Sunday, March 6, 2016

makalah peradaban islam dan ilmu pengetahuan pada masa dinasti abbasiyah


A.    PENDAHULUAN
Sejarah merupakan perjalanan dari masa lalu ke masa kini, dan melanjutkan perjalananya ke masa depan. Dalam perjalanan suatu sejarah selalu mengalami pasang surut yang berbeda-beda tidak terkecuali dengan peradaban islam, peradaban islam merupakan manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis. Dalam pengertian itulah peradaban islam akan dibahas, pembahasan ini akan lebih menekankan pada perkembangan dan peradaban islam.
Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa untuk tidak hanya sekedar paham sains tapi juga paham akan sejarah kebudayaan islam di masa lalu untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu menjadi masa daulah, dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa daulah Abbasiyah.
Dengan segala keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas inti dari masa daulah Abbasiyah pada waktu itu.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Peradaban Isalm pada Masa Dinasti Abbasiyah?
2.      Bagaimana kondisi Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah?

C.    PEMBAHASAN
1.      Peradaban Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah
a.      Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Sebelum berdirinya Daulah Bani abbasiyah terdapat tiga poros yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi saw. Abbas bin Abdul Mutalib, dari namanya dinasti itu disandarkan. Tiga tempat itu ialah Humaimah, kuffah dan Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tentram, bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas, kufah adalah wilayah yang penduduknya menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali bin Abi tholib, yang selalu bergolak dan ditindas oleh bani umayyah, sehingga mudah untuk dipengaruhi agar memberontak terhadap bani umayyah. Khurasan mempunyai warga yang bertempramen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum abbasiyah mendapatkan dukungan.[1]
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan polotik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.[2]
1.      Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M),
2.      Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M)
3.      Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M)
4.      Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)
5.      Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)
Dalam versi yang lain para sejarawan ada juga yang membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 perode.
yakni pertama tahun 132-232 H. Di mana para khalifah Abbasiyah bekuasa penuh, kedua 232-590 H. Tatkala kekuasaan para khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan orang lain, dan ketiga 590-656 H. Kembalinya kekuasaan Abbasiyah di tangan mereka tetapi hanya di sekitar Baghdad saja. Dalam periode pertama semua wilayah kekuasaan Islam berada di tangan Abbasiyah kecuali Andalusia yang ada di bawah Bani Umayyah. Dalam masa ini para khalifah Abbasiyah kuat, ditopang oleh para ulama besar yang saling bersilaturhami dan mengeluarkan fatwa serta banyak berijtihad. Dalam periode kedua kekuasaan berada di tangan keluarga lain, yakni di tangan orang-orang turki (Atrak), Bani Buwaih dan Bani Saljuk. Dalm periode ketiga kekuasaan berada di tangan para khalifah Abbasiyah lagi yang wilayahnya telah menyempit, hanya sekitar ibukota, yakni Baghdad saja.[3]
Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua islam yang berkuasa di Bagdad (sekarang ibu kota irak). Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah  kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dibentuk oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad, oleh karena itu mereka termasuk ke dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu kabilah dalam Quraisy, bukan termasuk yang seketurunan Nabi.[4]
b.      Para Khalifah Abbasiyah
Sebelum Abu al-abbas as-saffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa bakal penerus penggantinya, yakni saudaranya, Abu ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakannya. Sistem pwngumuman putra mahkota itu meniru cara Umayyah, bukan mencontoh khulafaurrosidin yang mendasarkan pemilihan kholifah pada musyawarah dari rakyat. Ada suatu hal yang baru lagi bagi para khalifah Abbasiyah, ialah pemakaian gelar. Abu ja’far umpamanya, memakai gelar al-Mansur. Hal tersebut dapat ditelusuri dari lokasi dimana Abbasiyah berkuasa yang bertumpu pada bekas kekuasaan Persia sehingga model Persia dijadikan acuan bagi pemerintahannya antara lain ialah dengan mengatakan bahwa seseorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi, Tuhan telah memilih mereka sebagai orang kepercayaan-Nya untuk memerintah. Al-Mansur mengatakan bahwa ia adalah “Sultan Tuhan diatas bumi-Nya”. Mereka menetapkan untuk melaksanakan pemerintahan tertinggi karena mereka sebagai ahli waris Nabi. Mereka juga memakai gelar imam sebagai pemimpin umat Islam di bidang spiritual.
Gelar imam telah lazim digunakan oleh kelompok syiah, pendukung Ali bin abi tolib imam sebenarnya dari pemimpin salat berjamaah, berarti pemimpin dalam agama. Tetapi penggunaan kata imam bagi Syiah bukan dibidang agama saja, hal itu digunakan dalam lapangan politik. Rupanya Abbasiyah ingin selalu mendapat dukungan dari syiah dengan memakai gelar yang biasa digunakan diklangan pendukung Ali. Memang pada awal berdirinya Abbasiyah justru mendapatkan dukungan penuh dari kaum syiah yang selalu gagal merebut kepemimpinan umat Islam. Bahkan mereka mendapat tekanan keras dari umayyah. Husainn bin Ali bin Abi tholib mati terbunuh di masa pemerintah Yazid bin Muawiya pada perang Karbela.
Dalam masa pemerintahan al-Mansur terjadi pembunuhan terhadap orang-orang kuat yang berjasa merebut kekuasaan dari tangan Bani umyyah karena  kholifah itu ingin tidak ada tandingannya sehingga melapangkan jalan bagi keinginan-keinginannya sehingga melapangkan jalan keinginannya. Tiga pihak yang dikhawatirkan menjadi saingan akhirnya lenyap dari peredaran pemerintahnya. Yakni pertama Abdullah bin Ali, pamannya sendiri yang gagah berani dalam pertempuran, dan ia menginginkan jabatan kholifah itu jatuh ke tangannya. Ia memimpin tentara yang besar sehingga Khurasan, Mausul dan Syam berada di bawah kekuasaanya. Yang kedua ialah Abu Muslim al-Khurasani, yang berjasa dalam mendirikan dan menegakkan Daulah bani abbas. Ia seorang yang setia dan berpengaruh besar ketika as-saffah masih hidup, Abu Muslim selalu dimintai pendapatnya dalam urusan negara, sebelum meminta kepaada yang lain termasuk al-Mansur. Sedangkan yang ketiga ialah keturunan Ali bin Abi tholib yang pengikutnya banyak, terutama di wilayah berdirinya kekuasaan bani abbas. Mereka ditakutkan menuntut hak kepemimpinan umat Islam yang selama ini ikut berjuang mendirikan kekuasaan.[5]
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu, Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.
Pada mulanya, ibu kota Negara adalah al-Hasyimiyyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu kota Negara ke kota baru yang dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen, wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol Negara, sekretaris Negara, dan kepolisian Negara di samping membenahi angkatan senjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman Negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Manshur, jawatan pos di tugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancer. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah daerah pusat, dan menetapkan keamanan di daerah pembatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun  oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur , maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu, Al-Mahdi (775-785 M ), al-Hadi (775-786 M ), Harun Al-Rasyid (786-809 M ), Al-Ma;mun (813-833 M ), Al-Mu’tashim (833-842 M ), Al-Wasiq (842-847 M ), dan Al-Mutawakkil (847-861 M ).[6]

Inilah nama-nama Para khalifah Bani Abbasiyah sebanyak 37 orang, sebagaimana tercantum di bawah ini
NO
NAMA
TAHUN LAHIR SAMPAI WAFAT
HIJRIYAH
MASEHI
1
ABUL ABBAS AS-SAFFAH
132-136
749-754
2
ABU JA’FAR AL-MANSUR
136-158
754-775
3
ABU ABDULLAH MUHAMMAD AL-MAHDI
158-169
775-785
4
ABU MUHAMMAD MUSA AL-HADI
169-170
785-786
5
ABU JA’FAR AR-RASYID
170-193
786-809
6
ABU MUSA MUHAMMAD AL-AMIN
193-198
809-813
7
ABU JA’FAR ABDULLAH AL-MAKMUN
(IBROHIM IBN AL-MAHDI DI BAGHDAD)
198-218
201-203
813-833
817-819
8
ABU ISHAQ MUHAMMAD AL-MU’TASIM
218-227
833-842
9
ABU JA’FAR HARUN AL-WASIQ
227-232
842-847
10
ABUL FADL JA’FAR AL-MUTAWAKKIL
232-247
847-861
11
ABU JA’FAR MUHAMMAD AL-MUNTASIR
247-248
861-862
12
ABUL ABBAS AHMAD AL-MUSTA’IN
248-252
862-866
13
ABU ABDULLAH MUHAMMAD AL-MU’TAZZ
252-255
866-869
14
ABU ISHAQ MUHAMMAD AL-MUHADI
255-256
869-870
15
ABUL ABBAS AHMAD AL MU’TAMID
256-279
870-892
16
ABUL ABBAS AHMAD AL-MU’TADID
279-289
892-902
17
ABU MUHAMMAD ALI AL-MU’TAFI
289-295
902-905
18
ABU FADL JA’FAR AL-MUQTADIR
295-320
905-932
19
ABU MANSUR MUHAMMAD AL-QAHIR
320-322
932-934
20
ABUL ABBAS AHMAD AR-RADI
322-329
934-940
21
ABU ISHAQ IBRAHIM AL-MUTTAQI
329-323
940-944
22
ABUL QASIM ABDULLAH AL-MUSTAQFI
323-334
944-946
23
ABUL QASIM AL-FADL AL-MUTI’
334-362
946-974
24
ABUL FADL ABDUL KARIM AT-TA’I
362-381
974-991
25
ABUL ABBAS AHMAD AL-QADR
381-422
991-1031
26
ABU JA’FAR ABDULLAH AL-QA’IM
422-467
1031-1075
27
ABUL QASIM ABDULLAH AL MUQTADI
467-487
1075-1094
28
ABUL ABBAS AHMAD AL-MUSTAZHIR
487-512
1094-1118
29
ABU MANSUR AL-FADL AL-MUSTARSYID
512-529
1118-1135
30
ABU JA’FAR AL-MANSUR AR-RASYID
529-530
1135-1136
31
ABU ABDULLAH MUHAMMAD AL-MUQTAFI
530-555
1136-1160
32
ABUL MUZAFFAR AL-MUSTANJID
555-566
1160-1170
33
ABU MUHAMMAD AL-HASAN AL-MUSTADI’
566-575
1170-1180
34
ABU AL-ABBAS AHMAD AN-NASR
575-622
1180-1225
35
ABU NASR MUHAMMAD AZ-ZAHR
622-623
1225-1226
36
ABU JA’FAR AL-MANSUR AL-MUSTANSIR
623-640
1226-1242
37
ABU AHMAD ABDULLAH AL-MUSTA’SIM
640-656
1242-1258

c.       Masa Kejayaan Bani Abbasiyah
Kejayaan daulah bani abbasiyah terjadi pada pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193/786-809 M). Ketika ar-Rsyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kejayaan melimpah, keamanann terjamin walau juga ada pemberontakan, dan luas wilayahnya dari Afrika Utara sampai ke India. Pada masa hidupnya juga hidup para filosof. Pujangga dan baca Al-Quran dan para ulama di bidang agama. Didirikan pula perpustakaan yang bernama Baitul Hikmah yang didalamya dapat membaca, menulis an berdiskusi. Khalifah  Harun al-Rasyid sebagai orang yang taat agama, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang diikuti oleh keluarga dan pejanat-pejabatnya serta para ulama, yang berderma kepada fakir miskin.[7]Dan kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masannya, sudah trdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa iniah Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara yang terkuat dan tak tertandingi.[8]
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan umum maupun ilm pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Quran, qiraat, hadis, fiqh, kalam, bahasa, dan sastra. Empat mazhab fiqh juga tumbuh dan berkembang pada masa Abbasiyah ini.
Khalifah Harun merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada saat itu. Tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan pemertintahnya serta ketinggian kebudayaan dan keradaban yang berkembang di negaranya. [9]
d.      Kemunduran dan Kejatuhan Abbasiyah
Kejayaan Abbasiyah rupanya hanya sampai periode pertama dari tiga periode yang telah dipaparkan diatas. Setelah itu abbasiyah mengalami kemunduran. Diantara sebab-sebab kemunduran itu ialah hidup mewah yang terjadi pada para khalifah bani Abbasiyah dan keluarga serta para pejabatannya, karena harta kekayaan dan melimpahnya dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan yang menghungkan antara dunia barat dan timur. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya para khalifah, sehingga mereka berada dibawah pengaruh para pengawalnya yang menguasai keadaan yang terdiri dari orang-orang Turki, disamping itu adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri terhadap pemerintahan pusat, Baghdad.  Bahkan dinasti-dinasti bani umayyah di Spayol dan Fatimiyah di Afrika Utara dan Mesir menjadi saingan Abbasiyah.
Serangan-seranga yang dilakukan oleh pasukan perang salib ke Palestina yang berjalan begitu lama dengan jatuh dan bangunnya pasukan muslimin memperlemah kekuasaan bani Abbasiyah juga.
Akhir dari kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulako Khan, 656/258. Ia adalah saudara Mongke Khan yang berkuasa di China hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina itu ke pangkuannya lagi. Baghdad di bumi hanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yangterakhir dengan keluarganya, al-Musta’sim dibunuh, serta buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang di sungai tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena kelunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[10]
2.      Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Pada nasa pemerintahan khalifah al-Manshur itu bermula pula kegiatanpenyusunan cabang-cabang ilmu, baik ilmu-ilmu umum maupun terlebih-lebih cabang-cabang ilmu yang bertalian dengan kepentingan agama islam.
Pada masa ini Ia baru mengenal empat mazhab hukum, tetapi ada berbagai mazhab hukum, Cuma lambatlaun kehilangan pengikutdan lenyap sejarahnya. Tokoh-tokoh besar yang terpandang pembangun mazhab-mazhab hukum,yang kebetulan hidup pada khalifah al-Manshur itu tercatat sebagai berikut. Malik ibn Anas (93-179 H/711-795 M ), Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), Abdurrahman Al-Auzai (88-157 H/707-774 M), Soufyan Tsauri (97-161 H/715-778 M). Sedangkan pemazhab lainnya belum lahir.
Selanjutnya ahli-ahli bahasa pada pertama kalinya mulai menyusun ilmu Tatabahasa (Nahwu/Shorof) dan ilmu Senibahasa (Al-Balaghat), giat melakukan riset dan penelitian, lalu menyusun ketentuan-ketentuannya dan merumuskannya. Tokoh-tokoh besar dalam tatabahasa dan senibahasa itu, yang kebetulan hidup pada masa khalifah al-Manshur itu, tercatat sebagai berikut: Sibawaihi (Bisyri-Amru ibn Utsman = wafat 153H/770M), al-Kisai (Abubakar Muhammad ibn Abdillah = wafat 190H/806M), Ahfasy al-Kabir (wafat 177H/793M), dan Khalilal-Azadi (wafat 161H/778M). sekaliannya itu nama-nama besar dalam bidang tatabahasa.
Sealnjutnya mulai berlangsung kegiatan pengumpulan dan penyaringan Alhadits, yang telah tersebar sedemikian luas dan banyak pemalsuan-pemalsuan yang tersebar luas. Kegiatan itu tadinya dimulai oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri atas perintah khalifah Umar ibn Aziz, dari daulat Umayyah akan tetapi pada masanya belum berhasil.
Apa yang dimulai pada masa khalifah al-Manshur itu baru mencapai puncak perkembangannya kelak di tangan al-Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Baihaqi.
Betapa luas pemalsuan-pemalsuan sabda-sabda Nabi pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan yang diungkapkan al-Bukhori di dalam karyanya. Dengan menjelajahi hamper seluruh wilayah islam masanya itu, maka iapun berhasil lebih sejumlah 600.000 buah Hadits, tetapi setelah penyusunan system dan metode penilaian yang tertib, maka dari jumlah tersebut cuma dapat diakuinya sebagai hadits shahih sejumlah 6.000 buah saja, dan itulah yang terkumpul dalam karya besar shahih al-Bukhori.
Menginsyafi kenyataan pahit itu telah mendorong khalifah al-Manshur, seperti juga khalifah Umar ibn Abdil-Aziz, untuk mempergiat pengumpulan dan penyaringan setiap hadits.
Selanjutnya dalam bidang ilmu tafsir, yang dulunya telah dimulai oleh moyang khalifah al-Manshur sendiri, yaitu Abdullah ibn Abbas, makin memperhatikan perkembangan yang pesat pada masa khalifah al-Manshur dan khalifah-khalifah selanjutnya.[11]
Pada masa Daulat Abbasiah lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.      Maktab/ Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti: tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.
2.      Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan bisa berlangsun di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan meanggil ulama ahli kesana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana oraang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Pada masa ini ada beberapa tokoh yang ahli dalam bidangnya, seperti:
1.      Al-Razi dan Ibnu Sina, ahli dalam bidang kedokteran
2.      Abu Ali Al-Hasan ibn Al-haythami, ahli dalam bidang optika
3.       Al-Fazari, ahli dalam bidang astronom
4.      Jabir ibn Hayyan ahli dalam bidang kimia
5.      Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, ahli dalam bidang matematika
6.      Al-Mas’udi, ahli dalam bidang sejarah dan geografi
7.      Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, ahli dalam bidang filsafat.[12]
D.    PENUTUP
Kesimpulan
            Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan polotik, sosial, dan budaya. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, tetapi ad juga yang membagi menjadi tiga periode.
Kejayaan daulah bani Abbasiyah terjadi pada pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193/786-809 M). Ketika ar-Rsyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kejayaan melimpah, keamananya terjamin. Diantara sebab-sebab jatuhnya daulah bani Abbasiyah itu ialah hidup mewah yang terjadi pada para khalifah bani Abbasiyah dan keluarga serta para pejabatannya, karena harta kekayaan dan melimpahnya dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan yang menghungkan antara dunia barat dan timur.
Banyak ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa daulah bani Abbasiyah diantaranya adalah: kedokteran, astronomi, optika, kimia, matematika, sejarah, geografi, filsafat, bahasa, fiqih, tafsir, hadis.
E.     DAFTAR PUSTAKA
Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, Beirut: al-maktab al-TIjari. TT
Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos. 1997
Dr. badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah I, Jakarta: Bulan Bintang. 1977
Khoiriyah, Sejarah Islam, Arab:Teras. 2012










[1] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Budaya Arab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1997, hal. 87
[2] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, al-Maktab al-Tijari, Beirut: TT, hal. 360
[3] Ali Mufrodi, Op.Cit, hal. 89                                                     
[4] Khoiriyah, Op.Cit, hal. 85
[5] Ali mufrodi, Op. Cit, hal. 89-91
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011, hal. 51-52
[7] Ali Mufrodi, Op. Cit, hal. 102
[8] Badri Yatim, Op. Cit, hal. 50
[9] Ali Mufrodi, Op. Cit, hal. 102-103
[10] Ibid, hal. 105-107
[11] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah I,  Bulan Bintang, Jakarta: 1977, hal. 70-72
[12] Badri Yatim, Op. Cit, hal. 54-58

No comments:

Post a Comment