata lagi, “ dan (saya minta agar) Muawiyyah (bin Abi Sufyan) anda jadikan sebagai sekretaris pribadi anda”. Nabi menjawab “ya, (saya menyetujuinya)”. Abu Sufyan berkata lagi, dan (saya minta agar) Anda memerintah saya untuk memerangi orang orang kafir sebagaimana saya (dahulu) telah memerangi orang-orang islam,. Nabi menjawab, “ya, (saya menyetujuinya)”.
                        Kualitas sanad hadits itu, minimal menurut Imam Muslim adalah shahih. Kandungan matn hadisnya oleh sebagian ulama, misalnya Imam an-Nawawi, dinyatakan sebagai nuskil(sulit dipahami). Kemuskilan utama kandunga hadis tersebut menurut sebagian ulama itu berkenaan dengan masalah perkawinan Ummu Habibah binti Abi Sufyan dengan Nabi. Ketika peryataan itu di kemukakan Abu Sufyan telah memeluk islam (tahun ke-8 H), dan perkawina itu tejadi pada (6 atau 7 H), yakni sebelum fat-hu Makkah.
                        Menurut berbagai sumber, Ummu Habibah dikawini oleh Nabi SAW dalam keadaan janda ynag ditinngal mati oleh suaminya dalam keadaan murtad. Lalu Nabi SAW mengirim utusan untuk melamar dan mengawininya (7 H). Pada saat itu Nabi SAW adalah musuh besar Abu Sufyan.dengan uraian sejarah singkat keislaman Ummu Habibah dan perkawinannya dengan Nabi SAW itu, maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu lemah (dhaif).
                        Uraian diatas merupakan salah satu bukti bahwa ada juga hadis riwayat Muslim yang matnnya daif, dan ada juga yanf sanadnya shahih namun matnnya dhaif.
Denan argumen-argumen tersebut dapatlah ditegaskan kembali bahwa kandungan matn hadis Muslim diatas berkualitas dhaif.
4.      Contoh ketiga, HR al-Bukhari dan Muslim yang matnnya dinilai dhaif, tetapi penilaian itu masih perlu dipersoalkan waliditasnya.
HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah menyatakan:
ان رسول الله رسو ل اله صل الله ءليه وسام قل: ينزل ربن تبر ك وتعا لى كل ليلة ا لى ا لسما ء ا لد نيا حين يبقى ثلث اليل ا لا خر يو ل: من ىد عو نىى فا ستحيب له من يس لنى فا عطقه من يستغفر نى فا غفر له (رواه البي ومسلم عن ا بى هر ير ة)


“bahwa Rasulullah bersabda, Tuhan kita(Allah) tabaraka wata’ala setia malam turun kelagit dunia pada saat malam di pertiga akhir: (Allah) berfirman, “brang siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku memberikan: (dan) barang siapa minta ampunan kepad-Ku niscaya Aku mengampuninya”.
                        Kandungan matn hadis diatas dikritik oleh Sayyid Abu bakar dan dinyatakan sebagai hadits palsu, dalam kitabnya al-adwa’ al-Qurabiyyah fi iktisah al-Ahadis al-Isra’iliyyah al-Bukhari minha (artinya agak harfiahnya: “sorotan dengan pendekatan Al-Quran dalam upaya pembersihan hadis-hadis israilah dan upaya membersihan terhadap diri al-Bukhari darinya).
                        Denagn demikian, as-Sayyid Salih mengingkari atau menolak hadis diatas karena pada matn hadis itu diternagkan bahwa Allah “ turun ke langit dunia” kata-kata itu hanya cocok utuk makhluk dan tidak sesuai untuk Allah. Kalau begitu, bagaimana dengan firman-firma Allah dalam AL-Quran yang jelas-jelas menggunakan kata-kata yang hanya cocok untuk makhluk-Nya  saja, misalnya: tangan, dan mata ?, jawabanya mungkin ata itu perlu ditakwil karena kata itu bersifat majas, kalau jawabanya seperti itu, maka apa salahnya dalam pemahami lafal matn juga digunakan takwil ?, dan apakah mentakwil matn hadis dalam agam islam dilarang ?.
                        Dengan menempatkan matn hadis tersebut pada pernyataanyang perli dilakukan takwil, maka al-Baidawi menyatakan bahwa yang dimaksud oleh kadungan matn hadis tersebut adalah rahmat Allah unruk manusia. Kalau begitu apakah di luar akhir malam rahmat Allah tidak turun melimpah pada manusia? Rahmat Allah memang tidak terikat oleh waktu, namun ada waktu-waktu ter tentu yang Allah memberikan keistimawaan, misalnya sebagaimana yang dikrmukakan oleh Al-Quran: surah al-isra’(17), surat Qaaf (50), al-insan(76). Manun yang menolak yaitu orang dari kalangan muktazilah dan khawarij.
                        Dalam ilmu hadis,matn seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di atas termasuk hadis at-tagrib­, yakni hadis yang berisi dorongan agar umat islam berusaha meningkatkan amal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas matn hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim tersebut berkualitas shahih.




No comments:

Post a Comment