MENGGAGAS PARADIGMA PENYULUH AGAMA
I.
PENDAHULUAN
Sehubungan
dengan para penyuluh agama terlebih dahulu harus mngetahui tugas yang
dibebankan kepadanya, kemudian mereka juga harus mengetahui bagaimana
menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Untuk itu mereka harus
mengetahui pula dengan baik kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya dan
menguasai dengan baik materi penyuluhan yang akan diberikannya. Dalam hal ini
sasaran penyuluh agama adalah umat islam dan masyarakat yang belum menganut
salah satu agama di Indonesia
yang beraneka ragam budaya dan latar belakang pendidikannya.
Agama
mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dan strategis, Utamanya sebagai
landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional. Agama sebagai
sitem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, keluarga,
masyarakat serta menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu
pembangunan agama perlu mendapat perhatian lebih besar, baik yang berkaitan
dengan penghayatan dan pengamalan agama, pembinaan mental, maupun pelayanan
bimbingan rohani kepada masyarakat.
II. PERMASALAHAN
1.
Apa Pengertian dari Paradigma?
2.
Apa pengertian dari Penyuluh dan Agama?
3.
Bagaimana Peranan dan fungsi Penyuluh Agama?
III. PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN PARADIGMA
Ali
Mudhofir dalam kamus istilah filsafat menuliskan beberapa pendapat tentang
pengertian paradigm, diantaranya adalah pendapat Freidrichs Robert yang
menjelaskan bahwa paradigm adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin
ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalanya.[1]
Definisi
lain adalah pendapat Samuel Huhn (1341-….H/1922-….M) yang menyatakan bahwa “
Paradigma-paradigma adalah cara-cara meninjau benda-benda, asumsi yang dipakai
bersama yang mengatur pandangan dari suatu zaman dan pendekatanya atas
masalah-masalah ilmiah. Istilah paradigma dalam arti teknis tersebut tersebut
bertalian dengan filsafat ilmu”.[2]
Kemudian
ia juga mengutip pendapat G.Ritzer yang menyatakan bahwa : Paradigma-paradigma
adalah pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam
ilmu. Paradigma membantu persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu merumuskan
apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab.
Paradigma adalah kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan
membedakan antara kelompok ilmuan yang lain. Paradigma mengolong-golongkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan antara exemplar metode, teori, serta
instrument yang terdapat didalamnya.[3]
2.
PENGERTIAN PENYULUH DAN AGAMA
a.
PENYULUH
Kamus besar
bahasa Indonesia (2008 :1351) menggambarkan dinamika penggunaan kata penyuluh.
Kata penyuluh dari kata dasar suluh, berkembang menjadi berbagai kata dan
mengalami perubahan makna kata, seperti bersuluh, penyuluh, penyuluhan dan
sebagainya.
Arti penyuluhan
secara khusus, menurut Isep adalah proses penberian bantuan kepada individu
atau kelompok dengan menggunakan metode psikologi agar yang bersangkutan dapat
keluar dari masalahnya dengan kekuatan sendiri, baik bersifat preventif
(pencegahan), kuratif, korektof, maupun perkembangan (2000:50)
Kata penyuluhan
dalam term bimbingan dan penyuluhan merupakan terjemahan bahsa inggris
councelling. Dalam bahasa sehari-hari, istilah penyuluhan sering digunakan
untuk menyebut pemberian penerangan, diambil dari kata suluh yang searti dengan
obor. Demikian penyuluhan kesehatan, dimaksud adalah pemberian penerangan
tentang cara-cara hidup secara sehat atau penyuluhan keluarga berencana yang
merupakan program kegiatan BKKBN.
Sedangkan kata
penyuluhan dalam term, bimbingan dan penyuluhan maksudnya adalah suatu
pemberian bantuan psikologis kepada orang-orang yang bermasalah.
b.
AGAMA
Pengertian agama
dapat dilihat dari dua sudut, yaitu doktriner, dan sosiologis psikologis.secara
doktriner, agama adalah suatu ajaran yang datang dari tuhan yang berfungsi sebagai
pembimbing kehidupan manusia agar mereka hidup berbahagia di dunia dan di
akhirat.
Adapun
pengertian agama secara sosiologis psikologis adalah perilaku manusia yang
dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan, yang merupakan getaran batin yang dapat
mengatur dan mengendalikan perilaku manusia, baik dalam hubungannya dengan
Tuhan (ibadah) maupun dengan sesama manusia, diri sendiri dan terhadap realitas
lainya.
Menurut gambaran
Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat
dimana-mana” dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya
makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu,
agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga
perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia
yang tak dapat dilihat (akhirat), namun
agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia,
baik kehidupan individu maupun kehidupan sosial. [4]
1.
Agama dalam kehidupan individu.
Agama dalam
kehidupan individu berfungsi sebagai suatu system nilai yang memuat norma-norma
tertentu. Secara umum, norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersifat dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Sebagai system nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan
individu serta dipertahankan sebagai bentuk cirri khas.
2.
Agama dalam kehidupan masyarakat
Masalah agama
tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu
sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
3.
Agama dalam pembangunan
a.
Etos pembangunan
Maksudnya adalah
agama yang menjadi anutan seseorang/masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu
tatanan nilai moral dalam sikap
b.
Motivasi
Melalui motivasi
keagamaan, seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun
tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan asset yang potensial
dalam pembangunan.
3.
PERANAN DAN FUNGSI PENYULUH AGAMA
Kehidupan
umat yang religius perlu dibina dan dikembangkan dalam kegiatan kemasyarakatan.
Kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan keagamaan tercermin dalam peran serta
umat beragama dalam pembangunan insane seutuhnya yakni penbangunan lahir dan
batin, rohani dan jasmani, material dan spiritual, kebaikan dunia akherat.
Disinilah, peran seorang penyuluh agama dalam membina, membimbing masyarakat.
Penyuluh agama merupakan bagian dari da’i yaitu orang yang melaksanakan tugas
dakwah.[5]
Menurut
apa yang dikemukakan oleh Arifin dalam bukunya yang berjudul “Pedoman
Pelaksanaan bimbingan dan Penyuluhan Agama”, pelaksanaan bimbingan dan
penyuluhan oleh penyuluh agama agar lebih banyak memberikan kemungkinan kepada
penyuluh untuk melakukan Self-direction (Pengarahan terhadap dirinya sendiri),
Self-realization (Kesadaran terhadap dirinya sendiri) dan Self-inventory
(pencatatan tentang kenyataan yang ada pada dirinya).[6]
Pada
hakekatnya ada dua tugas yang di emban oleh penyuluh agama, yaitu membimbing
umat dalam menjalankan ajaran agama dan menyampaikan gagasan-gagasan
pembangunan kepada masyarakat dengan bahasa agama.
a.
Bimbingan Pengamalan
Agama
Agama akan
memberikan makna dalam hidup manusia apabila diamalkan secara benar dalam
kehidupan sehari-hari. Namun dalam kenyataan kehidupan masyarakat, seringkali
terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pemahaman dan pengamalan agama baik
disebabkan pengaruh dari dalam maupun pengaruh dari luar agama islam itu
sendiri.
b.
Menyampaikan Gagasan Pembangunan
Pembangunan
adalah pengamalan agama, karena pembangunan merupakan usaha yang sistematis dan
berencana untuk memberikan kemudahan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia
baik lahiriyah maupun batiniyah, dan hal itu adalah salah satu tujuan agama
pula.[7]
a.
Memiliki pribadi yang menarik dan berdedikasi tinggi
dalam tugasnya
b.
Penyuluh hendaknyamempunyai nilai-nilai kepedulian
terhadap nilai-nilai kemanusiaan
c.
Penyuluh harus peka terhadap kepentingan tersuluh,
memiliki kecepatan berfikir dan cerdas, sehingga memahami kehendak tersuluh
d.
Penyuluh agama harus memiliki kemampuan untuk
mengadakan komunikasi sociable serta socially acceptable (dapat diterima oleh
masyarakat)
e.
Penyuluh hendaknya mempunyai kepribadian yang utuh,
ketenangan jiwa dan suka belajar (khususnya ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan tugasnya). Hal ini ditegaskan kembali oleh Bimo Walgito bahwa syarat
seorang pembimbing harus mempunyai pengetahuan yang cukup luas, baik segi teori
maupun praktik.[9]
Telah
banyak penelitian yang berkenaan dengan peranan ajaran agama dalam memberikan
dorongan kepada pemeluknya untuk turut berpartisipasi dalam suatu proses
perubahan. Dalam kajian-kajian, itu dikemukakan berbagai peranan tokoh-tokoh
agama (kyai,santri dan ulama’) dalam memberikan motivasi terhadap umat untuk
berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat.[10]
Agama
sebagai energi pembebasan adalah sebuah ideal normative, bukan (belum)
merupakan kenyataan real. Dalam kenyataan realnya mesti diakui bahwa seringkali
agama justru merupakan sumber aneka belenggu ketimbang sumber pembebasan.
Dilihat
dari aspek psikologisnya, agama dan psikoterapi terdapat persamaanya. Perilaku
agama (tertentu) dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengembangakan
potensinya secara baik yang tentunya sama dengan maksud diselenggarakannya
konseling. Tetapi harus disadari bahwa tidak semua (perilaku) agama, baik dalam
bentuk doktrin dan perilaku beragamanya, menimbulkan kesehatan dan perkembangan
psikis, justru sebaliknya dapat mengarah pada perilaku patologis yaitu neurosis
atau psikosis (allprot, 1950, Ellis, 1997)[11]
Freud
menyatakan bahwa agama merupakan sebuah cara yang dipergunakan manusia untuk
mendapatkan ketergantungan dan perlindungan yang kekanak-kanakan. Dalam keadaan
takut terhadap ketidak amanan yang mendasar dalam hidup, menyembuyikan diri
dari keharusan menghadapi dunia yang penuh dengan segala kekecewaan dan
kekerasannya, manusia terdorong untuk membangun system religious yang menjadi
tempat tujuan manusia kembali kepada perlindungan yang dimilki anak-anak dari
ayah-ibunya.[12]
Sebenarnya
kita tidak perlu heran bahwa kaum agama pun memerlukan etika. Etika adalah
usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan
masalah bagaiman ia harus hidup kalau ia menjadi baik.
IV. KESIMPULAN
Penyuluh
agama islam adalah mitra atau kepanjangan tangan Departemen Agama dalam
mencapai kehidupan yang berkualitas, sejahtera lahir dan batin.
Penyuluh
harus peka terhadap kepentingan tersuluh, memilki kecepatan berfikir, sehingga
memahami kehendak tersuluh. Agama mempunyai kedudukan dan peranan yang penting
dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam
pembangunan nasional.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat saya buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, mohon
maaf yang sebesar-besarnya, saya juga
mengharap kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk
kita semua, Amien.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Ø
Baharudin, 2004, Paradigma
Psikologi Islami (Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Alqur’an) Yogyakarta , PUSTAKA PELAJAR, cet.1, hlm 341-342
Ø
Ali Mudhafir, Kamus
Istilah Filsafat,(Yogyakarta: Liberty, 1992), cet. 1, hlm 114
Ø
Rafi’udin,et,al, Prinsip
dan Strategi Dakwah, Pustaka Setia, Bandung ,
2001, hlm 47
Ø
H.M Arifin, Pedoman
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Golden Terayon Press, Jakarta , 1997, hlm 18
Ø
Departemen Agama RI, Panduan Penyuluh Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Dan Urusan Haji, Jakarta ,
1987, hlm 22-23
Ø
A.M Romly, Penyuluhan
Agama Menghadapi Tantangan Baru, Remaja Rosda Karya, Jakarta , 2002, hlm 15
Ø
Bimo Walgito, Bimbingan
Dan Penyuluhan Disekolah, AMM offset, Yogyakarta ,
1995, hlm 30
Ø
Achmad Mubarok, Al Irsyad An Nafsiy : Konseling Agama Teori Dan Kasus, Bina
Rena Pariwara, Jakarta ,
2000, Cet.1, Hlm 1, 2, 3
Ø
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung : 2008, cet.1, hlm 142-143
Ø
Moh. Rosyid, Konseling Religi : Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Kantor Jurusan Dakwah Program
studi Bimbingan Konseling Islam, Kudus : 2010, vol. 1, hlm 6-7
Ø
Dadang Kahmad, Metode
Penelitain Agama, Pustaka Setia. Bandung
:2000, cet, 1, hlm 73
Ø
Bambang Sugiharto, dkk, Wajah Baru Etika Dan Agama, Kanisius, Yogyakarta
: 2000, cet. 1, hlm 263
Ø
Latipun, psikoligi Konseling, UMM press, Malang 2001,
cet. 3, hlm 201
Ø
Rollo May, Seni
Konseling, Pustaka Pelajar, Yogyakarta :
2003, cet. 2, hlm 207
Ø
Franz Magnis, dkk, Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Pusataka Filsafat, Jakarta : 1985, hlm 17.
[4]
Bambang syamsul arifin, psikologi agama, pustaka setia, bandung :2008, cet.1, hlm
142-143
[5]
Rafi’udin,et,al, Prinsip dan Strategi Dakwah, Pustaka
Setia, Bandung
: 2001, hlm. 47
[6]
H.M Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan
Agama, Golden Terayon Press, Jakarta ,
1997, hlm 18
[7] Departemen Agama RI, Panduan Penyuluh Agama, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam dan Urusan Haji, Jakarta :
1987, hlm 22-23
[8] A.M Romly Penyuluh
Agama menghadapi Tantangan Baru, Remaja Rosda Karya, Jakarta :2002, hlm 15
[9] Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluh disekolah AMM offset, Yogyakarta
: 1995, hlm 30
[10]
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, pustaka setia, Bandung :2000, hlm 73
[11]
Latipun, Psikologi Konseling, UMM press, Malang :2001, cet. 3, hlm 201
[12]
Rollo May, Seni Konseling,
Pusataka Pelajar, Yogyakarta : 2003, cet : 2,
hlm 207
No comments:
Post a Comment