A. PENDAHULUAN
Sejarah merupakan perjalanan dari masa lalu
ke masa kini, dan melanjutkan perjalananya ke masa depan. Dalam perjalanan
suatu sejarah selalu mengalami pasang surut yang berbeda-beda tidak terkecuali
dengan peradaban islam, peradaban islam merupakan manifestasi kemajuan mekanis
dan teknologis. Dalam pengertian itulah peradaban islam akan dibahas,
pembahasan ini akan lebih menekankan pada perkembangan dan peradaban islam.
Hal ini berlaku pula bagi kita para
mahasiswa untuk tidak hanya sekedar paham sains tapi juga paham akan sejarah
kebudayaan islam di masa lalu untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap
peristiwa yang pernah terjadi. Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya
kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam
pada masa itu menjadi masa daulah, dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit
tentang masa daulah Abbasiyah.
Dengan segala keterbatasan tim
penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan satu persatu secara
rinci, tapi akan dibahas inti dari masa daulah Abbasiyah pada waktu itu.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Peradaban Isalm pada Masa Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimana kondisi Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah?
C. PEMBAHASAN
1. Peradaban Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah
a. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Sebelum
berdirinya Daulah Bani abbasiyah terdapat tiga poros yang merupakan pusat
kegiatan, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi saw.
Abbas bin Abdul Mutalib, dari namanya dinasti itu disandarkan. Tiga tempat itu
ialah Humaimah, kuffah dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tentram,
bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari kalangan pendukung
Ali maupun pendukung keluarga Abbas, kufah adalah wilayah yang penduduknya
menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi tholib, yang selalu bergolak dan
ditindas oleh bani umayyah, sehingga mudah untuk dipengaruhi agar memberontak
terhadap bani umayyah. Khurasan mempunyai warga yang bertempramen pemberani,
kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan
tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan
dakwah kaum abbasiyah mendapatkan dukungan.[1]
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan
kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan polotik, sosial,
dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.[2]
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M),
2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M)
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M)
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)
Dalam versi yang lain para sejarawan ada juga yang membagi masa
pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 perode.
yakni pertama
tahun 132-232 H. Di mana para khalifah Abbasiyah bekuasa penuh, kedua 232-590
H. Tatkala kekuasaan para khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan orang
lain, dan ketiga 590-656 H. Kembalinya kekuasaan Abbasiyah di tangan mereka
tetapi hanya di sekitar Baghdad saja. Dalam periode pertama semua wilayah
kekuasaan Islam berada di tangan Abbasiyah kecuali Andalusia yang ada di bawah
Bani Umayyah. Dalam masa ini para khalifah Abbasiyah kuat, ditopang oleh para
ulama besar yang saling bersilaturhami dan mengeluarkan fatwa serta banyak
berijtihad. Dalam periode kedua kekuasaan berada di tangan keluarga lain, yakni
di tangan orang-orang turki (Atrak), Bani Buwaih dan Bani Saljuk. Dalm periode
ketiga kekuasaan berada di tangan para khalifah Abbasiyah lagi yang wilayahnya
telah menyempit, hanya sekitar ibukota, yakni Baghdad saja.[3]
Kekhalifahan
Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua islam yang berkuasa di Bagdad (sekarang ibu
kota irak). Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad.
Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dibentuk
oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad, oleh karena itu mereka termasuk ke
dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu kabilah
dalam Quraisy, bukan termasuk yang seketurunan Nabi.[4]
b.
Para Khalifah
Abbasiyah
Sebelum Abu
al-abbas as-saffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa bakal penerus
penggantinya, yakni saudaranya, Abu ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakannya.
Sistem pwngumuman putra mahkota itu meniru cara Umayyah, bukan mencontoh
khulafaurrosidin yang mendasarkan pemilihan kholifah pada musyawarah dari
rakyat. Ada suatu hal yang baru lagi bagi para khalifah Abbasiyah, ialah
pemakaian gelar. Abu ja’far umpamanya, memakai gelar al-Mansur. Hal tersebut
dapat ditelusuri dari lokasi dimana Abbasiyah berkuasa yang bertumpu pada bekas
kekuasaan Persia sehingga model Persia dijadikan acuan bagi pemerintahannya
antara lain ialah dengan mengatakan bahwa seseorang penguasa adalah wakil Tuhan
di bumi, Tuhan telah memilih mereka sebagai orang kepercayaan-Nya untuk
memerintah. Al-Mansur mengatakan bahwa ia adalah “Sultan Tuhan diatas
bumi-Nya”. Mereka menetapkan untuk melaksanakan pemerintahan tertinggi karena
mereka sebagai ahli waris Nabi. Mereka juga memakai gelar imam
sebagai pemimpin umat Islam di bidang spiritual.
Gelar imam
telah lazim digunakan oleh kelompok syiah, pendukung Ali bin abi tolib imam
sebenarnya dari pemimpin salat berjamaah, berarti pemimpin dalam agama. Tetapi
penggunaan kata imam bagi Syiah bukan dibidang agama saja, hal itu digunakan
dalam lapangan politik. Rupanya Abbasiyah ingin selalu mendapat dukungan dari
syiah dengan memakai gelar yang biasa digunakan diklangan pendukung Ali. Memang pada
awal berdirinya Abbasiyah justru mendapatkan dukungan penuh dari kaum syiah
yang selalu gagal merebut kepemimpinan umat Islam. Bahkan mereka mendapat
tekanan keras dari umayyah. Husainn bin Ali bin Abi tholib
mati terbunuh di masa pemerintah Yazid bin Muawiya pada perang Karbela.
Dalam masa
pemerintahan al-Mansur terjadi pembunuhan terhadap orang-orang kuat yang
berjasa merebut kekuasaan dari tangan Bani umyyah karena kholifah itu ingin tidak ada tandingannya
sehingga melapangkan jalan bagi keinginan-keinginannya sehingga melapangkan
jalan keinginannya. Tiga pihak yang dikhawatirkan menjadi saingan akhirnya
lenyap dari peredaran pemerintahnya. Yakni pertama Abdullah bin Ali, pamannya
sendiri yang gagah berani dalam pertempuran, dan ia menginginkan jabatan
kholifah itu jatuh ke tangannya. Ia memimpin
tentara yang besar sehingga Khurasan, Mausul dan Syam berada di bawah
kekuasaanya. Yang kedua ialah Abu Muslim al-Khurasani, yang berjasa dalam
mendirikan dan menegakkan Daulah bani abbas. Ia seorang yang setia dan berpengaruh
besar ketika as-saffah masih hidup, Abu Muslim selalu dimintai pendapatnya
dalam urusan negara, sebelum meminta kepaada yang lain termasuk al-Mansur.
Sedangkan yang ketiga ialah keturunan Ali bin Abi tholib yang pengikutnya
banyak, terutama di wilayah berdirinya kekuasaan bani abbas. Mereka ditakutkan
menuntut hak kepemimpinan umat Islam yang selama ini ikut berjuang mendirikan
kekuasaan.[5]
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750 M sampai 754 M. karena itu, Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah
Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari
Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.
Pada mulanya, ibu kota Negara adalah al-Hasyimiyyah, dekat Kufah. Namun
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu,
al-Manshur memindahkan ibu kota Negara ke kota baru yang dibangunnya, Bagdad,
dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota
yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya.
Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif
dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
wazir sebagai koordinator departemen, wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol
Negara, sekretaris Negara, dan kepolisian Negara di samping membenahi angkatan
senjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman Negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti bani Umayyah di
tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk
mengantar surat, pada masa al-Manshur, jawatan pos di tugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancer. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah daerah pusat, dan menetapkan
keamanan di daerah pembatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada
tahun 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia,
Turki di bagian lain Oksus India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur ,
maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya
yaitu, Al-Mahdi (775-785 M ), al-Hadi (775-786 M ), Harun Al-Rasyid (786-809 M
), Al-Ma;mun (813-833 M ), Al-Mu’tashim (833-842 M ), Al-Wasiq (842-847 M ),
dan Al-Mutawakkil (847-861 M ).[6]
Inilah nama-nama Para khalifah
Bani Abbasiyah sebanyak 37 orang, sebagaimana tercantum di bawah ini
NO
|
NAMA
|
TAHUN LAHIR
SAMPAI WAFAT
|
|
HIJRIYAH
|
MASEHI
|
||
1
|
ABUL ABBAS
AS-SAFFAH
|
132-136
|
749-754
|
2
|
ABU JA’FAR
AL-MANSUR
|
136-158
|
754-775
|
3
|
ABU ABDULLAH
MUHAMMAD AL-MAHDI
|
158-169
|
775-785
|
4
|
ABU MUHAMMAD
MUSA AL-HADI
|
169-170
|
785-786
|
5
|
ABU JA’FAR
AR-RASYID
|
170-193
|
786-809
|
6
|
ABU MUSA
MUHAMMAD AL-AMIN
|
193-198
|
809-813
|
7
|
ABU JA’FAR
ABDULLAH AL-MAKMUN
(IBROHIM IBN
AL-MAHDI DI BAGHDAD)
|
198-218
201-203
|
813-833
817-819
|
8
|
ABU ISHAQ
MUHAMMAD AL-MU’TASIM
|
218-227
|
833-842
|
9
|
ABU JA’FAR
HARUN AL-WASIQ
|
227-232
|
842-847
|
10
|
ABUL FADL
JA’FAR AL-MUTAWAKKIL
|
232-247
|
847-861
|
11
|
ABU JA’FAR
MUHAMMAD AL-MUNTASIR
|
247-248
|
861-862
|
12
|
ABUL ABBAS
AHMAD AL-MUSTA’IN
|
248-252
|
862-866
|
13
|
ABU ABDULLAH
MUHAMMAD AL-MU’TAZZ
|
252-255
|
866-869
|
14
|
ABU ISHAQ
MUHAMMAD AL-MUHADI
|
255-256
|
869-870
|
15
|
ABUL ABBAS
AHMAD AL MU’TAMID
|
256-279
|
870-892
|
16
|
ABUL ABBAS
AHMAD AL-MU’TADID
|
279-289
|
892-902
|
17
|
ABU MUHAMMAD
ALI AL-MU’TAFI
|
289-295
|
902-905
|
18
|
ABU FADL
JA’FAR AL-MUQTADIR
|
295-320
|
905-932
|
19
|
ABU MANSUR
MUHAMMAD AL-QAHIR
|
320-322
|
932-934
|
20
|
ABUL ABBAS
AHMAD AR-RADI
|
322-329
|
934-940
|
21
|
ABU ISHAQ
IBRAHIM AL-MUTTAQI
|
329-323
|
940-944
|
22
|
ABUL QASIM
ABDULLAH AL-MUSTAQFI
|
323-334
|
944-946
|
23
|
ABUL QASIM
AL-FADL AL-MUTI’
|
334-362
|
946-974
|
24
|
ABUL FADL
ABDUL KARIM AT-TA’I
|
362-381
|
974-991
|
25
|
ABUL ABBAS
AHMAD AL-QADR
|
381-422
|
991-1031
|
26
|
ABU JA’FAR
ABDULLAH AL-QA’IM
|
422-467
|
1031-1075
|
27
|
ABUL QASIM
ABDULLAH AL MUQTADI
|
467-487
|
1075-1094
|
28
|
ABUL ABBAS
AHMAD AL-MUSTAZHIR
|
487-512
|
1094-1118
|
29
|
ABU MANSUR
AL-FADL AL-MUSTARSYID
|
512-529
|
1118-1135
|
30
|
ABU JA’FAR
AL-MANSUR AR-RASYID
|
529-530
|
1135-1136
|
31
|
ABU ABDULLAH
MUHAMMAD AL-MUQTAFI
|
530-555
|
1136-1160
|
32
|
ABUL MUZAFFAR
AL-MUSTANJID
|
555-566
|
1160-1170
|
33
|
ABU MUHAMMAD
AL-HASAN AL-MUSTADI’
|
566-575
|
1170-1180
|
34
|
ABU AL-ABBAS
AHMAD AN-NASR
|
575-622
|
1180-1225
|
35
|
ABU NASR MUHAMMAD
AZ-ZAHR
|
622-623
|
1225-1226
|
36
|
ABU JA’FAR
AL-MANSUR AL-MUSTANSIR
|
623-640
|
1226-1242
|
37
|
ABU AHMAD
ABDULLAH AL-MUSTA’SIM
|
640-656
|
1242-1258
|
c.
Masa
Kejayaan Bani Abbasiyah
Kejayaan daulah bani abbasiyah terjadi pada pemerintahan Harun al-Rasyid
(170-193/786-809 M). Ketika ar-Rsyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kejayaan melimpah, keamanann terjamin walau juga ada pemberontakan, dan luas
wilayahnya dari Afrika Utara sampai ke India. Pada masa hidupnya juga hidup
para filosof. Pujangga dan baca Al-Quran dan para ulama di bidang agama.
Didirikan pula perpustakaan yang bernama Baitul Hikmah yang didalamya
dapat membaca, menulis an berdiskusi. Khalifah
Harun al-Rasyid sebagai orang yang taat agama, menunaikan ibadah haji
setiap tahun yang diikuti oleh keluarga dan pejanat-pejabatnya serta para
ulama, yang berderma kepada fakir miskin.[7]Dan kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
Al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi didirikan. Pada masannya, sudah trdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa iniah Negara islam
menempatkan dirinya sebagai Negara yang terkuat dan tak tertandingi.[8]
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan umum
maupun ilm pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Quran, qiraat, hadis, fiqh,
kalam, bahasa, dan sastra. Empat mazhab fiqh juga tumbuh dan berkembang pada
masa Abbasiyah ini.
Khalifah Harun merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada
saat itu. Tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang
diperintahnya, dan kekuatan pemertintahnya serta ketinggian kebudayaan dan
keradaban yang berkembang di negaranya. [9]
d.
Kemunduran dan Kejatuhan
Abbasiyah
Kejayaan Abbasiyah
rupanya hanya sampai periode pertama dari tiga periode yang telah dipaparkan
diatas. Setelah itu abbasiyah mengalami kemunduran. Diantara sebab-sebab
kemunduran itu ialah hidup mewah yang terjadi pada para khalifah bani Abbasiyah
dan keluarga serta para pejabatannya, karena harta kekayaan dan melimpahnya
dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang
melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan
yang menghungkan antara dunia barat dan timur. Kondisi tersebut diperburuk oleh
lemahnya para khalifah, sehingga mereka berada dibawah pengaruh para
pengawalnya yang menguasai keadaan yang terdiri dari orang-orang Turki,
disamping itu adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri terhadap
pemerintahan pusat, Baghdad. Bahkan
dinasti-dinasti bani umayyah di Spayol dan Fatimiyah di Afrika Utara dan Mesir
menjadi saingan Abbasiyah.
Serangan-seranga yang dilakukan oleh pasukan perang salib ke
Palestina yang berjalan begitu lama dengan jatuh dan bangunnya pasukan muslimin
memperlemah kekuasaan bani Abbasiyah juga.
Akhir dari kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Baghdad dihancurkan
oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulako Khan, 656/258. Ia adalah saudara
Mongke Khan yang berkuasa di China hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke
Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari
Cina itu ke pangkuannya lagi. Baghdad di bumi hanguskan dan diratakan dengan
tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yangterakhir dengan keluarganya, al-Musta’sim
dibunuh, serta buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang di
sungai tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih
menjadi hitam kelam karena kelunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[10]
2. Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Pada nasa pemerintahan khalifah al-Manshur
itu bermula pula kegiatanpenyusunan cabang-cabang ilmu, baik ilmu-ilmu umum
maupun terlebih-lebih cabang-cabang ilmu yang bertalian dengan kepentingan
agama islam.
Pada masa ini Ia baru mengenal empat mazhab
hukum, tetapi ada berbagai mazhab hukum, Cuma lambatlaun kehilangan pengikutdan
lenyap sejarahnya. Tokoh-tokoh besar yang terpandang pembangun mazhab-mazhab
hukum,yang kebetulan hidup pada khalifah al-Manshur itu tercatat sebagai
berikut. Malik ibn Anas (93-179 H/711-795 M ), Abu Hanifah (80-150 H/699-767
M), Abdurrahman Al-Auzai (88-157 H/707-774 M), Soufyan Tsauri (97-161 H/715-778
M). Sedangkan pemazhab lainnya belum lahir.
Selanjutnya ahli-ahli bahasa pada pertama
kalinya mulai menyusun ilmu Tatabahasa (Nahwu/Shorof) dan ilmu Senibahasa
(Al-Balaghat), giat melakukan riset dan penelitian, lalu menyusun
ketentuan-ketentuannya dan merumuskannya. Tokoh-tokoh besar dalam tatabahasa
dan senibahasa itu, yang kebetulan hidup pada masa khalifah al-Manshur itu,
tercatat sebagai berikut: Sibawaihi (Bisyri-Amru ibn Utsman = wafat 153H/770M),
al-Kisai (Abubakar Muhammad ibn Abdillah = wafat 190H/806M), Ahfasy al-Kabir
(wafat 177H/793M), dan Khalilal-Azadi (wafat 161H/778M). sekaliannya itu
nama-nama besar dalam bidang tatabahasa.
Sealnjutnya mulai berlangsung kegiatan
pengumpulan dan penyaringan Alhadits, yang telah tersebar sedemikian luas dan
banyak pemalsuan-pemalsuan yang tersebar luas. Kegiatan itu tadinya dimulai oleh
Muhammad ibn Syihab al-Zuhri atas perintah khalifah Umar ibn Aziz, dari daulat
Umayyah akan tetapi pada masanya belum berhasil.
Apa yang dimulai pada masa khalifah
al-Manshur itu baru mencapai puncak perkembangannya kelak di tangan al-Bukhori,
Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Baihaqi.
Betapa luas pemalsuan-pemalsuan sabda-sabda
Nabi pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan yang diungkapkan
al-Bukhori di dalam karyanya. Dengan menjelajahi hamper seluruh wilayah islam masanya
itu, maka iapun berhasil lebih sejumlah 600.000 buah Hadits, tetapi setelah
penyusunan system dan metode penilaian yang tertib, maka dari jumlah tersebut
cuma dapat diakuinya sebagai hadits shahih sejumlah 6.000 buah saja, dan itulah
yang terkumpul dalam karya besar shahih al-Bukhori.
Menginsyafi kenyataan pahit itu telah
mendorong khalifah al-Manshur, seperti juga khalifah Umar ibn Abdil-Aziz, untuk
mempergiat pengumpulan dan penyaringan setiap hadits.
Selanjutnya dalam bidang ilmu tafsir, yang
dulunya telah dimulai oleh moyang khalifah al-Manshur sendiri, yaitu Abdullah
ibn Abbas, makin memperhatikan perkembangan yang pesat pada masa khalifah
al-Manshur dan khalifah-khalifah selanjutnya.[11]
Pada masa Daulat Abbasiah lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1. Maktab/ Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat remaja
belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti: tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi
keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu
agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama
bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan bisa berlangsun di istana atau di
rumah penguasa tersebut dengan meanggil ulama ahli kesana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani
Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu
lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di
sana oraang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Pada masa ini ada beberapa tokoh yang ahli dalam bidangnya, seperti:
1. Al-Razi dan Ibnu Sina, ahli dalam bidang kedokteran
2. Abu Ali Al-Hasan ibn Al-haythami, ahli dalam bidang optika
3. Al-Fazari, ahli dalam bidang
astronom
4. Jabir ibn Hayyan ahli dalam bidang kimia
5. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, ahli dalam bidang matematika
6. Al-Mas’udi, ahli dalam bidang sejarah dan geografi
7. Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, ahli dalam bidang filsafat.[12]
D. PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656
H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan polotik, sosial, dan budaya. Para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode,
tetapi ad juga yang membagi menjadi tiga periode.
Kejayaan daulah bani Abbasiyah
terjadi pada pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193/786-809 M). Ketika ar-Rsyid memerintah, negara
dalam keadaan makmur, kejayaan melimpah, keamananya terjamin. Diantara sebab-sebab jatuhnya daulah
bani Abbasiyah itu ialah hidup mewah yang terjadi pada para khalifah bani
Abbasiyah dan keluarga serta para pejabatannya, karena harta kekayaan dan
melimpahnya dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan
yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari
pelabuhan-pelabuhan yang menghungkan antara dunia barat dan timur.
Banyak ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa daulah bani Abbasiyah diantaranya adalah: kedokteran,
astronomi, optika, kimia, matematika, sejarah, geografi, filsafat, bahasa,
fiqih, tafsir, hadis.
E. DAFTAR PUSTAKA
Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh
al-Daulat al-Islamiyah, Beirut: al-maktab al-TIjari. TT
Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos. 1997
Dr. badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiah I, Jakarta: Bulan Bintang. 1977
Khoiriyah, Sejarah Islam, Arab:Teras.
2012
[1] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Budaya Arab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1997, hal. 87
[2] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh
al-Daulat al-Islamiyah, al-Maktab al-Tijari, Beirut: TT, hal. 360
[3]
Ali Mufrodi, Op.Cit,
hal. 89
[4] Khoiriyah, Op.Cit, hal. 85
[5] Ali mufrodi, Op. Cit, hal.
89-91
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011, hal. 51-52
[7] Ali Mufrodi, Op. Cit, hal.
102
[8] Badri Yatim, Op. Cit, hal. 50
[9] Ali Mufrodi, Op. Cit, hal.
102-103
[11] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiah I, Bulan Bintang, Jakarta:
1977, hal. 70-72
[12] Badri Yatim, Op. Cit, hal.
54-58
No comments:
Post a Comment