Sunday, March 6, 2016

makalah problematika pendidikan islam kontemporer

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
A.  PENDAHULUAN
Masalah pendidikan tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait dengan kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap perkembangan peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai dimensi kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan. Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna, dan tujuan pendidikan.
Warna pemikiran itu sudah tentu amat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut. Akan tetapi, dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan kepada anak didik agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.
Dalam kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat.
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya.
Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.
Dunia masa depan merupakan dunia yang cepat berubah. Agar dapat memanfaatkan dinamika perubahan itu diperlukan kemampuan persepsi yang cepat terhadap perubahan, mampu menganalisisnya demi keuntungan memperkaya kepribadian agar ia tidak hanyut dalam arus perubahan itu. Disinilah penting adanya suatu tumpuan pijakan yang kuat bagi seseorang. Pijakan itutak lain dari budaya Indonesia dalam arti luas yang mendasari upaya orientasi atau wawasan setiap orang Indonesia.

B.  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas munculah beberapa permasalah yang mungkin perlu adanya pembahasan lebih mendalam lagi., diantaranya adalah sebagai berikut :
1.        Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena?
2.        Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita?
3.        Basis Pendidikan Menuju Masa Depan?

C.  PEMBAHASAN
1.        Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena
Dalam perspektif lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai fenomena. Sebagai kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena, pendidikan adalah suatu perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada berkembangnya suatu pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau beberapa pihak. Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah upaya, ia disebut pendidikan formal atau pendidikan nonformal, sedangkan kalau berupa peristiwa, ia disebut pendidikan informal.
Dalam khazanah keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih menekankan aspek dalam  dari kedirian manusia. Adapun pengajaran lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia.
Dalam kenyataannya, dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan administrasi dan kurikulum pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia, agak terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii Maarif, tidaklah heran apabila dunia pendidikan kita sekarang ini sedang diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang materialisme dan ateisme yang kasar dan ganas (Maarif, 1999).
Munculnya gejala mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahirian saja. Kedua, dasar filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki. Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya, tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang imajinatif, kreatif, dan berbudaya.
Dalam pendidikan, kita mengenal teori-teori perkembangan yang disebut a) teori biologisme (teori pedagogik-pesimisme, teori enfoldment, teori faculty), b) teori empirisme (teori pedagogik-optimisme, teori tabularasa), dan c) teori konvergensi. Kita sering mengartikan salah pada Hadis Nabi yang berbunyi : “kullu maulûdin yûladu ‘alal-fitrah” (setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci). Kata suci sering dianalogikan  dengan tabularasa, bagaikan kertas putih, padahal fitrah anak yang lahir itu telah membawa keimanan pada Allah; telah membawa sesuatu yang baik.
Konsep Islam ini berbeda dengan ketiga teori tersebut. Teori biologisme mengakui adanya bakat baik dan bakat jahat, sedangkan Islam berpandangan bahwa anak itu dilahirkan dalam bakat baik, bahkan ia telah membawa keimanan. Lingkungannyalah yang mengajak dia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Jadi, dalam pandangan Islam, ketiga teori perkembangan tersebut tidak cocok. Oleh karena itu, Islam menawarkan teori fitrah, yang mengakui bahwa anak itu lahir pada hakikatnya baik, dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang baik atau jalan yang buruk (Maarif, 1999).
Pendidikan sebagai fenomena yang melekat dalam kehidupan manusia, di dalamnya senantiasa ada upaya yang bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri, sistem pendidikan bertujuan "to improve as a man". Pendidikan pada hakekatnya adalah "process leading to the enlightement of mankind" . Pendidikan merupakan suatu upaya mengembangkan atau mengaktualisasikan seluruh potensi kemanusiaan ke taraf yang lebih baik dan lebih sempurna. Pendidikan tidak hanya dipandang kegiatan investasi untuk masa depan, namun harus berbicara sampai sejauh mana mampu memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian permasalahan kekiniaan. Masa lampau menjadi pondasi dasar untuk pijakan bagi pengembangan selanjutnya. Sehingga dengan istilah lain dasar pengembangan pendidikan berpijak pada akar historis, akar filosofis, akar sosiologis dan akar psikologis. Dasar pengembangan atau lebih dikenal dengan fondasi-fondasi pendidikan yang merupakan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dasar yang melandasi pencarian kebijakan-kebijakan dan praktik pendidikan yang berharga dan efektif. Prinsip-prinsip ini adalah dasar dibangunnya rumah pendidikan. Jika dasar itu adalah substansial, sandaran dari struktur itu kemungkinan akan kuat, dan sebaliknya
Dasar pengembangan atau lebih dikenal dengan fondasi-fondasi pendidikan yang merupakan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dasar yang melandasi pencarian kebijakan-kebijakan dan praktik pendidikan yang berharga dan efektif. Prinsip-prinsip ini adalah dasar dibangunnya rumah pendidikan. Jika dasar itu adalah substansial, sandaran dari struktur itu kemungkinan akan kuat, dan sebaliknya. (Sanford W. Reitman, 1977).

2.        Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita
Setidak-tidaknya ada empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama, bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi. Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat asas.
Kemampuan pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering mengalami hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah.
Kedua, komitmen pemerintah Indonesia yang lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai. Mudah-mudahan pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap, akan menaikkan anggaran pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga, masalah kultural yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi pendidikan akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun terdapat tiga kelompok yang berbeda : pertama adalah kelompok antusias, kedua adalah kelompok apatis, dan ketiga adalah kelompok status quo. Dalam reformasi pendidikan di tingkat mana pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada.
Keempat, faktor geografis yang menjadi kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama kelembagaan, kedekatan dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Faktor geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari Jakarta hingga Lembah Baliem di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).
Jika akhlak pribadi dan akhlak sosial menjadi ukuran, tampaknya kita telah sampai pada kesepakatan bahwa kondisi pendidikan budi pekerti bangsa telah mengalami kegagalan total. Tabiat buruk peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan saat ini kelihatannya makin parah. Fenomena makro membuktikan bahwa tabiat buruk para peserta didik khususnya, dan generasi muda umumnya, telah mengalami pergeseran paradigma yang dramatik. Fenomena ini bukan hanya di kota-kota besar di Indonesia, tetapi juga sudah menjadi isu internasional dan global. Inilah tanda peradaban baru dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan, yaitu ketika lembaga pendidikan belum optimal membekali sisi kognisi dan keterampilan anak didik, ketika itu pula dimensi afeksinya belum dapat dioptimalkan.
Tabiat buruk para peserta didik kita, antara lain perkelahian pelajar, pengompasan, deviasi seksual, penjambretan, penodongan, pencurian, narkoba, minuman keras, mogok belajar, ekstasi, perbuatan asusila, pengrusakan, pemukulan guru, dan sebagainya. Tabiat buruk para peserta didik disebabkan oleh faktor-faktor yang sangat kompleks dan rumit, tidak terkecuali faktor keluarga dan bawaan. Penyebabnya antara lain dikatakan oleh Widavsky (1987) bahwa di sekolah-sekolah ada kecenderungan kuat makin tumbuh subur aneka tindakan kejahatan para siswa akibat kontak-kontak internal dan eksternal. Jika dicermati secara saksama, realitas dan tabiat sosial kontemporer terasa makin sulit dipahami. Kehidupan sosial di sekitar kita seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan aneka tataran ideal kemanusiaan seperti figuritas, spritualitas, moralitas, religiositas, dan daya sensibilitas sosial. Representasi sosial seringkali menjelma hanya sebagai sosok imajiner belaka.

3.        Basis Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat dari aspek ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya keunggulan akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai wirausaha yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini, kehadiran praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja sekolah dari back to basics ke forward to future basics. Paradigma ini menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how to living together).
Jadi, praksis pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi pendidikan, sehingga ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model ini diorganisasikan dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, yaitu peserta didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya. Selain itu, materi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan, biayanya murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan peserta didik sebagai subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusia pada spektrum keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi vokasional maupun bakatnya. Satu sisi di antaranya adalah menumbuhkan iklim dialogis di lingkungan sekolah, yang memungkinkan guru dan anak didik berbeda pendapat.
Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota ASEAN. Salah satu faktor utama rendahnya kualitas sumber daya manusia ini tentu berhubungan dengan dunia pendidikan nasional. Program pendidikan nasional yang dirancang diyakini belum berhasil menjawab harapan dan tantangan masa kini maupun di masa depan.
Dalam menghadapi harapan dan tantangan di masa depan, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan. Pendidikan di masa depan memainkanperanan yang sangat fundamental di mana cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa depannya. Menghadapi masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan keterbukaan serta kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih rumit dari pada masa sekarang atau sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di sektor pendidikan di masa depan perlu dirancang sedini mungkin agar berbagai tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan kemajuan alat komunikasi yang luar biasa.
Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Salah satu dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan nasional di masa depan adalah kebijakan mengenai kurikulum. Kurikulum merupakan jantungnya dunia pendidikan. Untuk itu, kurikulum di masa depan perlu dirancang dan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Mutu pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan semua warga negara Indonesia.
Kesejahteraan bangsa Indonesia di masa depan bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial, dan kredibilitas sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu keharusan. Mutu lulusan tidak cukup bila diukur dengan standar lokal saja sebab perubahan global telah sangat besar mempengaruhi ekonomi suatu bangsa. Terlebih lagi, industri baru dikembangkan dengan berbasis kompetensi tingkat tinggi, maka bangsa yang berhasil adalah bangsa yang berpendidikan dengan standar mutu yang tinggi.

D.  KESIMPULAN
Ada beberapa teori belajar yang dipandang penting untuk diketahui dan dipraktikkan oleh insan-insan pendidikan, yaitu sebagai berikut.
a.       Teori Discovery Learning. Teori ini diperkenalkan oleh Jerome Bruner yang isinya mengatakan bahwa peranan guru harus menciptakan situasi yang mengarahkan siswa dapat belajar sendiri, daripada memberikan suatu paket yang berisi informasi dan pelajaran kepada siswa. Lebih jauh Bruner mengatakan bahwa siswa harus belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, yang dalam hal ini mereka harus didorong untuk mempunyai pengalaman, melakukan eksperimen-eksperimen, dan membiarkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri. Belajar menemukan sesuatu banyak manfaatnya dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan mata pelajaran.
b.      Teori Reception Learning. Teori ini dikemukakan oleh David Ausabel yang isinya mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui oleh siswa. Dalam hal ini, guru harus menyusun situasi belajar, memilih materi-materi yang tepat untuk siswa, kemudian menyampaikannya dalam bentuk pengajaran yang terorganisasi dengan baik, mulai dari yang umum sampai ke hal-hal yang lebih terperinci. Inti pendekatan Ausabel adalah apa yang disebut expository teaching, yaitu pengajaran yang sistematis dengan penyampaian informasi yang bermakna. Dua teori ini mempunyai beberapa pokok atau motif yang sama. Pertama, keduanya menganjurkan siswa agar aktif terlibat dalam proses belajar. Kedua, Ditekankan cara membawa pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya untuk digabungkan dengan pelajaran baru. Ketiga, keduanya mengasumsikan bahwa pengetahuan, suatu saat, secara perlahan-lahan dan terus-menerus akan berubah di dalam pikiran siswa (Djiwandono, 2002).
c.        Teori The Disire to Learn. Teori ini disampaikan oleh Rogers yang intinya mengatakan bahwa manusia mempunyai keinginan untuk belajar. Keinginan ini dapat mudah dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dari seorang anak ketika ia menjelajahi lingkungannya. Di dalam kelas, anak diberi kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tidak boleh dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri, dan apa yang berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka.
d.      Teori Significant Learning. Teori ini juga dikemukakan oleh Rogers yang intinya mengatakan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Meminjam teori tingkah laku dari Arthur Combs, Rogers mengatakan bahwa jika siswa belajar dengan baik dan cepat, maka siswa itu telah belajar secara signifikan.
e.       Teori Learning without Threat (Belajar tanpa Ancaman dari Rogers). Teori ini mengatakan bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
f.        Teori Self-initiated Learning (Belajar atas inisiatif sendiri). Teori ini menyatakan bahwa belajar akan sangat signifikan dan lebih meresap ketika belajar itu atas inisiatif sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si siswa itu sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang belajar sendiri, akan memotivasi tinggi dan kesempatan kepada siswa untuk belajar bagaimana belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkan perhatian siswa pada program belajar, hasilnya akan amat baik.
g.      Teori Learing dan Change (Belajar dan berubah dari Rogers). Teori ini mengatakan bahwa belajar yang paling bermanfaat  belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistik dan ide-ide yang dirasakan dunia lambat berubah. Sekarang perubahan adalah fakta hidup. Ilmu pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan. Apa yang dibutuhkan sekarang, menurut Rogers, adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang selalu berubah (Djiwandono, 2002).





E.  PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya buat dan presentasikan, mohon maaf jikalau dalam pembuatan dan mempresentasikan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Karana pada prinsipnya manusia adalah tidak pernah luput dari kesalahan. Semoga dengan makalah ini kita dapat menambah wawasan kita mengenai Problematika Pendidikan Islam Kontemporer serta kita dapat menerapkanya sesuai teori yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Grasindo,
Jakarta.
Maarif, Ahmad Syafii (Ed.). 1999. Pendidikan dalam Perspektif Al-
Quran. LPPI, Yogyakarta.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. PSAPM,
Surabaya.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf  Publishing,
 Yogyakarta.
A.R. Tilaar, 2008, Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan), PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Harold G.Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali, Jakarta, 1984.

I.N.Thut & Don Adams, Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

No comments:

Post a Comment