Saturday, March 12, 2016

makalah sholat jumat

A.    PENDAHULUAN
Setiap agama di muka bumi ini pasti memiliki hari yang istemewa. Hari yang di anggap suci, hari yang sangat di agungkan. Bermacam-macam ekspresi yang di tunjukkan oleh para pemeluknya, ada yang beranggapan bahwa semua hari itu sama saja, tidak ada yang istemewa, tidak ada yang perlu di agungkan. Mereka lalui hari ini biasa-biasa saja. Ada pula yang menyakini bahwa hari-hari ini ada yang istemewa, ada hari yang di anggap suci sehingga perlu ada upaya khusus untuk menghormati dan mengagungkannya.[1]
Shalat adalah bukti penghambatan seseorang kepada Allah Swt. Dan merupakan sebuah ritual yang mempunyai fungsi untuk membangkitkan keimanan seseorang. Namun, perlu diketahui bahwa menegakkan shalat bukanlah amalan ibadah yang mudah kecuali bagi orang-orang yang memang benar-benar mempunyai rasa keimanan yang dalam kepada Allah Swt dan di hari akhir. Dengan shalat, dosa dan kesalahan-kesalahan dapat terhapus karena shalat merupakan ritual pembaharuan ikatan dan perjanjian dengan Allah.
Perintah shalat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah Swt. Yang akan senantiasa dan akan selalu terjaga dan selalu ditegakkan sampai akhir zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, terkadang kita menjalankan shalat sekedar menjalankan perintah tanpa berupaya mencari jawaban yang jelas mengapa manusia diperintahkan shalat.
Dalam kehidupan umat islam, dalam satu minggu terdapat satu hari dimana orang islam laki-laki diwajibkan untuk menjalankan shalat berjama’ah di masjid yaitu pada hari jum’at. Oleh sebab itu, penyusun mencoba memaparkan masalah tentang shalat jum’at.
Apabila kita perhatikan perilaku kaum muslimin pada hari jum’at, maka masih banyak kalangan umat islam yang masih belum tahu banyak tentang keistemewaan dan kemuliaan hari jum’at. Sehingga kurang tampak pada mereka upaya untuk memuliakannya. Jarang sekali kegiatan yang menonjol baik secara pribadi maupun bersama-sama untuk mensucikannya. Kalaupun ada, jumlah mereka sangat minim sekali di bandingkan dengan kuantitas kaum muslimin. Bahkan justru acap kali terlihat bersikap cuek dan mengacuhkan.[2]



B.     MATAN HADIS, KOSA KATA, DAN TERJEMAHNYA
B.1. MATAN HADIS
وَعَنْ جَا بِرِ بْنِ سَمُرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ فِى الْخُطْبَةِ يَقْرَأُ ايَا تِ مِنَ الْقٌرْآنِ يُذَكِّرُ النَّاسَ ( رواه ابو داود واصله فى مسلم)
وَعَنْ طَا رِقِ بْنِ شِهَا بٍ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى ا لله عليه وسلم قَا ل : الجُمْعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلى كُلِّ مُسلمٍ فِى جَمَا عَةٍ الاّ اَرْبَعَةً مَمْلُوكٌ وَامْراةٌ وصَبِيٌّق وَمَرِيضٌ روه ابو     داود وقال : لَمْ يَسْمَعُ طَا رِقٌ مِنَ النّبيّ صلى الله عليه وسلم وَاخْرَجَهُ  الحَكِمُ مِنْ رِوَايَةٍ طَا رِقٍ المُذْكُورِ عَنْ اَبِى مُوسى.

وَعَنِ الْحَكَمِ بْنِ حَزْنِ شَهِدْنَا الْججُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَامَ مُتَوَكِّئاً عَلَى عَصًا اَوْ قَوَسٍ (رواه ابو داود)

B.2. KOSA KATA
Khutbahحطبه :
Membaca ayat-ayat al-Qur’anيقراء ايات من قران :
Memberi peringatanيذكّىر :
Manusiaالناس :
Mendatangiشهىدنا :
Berdiriفقا م  :
Bayanganمتو كّئا :
Tongkatعصا :
Busur panahقو س :

B.3.TERJEMAHNYA
1.      Dari Jabir Ibnu Samurah bahwa Nabi SAW pada saat khutbah membaca ayat-ayat Qur’an untuk memberi peringatan kepada orang-orang. Riwayat Abu Dawud dan asalnya dalam riwayat Muslim.
2.      Hakam Ibnu Hazn Radliyallahu ‘anhu berkata: “Kami mengalami shalat jum’at bersama Nabi SAW, beliau berdiri dengan memegang tongkat atau busur panah”. Riwayat Abu Dawud.[3]
C.    MAKNA GLOBAL HADIS
1.      Pada saat Nabi SAW khutbah membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk memberi peringatan kepada orang-orang. Dalam hal ini pastilah ada keutamaan-keutamaan dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim adalah pedoman hidup umat manusia, walaupun yang mengambil manfaat hanyalah orang-orang yang bertaqwa. Begitu banyak hikmah dari memperbanyak membaca al-Qur’an.
Pertama, mendapatkan pahala yang sangat banyak, dimana satu huruf diberi balasan dengan sepuluh kebajikan, serta tahu bahwa seluruh al-Qur’an, menurut sebuah literatur berjumlah 325.015 huruf, yang berarti satu kali khatam al-Qur’an mendapatkan nilai pahala kebajikan kelipatan sepuluh, yakni 3.250.150.
Tentu untuk meraihnya, kita harus berusaha memperbanyak membaca al-Qur’an, baik sebulan sekali, dua bulan sekali, bahkan tiga bulan sekali. Bahkan banyak diantara ulama’ al-Qur’an yang mampu mengkhatamkan al-Qur’an setiap seminggu sekali.
Kedua, Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang selalu membaca al-qur’an, mempelajari isi kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, mendapatkan ketenangan jiwa atau hati yang sangat luar biasa, dimana setiap ayat al-Qur’an yang di bacanya akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman bagi para pembacanya.
Keempat, mendapatkan syafa’at pada hari kiamat. Maka perbanyaklah membaca al-Qur’an, ketika nafas masih menyertai kita dan denyut jantung masih bergerak, karena bacaan al-Qur’an akan menjadi syafa’at atau penolong bagi para pembacanya di hari kiamat nanti, dikala manusia banyak yang sengsara dan mendidik.
Kelima, akan terbebas dari aduan Rasulullah SAW pada hari kiamat nanti, dimana ada beberapa manusia yang di adukan Rasulullah SAW pada hari kiamat dihadapan Allah SWT. Jadi, perbanyaklah membaca al-Qur’an, luang waktu sisa-sisa kehidupan yang Allah berikan untuk memperdalam ajarannya. Jangan disia-siakan karena al-Qur’an akan mengantarkan kemudahan kita ketika menghadap Allah SWT (sakaratul maut).
2.      Dari Hakam bin Hazn Raidhiallahu ‘anhu, katanya: kami melihat Rasulullah SAW pada hari jum’at, beliau berdiri (khutbah) memegang tongkat atau busur panah, lalu dia memuji Allah dengan berbagai kaliat yang ringan, baik, dan penuh berkah.
Hikmahnya adalah bahwa hal itu bisa memantapkan hati dan menjauhkan tangan dari gerakan, jika tidak ada yang bisa dijadikan sandaranaka hendaknya dia melepaskan tangannya, atau meletakkan yang kanan di atas yang kiri, atau meletakkannya di sisi mimbar.
Bersandarnya khatib diatas sesuatu pada tangannya, merupakan di antara fenomena yang biasa terjadi pada orang-orang arab, baik sebelum dan sesudah zaman islam.
Bersandarnya seorang khatib diatas tongkat tidak diragukan lagi itu adalah perbuatan mengikuti Rasulullah SAW, mengukir saja seorang khatib bersandar kepada mimbar, karena jika ukuran tinggi mimbarnya sama akan meninggikan tongkat, hal ini sudah mencapai maksudnya, tidak jika keadaan mimbar tidak memungkinkan untuk bersandar kepadanya, maka hendaknya khatib bersandar kepada tongkat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan mengikuti Nabi SAW terdapat kebaikan dan keberkahan di dalamnya.
Adapun bersandar dengan busur panah (pedang), semua ini sama halnya dengan tongkat yang apabila menggunakannya maka tujuan bersandar tersebut telah terpenuhi dengannya, perkataan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. Melakukan hal ini karena adanya kebutuhan sama sekali tidak alasan yang menunjukkan hal itu, dan alat busur panah – sebagaimana diketahui tidaklah lurus, tetapi dia sama dengan pedang bentuknya melengkung (bengkok)
Di syari’atkannya bersandar pada busur panah atau tongkat ketika dalam keadaan khutbah, disebutkan bahwa hikmahnya adalah agar dia sibuk dari mempermainkan tangan, juga di sebutkan bahwa hal itu lebih menahankan tangan dari gerakan-gerakan.
Demikian, sebagian kecil saja pandangan dari para ulama tentang kesunahan bersandar kepada tongkat ketika khutbah, dan kesunahannya merupakan pendapat mayoritas fuqoha. Tetapi, tidak menggunakan juga tidak apa-apa, khatib bisa bersandar atau memegang mimbar, yang dengan itu maksud dari memegang tongkat sudah terpenuhi, yaitu agar tangan khatib tenang, tidak kekanan kekiri, dan nampak lebih berwibawa.[4]
D.    PEMBAHASAN
D.1.TEORI
1.      Transaksi Pada Saat dan Setelah Adzan Jum’at
Orang-orang yang berkewajiban melaksanakan shalat jum’at itu harus segera berangkat menuju tempat dilaksanakannya shalat jum’at itu setelah adzan di dekat al-khatib di kumandangkan.
Menurut ulama hanafiyah menyibukkan diri (tidak segera berangkat) untuk menunaikan shalat jum’at itu hukumnya makruh tahrim, sementara menurut ulama lainnya haram hukumnya. Kesibukan itu bermacam-macam, seperti melakukan transaksi sewa menyewa, nikah atau melakukan perjanjian yang lain. Jumhur ulama menyatakan bahwa larangan itu berlaku setelah adzan kedua di kumandangkan, yakni adzan di depan al-khatib shalat jum’at.[5]
2.      Rukun Dua Khutbah Jum’at
Sebuah ibadah dikatakan sah apabila telah dipenuhi rukun dan syaratnya. Oleh karena itu supaya khutbah yang disampaikan dalam pelaksanaan shalat jum’at menjadi sah maka kita harus mengetahui rukun khutbah. Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan para madzhab. Berikut di bawah ini pendapat-pendapat masing-masing madzhab:
Imam hanafi; mereka berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu rukun, yaitu harus berupa bacaan dzikir mencakup yang sedikit dan yang banyak. Maka untuk memenuhi ketentuan khutbah yang di fardhukan cukup dengan sekali tahmid, sekali tasbih dan sekali tahlil.
Imam syafi’i; mereka berpendapat bahwa rukun khutbah itu ada 5 yakni:
1.      Memuji Allah, dengan bacaan pujian yang mencakup lafadz jalalah.
2.      Membaca shalawat atas Nabi SAW pada masing-masing dari kedua khutbah.
3.      Berpesan agar supaya bertaqwa kepada Allah dalam masing-masing dari kedua khutbah.
4.      Membaca satu ayat dari al-Qur’an dalam salah satu dari kedua khutbah.
5.      Berdo’a untuk orang-orang mukmin dan mukminat, khususnya dalam khutbah kedua.
Imam maliki; mereka berpendapat bahwa khutbah itu mempunyai satu rukun, yaitu hendaknya khutbah itu mencakup kabar gembira dan kabar menakutkan, dan dalam kedua khutbah itu tidak di isyaratkan menggunakan kalimat bersajak. Jika ia berkhutbah dengan menggunakan kalimat-kalimat puitis atau prosa, maka yang demikian sah, dan disunnahkan mengulangi khutbahnya bila tidak membaca shalawat.
Imam hambali; mereka berpendapat bahwa rukun dua khutbah itu ada 4 yakni:
1.      Memuji Allah pada awal dari masing-masing kedua khutbah dengan lafadz “Alhamdulillah”.
2.      Membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan harus dengan menggunakan lafadz shalawat.
3.      Membaca satu ayat al-Qur’an dan ayat tersebut harus utuh dalam makna dan hukumnya.
4.      Berwasiat (berpesan) agar bertaqwa kepada Allah SWT sedikitnya dengan mengucapkan ittaqullaha.

3.      Hukum Shalat Qalbiyah Jum’at
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan fuqoha. Berikut dibawah ini pendapat masing-masing para madzhab:
Tiga madzhab (imam hanafi, imam maliki, imam hambali) menyatakan bahwa shalat qalbiyah jum’at itu tidak ada dasar persyari’atannya. Sedangkan satu madzhab lagi yaitu imam syafi’i menyatakan sebaliknya. Inti perbedaan pendapat mereka terletak pada hadis-hadis yang meriwayatkan praktek shalat qalbiyah jum’at itu. Dimana mereka yang menafikannya mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadis tentang itu yang shahih. Yang ada hanyalah hadis-hadis lemah saja.
Namun, imam syafi’i memang tidak melandaskan pendapatnya para hadis yang lemah sebagaimana dituduhkan. Beliau mengambil jalan qiyas, yaitu mengqiyaskan shalat jum’at dengan shalat dhuhur disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah sebelumnya, maka demikian juga dengan shalat jum’at, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah sebelumnya.
4.      Jumlah Jama’ah Shalat Jum’at Yang Sah
Para imam madzhab sepakat bahwa shalat jum’at itu tidak sah kecuali dilaksanakan dengan berjama’ah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang jumlah jama’ah yang sah untuk shalat jum’at.
Berikut pandangan dari madzhab-madzhab tersebut:
Imam maliki; mereka berpendapat bahwa batas minimal jumlah jama’ah yang sah untuk shalat jum’at adalah du belas orang laki-laki selain imam.
Imam hanafi; mereka berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat jum’at di isyaratkan ada tiga orang selain imam, sekalipun mereka tidak menghadiri khutbah jum’at.
Imam syafi’i dan imam hambali; mereka berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat jum’at jumlahnya empat puluh orang beserta imamnya. Maka shalat jum’at itu tidak sah dengan jumlah jama’ah kurang dari itu.[6]
5.      Berpergian Pada Hari Jum’at
Tentang berangkat berpergian setelah fajar pada hari jum’at para fuqoha berbeda pandangan menjadi dua, yaitu:
Hanafiyah dan malikiyah membolehkan, sedang syafi’iyah dan hanabilah melarangnya jika di khawatirkan tidak dapat melakukan shalat jum’at di perjalanannya.
Mereka sepakat melarang berpergian setelah waktu zhuhur tiba, yakni setelah matahari condong ke arah barat dan belum melakukan shalat jum’at. Rincian pendapat itu dapat di baca di bawah ini:
Hanafiyah berpendapat; di perbolehkan berpergian pada hari jum’at bagi seseorang yang telah keluar dari perbatasan daerahnya sebelum masuk waktu zhuhur. Pendapat yang shahih menyatakan bahwa berpergian pada hari jum’at setelah zawal dan sebelum melakukan shalat jum’at itu makruh dan tidak makruh sebelum zawal.
Malikiyah berpendapat; berpergian hari jum’at sebelum zawal itu boleh tapi makruh bagi siapa saja yang tidak dapat melakukan shalat jum’at di perjalanannya. Sedang berpergian setelah zawal haram hukumnya. Dasar yang di pakai adalah pernyataan sahabat Umar RA: “jum’at itu tidak menghalangi berpergian”.
Syafi’iyah dan hanabilah berpendapat; berpergian pada hari jum’at bagi orang yang melakukan shalat jum’at itu hukumnya haram, baik sebelum atau setelah zawal, kecuali ia dapat melakukan shalat jum’at itu di perjalanannya, takut tertinggal rombongan atau perjalanannya wajib seperti ibadah haji.
6.      Kapan Ketertinggalan Shalat Jum’at Susulan Tetap Diperboleh
Ada dua pendapat tentang seseorang yang hanya mendapatkan sebagian dari shalatnya bersama imam.
Hanafiyah berpendapat: siapa saja yang mendapati imam pada hari shalat jum’at di sebagian shalatnya, maka ia cukup menyusuli kekurangan shalatnya, ia sempurnakan shalat jum’at itu dan berarti ia dapatkan shalat jum’at itu. Sampai-sampai jika ia hanya mendapatkan imam ketika melakukuan tashahud atau bahkan sujud sahwi.
Jumhur berpendapat; seseorang yang mendapati rakaat kedua bersama imam dalam shalat jum’at berarti ia mendapati shalat jum’at secara sempurna. Jika ia dapati imam kurang dari itu, maka ia harus menyempurnakan shalatnya menjadi shalat zhuhur (empat rakaat). Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW “siapa saja yang mendapat satu rakaat dari shalat jum’at (bersama imam), maka cukup baginya shalat satu rakaat lagi.
7.      Shalat Zhuhur di Rumah pada Hari Jum’at tanpa Udzur
Hanafiyah berpendapat; siapa saja yang berkewajiban shalat jum’at, melakukan shalat zhuhur di rumah pada hari jum’at sebelum shalat imam selesai, maka haram hukumnya.
Jumhur berpendapat; menurut ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah, shalat zhuhur di rumah sebelum imam shalat jum’at selesai (salam dari shalatnya). Ia wajib berangkat melakukan shalat jum’at jika diperkirakan dapat memperoleh shalat jum’at itu. Dan jika diperkirakan tidak dapat memperoleh shalat jum’at, maka ia tunggu sampai kepastian bahwa shalat imam telah selesai. Kemudian ia lakukan shalat zhuhur.
8.      Jamak Taqdim Shalat Jum’at dan Shalat Ashar
Menjawab masalah ini, kita harus memahami dulu apakah shalat jum’at itu merupakan shalat yang berdiri sendiri atau shalat zhuhur yang di qasar. Persoalan ini nampaknya sama kuatnya. Mari kita coba urai satu demi satu.
Shalat jum’at itu shalat yang berdiri sendiri, dengan alasan: bahwa yang wajib melakukan tidak semua orang; ada syarat tersendiri, yakni khutbah, pelaksanaannya juga harus berjama’ah dan tempatnya tidak sembarang.
Shalat jum’at itu shalat zhuhur yang di qasar, dengan alasan bahwa orang yang sudah melakukan shalat jum’at tidak usah melakukan shalat zhuhur; serta rakaatnya hanya dua.
Oleh karenanya, jika seseorang melakukan shalat jum’at secara jamak taqdim dengan shalat asar, maka jawabannya akan mengacu pada alasan masing-masing. Artinya jika mengikuti pandangan bahwa shalat jum’at itu merupakan shalat shalat yang berdiri sendiri, maka hukum jamak tersebut tidak sah karena tidak pernah ada keterangan jamak shalat jum’at dengan shalat ashar.
Namun, jika kita mengikuti pandangan yang menyatakan bahwa shalat jum’at itu zhuhur yang di qasar, maka menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar hukumnya boleh.
Imam al-‘Alaiy berpendapat bahwa menurut pendapat yang paling shahih kasus di atas adalah boleh menjamak shalat jum’at dengan shalat ashar.[7]

D.2. SOAL DIMENSI FIQIH
Fokus bahasan sub bab ini akan di pilih masalah-masalah yang sangat sering menjadi pertanyaan di masyarakat dan menjadi bahasan hangat di kalangan mahasiswa pada umumnya.
Nama jum’at ini diberikan pada hari tertentu, karena berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut, dan karena banyaknya kebajikan yang berpahala besar. Ada keterangan lain yang menyatakan bahwa di hari jum’at itulah Nabi Adam dicipta oleh Allah SWT, atau pada hari itu pertemuan pertama kali antara Nabi Adam dan Hawa, istrinya di muka bumi. Di zaman jahiliyah hari jum’at ini di sebut  “Al-‘Urubah”atau “Al-Rahmah”.[8]
Orang yang pertama-tama memproklamasikan hari jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ai. Dia orang yang pertama-tama mengumpulkan manusia dikota mekkah memberikan kabar gembira kepada mereka tentang akan datangnya utusan Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW, serta menyerukan kepada mereka untuk mengikutinya.
Hari yang ke enam dinamakan hari jum’at, arti dari kata jum’at itu berkumpul. Hal ini di maksudkan agar supaya kaum muslimin pada hari itu berkumpul untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Bersama-sama secara berjama’ah mendirikan shalat jum’at.
Jadi nama hari jum’at itu ada tiga macam. Pada zaman jahiliyah disebut ‘Arubah. Setelah kedatangan islam namanya berubah menjadi Jum’at. Sedang para malaikat menyebutnya “Yaumul Maziid”.[9]
Shalat jum’at ialah shalat ibadah shalat yang dikerjakan dihari jum’at dua rakaat secara berjama’ah dan dilaksanakan setelah khutbah. Orang yang telah mengarjakan shalat jum’at, tidak diwajibkan mengerjakan shalat dhuhur lagi.
Hukumnya shalat jum’at adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf, laki-laki, merdeka, sehat, dan bukan musafir serta dikerjakan secara berjama’ah.[10]
Syarat-syarat wajib shalat jum’at adalah syarat-syarat yang di wajibkan untuk melaksanakan shalat jum’at. Syarat-syarat wajib shalat jum’at ada 7 macam:
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki-laki
6.      Sehat
7.      Mukimin[11]
Klasifikasi manusia dalam shalat jum’at:
1.      Orang yang wajib, sah dan mengesahkan shalat jum’at, seperti shalat jum’at orang yang memenuhi syarat di atas.
2.      Orang yang wajib dan sah shalat jum’atnya, tapi tidak dapat mengesahkan shalat jum’at, seperti orang mukim (tidak berpergian) tapi bukan mustauthin (penduduk asli atau orang yang berdomisili di daerah lain yang mendengar adzan di daerah yang didirikan shalat jum’at.
3.      Orang yang wajib jum’atan, tapi jum’atannya tidak sah dan tidak mengesahkan, seperti orang murtad.
4.      Orang tidak wajib, tidak sah, dan tidak mengesahkan shalat jum’at. Seperti orang kafir, anak-anak yang belum tamyiz, orang gila, dan orang mabuk yang bukan karena kecerobohannya.
5.      Orang yang tidak wajib dan tidak mengesahkan shalat jum’at tapi shalat jum’atnya di hukumi sah (menggugurkan kewajiban shalat zhuhur) seperti wanita, waria, musafir, budak.
6.      Orang yang tidak wajib shalat jum’at, tapi shalat jum’atnya sah dan mengesahkan, seperti shalat jum’atnya orang sakit, orang yang udzur, dengan udzur yang menyebabkan dia mendapat Rukhshah (keringanan).
Syarat-syarat mendirikan shalat jum’at:
1.      Shalat jum’at di adakan di pemukiman
2.      Mencapai jumlah bilangan 40 orang
3.      Di kerjakan pada waktu zhuhur
Ada empat golongan yang tidak dikenakan kewajiban melakukan shalat jum’at yaitu:
1.      Hamba sahaya
2.      Perempuan
3.      Anak-anak
4.      Orang sakit
Selain itu, hal-hal yang merupakan uzur jama’ah, juga di pandang sebagai uzur dalam melaksanakan shalat jum’at. Orang tua bangka dan orang lumpuh, tetap wajib melaksanakan shalat jum’at jika mereka mendapatkan pengangkutan, walaupun dengan menyewa atau meminjam. Begitu juga dengan orang buta juga tetap wajib melakukan shalat jum’at bila ia dapat berjalan sendiri tanpa kesulitan atau ada orang yang menuntunnya, sekalipun dengan upah. Dan bagi orang yang mampu mengerjakannya kemudian ia tinggalkan maka akan di cap sebagai orang yang munafik.[12]
Didalam shalat jum’at fardhunya ada 3 perkara:
1.      Harus ada dua khotbah, di antara dua khotbah itu harus duduk.
2.      Harus dua rakaat.
3.      Harus berjama’ah.
Bilamana seseorang akan pergi shalat jum’at, maka disunnahkan mandi (keramas) dan memakai pakaian yang bersih dan boleh pakai wangi-wangian jika tidak berpuasa.
Bagi orang yang shalat jum’at sunnahnya harus mendengarkan imam berkhotbah. Dan bilamana seseorang memasuki masjid ketika imam sedang berkhotbah, maka shalat sunnahnya dipercepat, lalu duduk mendengarkan khotbah.
Bilamana seseorang akan shalat jum’at, datangnya terlambat, sampai imam sudah mendapatkan satu rakaat, maka ia boleh menyusulnya, dan setelah imam mengucap salam, maka ia harus menambah shalatnya dengan satu rakaat lagi.
Bila seseorang akan shalat jum’at datangnya terlambat sampai imam sudah sujud terakhir (pada rakaat kedua), maka dapat pula ia menyusulnya, tetapi setelah imam selesai shalat, maka ia harus berdiri untuk memulai shalat dhuhur yaitu berjumlah empat rakaat, tanpa niat shalat dhuhur.[13]
Adapun rukun-rukun khutbah shalat jum’at sebagai berikut:
1.      Memuji Allah pada tiap-tiap permulaan dua khutbah, sekurang-kurangnya membaca hamdalah.
2.      Mengucapkan shalawat atas Rasulullah SAW dalam kedua khutbah itu, sekurang-kurangnya wassholaatu ‘alaar rosuul.
3.      Membaca dua kalimat syahadat.
4.      Berwasiat dengan taqwallah, yakni menganjurkan agar taqwa kepada Allah pada tiap-tiap khutbah, sekurang-kurangnya iittaqullaha.
5.      Membaca ayat al-Qur’an dalam seayat disalah satu kedua khutbah itu dan lebih utama didalam khutbah yang pertama.
6.      Memohonkan ampunan bagi kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat.[14]
Sebelumnya, perlu dibedakan antara shalat sunnah khusus dengan shalat sunnah mutlak. Shalat sunnah khusus adalah shalat sunnah yang dibatasi oleh jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu. Misalnya, shalat sunnah rawatib sebelum dzuhur. Adapun shalat sunnah mutlak adalah sebaliknya, tidak terikat dengan jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu.
Dalam khutbah jum’at, shalat jum’at adalah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang diucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian para hadirin, menurut rukun dasar shalat jum’at.
Khutbah jum’at terbagi menjadi dua yang antaranya keduanya diadakan waktu istirahat yang pendek dan khutbah ini dilakukan sebelum shalat.
Dalam shalat jum’at yang diwajibkan atas orang-orang muslim laki-laki, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam syarat-syarat shalat jum’at, yakni diadakan di lingkungan bangunan tempat tinggal tetap(wathan), dilakukan dengan berjama’ah tidak boleh kurang dari 40 orang, dilakukan pada waktu dzuhur, dan dua khutbah sebelum shalat.[15]
Syarat-syarat khotbah:
1.      Orang laki-laki
2.      Khotib hendaknya mengeraskan suara
3.      Berkesinambungan antara rukun-rukun khotbah, di antara dua khotbah
4.      Menutup aurat
5.      Suci badan, pakaian, dan tempat
6.      Suci dari dua hadas
7.      Berdiri pada dua khotbah
8.      Duduk di antara dua khotbah
9.      Dilakukan waktu zhuhur
Di syaratkan untuk menjadi khotib, paling tidak antara lain:
1.      Orang yang benar-benar mengetahui aqidah yang benar, supaya tidak menyesatkan para pendengar. Mengetahui hukum-hukum furu’ supaya tidak merusakkan ibadah.
2.      Orang yang kuat kemauannya mempelajari rahasia-rahasia agama dan syari’at.
3.      Orang yang fasih lidahnya dan sanggup menta’birkan segala kandungan isi hatinya.
4.      Orang yang di pandang terhormat, di hormati, dan di segani.
5.      Orang yang saleh, taqwa, bersih budi pekertinya, tidak mengerjakan kemaksiatan, dan tidak mengerjakan apa yang menyalahi perkataannya.[16]
Adab-adab mendirikan shalat jum’at:
1.      Persiapan menyambut kedatangan hari jum’at (isti’dat)
2.      Mandi
3.      Berhias
4.      Bersegera datang ke masjid
5.      Keluar dari rumah menuju ke masjid
a.       Berdo’a ketika keluar dari rumah menuju masjid
b.      Berjalan ke masjid dengan tenang dan khusyu’
6.      Berdo’a ketika masuk dan keluar masjid
7.      Pergi dan pulang dari masjid
8.      Berada di dalam masjid
a.       Anjuran Nabi Muhammad SAW. Ketika berada di dalam masjid
b.      Larangan-larangan ketika berada di dalam masjid.[17]
Kriteria makmum dalam shalat jum’at:
Pertama, orang yang menghadirinya dan bercakap-cakap. Maka hanya sekedar bercakap-cakap itulah bagiannya dari jum’at.
Kedua, orang yang menghadirinya dan ia berdo’a kepada Allah Swt. Maka terserah kepada Allah Swt. Apakah berkenan mengabulkannya atau tidak.
Ketiga, orang yang menghadirinya dengan diam dan mendengarkan (memperhatikan isi khotbah) serta tidak melangkahi pundak muslim, tidak pula mengganggu orang lain, maka shalatnya itu menjadi penebus dosanya sampai jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari lagi.[18]
Keistemewaan hari jum’at:
Imam al-Suyuthi sebagaimana di kutip oleh wahbah menjelaskan banyak keistemewaan hari jum’at, yang di antaranya, yakni:
1.      Pada hari itu Arwah berkumpul
2.      Pada hari itu banyak qubur di ziarahi
3.      Pada hari itu mayat tidak disiksa
4.      Pada hari itu jahannam tidak menyala
5.      Siapa saja yang meninggal dunia pada hari itu atau malam harinya, di selamatkan dari siksa kubur
6.      Pada hari itu penduduk surga berkunjung kepada Tuhannya.[19]










E.     PENUTUP
Dari hasil kesimpulan pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa shalat jum’at adalah ibadah shalat yang dikerjakan dihari jum’at dua rakaat secara berjama’ah dan dilaksanakan setelah khutbah. Shalat jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim laki-laki atau pria dewasa beragama islam, merdeka sudah mukallaf, sehat badan serta muqaim (bukan dalam keadaan mussafir) dan menetap didalam negeri atau tempat tertentu dan shalat jum’at juga memiliki syarat-syarat wajib dan syarat sahnya yang harus dilaksanakan, supaya shalat jum’atnya menjadi sempurna.
Perbedaan pendapat dikalangan fuqoha ini merupakan sebuah bukti konkret yang lahir dari semangat perbedaan dalam satu kesatuan (islam). Pendapat yang berbeda tersebut tentunya menuntut kesiapan kita untuk bersikap terbuka dan arif dalam memandang serta memahami arti perbedaan termasuk diantaranya adalah pandangan mereka terhadap berbagai masalah hukum sekitar shalat jum’at. Hingga sampai pada suatu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan, selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan islam adalah satu dalam keragaman.















F.     DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, M.Sya’roni, Al Faraid Saniyah Wa al-Darara al-Bahiyah, Madrasah Qudsiyah, Kudus, 1401 M.
Ali, Muhammad, Tuntunan Shalat Jum’at, Jakarta, UP.Firdaus, tth.
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Baijuri ‘ala Syarah al-Alamah Ibnu Qasim al-Ghazi,(Bairut; Dar al Fikr)
Al-Bukhari, Juwahiru, Wa Syarah al-Qithlani, (Mesir; Maktabah al-Tijariyah al-Kubra), 1381 M.
Al-Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Bairut; Dar al Fikr)
Anam, Misbah, Fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatu al-Ahkam, Jilid I, Pekalongan, Jamurah, tth.
Dimyati, Ishomuddin, Keagungan Hari Jum’at, Surabaya, Khalista, 2006
Rifa’i, Muhammad, Fiqih Islam Lengkap, Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1978
Rosyid, Ibnu, Bidjatul Mudjatahid, Jilid III, Jakarta, Bulan Bintang, 1969





[1]Ishomuddin Dimyati, 2006.Keagungan Hari Jum’at, khalista,Surabaya, hlm.1.
[2]Ibid., hlm.3.
[3]Misbah Anam, tth.Fi Tarjamah Bulughul Maram Min Adillatu al-Ahkam, Jilid I, Jamurah, Pekalongan, hlm.345.

[4]M.Sya’roni Ahmadi, Al Faraid Saniyah wa al-Darara al-Bahiyah, Madrasah Qudsiyah, kudus, tth, hlm.25.
[5] Wahbah Al-Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Bairut; Dar al Fikr), hlm.263.
[6]Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah al Baijuri ‘ala Syarah al-‘Amalah Ibnu Qasim al Ghazi, (Bairut; Dar al Fikr), hlm.317.
[7]Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., hlm.311.
[8] Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., hlm.260.
[9]Ishomuddin Dimyati, Op.Cit., hlm.8.
[10]Muhammad Ali, tth. Tuntunan Shalat Jum’at, UP.Firdaus, Jakarta, hlm.24.
[11]Ishomuddin Dimyati, Op.Cit., hlm.102.
[12] Ishomuddin Dimyati, Op.Cit., hlm.204.
[13] Muhammad Ali, Loc.Cit.
[14] Ibnu Rosyid, 1969.  Bidjatul Mudjatahid, Jilid III, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.186.
[15] Muhammad Rifa’i, 1978. Fiqih Islam Lengkap, PT. Karya Toha Putra, Semarang, hlm.185.
[16] Ishomuddin Dimyati, Op.Cit., hlm.107.
[17]Juwahiru Al-Bukhari, Wa Syarah al Qithlani, (Mesir; Maktabah al-Tijariyah al Kubra), hlm.136.
[18] Ishomuddin Dimyati, Op.Cit., hlm.113.
[19] Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., hlm.349. 

No comments:

Post a Comment