BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hasil belajar siswa bukan hanya sekedar angka yang
di hadiahkan oleh guru untuk siswa atas kegiatan belajarnya. Hasil belajar
merupakan ukuran kuantitatif yang mewakili kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
Untuk itu tes hasil belajar (THB) sebagai dasar untuk memberikan penilaian
hasil belajar seharusnya memiliki kemampuan secara nyata menimbang secara adil “bobot”
kemmpuan siswa.
Siswa sering mengeluhkan ketidakpuasannya terhadap
perolehan hasil belajar. Beberapa merasa mampu, siap dalam ujian dan belajar
bersungguh-sungguh namun hasil belajarnya rendah. Beberapa yang lain menyadari
tidak begitu menguasai, tidak siap dalam ujian dan tidak terlalu
bersungguh-sungguh dalam usahanya namun memperoleh hasil belajar yang tinggi.
Dalam keadaan ini siswa tidak dapat menemukan hubungan antara kemampuan
akademis (ability) dan usaha (effort) dengan hasil belajar (achievement) yang akan menimbulkan sikap
apatisme siswa terhadap proses dan
hasil belajar. Akibatnya siswa memilih menyerahkan takdir, nasib dan
keberuntungannya pada hal-hal yang tidak stabil, eksternal dan tidak
terkontrol. Siswa tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk belajar karena hasil
belajar telah kehilangan daya tariknya sebagai sumber harga diri. Ketika hasil
belajar tidak lagi sesuai dengan ekspetasi siswa maka kesuksesan menjadi tidak
bernilai. Keberhasilan tidak menimbulkan kebanggaan dan kegagalan tidak menjadi
hal yang memalukan. Sebagian disebabkan oleh keraguan bahwa THB yang digunakan
untuk mengukur dan menjadi dasar untuk menilai hasil belajar tidak menimbang
secara adil siswa dalam kemampuannya.
Setiap alat ukur yang hendak digunakan untuk
mengukur, termasuk THB, harus dipastikan kemampuannya untuk mengukur secara
baik. Oleh karenanya THB harus dibuat dengan prosedur pengembangan yang
menjamin dapat diperoleh kualitas THB yang baik. Dari THB yang baik dapat
diukur dan dikumpulkan data hasil belajar yang baik. Keputusan hasil penilaian
hasil belajar dapat dilakukan dengan tepat hanya apabila didasarkan pada data
hasil belajar yang baik. Penilaian hasil belajar dilakukan berdasarkan hasil
pengukuran menggunakan THB. Ketepatan penilaian sangat tergantung kepada
akurasi hasil pengukuran THB. Akurasi hasil pengukuran tergantung pada
kecermatan THB melakukan pengukuran. Untuk itu guru penilai harus memiliki
keterampilan mengembangkan alat ukur pengumpulan data hasil belajar berupa tes
hasil belajar (THB).[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi prosedur pelaksanaan
tes hasil belajar ?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes
tertulis ?
3. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes lisan
?
4. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes
perbuatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Prosedur Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
Berdasarkan
kamus besar bahasa indonesia (KBBI), Istilah-istilah dari prosedur
pelaksanaan tes hasil belajar antara lain:
a. Prosedur adalah perincian
langkah-langkah dari sistem dan rangkaian kegiatan yang saling berhubungan erat
satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Pelaksanaan yakni suatu tindakan untuk
mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran yang
sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi
pelaksanaan tersebut adalah menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan
sendirinya atau dengan kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan
dikehendaki secara efektif.
c. Tes merupakan cara yang dapat digunakan
atau prosedur yang dapat ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian yang
dapat berbentuk pemberian tugas, atau serangkaian tugas sehingga dapat
dihasilkan nilai yang dapat melambangkan prestasi.
d. Hasil belajar mendefinisikan hasil
belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil
belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Pekerjaan mengevaluasi ada prosedur tersendiri,
meskipun perlu untuk ditekankan, bahwa pekerjaan mengevaluasi itu lebih tepat
untuk dipandang sebagai suatu proses yang kontinu. Suatu kontinous proses yang
tidak terputus-putus, tetapi ada gunanya juga mengetahui prosedur apa sajakah
yang merupakan titik-titik penghubung dari proses yang bersifat kontinu tadi.
Pengetahuan tentang fungsi dalam keseluruhan proses
evaluasi akan memungkinkan kita memperoleh gambaran yang cukup jelas tentang
sistematik pekerjaan evaluasi pada umumnya. Bayangan yang ada pada diri kita
mengenai dalam rangka pekerjaan evaluasi ini sudah ada pada kita, akan lebih memudahkan
bagi kita untuk membangunkan suatu sistem evaluasi yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam suatu lingkungan pendidikan tertentu.
Dalam praktek, pelaksanaan tes hasil belajar dapat
diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), dengan secara lisan (tes lisan)
dan dengan tes perbuatan.[2]
Pada
tes tertulis, soal-soal tes dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes
juga tertulis. Pada tes lisan, soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab
secara lisan pula. Namun demikian dapat juga soal-soal tes diajukan secara
lisan dalam waktu yang ditentukan, jawaban harus dibuat secara tertulis. Adapun
pada tes perbuatan, wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang
harus dilaksanakan oleh testee, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses
penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai setelah testee melaksanakan
tugas tersebut.[3]
2.
Prosedur Pelaksanaan Tes Tertulis
Dalam
melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu
sebagaimana dikemukakan berikut ini.
Pertama,
agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan,
seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian,
kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang. Adalah sangat bijaksana
apabila diluar ruangan tes dipasang papan pemberitahuan.
Kedua,
ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk diatur
dengan jarak tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak sehat
di antara testee.
Ketiga,
ruangan tes sebaiknya memiliki sistem pencahayaan dan pertukaran udara yang
baik. Ruangan yang gelap atau remang-remang disamping menyulitkan testee dalam
membaca soal dan menuliskan jawabannya, juga akan menyulitkan bagi tester atau
pengawas tes dalam menunaikan tugasnya. Ruang tes yang terlalu terang atau
terlalu menyilaukan mata, disamping dapat menimbulkan udara panas juga dapat
menyebabkan testee cepat menjadi letih.
Keempat,
jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas
tempat penulis, maka sebelum tes dilaksanakan hendaknya sudah disiapkan alat
berupa alas tulis yang terbuat dari triplek, handboard atau bahan lainnya,
sehingga testee tidak harus menuliskan jawaban soal tes yang diletakkan di atas
paha sebagai alas tulisnya.
Kelima,
agar testee dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya
lembar soal-soal tes diletakkan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan
bagi testee untuk membaca dan mengerjakan soal lebih awal daripada
teman-temannya. Dalam hubungan ini testee harus diberi bahwa mereka baru boleh
memulai mengerjakan soal tes setelah tanda waktu mulai bekerja diberikan.
Keenam,
dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar. Artinya jangan
terlalu banyak bergerak, terlalu sering jalan-jalan dalam ruangan tes sehingga
mengganggu konsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas tes juga jangan selalu
duduk dikursi sehingga dapat membuka peluang bagi testee yang tidak jujur untuk
bertindak curang (kerja sama dengan testee menyontek). Jika pengawas lebih dari
satu sebaiknya berpencar dan jangan bercakap-cakap karena dapat mengganggu
ketenangan jalannya tes.
Ketujuh,
sebelum berlangsungnya tes, hendaknya sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang
dapat dikenakan kepada testee yang berbuat curang. Sanksi itu dapat berupa
tindakan mengeluarkan testee dari ruangan tes karenanya tesnya dianggap gugur,
atau dengan jalan membuat berita acara tentang terjadinya kecurangan tersebut.
Kedelapan, sebagai
bukti mengikuti tes, harus disiapkan daftar hadir yang harus ditandatangani oleh
setiap peserta didik. Dalam mengedarkan daftar hadir tes itu hendaknya
diusahakan agar tidak mengganggu ketenangan jalannya tes.
Kesembilan, jika
waktu ang ditentukan telah habis hendaknya testee diminta untuk menghentikan
pekerjaannya dan secepatnya meninggalkan ruangan tes. Kemudian pengawas tes
hendaknya segera mengumpulkan lembar-lembar pekerjaan (jawaban) tes seraya
meneliti, jumlah lembar jawaban tes itu sudah sesuai dengan testee yang
tercantum dalam daftar hadir tes.
Kesepuluh, untuk
mencegah timbulnya berkaitan di kemudian hari,
pada berita acara pelaksanaan harus dituliskan secara lengkap, berapa orang
testee yang hadir dan siapa yang tidak hadir, dengan menulis jumlahnya dan
mengurutkan sesuai dengan nomor urut, nomor induk, nomor ujian, dan lan
sebagainya, dan apabila terjadi penyimpangan atau kelainan-kelainan harus
dicatat dalam lembar acara pelaksanaan tes tersebut.[4]
3.
Prosedur Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa
petunjuk praktis berikut ini kiranya akan dapat dipergunakan sebagai pegangan
dalam pelaksanaan tes lisan.
Pertama,
sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi
berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut,
sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari
segi isi maupun konstruksinya.
Kedua,
sebab butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes lisan itu, juga
harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya.
Hal
ini dimaksudkan agar tester disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam
memberikan skor atau nilai kepada testee atas jawaban yang mereka belikan dalam
tes lisan tersebut, juga tidak akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban
panjang lebar atau terbelit-belit yang diberikan oleh testee, yang menurut anggapan
testee merupakan jawaban betul dan tepat, padahal menurut kriteria yang telah
ditentukan sesungguhnya sudah menyimpang atau tidak ada hubungannya dengan soal
yang diajukan kepada testee.
Ketiga,
jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh
testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat
ditentukan di saat masing-masing testee selesai dites. Hal ini dimaksudkan agar
pemberian skor atau nilai hasil tes lisan yang diberikan kepada testee itu
tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh testee yang lain.
Keempat,
tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai
menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi. Tester harus
senantiasa menyadari bahwa testee yang ada di hadapannya adalah testee yang
sedang “diukur” dan di “nilai” prestasi belajarnya mereka menempuh proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian apabila terjadi bahwa
jawaban yang diberikan oleh testee yang sekalipun menyimpang dari kriteria yang
telah ditentukan, namun sebenarnya tidak dapat disalahkan atau tidak sepenuhnya
salah, cukup diberikan skor atau nilai dan tidak perlu disangkal atau
diperdebatkan, yang dapat mengakibatkan kegiatan evaluasi berubah menjadi kegiatan
diskusi.
Kelima,
dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes
yang dilaksanakan secara lisan itu, tester hendaknya jangan sekali-kali
“memberikan angin segar” atau “ memancing-mancing” dengan kata-kata,
kalimat-kalimat atau kode-kode tertentu yang sifatnya menolong testee tertentu
alasan “kasihan” atau karena tester menaruh “rasa simpati” kepada testee yang
ada dihadapannya itu. Menguji, pada hakikatnya adalah “mengukur” dan bukan
“membimbing” testee.
Keenam,
tes lisan harus berlangsung secara wajar. Pernyataan tersebut mengandung makna
bahwa tes lisan itu jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di
kalangan testee. Karena itu, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
testee, tester harus menggunakan kata-kata yang halus, bersifat sabar dan tidak
emosional. Penggunaan kalimat-kalimat yang sifatnya “menteror”, yang dapat
menimbulkan tekanan psikis pada diri testee, haruslah dicegah.
Ketujuh, sekalipun
acapkali sulit untuk dapat diwujudkan, namun sebaiknya tester mempunyai pedoman
atau ancar-ancar yang pasti, berapa lama atau berapa waktu yang disediakan bagi
tiap peserta tes dalam menjawab soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan pada tes
lisan tersebut. Harus diusahakan terciptanya keseimbangan alokasi waktu, antara testee yang satu dengan testee
yang lain.
Kedelapan, pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam tes lisan hendaknya dibuat bervariasi, dalam arti bahwa
sekalipun inti persoalan yang ditanyakan itu sama, namun cara pengajuan
pertanyaannya dibuat berlainan atau beragam. Hal ini dimaksudkan agar testee
yang dites lebih akhir (karena sudah memperoleh “informasi” dari testee yang
telah dites terdahulu). Jangan sampai “memperoleh nasib yang lebih mujur”
ketimbang testee yang dites lebih awal.
Kesembilan, sejauh
mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu berlangsung secara individual (satu
demi satu). Hal ini dimaksudkan agar tidak mempengaruhi mental testee yang
lain. Misalnya, apabila dalam tes lisan itu secara serampak tester berhadapan
dengan dua orang testee atau lebih dan pertanyaan yang sedang diajukan kepada
testee yang mendapat kesempatan lebih awal tidak mungkin dapat dijawab oleh
testee berikutnya, maka mental testee yang belum dites itu akan menjadi menurun
sehingga akan mempengaruhi jawaban-jawaban berikutnya. Kecuali itu hal tersebut
di atas juga dimaksudkan agar tidak memberikan “angin segar” kepada testee yang
belum dites, sebab mereka mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menyiapkan
jawabannya ketimbang testee yang sedang atau sudah selesai dites.[5]
4.
Prosedur Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes
perbuatan pada umumnya digunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang bersifat
keterampilan (psikomotorik), dimana penilaiannya dilakukan terhadap proses
penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh testee setelah
melaksanakan tugas tersebut.
Karena
tes ini bertujuan ingin mengukur keterampilan, maka sebaiknya tes perbuatan ini
dilaksanakan secara individual. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu
yang dites akan dapat diamati dan dinilai secara pasti, sejauh mana kemampuan
atau keterampilannya dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada
masing-masing individu tersebut. Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh tester.
Pertama,
tester harus mengamati dengan secara teliti, cara yang ditempuh oleh testee
dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
Kedua,
agar dapat dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya tester jangan
berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi testee yang sedang
mengerjakan tugas tersebut.
Ketiga,
dalam mengamati testee yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya tester
telah menyiapkan instrumen berupa lembar penilaian yang didalamnya telah
ditentukan hal-hal apa saja yang harus diamati dan diberikan penilaian.[6]
BAB III
ANALISIS
Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar dalam
pendidikan dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tulis), dengan secara
lisan (tes lisan) dan tes perbuatan. Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar
disini adalah teknik atau tata cara dalam pelaksanaan berlangsungnya suatu
pengukuran kemampuan belajar peserta didik melalui tes tulis, tes lisan, serta
tes perbuatan. Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar dapat dilakukan dengan
efektif berdasarkan yang telah dipaparkan oleh pemakalah yang acuan pengambilan
materinya bersumber dari buku-buku evaluasi pendidikan. Dengan demikian
pelaksanaan tes hasil belajar akan berjalan dengan baik dan pendidikan juga
akan menghasilakan skor nilai hasil belajar dengan tepat.
Pelaksanaan tes hasil belajar perlu diperhatikan
terpenuhinya syarat-syarat yang memadai, berupa baik dari segi keadaan dan
perlengkapan pada umumnya serta pengawasan pada khususnya. Pelaksanaan tes
hasil belajar ini adalah salah satu langkah evaluasi pendidikan, yang mana
evaluasi itu adalah alat untuk mengukur sejauh mana kemampuan peserta didik
mengalami perkembangan melalui proses belajar mengajar.
Tidak ada usaha guru yang lebih baik selain usaha
selalu meningkatkan mutu tes yang disusunnya. Namun , hal ini tidak dilaksanakan
krena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa hasil karyanya adalah
yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup baik.
Guru yang sudah berpelaangaman, mengajar dan
menyusun soal-soal tes, juga masih sukar mnyadari bahwa tesnya masih belum
sempurna. Oleh karena itu, cara yagn paling baik adalah secara jalur melihat
hasil yang diperoleh siswa.
Secara teoritis, siswa dalam satu kelas merupakan
populasi atau kelompok yang keadaanya heterogen. Dengan demikian, maka apabila
dikenai sebuah tes akan tercermin hasilnya dalam suatu kurva normal. Sebagain
besar siswa berada di daerah sedang, sebagain kecil berada di ekor kiri, dan
sebgaian kecil lain berada ekor kanan kutva.
Apabila keadaan setelah hasil tes dianalisis tidak
seperti yang diharpkan dalam kurva normal, maka tentu ada "apa-apa" dengan soal tesnya.
Apabila hampir seluruh siswa memperoleh sekor jelek,
berarti bahwa tes ang disusun mungkin terlalu sukar. Sebaliknya jika seluruh
siswa memperoleh sekor baik, dapt diartikan bahwa tesnya terlalu mudah. Tentu
interprestasi terhadap soal tes akan lain seandainya tes itu sudah disusun
sebaik-baiknya sehingga memnuhi persayaratan sebagai tes.
Dengan demikian maka apabila kita memperoleh
keterangan tentang hasil tes, akan membantu kita dalam mengadakan penilaian
secara objektif terhadap tes yang kita susun.
Ada
4 cara menilai tes yaitu :
- Cara
pertama meneliti secara jujur soal-soal yang sudah disusun, kadang-kadang
dapat di peroleh jawaban tentang ketidak jelasan perintah atau bahasa,
taraf kesukaran, dan lain keadaan soal tersebut.
Pertanyaan-ertanyaan
tersebut, natara lain:
1. Apakah banyaknya soal utnuk tiap topik
sudah seimbang ?
2. Apakah semua soal menayakan bahan yang
telah diajarkan
3. Apakah yang kita susun tidak merupakan
pertanyaan yang membingungkan (dapat dasalah tafsirkan)?
4. Apakah sola itu tidak sukar untuk di
mengerti?
- Cara
kedua adalah mengadanakan analisis soal (item analysis), analisis
soal adalah suatu prosedur yang sistematis, yang akan memberikan
informasi-informasi yang sangat khusus terhadap butir tes yang kita susun.
- Cara
ketiga adalah mengadakan checking validitas. Validitas yang paling penting
dari tes butiran guru adalah validitas kurikuler (conten ccalidity),
untuk mengadakan checking validitas kuriuker, kita harus merumuskan tujuan
setiap bagian pelajaran secara khusus dan jelas sehingga setiap soal kita
dapat jodohkan dengan setiap tujuan khusus tersebut.
Tes yang tidak memepunya validitas kurikuler atau
walaupun mempunyai tetapi kecil maka dapat juga terjadi jika salah satu atau
beberapa tujuan khusus tidak di cantumkan dalam tabel spesifik. Semakin banyak
tujan khusus yang tidak di cantukan, berarti bahwa validitas kuikulernya sama
kecil
- Cara
keempat adalah dengan mengadakan checking reabilita. Salah satu indikator
untuk tes yang mempunyai rebilitas yang tinggi adalh bahwa kebanyakan dari
soal-soal tes itu mempunyai daya pembeda yang tinggi. Untuk memghitung
reabilitas
BAB IV
PENUTUP
1. Definisi prosedur pelaksanan tes hasil
belajar merupakan langkah-langkah dalam suatu tindakan untuk mengusahakan yang
dapat ditempuh dalam langkah pengukuran dan penilaian yang pada hakikatnya
adalah perubahan tingkahlaku sebagi hasil belajar yang mencakup bidang
kognitif, afektif, psikomotorik sehingga dapat di hasilkan nilai yang
melambangkan prestasi.
2. Prosedur pelaksanaan tes tertulis
Dalam
melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu
sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a.
Agar dalam mengerjakan soal tes para peserta
tes mendapat ketenangan, seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan
yang jauh dari keramaian, kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya
orang. Adalah sangat bijaksana apabila diluar ruangan tes dipasang papan
pemberitahuan.
b.
Ruangan tes harus cukup longgar, tidak
berdesak-desakan, tempat duduk diatur dengan jarak tertentu yang memungkinkan
tercegahnya kerja sama yang tidak sehat di antara testee.
c.
Ruangan tes sebaiknya memiliki sistem
pencahayaan dan pertukaran udara yang baik. Ruangan yang gelap atau
remang-remang disamping menyulitkan testee dalam membaca soal dan menuliskan
jawabannya, juga akan menyulitkan bagi tester atau pengawas tes dalam
menunaikan tugasnya. Ruang tes yang terlalu terang atau terlalu menyilaukan
mata, disamping dapat menimbulkan udara panas juga dapat menyebabkan testee
cepat menjadi letih.
3. Prosedur pelaksanaan tes lisan
a.
Sebelum
tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi
berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut,
sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari
segi isi maupun konstruksinya.
b.
Sebab butir soal yang telah ditetapkan untuk
diajukan dalam tes lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau
ancar-ancar jawaban betulnya.
Hal ini
dimaksudkan agar tester disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam
memberikan skor atau nilai kepada testee atas jawaban yang mereka belikan dalam
tes lisan tersebut, juga tidak akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban
panjang lebar atau terbelit-belit yang diberikan oleh testee, yang menurut
anggapan testee merupakan jawaban betul dan tepat, padahal menurut kriteria
yang telah ditentukan sesungguhnya sudah menyimpang atau tidak ada hubungannya
dengan soal yang diajukan kepada testee.
c.
Jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai
hasil tes lisan setelah seluruh testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai
hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan di saat masing-masing testee
selesai dites. Hal ini dimaksudkan agar pemberian skor atau nilai hasil tes
lisan yang diberikan kepada testee itu tidak dipengaruhi oleh jawaban yang
diberikan oleh testee yang lain.
4. Prosedur pelaksanaan tes perbuatan
a. Tester harus mengamati dengan secara teliti,
cara yang ditempuh oleh testee dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
b. Agar dapat dicapai kadar obyektivitas
setinggi mungkin, hendaknya tester jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang
dapat mempengaruhi testee yang sedang mengerjakan tugas tersebut.
c. Dalam mengamati testee yang sedang
melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah menyiapkan instrumen berupa
lembar penilaian yang didalamnya telah ditentukan hal-hal apa saja yang harus
diamati dan diberikan penilaian
DAFTAR PUSTAKA
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT
Grafindo Persada, Jakarta, 2008
Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah
untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2006
M.Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Masrukhin, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, Media
Ilmu, STAIN Kudus PRESS, 2012
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2009
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi
Aksara, Jakarta, 1999
No comments:
Post a Comment