PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM
KONTEMPORER
A.
PENDAHULUAN
Masalah pendidikan tidak akan pernah
selesai untuk dibicarakan, karena soal ini akan selalu terkait dengan
kontekstualitas kehidupan umat manusia sepanjang zaman. Setiap perkembangan
peradaban manusia sudah barang tentu selalu diikuti oleh berbagai dimensi
kehidupan manusia itu sendiri, termasuk di dalamnya dimensi pendidikan.
Berbagai pemikiran telah dikembangkan oleh para pakar tentang hakikat, makna,
dan tujuan pendidikan.
Warna pemikiran itu sudah tentu amat
dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para
pakar tersebut. Akan tetapi, dengan segala perbedaan pandangan yang mereka
kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan bertujuan
untuk memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan kepada anak didik agar
mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.
Dalam
kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan
intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter
(watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya
segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat.
Pendidikan
karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup,
seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran,
keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis
karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam
pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya
penanggulangan persoalan hidupnya.
Pendidikan
berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri
sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu
dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan
kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok
dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya
menunjukkan produktivitas.
Dunia
masa depan merupakan dunia yang cepat berubah. Agar dapat memanfaatkan dinamika
perubahan itu diperlukan kemampuan persepsi yang cepat terhadap perubahan,
mampu menganalisisnya demi keuntungan memperkaya kepribadian agar ia tidak
hanyut dalam arus perubahan itu. Disinilah penting adanya suatu tumpuan pijakan
yang kuat bagi seseorang. Pijakan itutak lain dari budaya Indonesia dalam arti
luas yang mendasari upaya orientasi atau wawasan setiap orang Indonesia.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas munculah beberapa
permasalah yang mungkin perlu adanya pembahasan lebih mendalam lagi.,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena?
2.
Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita?
3.
Basis
Pendidikan Menuju Masa Depan?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan sebagai Kegiatan dan Pendidikan sebagai Fenomena
Dalam
perspektif lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai kegiatan dan sebagai
fenomena. Sebagai kegiatan, pendidikan adalah setiap upaya yang secara sadar
dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang mengembangkan suatu
pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup. Sebagai fenomena,
pendidikan adalah suatu perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak
pada berkembangnya suatu pandangan hidup atau sikap hidup atas salah satu atau
beberapa pihak. Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya yang
dilakukan secara sadar, juga dapat berarti suatu peristiwa. Kalau berupa sebuah
upaya, ia disebut pendidikan formal atau pendidikan nonformal,
sedangkan kalau berupa peristiwa, ia disebut pendidikan informal.
Dalam
khazanah keilmuan, dikenal dua istilah yang cukup populer, yaitu pendidikan dan
pengajaran. Umumnya, para pemerhati ilmu menyatakan bahwa pendidikan lebih
menekankan aspek dalam dari kedirian manusia. Adapun pengajaran
lebih banyak bersentuhan dengan aspek luar. Dengan perkataan lain, bila
pendidikan berkaitan erat dengan dimensi rohani, maka pengajaran lebih banyak
berbicara tentang sarana dan prasarana dalam upaya memanusiakan manusia.
Dalam
kenyataannya, dunia pendidikan atau keilmuan kita lebih banyak memusatkan
perhatiannya pada dimensi pengajaran, terutama yang menyangkut dengan
administrasi dan kurikulum pengajaran. Adapun aspek mendasar dari sistem
pendidikan itu sendiri, yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil
dan memiliki akhlak mulia, agak terabaikan. Oleh karena itu, kata Syafii
Maarif, tidaklah heran apabila dunia pendidikan kita sekarang ini sedang
diombang-ambingkan oleh tarikan gelombang materialisme dan ateisme yang kasar
dan ganas (Maarif, 1999).
Munculnya
gejala mengabaikan dimensi pendidikan, dalam arti akhlak mulia, di negara kita
disebabkan beberapa hal. Pertama, landasan pendidikan kita lebih mengacu
pada filsafat materialisme dan positivisme sehingga hasil pendidikan lebih
dilihat dan dinilai dari aspek materi dan lahirian saja. Kedua, dasar
filosofi pendidikan kita telah menyimpang dari jiwa kemanusiaan yang hakiki.
Proses dan hasil pendidikan tidak banyak menampakkan wajah kemanusiaannya,
tetapi justru sebaliknya, yang muncul adalah perilaku-perilaku yang menyerupai
serigala, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Ketiga, kuatnya
intervensi negara dalam dunia pendidikan sehingga banyak mereduksi ruang-ruang
kreativitas dan imajinasi kemanusiaan. Akibatnya, produk pendidikan lebih
banyak melahirkan manusia-manusia robot dan mekanis ketimbang manusia yang
imajinatif, kreatif, dan berbudaya.
Dalam
pendidikan, kita mengenal teori-teori perkembangan yang disebut a) teori
biologisme (teori pedagogik-pesimisme, teori enfoldment, teori faculty),
b) teori empirisme (teori pedagogik-optimisme, teori tabularasa), dan c) teori
konvergensi. Kita sering mengartikan salah pada Hadis Nabi yang berbunyi
: “kullu maulûdin yûladu ‘alal-fitrah” (setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci). Kata suci sering dianalogikan dengan tabularasa, bagaikan
kertas putih, padahal fitrah anak yang lahir itu telah membawa keimanan pada
Allah; telah membawa sesuatu yang baik.
Konsep
Islam ini berbeda dengan ketiga teori tersebut. Teori biologisme mengakui
adanya bakat baik dan bakat jahat, sedangkan Islam berpandangan bahwa anak itu
dilahirkan dalam bakat baik, bahkan ia telah membawa keimanan. Lingkungannyalah
yang mengajak dia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Jadi, dalam pandangan
Islam, ketiga teori perkembangan tersebut tidak cocok. Oleh karena itu, Islam
menawarkan teori fitrah, yang mengakui bahwa anak itu lahir pada hakikatnya
baik, dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang
baik atau jalan yang buruk (Maarif, 1999).
Pendidikan sebagai fenomena yang melekat
dalam kehidupan manusia, di dalamnya senantiasa ada upaya yang bertujuan untuk
memanusiakan manusia itu sendiri, sistem pendidikan bertujuan "to improve
as a man". Pendidikan pada hakekatnya adalah "process leading to the
enlightement of mankind" . Pendidikan merupakan suatu upaya mengembangkan
atau mengaktualisasikan seluruh potensi kemanusiaan ke taraf yang lebih baik
dan lebih sempurna. Pendidikan tidak hanya dipandang kegiatan investasi untuk
masa depan, namun harus berbicara sampai sejauh mana mampu memberikan kontribusi
positif bagi penyelesaian permasalahan kekiniaan. Masa lampau menjadi pondasi
dasar untuk pijakan bagi pengembangan selanjutnya. Sehingga dengan istilah lain
dasar pengembangan pendidikan berpijak pada akar historis, akar filosofis, akar
sosiologis dan akar psikologis. Dasar pengembangan atau lebih dikenal dengan
fondasi-fondasi pendidikan yang merupakan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dasar
yang melandasi pencarian kebijakan-kebijakan dan praktik pendidikan yang
berharga dan efektif. Prinsip-prinsip ini adalah dasar dibangunnya rumah
pendidikan. Jika dasar itu adalah substansial, sandaran dari struktur itu
kemungkinan akan kuat, dan sebaliknya
Dasar pengembangan atau lebih dikenal
dengan fondasi-fondasi pendidikan yang merupakan fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dasar yang melandasi pencarian kebijakan-kebijakan dan praktik
pendidikan yang berharga dan efektif. Prinsip-prinsip ini adalah dasar
dibangunnya rumah pendidikan. Jika dasar itu adalah substansial, sandaran dari
struktur itu kemungkinan akan kuat, dan sebaliknya. (Sanford W. Reitman, 1977).
2.
Empat Kelemahan Mendasar dalam Sistem Pendidikan Kita
Setidak-tidaknya
ada empat kelemahan mendasar dunia pendidikan kita di Indonesia. Pertama,
bidang manajemen dan ketatalaksanaan sekolah, termasuk perguruan tinggi.
Kelemahan ini mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses,
seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur
kerja yang ketat. Pada tataran substansi, seperti personalia, keuangan, sarana
dan prasarana, instrumen pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan
sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria
keberhasilan untuk masing-masing unsurnya juga belum ditetapkan secara taat
asas.
Kemampuan
pendekatan proses operasional menuju capaian substantif sering mengalami
hambatan, karena masalah perilaku birokrasi, apatisme, disiplin rendah, biaya
yang kurang, instrumen pendukung yang tidak valid, sifat kompetitif yang belum
tumbuh, dan dukungan masyarakat yang rendah.
Kedua, komitmen pemerintah Indonesia yang
lama dalam mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai. Mudah-mudahan
pemerintahan baru sekarang ini, secara bertahap, akan menaikkan anggaran
pendidikan dalam APBN menuju angka ideal 20 %. Ketiga, masalah kultural
yang muncul pada dunia pendidikan kita adalah reformasi pendidikan akan sangat
ditentukan oleh masyarakat pendidikan yang ada di lembaga pendidikan tersebut.
Biasanya dalam lembaga pendidikan mana pun terdapat tiga kelompok yang berbeda
: pertama adalah kelompok antusias, kedua adalah kelompok apatis, dan ketiga
adalah kelompok status quo. Dalam reformasi pendidikan di tingkat mana
pun, ketiga kelompok ini akan selalu ada.
Keempat, faktor geografis yang menjadi
kendala dalam mobilitas tenaga edukatif, kerjasama kelembagaan, kedekatan
dengan sumber informasi, jaringan teknologi informasi, dan sebagainya. Faktor
geografis inilah yang menyebabkan sulitnya menyusun kebijakan pendidikan yang
bermutu, karena peserta didik menyebar mulai dari Jakarta hingga Lembah Baliem
di Irian dan Suku Kubu di Jambi (Danim, 2003).
Jika
akhlak pribadi dan akhlak sosial menjadi ukuran, tampaknya kita telah sampai
pada kesepakatan bahwa kondisi pendidikan budi pekerti bangsa telah
mengalami kegagalan total. Tabiat buruk peserta didik di lembaga-lembaga
pendidikan saat ini kelihatannya makin parah. Fenomena makro membuktikan bahwa
tabiat buruk para peserta didik khususnya, dan generasi muda umumnya, telah
mengalami pergeseran paradigma yang dramatik. Fenomena ini bukan hanya di kota-kota
besar di Indonesia, tetapi juga sudah menjadi isu internasional dan global.
Inilah tanda peradaban baru dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan, yaitu
ketika lembaga pendidikan belum optimal membekali sisi kognisi dan keterampilan
anak didik, ketika itu pula dimensi afeksinya belum dapat dioptimalkan.
Tabiat
buruk para peserta didik kita, antara lain perkelahian pelajar, pengompasan,
deviasi seksual, penjambretan, penodongan, pencurian, narkoba, minuman keras,
mogok belajar, ekstasi, perbuatan asusila, pengrusakan, pemukulan guru, dan
sebagainya. Tabiat buruk para peserta didik disebabkan oleh faktor-faktor yang
sangat kompleks dan rumit, tidak terkecuali faktor keluarga dan bawaan.
Penyebabnya antara lain dikatakan oleh Widavsky (1987) bahwa di sekolah-sekolah
ada kecenderungan kuat makin tumbuh subur aneka tindakan kejahatan para siswa
akibat kontak-kontak internal dan eksternal. Jika dicermati secara saksama,
realitas dan tabiat sosial kontemporer terasa makin sulit dipahami. Kehidupan
sosial di sekitar kita seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan
aneka tataran ideal kemanusiaan seperti figuritas, spritualitas, moralitas,
religiositas, dan daya sensibilitas sosial. Representasi sosial seringkali
menjelma hanya sebagai sosok imajiner belaka.
3.
Basis
Pendidikan Menuju Masa Depan
Dilihat
dari aspek ekonomi, format dasar pemanusiawian pendidikan adalah terpenuhinya
keunggulan akademik, keterampilan vokasional, dan keunggulan pribadi sebagai
wirausaha yang fungsional bagi kehidupan lulusan. Dengan format dasar ini,
kehadiran praksis pendidikan yang manusiawi akan menggeser paradigma kinerja
sekolah dari back to basics ke forward to future basics. Paradigma
ini menekankan pada lima titik tekan utama dalam memanusiawikan pendidikan, yaitu
a) bagaimana berpikir (how to think), b) bagaimana belajar (how to
learn), c) bagaimana menjadi manusia (how to be), d) bagaimana
berkreasi (how to create), dan e) bagaimana menjalani kehidupan bersama (how
to living together).
Jadi,
praksis pendidikan yang manusiawi amat sarat dengan muatan demokrasi
pendidikan, sehingga ia menjadi semacam pendidikan alternatif. Pendidikan model
ini diorganisasikan dengan pola pendidikan yang kurikulumnya bersifat
desentralistik, yaitu peserta didik dapat memilih materi pembelajaran sesuai
dengan minatnya. Selain itu, materi yang disajikan harus sesuai dengan
kebutuhan dan lingkungan, biayanya murah, sederhana, luwes birokrasinya, dan
menempatkan peserta didik sebagai subjek. Inti demokrasi pendidikan adalah
menempatkan manusia pada spektrum keberagaman, bukan keseragaman, baik potensi
vokasional maupun bakatnya. Satu sisi di antaranya adalah menumbuhkan iklim
dialogis di lingkungan sekolah, yang memungkinkan guru dan anak didik berbeda
pendapat.
Kualitas sumber daya manusia bangsa
Indonesia saat ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain
bahkan dengan sesama anggota ASEAN. Salah satu faktor utama rendahnya kualitas
sumber daya manusia ini tentu berhubungan dengan dunia pendidikan nasional.
Program pendidikan nasional yang dirancang diyakini belum berhasil menjawab
harapan dan tantangan masa kini maupun di masa depan.
Dalam menghadapi harapan dan tantangan
di masa depan, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan.
Pendidikan di masa depan memainkanperanan yang sangat fundamental di mana
cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu bangsa,
pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa depannya. Menghadapi
masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan keterbukaan serta
kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan
terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih rumit dari pada masa
sekarang atau sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di sektor pendidikan di masa depan
perlu dirancang sedini mungkin agar berbagai tantangan dan permasalahan
tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu
melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era
globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan kemajuan alat komunikasi yang
luar biasa.
Dalam membangun pendidikan di masa depan
perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun
tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Salah satu dimensi yang tidak bisa
dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan nasional di masa depan adalah
kebijakan mengenai kurikulum. Kurikulum merupakan jantungnya dunia pendidikan.
Untuk itu, kurikulum di masa depan perlu dirancang dan disempurnakan untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara nasional dan meningkatkan mutu sumber daya
manusia Indonesia. Mutu pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menciptakan
kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan mampu bersaing sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan semua warga negara Indonesia.
Kesejahteraan bangsa Indonesia di masa depan bukan lagi bersumber
pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada
modal intelektual, modal sosial, dan kredibilitas sehingga tuntutan untuk terus
menerus memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu keharusan. Mutu lulusan tidak
cukup bila diukur dengan standar lokal saja sebab perubahan global telah sangat
besar mempengaruhi ekonomi suatu bangsa. Terlebih lagi, industri baru
dikembangkan dengan berbasis kompetensi tingkat tinggi, maka bangsa yang
berhasil adalah bangsa yang berpendidikan dengan standar mutu yang tinggi.
D.
KESIMPULAN
Ada beberapa teori belajar yang
dipandang penting untuk diketahui dan dipraktikkan oleh insan-insan pendidikan,
yaitu sebagai berikut.
a.
Teori
Discovery Learning. Teori ini diperkenalkan oleh Jerome Bruner yang isinya
mengatakan bahwa peranan guru harus menciptakan situasi yang mengarahkan siswa
dapat belajar sendiri, daripada memberikan suatu paket yang berisi informasi
dan pelajaran kepada siswa. Lebih jauh Bruner mengatakan bahwa siswa harus
belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, yang dalam hal ini mereka harus didorong untuk mempunyai
pengalaman, melakukan eksperimen-eksperimen, dan membiarkan mereka untuk
menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri. Belajar menemukan sesuatu banyak
manfaatnya dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan mata pelajaran.
b. Teori Reception Learning. Teori ini dikemukakan oleh David
Ausabel yang isinya mengatakan bahwa faktor yang paling penting dalam
mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui oleh siswa. Dalam hal ini, guru
harus menyusun situasi belajar, memilih materi-materi yang tepat untuk siswa,
kemudian menyampaikannya dalam bentuk pengajaran yang terorganisasi dengan baik,
mulai dari yang umum sampai ke hal-hal yang lebih terperinci. Inti pendekatan
Ausabel adalah apa yang disebut expository teaching, yaitu pengajaran
yang sistematis dengan penyampaian informasi yang bermakna. Dua teori ini
mempunyai beberapa pokok atau motif yang sama. Pertama, keduanya menganjurkan
siswa agar aktif terlibat dalam proses belajar. Kedua, Ditekankan cara membawa
pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya untuk digabungkan dengan pelajaran
baru. Ketiga, keduanya mengasumsikan bahwa pengetahuan, suatu saat, secara
perlahan-lahan dan terus-menerus akan berubah di dalam pikiran siswa
(Djiwandono, 2002).
c.
Teori
The Disire to Learn. Teori ini disampaikan oleh Rogers yang intinya
mengatakan bahwa manusia mempunyai keinginan untuk belajar. Keinginan ini dapat
mudah dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dari seorang anak
ketika ia menjelajahi lingkungannya. Di dalam kelas, anak diberi kebebasan
untuk memuaskan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tidak boleh
dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri, dan apa yang berarti tentang
dunia yang mengelilingi mereka.
d. Teori Significant Learning. Teori ini juga dikemukakan oleh
Rogers yang intinya mengatakan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika
belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Meminjam teori
tingkah laku dari Arthur Combs, Rogers mengatakan bahwa jika siswa belajar
dengan baik dan cepat, maka siswa itu telah belajar secara signifikan.
e.
Teori
Learning without Threat (Belajar tanpa Ancaman dari Rogers). Teori ini mengatakan
bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan
yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa dapat menguji
kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa
mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
f.
Teori
Self-initiated Learning (Belajar atas inisiatif sendiri). Teori ini menyatakan
bahwa belajar akan sangat signifikan dan lebih meresap ketika belajar itu atas
inisiatif sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si siswa
itu sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang belajar sendiri, akan
memotivasi tinggi dan kesempatan kepada siswa untuk belajar bagaimana
belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkan perhatian siswa
pada program belajar, hasilnya akan amat baik.
g. Teori Learing dan Change (Belajar dan berubah dari Rogers).
Teori ini mengatakan bahwa belajar yang paling bermanfaat belajar tentang
proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set
fakta ilmu statistik dan ide-ide yang dirasakan dunia lambat berubah. Sekarang
perubahan adalah fakta hidup. Ilmu pengetahuan berada dalam keadaan yang terus
berubah secara konstan. Apa yang dibutuhkan sekarang, menurut Rogers, adalah
individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang selalu berubah (Djiwandono,
2002).
E.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat
saya buat dan presentasikan, mohon maaf jikalau dalam pembuatan dan
mempresentasikan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Karana
pada prinsipnya manusia adalah tidak pernah luput dari kesalahan. Semoga dengan
makalah ini kita dapat menambah wawasan kita mengenai Problematika
Pendidikan Islam Kontemporer serta kita dapat menerapkanya sesuai teori yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Danim,
Sudarwan. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Djiwandono,
Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Grasindo,
Jakarta.
Maarif,
Ahmad Syafii (Ed.). 1999. Pendidikan dalam Perspektif Al-
Quran. LPPI, Yogyakarta.
Muhaimin.
2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. PSAPM,
Surabaya.
Zamroni.
2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf Publishing,
Yogyakarta.
http://puskurbuk.net/web/download/prod2007/40_Gagasan%20Kurikulum%20Masa%20Depan.pdf
diakses hari rabu tanggal 30 mei 2012
http://islamfasik.blogspot.com/2011/10/problematika-pendidikan-islam.html diakses hari rabu tanggal 30 mei
2012
A.R.
Tilaar, 2008, Manajemen Pendidikan
Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan), PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Harold
G.Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan,
Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali, Jakarta, 1984.
I.N.Thut
& Don Adams, Pola-Pola Pendidikan
Dalam Masyarakat Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
No comments:
Post a Comment