Sunday, March 6, 2016

makalah hak-hak masyarakat untuk beragama

PERIHAL HAK-HAK MASYARAKAT INDONESIA UNTUK BERAGAMA

A.    PENDAHULUAN
Soal agama itu sendiri mengapa orang menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang sangat penting, sedangkan hal yang diluar agama tidak dianggap penting. Bisa dikatakan bahwa tradisi Islam Indonesia bukanlah agama protes atau ideologi yang cenderung keras dan memprotes atas sebuah kekuasaan politik yang sedang berkuasa.[1]
Menurut Abdul Aziz Sachedina, kekukuhan proposisi “penguraian kemapanan (disestablishment)” yang hendak memprivatisasi agama dan menyingkirkan agama dari kancah publik sekular, menjadi agama (religion), dia hanya religiolitas tetapi bukan religion, karena dalam islam sering kita dengar adanya apa yang dinamakan tauhid (pengesaan Tuhan). Padahal dalam perspektif sosiologis, soal kepercayaan pada Tuhan dapat dilihat dari apa yang diyakini, persoalan yang diyakini tampak berbeda dengan khalayak (lazimnya orang Islam) tidak menjadi persoalan, yang pokok adalah bagaimana seseorang atau sekelompok orang berkenyakinan dan melakukan aktivitas ritual. (Emile Durkheim,1957:23-35)
Hanya saja yang tidak bisa dilepaskan dari agama adalah, bahwa agama sering kali berwajah ganda, konfliktual dan mendamaikan, integrasi dan disintregasi. Agama menawarkan rahmat bagi seluruh umat manusia, tetapi karena umatnya pula memberikan ketakutan pada umat yang lain karena didasarkan pada doktrin-doktrin agama. Sering tanpa reserve umat beragama melakukan tindakan kekerasan dan brutalitas atas umat yang lain, padahal setiap kenyakinan harus mendapatkan oenghormatan dan perlakuan yang setara dihadapan hukum dan umat agama lainnya. Tetapi atas nama menjaga kesucian agama, kelompok agama tidak jarang melakukan kekerasan atas dasar pesan suci agama tersebut. Orang beragama bahkan merasa terhormat tatkala harus melakukan kekerasan atas orang lain.
B.     PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah
1.         Kewajiban negara atas warga?
2.         Kebebasan berkenyakinan dan beragama?

C.    PEMBAHASAN
1.         Kewajiban Negara atas Warga
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam kehudupan agama yang pluralistis ini. Ikut sertanya pemerintah dalam urusan agama didukung oleh tiga macam motif.
Pertama, motif historis bahawa menurut sejarah bangsa Indonesia dari zaman ke zaman urusan hidup keagamaan mejadi urusan pemerintah pusat.
Kedua, ikut sertanya pemerintah dalam urusan agama dalam bentuk lembaga kenegaraan dimaksud juga untuk memenuhi keinginan golongan Islam yang merupakan mayoritas dan yang menurut keyakinan golongan ini agama tidak dapat dipisahkan dari negara.
Ketiga, motif politik. Jelasnya, pemerintah mempunyai jaminan yang kuat bahwa dengan ikut sertanya dalam masalah ini akan dapat diciptakan kerukunan dan keamana nasional yang merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan pembanguna bangsa dan negara.
Pasal 29 UUD 1945 tentang hak beragama di Indonesia yang dijamin oleh undang-undang sebagai hak semua warga negara yang sah dan setara merupakan landasan yuridis formal untuk kenyakinan umat beriman (beragama di Indonesia). Selama pasal ini masih diakui resmi di Indonesia, maka siapapun warga negara yang beriman kepada Tuhan dengan berbagai bentuk dan asesorisnya tidak boleh diperlakukan secara semena-mena. Mereka yang beriman kepada Tuhan tidak boleh ditindas maupun didiskriminasikan. Tuhan saja menyatakan, tidak ada paksaan dalam beragama, mengapa kita harus memaksakan keyakinan dalam beragama? Bukankah Tuhan adalah yang memberi keadilan bukan kita dalam hal keyakinan beragama? Dengan dasar ini Negara harus melindungi apapun agama dan keyakinan warga negara tersebut. Ada kelompok agama yang diperlakukan diskriminatif dan diperlakukan semena-mena dalam hal keyakinan oleh sekelompok umat beragama di Indonesia.
Dalam kaitan dengan hak warga negara untuk beriman kepada Tuhan, negara harus melindungi hak-hak dasar warganya dalam kondisi apapun, dari ancaman orang lain. Negara tidak boleh mengabaikan hak-hak seseorang warga negara untuk dipaksa pindah keyakinan kerena berada dibawah tekana todongan senjata. Negara wajib memberikan perlindungan atas warga negara yang telah beriman, sekali pun keimanannya oleh negara kadang dipandang “menyimpang”. Negara tidak boleh bertindak mengikuti instruksi kelompok-kelompok militer dalam agama. Agama harus mencukupkan dirinya sebagai pelindung, pengayom dan menghindarkan ancaman-ancaman kelompok-kelompok militer maupun organisasi resmi keagamaan dalam menekan agama dan kelompok lain yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya. Negara menjadi penuh dengan persoalan tatkala terlibat dalam pengelolaan keimanan seseorang atau kelompok, padahal Tuhan sendiri juga menyerahkan kepada masyarakatnya apakah mau beriman atau mau mengingkari.
Pedoman etik yang telah disepakati bersama dapat dikemukakan beberapa pedoman, seperti dibawah ini.
a)   Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect)
b)   Prinsip kebebasan beragama (religious freedom)
Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom)
c)    Prinsip acceptance, yaitu mau menerima orang lain seperti adanya.
d)   Berpikir “positif”dan “percaya”(positive thinking and trustworthy)
Prof.Dr.Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
1.             Sebagai ethos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika dinyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama dan akhirnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.
2.             Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalam ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material.
Tugas dan kedudukan Departemen Agama yang telah ditetapkan pada waktu pendiriannya, dirumuskan lebih jelas dalam pemerintahan Presiden Soeharto dalam Kep Pres No.45 tahun 1974 Bab I.
1)            Departenen Agama sebagai bagian dari Pemerintah Negara, dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
2)            Tugas pokok Departemen Agama ialah menyelenggarakan sebagian dari tugas umum pemrintahan dan pembangunan dibidang agama.[2]
2.         Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama
Di Negeri ini dan di negeri manapun sebenarnya orang beragama (berkeyakinan) dilindungi oleh kitab suci agama-agama (tidak ada paksaan terhadap keyakinan) seseorang atas agama, demikian kata yang jelas dalam al-Qur’an, sebagai kitab penerus para Nabi. Namun dalam banyak kasus, orang beragama dan berkeyakinan malah mendapatkan tentangan dari orang yang beragama itu sendiri, bahkan tentang tersebut juga berdasarkan kitab yang melindunginya.
Secara khusus, di Indonesia, orang beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh konstitusi (UUD 1945) pasal 29ayat 1-2. Landasan konstitusi ini memberikan pijakan yang cukup memadai, sekalipun masih ada kelompok umat beragama yang merasa bahwa konstitusikita adalah konstitusi yang sekuler, alias konstitusi “kafir” atau konstitusi yang tidak sesuai dengan syariah Islam.[3]
Tetapi persoalannya adalah bahwa di Indonesia konstitusi ini tetap tidak diubah oleh negara, sehingga sekalipun ada kelompok yang menolak konstitusi tersebut sebenarnya bisa dikatakan sebagai kelompok separatis, untuk tidak mengatakan kelompok yang membangkang sehingga posisinya dapat dijadikan sebagai tersangka karena hendak mengubah konstitusi yang dan menjadi anutan bangsa ini..
Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
1)            Hibbah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun lembaga pendidikan
2)            Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya
3)            Pengerahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina kegotong royongan
Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.
Islam adalah agama yang pada dasarnya mentransformasikan, tidak mencipta, komunitas tertentu. Ia senantiasa mempertahankan tujuan teokritik keagamaan dan komunitas politik harus berjalan bersamaan. Namun demikian karena dua alasan itu tidak tercapai. Ekspansi islam yang berlangsung sangat cepat oleh kekuatan militer, para pedagang dan para penyiarislam telah menimbulkan banyak komunitas yang beragam, termasuk sebagian diantaranya yang menolak memeluk islam dan sebagian lagi yang di islamisasikan  hanya secara dangkal. Di pihak lain, berbagai tekanan dan ketegangan dalam komunitas muslim yang sangat besar menjurus terjadinya perpecahan-perpecahan politik, yang masing-masing kurang lebih menjadi landasan bagi terbentuknya komunitas yang terpisah dan berdiri sendiri.[4]
Dalam membahas perihal hak kebebasan beragama di Indonesia tentunya tidak terlepas dari konsep demokrasi, HAM dan juga hak-hak sipil dan politik masyarakat. Adapun untuk bisa memahami hal-hal ini pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan HAM.
Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, yang dimaksud HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sehingga beranjak dari hal ini, tampak dengan jelas apabila secara yuridis pemerintah sekiranya telah memberikan perlindungan yang cukup terhadap kebebasan hak beragama. Bahkan apabila hendak ditelusuri lebih lanjut secara hukum. Perlindungan terhadap hak kebebasan beragama (termasuk juga dalam hal ini adalah HAM secara keseluruhan) juga telah menjadi kewajiban pemerintah seperti yang tertuang dalam Pasal 8 UU No. 39 tahun 1999 :
“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.

D.    KESIMPULAN
Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi Hak-hak sipil dan politik (sebagai bagian dari HAM) secara keseluruhan tidak terkecuali dalam hal melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Hal ini memang sedianya secara hukum telah dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa peraturan seperti :
*UUD 1945
*UU No.39 tahun 1999
*UU No.12 tahun 2005
Hanya saja kembali pada apa yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social, pemerintah yang sempurna tidak ada di dunia ini. Penerapannya perlindungan hak kebebasan beragama memang masih membutuhkan banyak perbaikan agar jangan sampai perlindungan hak kebebasan beragama tersebut bukan berdasarkan pada hukum tetapi pada demokrasi mayoritas.
Dan dalam hal UU Penodaan Agama, dalam hal ini penulis sama sekali tidak menemukan suatu indikasi adanya suatu pengekangan atas hak kebebasan beragama itu, akan tetapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang harus dibenahi perihal pelaksanaannya.


DAFTAR PUSTAKA
Zuly Qodir ,Sosiologi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
Bdk. Departemen Agama dan Latar Belakang  Sejarahnya, dalam Hak Kerukunan (Panitia Waligereja Indonesia) No.14 Th.III Mei 1981.
An Naim, Abdullah ahmed, Islam dan Negara Sekuler, Mizan, Bandung, 2007.
Betty.R.Scharf, Kajian Sosiologi Agama, PT.Tiara Wacana Yogya, 1995
Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Hendropuspito, Sosiologi Agama, KANISIUS, Yogyakarta, 2000, cet.16
http://roysanjaya.blogspot.com/2010/02/tentang-hak-kebebasan-beragama.html



[1] Zuly Qodir ,Sosiologi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, p.227,229
[2] Bdk. Departemen Agama dan Latar Belakang  Sejarahnya, dalam Hak Kerukunan (Panitia Waligereja Indonesia) No.14 Th.III Mei 1981, hlm.67.
[3] An Naim, Abdullah ahmed, Islam dan Negara Sekuler, Mizan, Bandung, 2007
[4] Betty.R.Scharf, Kajian Sosiologi Agama, PT.Tiara Wacana Yogya, 1995, p.49-50

No comments:

Post a Comment