Sunday, March 6, 2016

makalah manajemen bki multikultular

MANAJEMEN DIRI:UPAYA MEMBANGUN KARAKTER (CHARACTER BUILDING)
A.      PENDAHULUAN
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Ar-Ra’ad [13]:11).
Sejatinya seorang muslim ibarat pohon yang berakar kuat menghujam bumi, batangnya kokoh, dahannya menjulang ke langit, dan buahnya banyak serta berkualitas baik. Ketiganya saling terkait. Akar yang kuat, menopang batang yang kokoh sehingga dahannya bisa panjang dan menjulang kemudian ketika berbuah pohonnya tetap kokoh, tidak roboh meskipun digantungi buah yang banyak. Buahnya pun manis-manis, berkualitas baik. Inilah gambaran muslim yang sukses, ketika dia menghasilkan buah yang berkualitas baik, dalam jumlah yang banyak pula. Dalam bahasa rasulullah Muhammad SAW disebut sebagai orang yang terbaik, yaitu yang paling bermanfaat bagi orang lain.

B.       RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas munculah beberapa permasalah yang mungkin perlu adanya pembahasan lebih mendalam lagi., diantaranya adalah sebagai berikut :
1.         Apa yang dimaksud dengan managemen?
2.         Apa yang dimaksud dengan managemen diri?
3.         Apa yang dimaksud dengan karakter?



C.      PEMBAHASAN
1.    Managemen
Di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian umum tentang manajemen yang disampaikan oleh beberapa ahli. Dari Kathryn . M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa : “Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.
Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa:
“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.
Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut:
Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu :
a)         Planning (perencanaan)
b)        Organizing (pengorganisasian)
c)         Actuating (pelaksanaan) dan
d)        Controlling (pengawasan)
Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi :
a)         Planning (perencanaan)
b)        Organizing (pengorganisasian)
c)         Commanding (pengaturan)
d)        Coordinating (pengkoordinasian)
e)         Controlling (pengawasan)
Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen, mencakup :
a)         Planning (perencanaan)
b)        Organizing (pengorganisasian)
c)         Staffing (penentuan staf)
d)        Directing (pengarahan)
e)         Controlling (pengawasan)
L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu :
a)         Planning (perencanaan)
b)        Organizing (pengorganisasian)
c)         Staffing (penentuan staf)
d)        Directing (pengarahan)
e)         Coordinating (pengkoordinasian)
f)         Reporting (pelaporan)
g)        Budgeting (penganggaran)
2.    Managemen Diri
Secara sederhana, manajemen merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001) memiliki dua arti, yaitu;
a)         penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; dan
b)        pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannnya perusahaan dan organisasi.
Dalam kajian kita saat ini, arti pertama yang relevan dan perlu kita eksplorasi lebih lanjut.
Selanjutnya, apa arti “diri” atau “saya”? Apakah yang kita sebut “diri” itu adalah akumulatif dari pikiran kita, seperti yang dikatakan David J. Schwarz bahwa “Kita adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita”, atau jargon yang diucapkan oleh Rene Descartes, “Saya berpikir, maka saya ada”? Apakah diri itu adalah apa yang kita rasakan, seperti yang dinyatakan Andre Gide, “Saya merasa, maka saya ada”? Apakah diri itu adalah perbuatan; tindakan; kebiasaan kita, seperti ucapan Albert Camus, “Saya memberontak, maka itulah saya”, atau pernyataan Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.” Atau, ungkapan Nurcholis Madjid, “Aku berbuat, maka aku ada”? Apakah diri itu gabungan dari pikiran dan perasaan kita, sebagaimana dalam konsep “ego” Muhammad Iqbal, bahwa ego (diri) adalah suatu kesatuan perasaan-perasaan (mental) kehidupan personal dan merupakan bagian dari sistim pemikiran.
Kata “diri” (anfûs) jamak dari nafsun dalam Al-Quran banyak maknanya, diantaranya: rûh (nyawa), dhamîr (hati nurani), jinsun (jenis), dan syahshiyah (pribadi) atau “totalitas manusia” dimana terpadu jiwa-raga manusia. Nah, makna yang terakhirlah yang kita maksud dengan “diri” itu. Yang kita sebut diri, pribadi, individu, adalah totalitas manusia sebagai perpaduan dari jasad dan ruhani, fisik yang bisa kita lihat dan sesuatu yang tak terlihat yang menggerakan fisik (hati; pikiran; jiwa). Diri adalah totalitas dari pemikiran, keinginan, dan gerakan kita dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, perpaduan antara intelektual, emosional, spiritual, dan fisik.
Berangkat dari makna dua kata “manajemen” dan “diri” di atas, maka manajemen diri yang saya maksud adalah sebuah proses merubah “totalitas diri” intelektual, emosional, spiritual, dan fisik kita agar apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai.
Pada dasarnya manajemen diri merupakan pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan, dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan perbuatan yang baik dan benar.
Manajemen diri juga menuju pada konsistensi dan keselarasan pikiran, ucapan dan perbuatan sehingga apa yang dipikirkan sama dan sejalan dengan apa yang diucapkan dan diperbuat. Integritas seperti inilah yang diharapkan akan timbul dalam diri para praktisi manajemen diri.
Dalam bukunya, Steven Covey mengistilahkan kesuksesan ini dengan pribadi efektif, pribadi yang dapat mencapai tujuan. Sementara Anis Matta menggambarkan orang sukses sebagai orang yang berkontribusi banyak sesuai keahliannya.
Dilihat dari kacamata manajemen diri, akar pohon adalah konsep diri. Batang adalah kepribadian dan perilaku, sementara buah adalah amal.
Untuk menjadi muslim sejati atau yang digambarkan sebagai pohon yang berakar kuat, berbatang kokoh, dan berbuah banyak tadi, setidaknya ada tiga hal yang perlu kita lakukan :
a)         Mengetahui model manusia muslim yang ideal
Setidaknya, ada sepuluh karekter manusia muslim yang ideal:
1.        Beraqidah lurus, sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah dalam Al qur`an dan sunah. Menjauhi syirik, tahayul, sihir, jampi yang sesat.
2.        Beribadah secara benar, sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW serta menjauhi bid`ah
3.        Berakhlaq baik
4.        Berbadan sehat dan kuat
5.        Berwawasan luas, intelek, dan cerdas
6.        Berjuang melawan hawa nafsu dan menggiring hawa nafsunya sesuai ajaran Islam
7.        Pandai mengatur waktu
8.        Profesional dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
9.        Memiliki kemampuan untuk mandiri dan kuat secara ekonomi, dapat membiayai diri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, juga menunaikan hak ekonomi dalam agama (zakat, infaq, sedekah)
10.    Bermanfaat bagi orang lain, sesuai hadits Rasulullah,- Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah saw bersabda, “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
b)        Mengetahui diri kita dengan baik atau memiliki konsep diri
Konsep diri adalah cara pandang seseorang terhadap dirinya, juga nilai-nilai yang dianutnya. Visi, misi, cita-cita, sifat (kekuatan dan kelemahan), merupakan bagian dari konsep diri. Membangun konsep diri membantu kita merencanakan kesuksesan ke depan. Bahkan salah satu ekspresi yang kuat dari bertakwa adalah merencanakan pengembangan diri kita. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepadaAllah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr : 18)
c)         Mengadaptasikan model ideal kepada diri kita
Selain melihat 10 kriteria di atas, kita perlu menggali ilmu lebih dalam tentang Rasulullah. Membaca dan mempelajari siroh nabi dan para sahabat. Mereka lah manusia pilihan, role model kita. Selanjutnya, terbukalah terhadap masukan yang bisa meningkatkankualitasdirikita.
Masih dalam langkah ketiga, setelah memilki visi, misi, cita-cita, target ke depan, dan menganalisa diri, coba seimbangkan dengan peran kita miliki. Buatlah list yang berisi peran apa saja yang sedang kita mainkan. Kemudian peran apa yang kita idamkan, masing-masing peran tadi disusun lagi targetnya. Berdasarkan waktu lebih baik. Buat turunannya supaya langkah-langkahnya bisa direalisasikan. Jangan lupa pertimbangkan kondisi dan lingkungan, supaya rencana kita tidak mengawang-awang. Semoga setiap peran tadi akan berbuah manis, bermanfaat buat sesama.



3.    Karakter
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).
Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelahmelewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904-- pernah berkata: "Character cannot be develop in ease and quite.Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved".
Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya (lihat homepage www.hki.org). Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: "Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good".
 Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power.
Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi--meminjam sebuah iklan yang pernah muncul di Harian Kompas know ledge is power, but character is more.
Sebagai contoh, `7 Habits of Highly Effective Peolple` yang diambil dari buku Steven Covey, akan memberi pencerahan dalam peningkatan kualitas diri ini. Secara ringkas,tujuh kebiasaan itu adalah :
1.         Bersikap proaktif, yang artinya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai prinsip yang kita anut, menjadi daya dorong kreatif bagi diri sendiri, dan bertanggungjawab atas setiap perilaku kita.
2.         Merujuk pada tujuan akhir, atau visi dan misi.
3.         Mendahulukan yang utama, memiliki skala prioritas dalam berbagai hal
4.         Berfikir menang-menang (win-win solution), bersikap adil
5.         Berusaha memahami terlebih dahulu, baru dipahami orang lain. Berkomunikasi secara efektif.
6.         Mewujudkan sinergisitas, mengatasi masalah dengan meminimalisir perbedaan dan memanfaatkan peluang agar hasilnya sinergi. Hasil yang sinergi berarti bukan hanya menguntungkan keduabelah pihak tapi juga memberikan hal yang lebih (1+1 bukan hanya =2, tapi bisa jadi 3, 4, bahkan 5 dst).
7.         Mengasah gergaji, yaitu memperbaharui diri terus menerus, terutama dalam 4 hal : fisik, emosional / sosial, mental, dan rohani.

D.      KESIMPULAN
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multicultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.              Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis dan selalu berkembang.
b.             Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
c.              Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya agama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
d.             Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
e.              Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.

E.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat dan presentasikan, mohon maaf jikalau dalam pembuatan dan mempresentasikan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Karana pada prinsipnya manusia adalah tidak pernah luput dari kesalahan. Semoga dengan makalah ini kita dapat menambah wawasan kita mengenai orientasi manajemen kesiswaan serta kita dapat menerapkanya sesuai teori yang ada.






DAFTAR PUSTAKA
Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif), Jakarta: Binarupa Aksara, 1997
Daud Ibrahim, Marwah, Ph.D, Mengelola Hidup & Merencanakan Masa Depan, Jakarta: MHMMD, 2004
Anis Matta Lc, Model Manusia Muslim Abad 21, Al Manar, 2004
Satria Hadi Lubis, Kumpulan Tulisan dan Materi Presentasi
www.goodreads.com/story/show/14092-membangun-karakter diakses hari Jumat tanggal 25 Mei 2012
Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multicultural, Erlangga, Jakarta, 2005
Choirul Mahfud, Pendidikan Multicultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Sudiyono, Manajemen Pendidikan Tinggi, Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Ainul Yaqin, Pendidikan Multicultural, Pilar Media, Yogyakarta, 2005

No comments:

Post a Comment