Sunday, March 6, 2016

makalah masa'il fiqhiyah dalam kontek politik

MASA’IL FIQHIYAH DALAM KONTEKS POLITIK BESERTA DASAR HUKUMNYA

A.  Pendahuluan
Politik merupakan kata yang sudah tidak asing lagi untuk kita dengar. Dalam dunia politik tentunya didalamnya menyangkut tentang kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan bahkan ketatanegaraan. Dalam Islam kita sering mendengar adanya fiqih politik (fiqih siyasah) yang memberikan pandangan bahwa syari’at Islam disamping mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia juga mengatur tentang daulah (negara dan pemerintah).
Pada Masa’il fiqhiyah ini banyak sekali kita temukan permasalahan yang terjadi didunia politik. Diantara permasalahan itu yakni hukum wanita sebagai pemimpin negara dan hukum risywah atau suap dalam dunia politik (pemilu). Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bab berikutnya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusannya sebagai berikut :
a.       Apa pengertian Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik ?
b.      Bagaimanakah contoh kasus Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik?

C.  Pembahasan
1.      Pengertian Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik.
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.[1]
Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan atau segala urusan dalam tindakan kebijaksanaan siasah dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[2]
Menurut Cecep Darmawan, politik adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan negara termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan maupun pembagian dan pengalokasian nilai-nilai didalam masyarakat yang bersangkutan.[3]
Sedangkan Masa’il Fiqhiyah yaitu problem-problem hukum Islam yang faktual dan dipertanyakan oleh ummat jawaban hukumnya yang mana permasalahan tersebut belum tertuang dalam sumber hukum Islam.
Jadi dapat penulis simpulkan, bahwa Masa’il fiqhiyah dalam konteks politik merupakan segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum, kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.

2.       Contoh kasus Masa’il Fiqhiyah dalam konteks politik.
a.       Hukum wanita sebagai pemimpin negara.
Para ulama’ dan fuqaha telah menetapkan persyaratan persyaratan menjadi kepala Negara/pemerintarhan, diantaranya: Islam, dewasa (aqil baligh), berakal, merdeka, laki-laki, ‘adalah (adil), mempunyai kemampuan, berpengetahuan, tidak meminta Imarah (jabatan), warga negara yang mau dipimpinnya, sehat indrawi dan jasmani, keturunan quraisy.[4]
Ada dua alasan ulama yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin. Pertama, berhujah dengan Surah An-Nisa yang berikut: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka; tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.(QS An-Nisa :34)
Kedua, mereka berhujah dengan Hadits yang berasal dari Abi Bakrah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan". (HR Bukhari, Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).[5]
Yang dimaksud dalam kekuasaan umum terhadap ummat semuanya, adapun kepemimpinan atas sebagian masalah, maka tidak ada halangan bagi kaum wanita untuk mengembannya. Bahkan imam abu hanifah memperbolehkan kaum wanita menduduki jabatan hakim untuk mengadili perkara yang mereka sendiri boleh menjadi saksinya. [6]
Hadis ini hanya dipahami oleh mereka sebagai bentuk larangan untuk memilih dan mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Penegasan dalam hadis tersebut, bahwa suatu kaum yang memilih perempuan untuk menduduki kepemimpinan dalam jabatan politik dan pemerintahan yang bertanggung jawab atas semua aspek kehidupan yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak akan pernah meraih kebahagiaan, menurut mereka, mengisyaratkan dengan jelas bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin dalam jabatan publik, lebih-lebih dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan. Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal.[7]
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengah-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, baik laki-laki atau perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
Tetapi banyak ulama menolak kepemimpinan wanita selain hadis di atas juga ada hadis lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya. Kurang akal yang maksud karena kesaksian wanita setengah dari kesaksian laki-laki sedangkan kurang agamanya disebut karena adanya masa-masa tertentu harus meninggalkan kewajiban shalat. Bahkan wanita kadangkala lebih utama dan unggul daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalannya menyangkut kepada keahlian yang mengandung unsur-unsur pencapaian dan kompetensi yang bersifat khusus.[8]
Selain itu juga banyak alasan mengapa wanita tidak boleh menjadi pemimpin, diantarannya: Tidak ada Nabi dan Rasul wanita, Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita, imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita.[9]
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keabsahan hadits tersebut, juga ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi.
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Jadi Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.

b.      Hukum Risywah dalam politik (pemilu).
Risywah itu dosa besar . Apakah risywah itu ? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al-Wasith:                                                                         
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
Artinya: “Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil atau membatilkan yang Haq”. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah).
Dalam Tuhfah al-ahwadzi (4:471) dan Fath al-Bari (6:148) yang dikutip oleh ash-shadiq abdurrahman al-gharyani dalam buku fatwa-fatwa muamalah kontemporer, adapun orang yang menyuap dinamakan ar-Rasyi, Sedangkan orang yang menerima suap dinamakan al-Murtasyi dan perantara suap dinamakan ar-Ra-isy. Hukum risywah adalah haram, baik itu pelaku suap, perantara suap maupun yang menerima suap. Orang yang melakukan suap dianggap sebagai orang yang fasik. Allah telah berfirman dalam Qs.al-Maidah:42
سمعون للكذب اكا لون للسحت
Artinya :” Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.”( Qs. al-Maidah: 42).
Dalam sebuah Hadits juga disebutkan:
كل لحم أنبته السحت فالنار اولي به, قيل: يارسول الله, وما السحت ؟ الرشوة في الحكم
Artinya: “ Setiap daging dalam tubuh manusia yang tumbuh dari barang haram (as-Suht) maka api neraka adalah utama baginya. Kemudian beliau ditanya:” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan harta haram itu (as-Suht).” Beliau bersabda:” Ia adalah uang suap untuk meraih jabatan.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata :
لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي والمرتشي, وفي رواية: والراشي بينهما
Artinya:” Rasulullah SAW melaknat orang yang memberikan uang suap (ar-Rasyi) dan yang menerima uang suap (al-Murtasyi), Dalam riwayat lain disebutkan:” Dan orang yang menjadi perantara (antara ar-Rasyi dan al-Murtasyi). (HR.at-Turmudzi).[10]
Dalam percaturan politik terutama dalam dunia pemilu istilah risywah sering dikenal dengan Money politik yaitu penggunaan uang untuk mendapatkan posisi atau perolehan dukungan dalam mencapai kekuasaan agar suatu saat masyarakat memilih mereka dalam pengambilan keputusan.
Money politik termasuk dalam pemberian bersyarat baik tertulis atau tidak maka ketentuan hukum ini harus lebih berhati-hati dengan memperhatikan beberapa kaidah:
a.      Kaidah Sadudzdzara’i (Menutup jalan yang menuju kepada kemungkaran).
Penentuan kekuasaan didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan adalah amanah, pemimpin adalah khadim (pelayan) bagi yang dipimpinnya dan kepemimpinan pada dasarnya tidak diminta dan tidak diberikan kepada orang yang ambisi, sedangkan money politik akan mengarahkan kondisi kepemimpinan sebagai sesuatu yang dicari. Masyarakat hendaklah memilih pemimpin berdasarkan kriteria amanah dan kekuatan bukan karena materi, sedangkan money politik akan mengarahkan masyarakat untuk bersikap pragmatis dan mengantarkan mereka untuk melanggar kandungan hadits :
“Barang siapa yang menjadikan seseorang laki-laki dari suatu kelompok dan diantara kelompok tersebut ada yang lebih diridhoi Allah dari orang tersebut maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya dan orang-orang beriman”. (HR. Al Hakim, no.7523).
        Money politik
berakibat secara luas yaitu mendorong para pemimpin untuk mengeksploitir kelemahan rakyat setelah   mendapatkan kekuasaan, artinya money politik sebagai pendidikan yang buruk bagi dunia perpolitikan dan mendukung bangunan sosial pragmatis, sehingga bisa di pahami bahwa menerima dan memberikan uang untuk transaksi suara merupakan Ta’awun (tolong menolong) dalam itsm ( dosa ) dan ‘udwan (permusuhan). Dalam kaidah sadd dzaroi’ dipahami bahwa semua hal yang mengarahkan kepada keburukan harus ditutup. Dari sisi lain money politik bisa dianalogikan kepada larangan menerima hadiah sebagai balas budi terhadap rekomendasi, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Dari abi umamah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi saw beliau bersabda : barang siapa yang memberikan satu rekomendasi untuk seorang lantas ia memberikan hadiah atas rekomendasi tersebut lalu ia terima hadiah tadi, berarti ia telah mendatangi pintu riba yang besar.”(HR. Ahmad, 5/261)
Dari hadits ini jelaslah, bahwa yang menerima diharamkan karena masuk dalam kandungan hadits ini, sementara yang memberi juga tidak diperbolehkan karena merupakan penyebab jatuhnya seseorang dalam larangan Allah, dan termasuk dalam kaidah fiqih :”Sesuatu yang diharamkan untuk diambil, maka diharamkan pula untuk diberikan”.
b.      Kaidah : Al-Muslimun ‘alaa Syuruuthuhum
Kaum muslimin dalam percaturan politik diwajibkan untuk tepat janji, amanah, disiplin dengan peraturan selama tidak bertentangan dengan syar’i. Kesholehan dan kelayakan calon pemimpin penilainnya diserahkan kepada publik bukan kepada pelaku politik sehingga publiklah yang menilai dengan nuraninya siapa yang paling kredibel untuk memimpin dengan tanpa dipengaruhi pemberian materi, sedang money politik menjadikan tertutupnya nurani dan bisa saja terpilih karena materi bukan karena kredibilitas dan hal itu telah disepakati akan tidak bolehnya melakukan money politik.
c.       Kaidah: Daf’ul Mafsadati Muqaddamu ‘alaa Jalbil Masholih
(Menolak kerusakan itu lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan).
Sesuai dengan kaidah ini kita dapatkan bahwa mafsadah (kerusakan) yang terjadi karena money politik sangat besar dan tidak seimbang dengan keuntungan yang mungkin akan didapatkan, sedangkan Islam dibangun atas : ”Mengambil yang paling besar dari dua maslahah, menolak yang paling besar dari dua hal yang berbahaya, jika dua kerusakan berbenturan maka diperhatikan yang paling besar mafsadahnya dengan melakukan yang paling ringan mafsadahnya”.
Melihat kaidah diatas, maka melakukan money politik sesuai dengan pemahaman diatas adalah diharamkan, baik yang melakukan atau menerimanya. Oleh karena itu kaum muslimin seharusnya tidak memilih calon pemimpin yang melakukan money politik, sesuai dengan firman Allah SWT Qs.al-Maidah:2 yaitu :
ولا تعاونوا علي الاثم والعدوان,,,.....
Artinya: ......“Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”(QS. Al Maidah: 2)[11]
Money politik adalah risywah dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walaupun tujuannya adalah haq. Money politik adalah upaya memenangkan yang kalah dengan cara batil atau mengalahkan yang menang dengan cara batil pula.
Dari Ibnu Umar RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
Artinya: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”.(HR. At-Tirmidzi No. 1337).
Niat dan tujuan yang baik tidaklah merubah sarana yang haram menjadi halal kecuali memiliki dalil,Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل                                      
  Artinya: “Tujuan yang baik tidaklah membuat baik sarana yang haram kecuali dengan adanya dalil”. (Syaikh Walid bin Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23).
Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram walaupun dipakai untuk niat dan tujuan yang baik, yakni memenangkan da’wah dalam kompetisi politik.[12]
Jadi sudah jelas bahwa hukum risywah adalah haram baik itu pelaku, perantara maupun penerimanya. Dalam dunia politik terutama pada pemilu, sering kita jumpai adanya money politik dan itu termasuk risywah maka hukumnya sudah dapat dipastikan yaitu haram meskipun itu untuk kemaslahatan umat sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.

D.  Kesimpulan
1.      Masa’il fiqhiyah dalam konteks politik merupakan segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum, kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.
2.      Alasan penolakan para fuqaha' menolak kepemimpinan wanita alam surat an-Nisa' ayat 34, dan hadis Bakrah. Para ulama sepakat untuk tidak membolehkan wanita menjadi hakim dan pemimpin Kalau ditilik dari alasan-alasan mereka maka untuk masa sekarang ini sudah dapat diterima tentang kepemimpinan wanita karena ada wanita yang benar-benar cakap dan mampu untuk menjadi seorang pemimpin
3.      Hukum Risywah adalah haram baik itu pelaku, perantara maupun penerimanya. money politik  termasuk Risywah maka hukumnya sudah dapat dipastikan yaitu haram meskipun itu untuk kemaslahatan umat sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.















DAFTAR PUSTAKA

Al-gharyani, Ash-Shadiq abdurrahman. 2004. Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer. Surabaya: Pustaka Progressif.
Darmawan, Cecep. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Laboratorium PKnUPI.
W.J.S Poerdaminta.2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat bahasa DEPDIKNAS.
Muhammad Abdul Qodir Abu Faris. 2000. Sistem Politik Islam. Jakarta: Robbani Press.
Qardhawy,Yusuf. 1997. Fiqih Negara. Jakarta: Rabbani Press.
Raufizzat,Hibbah. 1995. Wanita dan Politik Pandangan Islam. Bandung:  Remaja Rosdakarya.
Oleh http://arsiparmansyah.wordpress.com/2009/07/05/bolehkah-memilih-pemimpin-wanita-didalam-islam/
Oleh Asep usman ismail, http// jika-perempuan-menjadi-pemimpin.htm.
Oleh  Ruchtira, http://Pengertian Politik.htm/30/03/2012.
Oleh Banna, http://MONEY POLITIC DALAM PANDANGAN ISLAM/DuaCinta/.htm/ 30/03/2012.
Oleh Farid Nu’man Hasan, http://BeritaPKS.com-Money Politik Untuk “Kemenangan Dakwah”.htm/31/03/2012.



[1] http://Pengertian Politik « Ruhcitra.htm/30/03/2012
[2] W.J.S Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ke 3, Jakarta: Pusat bahasa, DEPDIKNAS,2003, Hlm.905
[3] Darmawan, Cecep, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Laboratorium PKn UPI,2009
[4] Muhammada Abdul Qodir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Robbani Press, Jakarta, 2000, hlm.121
[5] Asep usman ismail, http// jika-perempuan-menjadi-pemimpin.htm
[6] Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, Rabbani Press, Jakarta, 1997, hlm.213
[7] Ibid, hlm. 214
[8] Hibbah Rauf izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995
[9] http://arsiparmansyah.wordpress.com/2009/07/05/bolehkah-memilih-pemimpin-wanita-didalam-islam/
[10]Ash-Shadiq abdurrahman al-gharyani, Fatwa-fatwa Mu’amalah Kontemporer, Surabaya: Pustaka Progressif, 2004, Hlm: 124

[11]Banna,http://MONEY POLITIC DALAM PANDANGAN ISLAM/DuaCinta/.htm/ 30/03/2012
[12] Farid Nu’man Hasan,http:// BeritaPKS.com - Money Politik Untuk “Kemenangan Dakwah”.htm/31/03/2012.

No comments:

Post a Comment