PERIHAL HAK-HAK
MASYARAKAT INDONESIA UNTUK BERAGAMA
A.
PENDAHULUAN
Soal agama itu sendiri
mengapa orang menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang sangat penting,
sedangkan hal yang diluar agama tidak dianggap penting. Bisa dikatakan bahwa
tradisi Islam Indonesia bukanlah agama protes atau ideologi yang cenderung
keras dan memprotes atas sebuah kekuasaan politik yang sedang berkuasa.[1]
Menurut Abdul Aziz
Sachedina, kekukuhan proposisi “penguraian kemapanan (disestablishment)” yang hendak memprivatisasi agama dan
menyingkirkan agama dari kancah publik sekular, menjadi agama (religion), dia hanya religiolitas
tetapi bukan religion, karena dalam
islam sering kita dengar adanya apa yang dinamakan tauhid (pengesaan Tuhan).
Padahal dalam perspektif sosiologis, soal kepercayaan pada Tuhan dapat dilihat
dari apa yang diyakini, persoalan yang diyakini tampak berbeda dengan khalayak
(lazimnya orang Islam) tidak menjadi persoalan, yang pokok adalah bagaimana
seseorang atau sekelompok orang berkenyakinan dan melakukan aktivitas ritual.
(Emile Durkheim,1957:23-35)
Hanya saja yang tidak bisa
dilepaskan dari agama adalah, bahwa agama sering kali berwajah ganda,
konfliktual dan mendamaikan, integrasi dan disintregasi. Agama menawarkan
rahmat bagi seluruh umat manusia, tetapi karena umatnya pula memberikan
ketakutan pada umat yang lain karena didasarkan pada doktrin-doktrin agama.
Sering tanpa reserve umat beragama
melakukan tindakan kekerasan dan brutalitas atas umat yang lain, padahal setiap
kenyakinan harus mendapatkan oenghormatan dan perlakuan yang setara dihadapan
hukum dan umat agama lainnya. Tetapi atas nama menjaga kesucian agama, kelompok
agama tidak jarang melakukan kekerasan atas dasar pesan suci agama tersebut.
Orang beragama bahkan merasa terhormat tatkala harus melakukan kekerasan atas
orang lain.
B.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar
belakang yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam makalah ini adalah
1.
Kewajiban negara atas warga?
2.
Kebebasan berkenyakinan dan beragama?
C.
PEMBAHASAN
1.
Kewajiban Negara atas Warga
Pemerintah Indonesia tidak
tinggal diam dalam kehudupan agama yang pluralistis ini. Ikut sertanya
pemerintah dalam urusan agama didukung oleh tiga macam motif.
Pertama, motif historis bahawa menurut sejarah bangsa Indonesia dari
zaman ke zaman urusan hidup keagamaan mejadi urusan pemerintah pusat.
Kedua, ikut sertanya pemerintah dalam urusan agama dalam bentuk
lembaga kenegaraan dimaksud juga untuk memenuhi keinginan golongan Islam yang
merupakan mayoritas dan yang menurut keyakinan golongan ini agama tidak dapat
dipisahkan dari negara.
Ketiga, motif politik. Jelasnya, pemerintah mempunyai jaminan yang
kuat bahwa dengan ikut sertanya dalam masalah ini akan dapat diciptakan
kerukunan dan keamana nasional yang merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan
pembanguna bangsa dan negara.
Pasal 29 UUD 1945 tentang
hak beragama di Indonesia yang dijamin oleh undang-undang sebagai hak semua
warga negara yang sah dan setara merupakan landasan yuridis formal untuk
kenyakinan umat beriman (beragama di Indonesia). Selama pasal ini masih diakui
resmi di Indonesia, maka siapapun warga negara yang beriman kepada Tuhan dengan
berbagai bentuk dan asesorisnya tidak boleh diperlakukan secara semena-mena.
Mereka yang beriman kepada Tuhan tidak boleh ditindas maupun didiskriminasikan.
Tuhan saja menyatakan, tidak ada paksaan dalam beragama, mengapa kita harus
memaksakan keyakinan dalam beragama? Bukankah Tuhan adalah yang memberi
keadilan bukan kita dalam hal keyakinan beragama? Dengan dasar ini Negara harus
melindungi apapun agama dan keyakinan warga negara tersebut. Ada kelompok agama
yang diperlakukan diskriminatif dan diperlakukan semena-mena dalam hal
keyakinan oleh sekelompok umat beragama di Indonesia.
Dalam kaitan dengan hak
warga negara untuk beriman kepada Tuhan, negara harus melindungi hak-hak dasar
warganya dalam kondisi apapun, dari ancaman orang lain. Negara tidak boleh
mengabaikan hak-hak seseorang warga negara untuk dipaksa pindah keyakinan
kerena berada dibawah tekana todongan senjata. Negara wajib memberikan perlindungan
atas warga negara yang telah beriman, sekali pun keimanannya oleh negara kadang
dipandang “menyimpang”. Negara tidak boleh bertindak mengikuti instruksi
kelompok-kelompok militer dalam agama. Agama harus mencukupkan dirinya sebagai
pelindung, pengayom dan menghindarkan ancaman-ancaman kelompok-kelompok militer
maupun organisasi resmi keagamaan dalam menekan agama dan kelompok lain yang
dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya. Negara menjadi penuh dengan
persoalan tatkala terlibat dalam pengelolaan keimanan seseorang atau kelompok,
padahal Tuhan sendiri juga menyerahkan kepada masyarakatnya apakah mau beriman
atau mau mengingkari.
Pedoman etik yang telah
disepakati bersama dapat dikemukakan beberapa pedoman, seperti dibawah ini.
a)
Kesaksian yang
jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect)
b)
Prinsip
kebebasan beragama (religious freedom)
Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and
social freedom)
c)
Prinsip
acceptance, yaitu mau menerima orang lain seperti adanya.
d)
Berpikir
“positif”dan “percaya”(positive thinking and trustworthy)
Prof.Dr.Mukti Ali
mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
1.
Sebagai ethos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama
yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika dinyakini dan dihayati
secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Segala bentuk perbuatan
individu maupun masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang serasi dengan
peraturan dan aturan agama dan akhirnya akan terbina suatu kebiasaan yang
agamis.
2.
Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah
menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk
mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalam ajaran agama tercermin
dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa
mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan Tuhan
terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan
mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material.
Tugas dan kedudukan
Departemen Agama yang telah ditetapkan pada waktu pendiriannya, dirumuskan
lebih jelas dalam pemerintahan Presiden Soeharto dalam Kep Pres No.45 tahun
1974 Bab I.
1)
Departenen Agama sebagai bagian dari Pemerintah
Negara, dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
2)
Tugas pokok Departemen Agama ialah menyelenggarakan
sebagian dari tugas umum pemrintahan dan pembangunan dibidang agama.[2]
2.
Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama
Di Negeri ini dan di negeri
manapun sebenarnya orang beragama (berkeyakinan) dilindungi oleh kitab suci
agama-agama (tidak ada paksaan terhadap keyakinan) seseorang atas agama,
demikian kata yang jelas dalam al-Qur’an, sebagai kitab penerus para Nabi. Namun
dalam banyak kasus, orang beragama dan berkeyakinan malah mendapatkan tentangan
dari orang yang beragama itu sendiri, bahkan tentang tersebut juga berdasarkan
kitab yang melindunginya.
Secara khusus, di Indonesia,
orang beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh konstitusi (UUD 1945) pasal
29ayat 1-2. Landasan konstitusi ini memberikan pijakan yang cukup memadai,
sekalipun masih ada kelompok umat beragama yang merasa bahwa konstitusikita
adalah konstitusi yang sekuler, alias konstitusi “kafir” atau konstitusi yang
tidak sesuai dengan syariah Islam.[3]
Tetapi persoalannya adalah
bahwa di Indonesia konstitusi ini tetap tidak diubah oleh negara, sehingga
sekalipun ada kelompok yang menolak konstitusi tersebut sebenarnya bisa
dikatakan sebagai kelompok separatis, untuk tidak mengatakan kelompok yang
membangkang sehingga posisinya dapat dijadikan sebagai tersangka karena hendak
mengubah konstitusi yang dan menjadi anutan bangsa ini..
Sumbangan harta benda dan
milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah
banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
1)
Hibbah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana
ibadah ataupun lembaga pendidikan
2)
Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga
pendidikan dan rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya
3)
Pengerahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama
dalam membina kegotong royongan
Melalui motivasi keagamaan
seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau
pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam
pembangunan.
Islam adalah agama yang pada
dasarnya mentransformasikan, tidak mencipta, komunitas tertentu. Ia senantiasa
mempertahankan tujuan teokritik keagamaan dan komunitas politik harus berjalan
bersamaan. Namun demikian karena dua alasan itu tidak tercapai. Ekspansi islam
yang berlangsung sangat cepat oleh kekuatan militer, para pedagang dan para
penyiarislam telah menimbulkan banyak komunitas yang beragam, termasuk sebagian
diantaranya yang menolak memeluk islam dan sebagian lagi yang di
islamisasikan hanya secara dangkal. Di
pihak lain, berbagai tekanan dan ketegangan dalam komunitas muslim yang sangat
besar menjurus terjadinya perpecahan-perpecahan politik, yang masing-masing kurang
lebih menjadi landasan bagi terbentuknya komunitas yang terpisah dan berdiri
sendiri.[4]
Dalam membahas
perihal hak kebebasan beragama di Indonesia tentunya tidak terlepas
dari konsep demokrasi, HAM dan juga hak-hak sipil dan politik masyarakat.
Adapun untuk bisa memahami hal-hal ini pertama-tama kita harus memahami
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
HAM.
Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, yang dimaksud HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, yang dimaksud HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sehingga beranjak
dari hal ini, tampak dengan jelas apabila secara yuridis pemerintah sekiranya
telah memberikan perlindungan yang cukup terhadap kebebasan hak beragama.
Bahkan apabila hendak ditelusuri lebih lanjut secara hukum. Perlindungan
terhadap hak kebebasan beragama (termasuk juga dalam hal ini adalah HAM secara
keseluruhan) juga telah menjadi kewajiban pemerintah seperti yang tertuang
dalam Pasal 8 UU No. 39 tahun 1999 :
“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.
“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.
D.
KESIMPULAN
Pemerintah
memiliki kewajiban untuk melindungi Hak-hak sipil dan politik (sebagai bagian
dari HAM) secara keseluruhan tidak terkecuali dalam hal melindungi kebebasan
beragama warga negaranya. Hal ini
memang sedianya secara hukum telah dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa peraturan seperti :
*UUD 1945
*UU No.39 tahun 1999
*UU No.12 tahun 2005
Hanya saja
kembali pada apa yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau dalam bukunya yang
berjudul Du Contract Social, pemerintah yang sempurna tidak ada di dunia ini.
Penerapannya perlindungan hak kebebasan beragama memang masih membutuhkan
banyak perbaikan agar jangan sampai perlindungan hak kebebasan beragama
tersebut bukan berdasarkan pada hukum tetapi pada demokrasi mayoritas.
Dan dalam hal UU Penodaan Agama, dalam hal ini penulis sama sekali tidak menemukan suatu indikasi adanya suatu pengekangan atas hak kebebasan beragama itu, akan tetapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang harus dibenahi perihal pelaksanaannya.
Dan dalam hal UU Penodaan Agama, dalam hal ini penulis sama sekali tidak menemukan suatu indikasi adanya suatu pengekangan atas hak kebebasan beragama itu, akan tetapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang harus dibenahi perihal pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuly Qodir ,Sosiologi Agama,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
Bdk. Departemen Agama dan Latar Belakang
Sejarahnya, dalam Hak Kerukunan (Panitia Waligereja Indonesia) No.14
Th.III Mei 1981.
An Naim, Abdullah ahmed, Islam dan
Negara Sekuler, Mizan, Bandung, 2007.
Betty.R.Scharf, Kajian Sosiologi
Agama, PT.Tiara Wacana Yogya, 1995
Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Hendropuspito, Sosiologi Agama, KANISIUS, Yogyakarta,
2000, cet.16
http://roysanjaya.blogspot.com/2010/02/tentang-hak-kebebasan-beragama.html
[1] Zuly Qodir ,Sosiologi Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, p.227,229
[2] Bdk. Departemen Agama dan
Latar Belakang Sejarahnya, dalam Hak
Kerukunan (Panitia Waligereja Indonesia) No.14 Th.III Mei 1981, hlm.67.
[3] An Naim, Abdullah ahmed, Islam dan Negara Sekuler, Mizan,
Bandung, 2007
[4] Betty.R.Scharf, Kajian Sosiologi Agama, PT.Tiara Wacana
Yogya, 1995, p.49-50
No comments:
Post a Comment