MASA’IL
FIQHIYAH DALAM KONTEKS POLITIK BESERTA DASAR HUKUMNYA
A.
Pendahuluan
Politik
merupakan kata yang sudah tidak asing lagi untuk kita dengar. Dalam dunia politik
tentunya didalamnya menyangkut tentang kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan
bahkan ketatanegaraan. Dalam Islam kita sering mendengar adanya fiqih politik (fiqih
siyasah) yang memberikan pandangan bahwa syari’at Islam disamping
mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia
juga mengatur tentang daulah (negara dan pemerintah).
Pada
Masa’il fiqhiyah ini banyak sekali kita temukan permasalahan yang terjadi
didunia politik. Diantara permasalahan itu yakni hukum wanita sebagai pemimpin
negara dan hukum risywah atau suap dalam dunia politik (pemilu). Untuk
lebih jelasnya akan dibahas pada bab berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka rumusannya sebagai berikut :
a.
Apa
pengertian Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik ?
b.
Bagaimanakah
contoh kasus Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian
Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik.
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis
yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites
yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang
berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan
negara dan politikos
yang berarti kewarganegaraan.[1]
Sedangkan dalam kamus umum bahasa
Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan
seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan atau segala urusan
dalam tindakan kebijaksanaan siasah dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu
negara atau terhadap negara lain.[2]
Menurut Cecep Darmawan, politik adalah segala sesuatu yang
berkenaan dengan negara termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan maupun pembagian dan pengalokasian nilai-nilai didalam masyarakat
yang bersangkutan.[3]
Sedangkan Masa’il Fiqhiyah yaitu problem-problem hukum Islam yang
faktual dan dipertanyakan oleh ummat jawaban hukumnya yang mana permasalahan
tersebut belum tertuang dalam sumber hukum Islam.
Jadi dapat penulis simpulkan, bahwa Masa’il fiqhiyah dalam konteks politik
merupakan segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan
atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum, kebijaksanaan yang dibuat oleh
pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai agama demi
kemaslahatan masyarakat.
2.
Contoh kasus Masa’il Fiqhiyah dalam konteks
politik.
a.
Hukum
wanita sebagai pemimpin negara.
Para
ulama’ dan fuqaha telah menetapkan persyaratan persyaratan menjadi kepala
Negara/pemerintarhan, diantaranya: Islam, dewasa (aqil baligh), berakal,
merdeka, laki-laki, ‘adalah (adil), mempunyai kemampuan, berpengetahuan,
tidak meminta Imarah (jabatan), warga negara yang mau dipimpinnya, sehat
indrawi dan jasmani, keturunan quraisy.[4]
Ada dua alasan ulama yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin.
Pertama, berhujah dengan Surah An-Nisa yang berikut: "Laki-laki (suami)
itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan
yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya), hendaklah kamu beri nasihat kepada
mereka; tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan
untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.(QS An-Nisa
:34)
Kedua, mereka
berhujah dengan Hadits yang berasal dari Abi Bakrah dan diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka
seorang perempuan". (HR Bukhari, Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).[5]
Yang
dimaksud dalam kekuasaan umum terhadap ummat semuanya, adapun kepemimpinan atas
sebagian masalah, maka tidak ada halangan bagi kaum wanita untuk mengembannya.
Bahkan imam abu hanifah memperbolehkan kaum wanita menduduki jabatan hakim
untuk mengadili perkara yang mereka sendiri boleh menjadi saksinya. [6]
Hadis ini hanya dipahami
oleh mereka sebagai bentuk larangan untuk memilih dan mengangkat perempuan
sebagai pemimpin. Penegasan dalam hadis tersebut, bahwa suatu kaum yang memilih
perempuan untuk menduduki kepemimpinan dalam jabatan politik dan pemerintahan
yang bertanggung jawab atas semua aspek kehidupan yang menjadi hajat hidup
orang banyak tidak akan pernah meraih kebahagiaan, menurut mereka,
mengisyaratkan dengan jelas bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin
dalam jabatan publik, lebih-lebih dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan.
Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta.
Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah
semestinya diperbolehkan. Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih
longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi
pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal.[7]
Prinsipnya,
menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengah-nengahi
pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis
kelamin, baik laki-laki atau perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan
sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’,
yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
Tetapi
banyak ulama menolak kepemimpinan wanita selain hadis di atas juga ada hadis
lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya. Kurang akal
yang maksud karena kesaksian wanita setengah dari kesaksian laki-laki sedangkan
kurang agamanya disebut karena adanya masa-masa tertentu harus meninggalkan
kewajiban shalat. Bahkan wanita kadangkala lebih utama dan unggul daripada
laki-laki karena sesungguhnya persoalannya menyangkut kepada keahlian yang
mengandung unsur-unsur pencapaian dan kompetensi yang bersifat khusus.[8]
Selain
itu juga banyak alasan mengapa wanita tidak boleh menjadi pemimpin,
diantarannya: Tidak ada Nabi dan Rasul wanita, Laki-laki sudah
ditetapkan sebagai pemimpin wanita, imam dalam sholat tidak boleh wanita,
kecuali makmumnya juga wanita.[9]
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keabsahan hadits
tersebut, juga ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas
wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Argumentasi yang
mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk
negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam
syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima Dikatakan bahwa Imam
Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik
bin Anas disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara.
Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa
saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan
ratu Bilqis tidak bisa diterima Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya
dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi.
Haramnya wanita
menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil
sharih telah menunjukkan hal itu. Jadi Sudah seharusnya kaum muslim kembali
pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan
pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh
Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
b.
Hukum
Risywah dalam politik (pemilu).
Risywah
itu dosa besar . Apakah risywah itu ? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al-Wasith:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو
إبطال حق
Artinya:
“Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi atau sesuatu yang diberikan
untuk membenarkan yang batil atau membatilkan yang Haq”. (Al Mu’jam Al
Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah).
Dalam
Tuhfah al-ahwadzi (4:471) dan Fath al-Bari (6:148) yang
dikutip oleh ash-shadiq abdurrahman al-gharyani dalam buku fatwa-fatwa muamalah
kontemporer, adapun orang yang menyuap dinamakan ar-Rasyi, Sedangkan
orang yang menerima suap dinamakan al-Murtasyi dan perantara suap
dinamakan ar-Ra-isy. Hukum risywah adalah haram, baik itu pelaku suap,
perantara suap maupun yang menerima suap. Orang yang melakukan suap dianggap
sebagai orang yang fasik. Allah telah berfirman dalam Qs.al-Maidah:42
سمعون للكذب اكا لون للسحت
Artinya
:” Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram.”( Qs. al-Maidah: 42).
Dalam
sebuah Hadits juga disebutkan:
كل
لحم أنبته السحت فالنار اولي به, قيل: يارسول الله, وما السحت ؟ الرشوة في الحكم
Artinya: “ Setiap daging dalam tubuh
manusia yang tumbuh dari barang haram (as-Suht) maka api neraka adalah
utama baginya. Kemudian beliau ditanya:” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud
dengan harta haram itu (as-Suht).” Beliau bersabda:” Ia adalah uang suap
untuk meraih jabatan.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Umar, ia berkata :
لعن
رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي والمرتشي, وفي رواية: والراشي بينهما
Artinya:”
Rasulullah SAW melaknat orang yang memberikan uang suap (ar-Rasyi) dan
yang menerima uang suap (al-Murtasyi), Dalam riwayat lain disebutkan:”
Dan orang yang menjadi perantara (antara ar-Rasyi dan al-Murtasyi).
(HR.at-Turmudzi).[10]
Dalam
percaturan politik terutama dalam dunia pemilu istilah risywah sering dikenal
dengan Money politik yaitu penggunaan uang untuk mendapatkan posisi atau
perolehan dukungan dalam mencapai kekuasaan agar suatu saat masyarakat memilih
mereka dalam pengambilan keputusan.
Money politik termasuk dalam
pemberian bersyarat baik tertulis atau tidak maka ketentuan hukum ini harus
lebih berhati-hati dengan memperhatikan beberapa kaidah:
a.
Kaidah Sadudzdzara’i (Menutup jalan yang menuju kepada
kemungkaran).
Penentuan kekuasaan
didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan adalah amanah, pemimpin adalah khadim
(pelayan) bagi yang dipimpinnya dan kepemimpinan pada dasarnya tidak diminta
dan tidak diberikan kepada orang yang ambisi, sedangkan money politik
akan mengarahkan kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari. Masyarakat
hendaklah memilih pemimpin berdasarkan kriteria amanah dan kekuatan bukan
karena materi, sedangkan money politik akan mengarahkan masyarakat untuk
bersikap pragmatis dan mengantarkan mereka untuk melanggar kandungan hadits :
“Barang siapa yang menjadikan seseorang laki-laki dari suatu kelompok dan
diantara kelompok tersebut ada yang lebih diridhoi Allah dari orang tersebut
maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya dan orang-orang beriman”.
(HR. Al Hakim, no.7523).
Money politik berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah mendapatkan kekuasaan, artinya money politik sebagai pendidikan yang buruk bagi dunia perpolitikan dan mendukung bangunan sosial pragmatis, sehingga bisa di pahami bahwa menerima dan memberikan uang untuk transaksi suara merupakan Ta’awun (tolong menolong) dalam itsm ( dosa ) dan ‘udwan (permusuhan). Dalam kaidah sadd dzaroi’ dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Dari sisi lain money politik bisa dianalogikan kepada larangan menerima hadiah sebagai balas budi terhadap rekomendasi, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Money politik berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah mendapatkan kekuasaan, artinya money politik sebagai pendidikan yang buruk bagi dunia perpolitikan dan mendukung bangunan sosial pragmatis, sehingga bisa di pahami bahwa menerima dan memberikan uang untuk transaksi suara merupakan Ta’awun (tolong menolong) dalam itsm ( dosa ) dan ‘udwan (permusuhan). Dalam kaidah sadd dzaroi’ dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Dari sisi lain money politik bisa dianalogikan kepada larangan menerima hadiah sebagai balas budi terhadap rekomendasi, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Dari abi umamah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi saw beliau bersabda : barang
siapa yang memberikan satu rekomendasi untuk seorang lantas ia memberikan
hadiah atas rekomendasi tersebut lalu ia terima hadiah tadi, berarti ia telah
mendatangi pintu riba yang besar.”(HR. Ahmad, 5/261)
Dari hadits ini
jelaslah, bahwa yang menerima diharamkan karena masuk dalam kandungan hadits
ini, sementara yang memberi juga tidak diperbolehkan karena merupakan penyebab
jatuhnya seseorang dalam larangan Allah, dan termasuk dalam kaidah fiqih :”Sesuatu
yang diharamkan untuk diambil, maka diharamkan pula untuk diberikan”.
b.
Kaidah : Al-Muslimun ‘alaa Syuruuthuhum
Kaum
muslimin dalam percaturan politik diwajibkan untuk tepat janji, amanah, disiplin dengan peraturan
selama tidak bertentangan dengan syar’i. Kesholehan dan kelayakan calon
pemimpin penilainnya diserahkan kepada publik bukan kepada pelaku politik sehingga
publiklah yang menilai dengan nuraninya siapa yang paling kredibel untuk
memimpin dengan tanpa dipengaruhi pemberian materi, sedang money politik
menjadikan tertutupnya nurani dan bisa saja terpilih karena materi bukan karena
kredibilitas dan hal itu telah disepakati akan tidak bolehnya melakukan money
politik.
c.
Kaidah: Daf’ul Mafsadati Muqaddamu ‘alaa Jalbil Masholih
(Menolak kerusakan itu
lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan).
Sesuai dengan kaidah
ini kita dapatkan bahwa mafsadah (kerusakan) yang terjadi karena money
politik sangat besar dan tidak seimbang dengan keuntungan yang mungkin akan
didapatkan, sedangkan Islam dibangun atas : ”Mengambil yang paling besar
dari dua maslahah, menolak yang paling besar dari dua hal yang berbahaya, jika
dua kerusakan berbenturan maka diperhatikan yang paling besar mafsadahnya
dengan melakukan yang paling ringan mafsadahnya”.
Melihat kaidah diatas,
maka melakukan money politik sesuai dengan pemahaman diatas adalah diharamkan,
baik yang melakukan atau menerimanya. Oleh karena itu kaum muslimin
seharusnya tidak memilih calon pemimpin yang melakukan money politik,
sesuai dengan firman Allah SWT Qs.al-Maidah:2 yaitu :
ولا تعاونوا علي الاثم
والعدوان,,,.....
Artinya: ......“Dan
janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”(QS. Al
Maidah: 2)[11]
Money politik adalah risywah
dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walaupun tujuannya adalah haq. Money politik adalah
upaya memenangkan yang kalah dengan cara batil atau mengalahkan yang menang
dengan cara batil pula.
Dari
Ibnu Umar RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
لعن رسول
الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
Artinya: “Rasulullah
melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”.(HR. At-Tirmidzi No. 1337).
Niat dan
tujuan yang baik tidaklah merubah sarana yang haram menjadi halal kecuali
memiliki dalil,Kaidahnya:
الغاية
لا تبرر الوسيلة إلا بدليل
Artinya: “Tujuan yang baik tidaklah
membuat baik sarana yang haram kecuali dengan adanya dalil”. (Syaikh Walid bin
Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al
Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23).
Tujuan
dan niat yang mulia tidak
boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram
walaupun dipakai untuk niat dan tujuan yang baik, yakni memenangkan da’wah
dalam kompetisi politik.[12]
Jadi
sudah jelas bahwa hukum risywah adalah haram baik itu pelaku, perantara maupun
penerimanya. Dalam dunia politik terutama pada pemilu, sering kita jumpai
adanya money politik dan itu termasuk risywah maka hukumnya sudah dapat
dipastikan yaitu haram meskipun itu untuk kemaslahatan umat sebagaimana yang
sudah dijelaskan diatas.
D.
Kesimpulan
1.
Masa’il
fiqhiyah dalam konteks politik merupakan segala permasalahan yang berkaitan
dengan kekuasaan, pemerintahan atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum,
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran
atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.
2.
Alasan
penolakan para fuqaha' menolak kepemimpinan wanita alam surat an-Nisa' ayat 34,
dan hadis Bakrah. Para ulama sepakat untuk tidak membolehkan wanita menjadi hakim
dan pemimpin Kalau ditilik dari alasan-alasan mereka maka untuk masa sekarang
ini sudah dapat diterima tentang kepemimpinan wanita karena ada wanita yang
benar-benar cakap dan mampu untuk menjadi seorang pemimpin
3.
Hukum
Risywah adalah haram baik itu pelaku, perantara maupun penerimanya. money
politik termasuk Risywah maka
hukumnya sudah dapat dipastikan yaitu haram meskipun itu untuk kemaslahatan
umat sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-gharyani,
Ash-Shadiq abdurrahman. 2004. Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer. Surabaya:
Pustaka Progressif.
Darmawan,
Cecep. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Laboratorium PKnUPI.
W.J.S
Poerdaminta.2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat bahasa
DEPDIKNAS.
Muhammad Abdul Qodir
Abu Faris. 2000. Sistem Politik Islam. Jakarta: Robbani Press.
Qardhawy,Yusuf.
1997. Fiqih Negara. Jakarta: Rabbani Press.
Raufizzat,Hibbah.
1995. Wanita dan Politik Pandangan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Oleh http://arsiparmansyah.wordpress.com/2009/07/05/bolehkah-memilih-pemimpin-wanita-didalam-islam/
Oleh Asep usman ismail,
http// jika-perempuan-menjadi-pemimpin.htm.
Oleh
Farid Nu’man Hasan, http://BeritaPKS.com-Money Politik
Untuk “Kemenangan Dakwah”.htm/31/03/2012.
[1] http://Pengertian
Politik « Ruhcitra.htm/30/03/2012
[2] W.J.S
Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ke 3, Jakarta: Pusat
bahasa, DEPDIKNAS,2003, Hlm.905
[4] Muhammada Abdul Qodir Abu Faris,
Sistem Politik Islam, Robbani Press, Jakarta, 2000, hlm.121
[5] Asep usman ismail, http//
jika-perempuan-menjadi-pemimpin.htm
[6] Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara,
Rabbani Press, Jakarta, 1997, hlm.213
[7] Ibid, hlm. 214
[8] Hibbah
Rauf izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1995
[9]
http://arsiparmansyah.wordpress.com/2009/07/05/bolehkah-memilih-pemimpin-wanita-didalam-islam/
[10]Ash-Shadiq
abdurrahman al-gharyani, Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer, Surabaya:
Pustaka Progressif, 2004, Hlm: 124
[12] Farid Nu’man Hasan,http://
BeritaPKS.com - Money Politik Untuk “Kemenangan Dakwah”.htm/31/03/2012.
No comments:
Post a Comment